Philosophy of Being and Philosophy of Becoming

Difficult Passages of the Bible: ‘Creation or Evolution (1)’

Kejadian 1:1 Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.

Ada empat aspek besar yang tercakup di dalam satu ayat penting di awal Alkitab ini:

1. Subyek, yakni sumber dari segala sumber.

2. Kejadian, yakni metode yang digunakan.

3. Waktu, yakni pada permulaan.

4. Obyek, yakni hal yang dicipta.

Permulaan di sini menunjukkan berawalnya waktu. Waktu dan tempat adalah wadah di mana segala sesuatu yang berbentuk materi boleh bereksistensi. Waktu menjadi wadah pertama yang tidak kelihatan dan tempat adalah wadah yang kelihatan. Apabila saya berkata, “Di sini ada buku,” maka buku ini menempati suatu lokasi dengan tinggi, lebar, dan panjangnya, dan berada di sini sekarang. ‘Sekarang’ adalah waktu dan ‘di sini’ adalah ruang. Tidak ada Kitab lain yang dengan demikian tegas memberi tahu bahwa ada suatu permulaan yang berasal dari Allah.

Maka pertanyaan selanjutnya, wadah waktu dan ruang itu sendiri dari mana? Banyak orang tidak mengerti, ini adalah sesuatu yang langsung dan tidak langsung. Allah pada mulanya menciptakan wadah utama, yaitu waktu dan tempat, lalu kemudian menciptakan lagi segala sesuatu di dalam kedua wadah tersebut. Kita biasa hanya memperhatikan adanya bumi, laut, dan sebagainya, tetapi benda-benda itu sendiri berada dalam waktu dan tempat sebagai wadah utama. Alkitab menegaskan bahwa selain Tuhan Allah tidak ada sesuatu yang tidak dicipta. Keberadaan waktu dan tempat yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan dicipta terlebih dulu. Permulaan waktu ini adalah permulaan yang dicipta dan bukan permulaan yang mencipta. Di sini ada perbedaan ayat pertama dalam Kejadian ini dibandingkan dengan ayat pertama dalam Yohanes. Yohanes 1:1 – “Pada mulanya adalah Firman.” Dalam Alkitab terjemahan Tionghoa, bagian ini diterjemahkan dengan kesadaran akan perbedaan kualitatif (qualitative difference), sehingga memakai istilah yang berbeda. Dalam bahasa Yunani, permulaan adalah ‘arkhe.’ Dalam bahasa Tionghoa ‘permulaan’ dalam Kejadian diterjemahkan ‘chi zhu,’ tapi dalam Yohanes adalah ‘tai zhu’ yang artinya lebih dulu daripada ‘chi zhu’ di Kejadian. Saya rasa dalam hal ini penerjemah Alkitab Tionghoa lebih benar.

Kejadian ayat pertama ini bukan suatu diskusi, proses, atau argumentasi, tetapi merupakan suatu proklamasi. Inilah bedanya Kitab Suci dengan semua pseudo-science atau ilmu palsu yang menggunakan imajinasi. Ilmu yang asli adalah ilmu yang pasti. Sedang ilmu palsu tidak luput dari interpretasi subyektif manusia yang tidak bertanggung jawab. Kita sering menggunakan kata-kata “saya pikir…” atau “saya kira…” bukan berdasarkan fakta yang benar, tetapi hanya berdasarkan asumsi dan perasaan. Dengan menggunakan kata-kata ini, kita mengubah perasaan menjadi fakta dan tidak ada habisnya diperdebatkan, inilah pseudo-science. Hanya kalau data dan fakta sudah keluar dan dapat dipertanggungjawabkan dengan tepat, jujur, dan tidak ada pencemaran motivasi, barulah kita dapat menyelesaikan perdebatan. Di situ baru ada pengetahuan yang sejati, yang dalam bahasa Latin disebut ‘scio’ dan akhirnya menjadi ‘science.’

Mungkinkah pernyataan kebenaran Allah di dalam Alkitab merupakan imajinasi atau interpretasi subyektif? Di sini kita butuh iman kepada hal yang tidak berlawanan dengan logika, yakni kepercayaan kepada adanya satu kepenuhan kebenaran yang berpribadi. Kebenaran yang berada pada diri-Nya sendiri adalah kebenaran yang hidup. Dan kebenaran yang hidup adalah kebenaran yang menyatakan diri. Dia memberi tahu kepada kita, maka baru kita tahu apa itu kebenaran. Di sinilah bedanya manusia dengan binatang, karena binatang tidak punya rasio untuk mengerti kebenaran. Manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah, maka Allah adalah kebenaran dan manusia adalah mahluk yang mampu mengerti kebenaran. Hal ini tidak melawan logika maupun dalil epistomologi, sehingga iman kepada hal ini tidak lagi membutuhkan bukti dan menjadi kepenuhan kebenaran secara logis.

Orang dalam zaman Stoic mengatakan bahwa dalam alam semesta ada ‘logos’ dan dalam diri manusia ada ‘logikos.’ Logos, berarti Firman atau kebenaran yang besar; logikos, artinya manusia yang dapat mengerti kebenaran. Apabila logikos berusaha mengerti Logos maka keduanya berelasi dan manusia yang berhubungan dengan kebenaran itu mendapatkan kesadaran. Pernahkah Engkau merasakan sukacita saat kita diberi penjelasan akan kebenaran, dan mata kita seperti terbuka sehingga kita dapat berkata, “I see, I see?” Sukacita mengerti kebenaran jauh lebih besar daripada sukacita mendapatkan profit, kecuali Engkau tidak mencari kebenaran. Ketika seseorang melihat kebenaran, dia menjadi orang yang bebas dari ikatan kebodohan dan kekaburan. Kepuasan dalam diri akan pengertian dan hidup menjadi berarti membuat kita mau mengabarkan kebenaran kepada orang lain serta mengoreksi hidup. Kesadaran itu seperti suatu kilat dalam otak, melihat, dan mulai mengubah hidup.

Cara yang dipakai dalam Alkitab bukan suatu dugaan. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Ini adalah proklamasi, bukan imajinasi. Perintah proklamasi ini menjadikan Kitab Suci belum pernah boleh dibandingkan dengan kitab lain. Semua buku termasuk buku science dimulai dengan asumsi. Di dalamnya ada semacam kebenaran, sehingga kita dengan iman berusaha menegakkan presaposisi, lalu minta bukti dan data yang mendukung asumsi ini, baru akhirnya menyatakan hal itu benar. Alkitab tidak perlu cara seperti itu, karena Allah adalah subyek Kebenaran itu secara Pribadi. Ia adalah Sumber, Substansi, Diri dari Kebenaran itu sendiri. Ketika Ia berbicara, itu berarti Ia sedang menyatakan Kebenaran-Nya kepada manusia, sehingga manusia ciptaan-Nya itu dapat mengerti kebenaran. Manusia dicipta untuk mengerti kebenaran dan kebenaran itu sendiri mewahyukan diri-Nya kepada manusia, itu namanya pewahyuan. Dari permulaan, Allah mencipta dan Allah berada di luar batasan ciptaan itu. Jadi sebelum dunia dicipta, Allah sudah ada terlebih dahulu, lalu Dia mulai mencipta, baru dunia ini ada. Keberadaan dunia ada karena keberadaan dan tindakan Allah menurut rencana dan dekrit penciptaan-Nya. Allah menetapkan dalam kehendak-Nya segala sesuatu yang akan terjadi dalam penciptaan itu. Kalau Allah tidak merencanakan untuk mencipta, tidak ada ciptaan yang mungkin ada. Jadi keberadaan sesuatu adalah akibat rencana Allah untuk mencipta sehingga ada sesuatu yang terjadi. Dengan demikian eksistensi menjadi dua macam, yaitu: 1) Allah Pencipta tidak membutuhkan sesuatu untuk mencipta, karena Ia melampaui semua ciptaan, dan 2) semua ciptaan membutuhkan hasil ciptaan Allah untuk mencipta.

Mengapa Allah sendiri tidak perlu permulaan, sementara yang lain perlu permulaan? Berarti Allah terlepas dari dalil? Segala sesuatu harus dicipta, mengapa Allah tidak usah dicipta? Dalam buku “Why I am not a Christian” oleh Bertrand Russel (1872-1970) dari Inggris dikatakan, “Tanyalah kepada orang Kristen dunia ini dari mana, pasti mereka menjawab dunia diciptakan Tuhan Allah. Jangan berhenti, tanya lagi Allah diciptakan oleh siapa? Pasti mereka buntu tidak bisa menjawab.” Bagi dia, segala sesuatu tidak mungkin ada pada sendirinya, harus ada yang mencipta. Kalau semua ada karena perlu dicipta, maka Allah dicipta siapa? Jawabannya, dunia harus dicipta baru ada, Allah ada sendirinya. Lalu mengapa dunia tidak bisa ada sendirinya seperti Allah? Kalau ada yang tidak usah dicipta, saya juga percaya bahwa dunia tidak usah dicipta. Ini adalah pikiran para intelektual abad 20 yang menganggap manusia sudah dewasa. Mungkinkah ada sesuatu yang tidak perlu dicipta? Ya! Apakah itu? Kebenaran! Kebenaran tidak perlu permulaan; kebenaran tidak perlu ciptaan. Contohnya, sejak kapan 2+2=4? Kebenaran ini tidak membutuhkan permulaan. Mungkinkah suatu hari 2+2=8? Tidak! Dalil kekal yang berada dalam kebenaran itu menjadikannya tidak perlu awal dan akhir, melainkan suatu kebenaran kekal yang cukup pada dirinya sendiri (self-sufficient) sehingga tidak butuh perubahan. Kebenaran itu harus genap pada diri sendiri dan tidak perlu dicipta. Saya percaya Allah itu kebenaran, sehingga tidak perlu dicipta. Yang namanya kebenaran itu benar-benar tidak ada permulaan dan dia sendiri adalah selama-lamanya ada pada diri-Nya dan senantiasa konsisten tanpa perlu perubahan. Itu namanya Allah. Maka Allah mengatakan jangan menjadikan Aku sebagai berhalamu atau membuat berhala ganti Aku. Aku adalah Aku. Ini semua konsisten dan saling berkait satu dengan yang lainnya seperti wahyu Allah yang self sufficient. Itulah iman orang Kristen.

‘Permulaan’ Firman tidak sama dengan ‘permulaan’ di Kejadian. Lalu permulaan itu permulaan apa? Permulaan di sini adalah suatu pengertian relatif kita tentang eksistensi ilahi dari Firman. Pada mulanya adalah Firman dan Firman beserta dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Di sini berarti permulaan Firman, kenapa bukan permulaan Allah? Karena Allah tidak perlu permulaan. Tetapi mengapa ada permulaan Firman padahal Firman itu Allah? Karena Allah melahirkan Firman sebagai pribadi kedua, sehingga dari situ seolah-olah secara relatif kita perlu pengertian Firman itu dari mana. Di dalam perbedaan antara Allah Tritunggal yang kekal secara konsisten sebelum adanya waktu, ruang, dan semua ciptaan, itu adalah permulaan kekekalan. Dan di sini ada permulaan ciptaan, maka “pada mulanya Allah menciptakan dunia” menjadi kalimat proklamasi rencana dan tindakan Allah. Charles Darwin menulis buku berjudul “The Origin of the Species” (1859). Dia tidak menulis “Origin of Time,” dia tidak menulis “Origin of Space.”

Yuri Gagarin adalah seorang Rusia yang pertama ke ruang angkasa dengan Sputnik dari Rusia. Begitu ia turun ke bumi, ia langsung menjadi alat komunis menghina Tuhan. Dia mengatakan, “Saya telah di sana, melihat sekeliling dan tidak ada Allah.” Tidak berapa lama kemudian Billy Graham mewakili kekristenan menjawab bahwa di Siberia ada seekor cacing mengeluarkan kepala dari tanah, dia lihat kanan kiri kemudian dia mengatakan, “Saya telah ke permukaan, melihat ke sana ke mari dan saya tidak melihat Krushchev, maka Krushchev tidak ada.” Tidak lama kemudian Gagarin meninggal akibat kecelakaan. Setelah Gagarin mengatakan kalimat melawan Tuhan, Neil Armstrong begitu sampai di bulan, dia membaca Alkitab, dan langsung disiarkan ke seluruh dunia. Dia mengatakan, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Proklamasi ini tidak perlu bukti, karena memang ada suatu kebenaran yang self-sufficient, consistent, eternal. Kita percaya bahwa Allah adalah kebenaran yang sendirinya adalah Sumber Hidup. Orang atheis percaya adanya kebenaran, tapi kebenaran itu adalah sesuatu yang di bawah hidup manusia dan dipegang, dijunjung tinggi oleh manusia tapi dia bukan sumber hidup. Perbedaan itu yang menyebabkan saya mengatakan bahwa Allah adalah subyektifitas Kebenaran yang Berpribadi. Maka Ia menjadi Sumber Hidup, sekaligus Sumber Kebenaran. Dan dari situ hidup menjadi ada karena ada Hidup sebagai sumber.

Kalimat terakhir ini baru dibuktikan pada abad ke-19 oleh Louis Pasteur, “Tidak ada hidup datang daripada yang tidak hidup.” Louis Pasteur mengadakan percobaan dengan suatu tabung reaksi yang diberi pemanasan sampai semua mahluk hidup di dalam tabung itu mati dan tabung itu ditutup kedap sehingga tidak mungkin ada hubungan dengan dunia luar. Setelah seratus hari, dihasilkan suatu kesimpulan bahwa tidak ada yang hidup. Maka jawabnya adalah tidak ada hidup yang dihasilkan dari yang tidak hidup. Hidup dihasilkan dari yang memang hidup. Dalil ini membuktikan satu kalimat dari orang yang hidup sezaman dengan Darwin bernama Wallace. Dalam bukunya, “The Principle of Biology,” Wallace mengatakan ada yang disebut natural selection (penyisihan alam). Buku itu terbit sebelum Darwin menulis pikirannya tentang evolusi, Darwin sangat terkejut, ada orang begitu muda mengerti apa yang ia pikirkan bertahun-tahun. Beberapa kalimat yang besar sekali ditemukan oleh Wallace yang menjadi dasar kita membedakan mana yang benar, evolusi atau penciptaan. Dia mengatakan, 1) di antara yang ada dan tidak ada, 2) di antara yang ada dan yang hidup, dan 3) di antara yang hidup dan manusia, ada jurang yang tak terjembatani. Ketiga kalimat ini luar biasa, karena dalam kalimat ini dia telah memberikan suatu konklusi bahwa sama sekali tidak mungkin ada loncatan. Rekonsiliasi tidak dimungkinkan. Relasi yang menjembatani antara tidak ada menjadi ada itu tidak mungkin. Yang tidak ada itu tidak ada, yang ada adalah ada, yang tidak ada menjadi ada itu tidak terjembatani. Kedua, dari ada, misalnya kayu. Kayu tidak bisa jalan karena kayu itu mati. Antara yang hidup dan yang tidak hidup, tidak ada jembatannya. Ketiga, hidup itu begitu banyak macam, dan manusia yang hidup di tengah semua mahluk yang hidup, di tengahnya tidak ada penengah dan tidak ada jembatannya. Ini menjadi kesulitan utama dari evolusi karena evolusi harus percaya segala suatu mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada, dari ada menjadi hidup, dari hidup menjadi hidup yang maju, dari hidup yang maju menjadi manusia. Wallace tidak bisa sepopuler Darwin, karena Darwin mempunyai optimisme yang lebih besar dari Wallace dengan percaya ada perubahan. Apakah orang Kristen percaya bahwa yang tidak ada bisa menjadi ada? Ini konsep creatio-ex-nihilo. Orang Kristen percaya bahwa Allah mencipta dari tidak ada menjadi ada, sehingga apa yang menjadi kesulitan terbesar dalam ilmiah dijawab oleh Alkitab, Allah yang mencipta dari yang tidak ada menjadi ada, dan itu menjadi sumber dari semua yang ada lainnya. Kitab suci itu benar-benar jawaban segala sesuatu. Teori ini dibuktikan oleh Louis Pasteur.

Kembali kepada presaposisi tadi, kita percaya bahwa Allah adalah kebenaran itu sendiri. Tapi bagi orang Kristen kebenaran itu bukan suatu dalil logika, melainkan suatu yang Berpribadi. Kebenaran itu Hidup, genap dalam dirinya, bersifat kekal, konsisten, dan tak bisa rusak. Yang disebut Kebenaran Berpribadi (truth in person) berarti kebenaran itu bukan obyek pengajaran kita, tetapi Kebenaran itu merupakan diri Hidup itu sendiri. Jadi yang disebut benar justru adalah ‘Yang Hidup’ itu sendiri. Jadi kebenaran dan hidup itu satu dan waktu Dia mewahyukan diri secara inisiatif dari Dia, maka Dia berani mengatakan, “Akulah Kebenaran dan Akulah jalan bagimu, bukan engkau jalan menuju ke Aku.” Pemikiran ini saling terkait satu sama lain secara luar biasa ketatnya dan tidak ada di dalam buku lain.

Apakah evolusi ada karena manusia sudah menjadi pintar? Tidak. Evolusi adalah suatu imajinasi manusia yang melihat gejala-gejala di dalam dunia yang hidup ini. Akibatnya, ia kembali harus menggunakan metode imajinatif menjadi cara interpretasi fenomena mengaitkan setiap gejala dan mencari alasan mengapa semua itu bisa terjadi. Sebenarnya evolusi didasarkan pada satu konsep, yaitu perubahan. Mengenai konsep perubahan sebenarnya dimulai 2400 tahun yang lalu di Gerika dan 2500 tahun yang lalu di Tiongkok melalui “The Book of Changes.” “The Book of Changes” akhirnya menjadi buku yang paling menarik bagi Konghucu, yang mau dipelajari sampai mati. Konghucu mengatakan, “Tambahlah kepada umurku 5-10 tahun sehingga aku betul-betul tuntas mempelajari kitab perubahan, supaya aku boleh terlepas daripada kesalahan yang besar.” Maksudnya ada suatu dalil dalam seluruh dunia bahwa segala sesuatu selalu berubah. Dan perubahan itu mempunyai dalil. Filsafat mengenai perubahan yaitu Patkwa (segi delapan) yang seperti sarang laba-laba. 8×8 berotasi akhirnya menjadi 64. Dunia ini mempunyai perubahan karena ada gejala dan dalil perubahan itu. Konsep itu di Tiongkok tidak berkembang menjadi ilmu biologi. Tapi di Gerika pemahaman ini berkembang menjadi konsep evolusi. Di Gerika kira-kira 100 tahun setelah Konghucu, ada dua arus yang besar, yaitu philosophy of being (filsafat ada) dan philosophy of becoming (filsafat menjadi). Yang satu keadaan yang konsisten; yang satu keadaan yang selalu berubah. Yang mengatakan bahwa segala sesuatu berubah, segala kesamaan itu palsu, itu namanya philosophy of becoming. Tapi philosophy of being mengatakan bahwa segala perubahan itu palsu, yang benar itu tidak berubah, yang berubah itu hanya fenomena, yang tidak berubah itulah yang dasar. Filsafat Menjadi menjadi suatu arus besar melalui Heraklitos. Heraklitos mengatakan bahwa “perubahan” berarti dulunya sederhana, sekarang berkembang menjadi semakin rumit. Pengalaman membawa perubahan bagi manusia dan juga binatang.

Pengalaman membawa perubahan. Yang tua lebih pintar dari pemuda, pemuda lebih pintar dari remaja, remaja lebih pintar dari anak-anak. Sesudah tua, mati, anaknya lebih pintar dari orang tuanya, setelahnya lebih pintar dari sebelumnya, dan seterusnya. Akhirnya menjadi cucu yang pintar, menjadi buyut yang pintar, menjadi cicit yang pintar, itu namanya evolusi. Jadi segala mahluk itu menjadi pintar karena pengalaman itu bisa turun. Tetapi pertanyaannya, pengalaman-pengalaman yang dikumpulkan apakah bisa diturunkan kepada anak? Ini menjadi pertanyaan besar di abad ke-18.

Seorang Perancis 100 tahun sebelum Darwin bernama Lamarck, salah satu orang paling penting dalam sejarah mengenai biologi, mengatakan, “Apakah semua kebiasaan dan semua kristalisasi bijaksana mungkin diturunkan melalui genetik atau tidak?” Kalau mungkin maka setiap mahluk hidup makin lama makin pintar, makin lama makin mahir. Dengan pengalaman yang ada, maka mereka turunkan melalui education atau heredity. Apakah melalui pembicaraan, pengertian, praktek, atau gen bisa langsung mempengaruhi anak cucu mereka? Kadang kita tidak puas, kenapa harus jalan kaki? Kenapa kita tidak bisa terbang? Bisakah kalau orang ingin terbang, keinginannya itu diturunkan supaya anaknya mendapatkan sayap? Kalau menurun berarti lima generasi kemudian keturunannya mulai bersayap. Ayam itu burung atau burung itu ayam? Ayam itu burung yang kurang terbang atau burung itu ayam yang bisa terbang? Ayam kemunduran burung atau burung itu kemajuan ayam? Ayam itu burung akhirnya makin lama makin bodoh akhirnya tidak bisa terbang atau sebaliknya? Yang mana menjadi sumber perubahan yang mana? Prinsip perubahan menentukan maju atau mundur.

Evolusi berdasar kepada prinsip perubahan. Semua berubah, tidak ada yang tetap bagi masa depan. Dari sini kita lihat bahwa pikiran evolusi bukan melekat kepada biologi tetapi melekat kepada suatu konsep interpretasi alam semesta. Sesuatu sedang berubah sehingga menjadi seperti ini. Anjing sekarang dibandingkan dengan anjing 500 tahun lalu lebih pintar sedikit. Karena 500 tahun yang lalu yang mengejar adalah dokar, tetapi sekarang sepeda motor dan mobil, sehingga dia harus lari lebih cepat, karena kalau tidak banyak anjing mati di tengah jalan. Memang terjadi perubahan akibat naluri (instinct) binatang mempertahankan hidupnya, tetapi binatang-binatang itu tetap tidak mengerti mengapa ia harus berubah, dan apakah perubahan itu sendiri.

Aristotle mengatakan bahwa alam dimulai dari mahluk hidup yang paling sederhana di dalam air, akhirnya karena ingin lepas hidup dari air, maka mereka mengeluarkan kaki-kaki dari sisik, akhirnya menjadi cakar dan menjadi kaki. Mereka merangkak keluar dari air. Waktu keluar dari air harus ada paru-paru. Maka dari situ perubahan dari binatang air menjadi binatang melata di atas bumi. Dari binatang melata di atas bumi menjadi binatang yang tidak perlu lagi kembali ke dalam air. Perlahan menjadi binatang yang kaki depannya menjadi sayap untuk terbang, maka evolusi dimulai. Evolusi bukan dari Darwin. 2400 tahun sebelum Darwin, di dalam pikiran Lucretius, Heraclitus, Empedocles, sampai Aristotle sudah ada konsep evolusi. Sama sekali tidak ada yang baru, tidak ada yang modern. Evolusi sebagai teori telah dimulai di era Gerika Kuno. Tetapi setelah Lamarck dan Darwin di abad ke-19, evolusi menjadi suatu teori yang dikembangkan menjadi suatu kebangkitan Gerika untuk menggemparkan dunia.

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong (September 2006)

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/creation-or-evolution-bagian-1