Keluaran 20:1-17
Sepuluh Hukum dalam Kitab Suci memang tidak ada bandingnya. Suatu pengajaran hukum yang sedemikian anggun, komprehensif, melimitasi sekaligus memberi kebebasan pada orang yang melakukannya.

A. Latar Belakang
Sepuluh Hukum diawali dengan firman Allah: “Hai Israel, Akulah Tuhan Allahmu, yang membawamu keluar dari tanah Mesir, tempatmu diperbudak selama ratusan tahun. Sekarang, dengarlah hukum-hukum yang Kuberikan padamu” — introduksi yang sangat jelas bagi umat, yang Dia bebaskan dari belenggu dan kutukan dosa. Selama 430 tahun, Tuhan seperti tak mengingat akan janji-Nya pada Abraham, Ishak, dan Yakub, dengan tidak mengulurkan tangan-Nya menolong mereka. Sesungguhnya tidak! Saat Tuhan bungkam, pasti ada makna yang dalam, karena Tuhan yang kekal dan yang hidup itu tak meninggalkan umat-Nya terus berada di dalam kesulitan. Yusuf pernah menjadi Perdana Menteri di Mesir, Kerajaan terbesar di masa itu, tetapi ketika firaun-firaun yang tak mengenal dia bangkit, mereka tak membiarkan bangsa Israel. Bangsa asing itu semakin berkembang. Mereka khawatir Israel akan mendominasi, menjadi ancaman buat mereka. Itulah fakta, saat jumlah dan ekonomi pendatang mulai dominan di masyarakat, penduduk asli mulai merasa iri, takut, dan muncullah penganiayaan, penindasan, diskriminasi, merampas hak asasinya. Perlakuan yang keterlaluan pada pendatang memang sering dilakukan oleh keturunan Adam. Jadi, perlu ada hukum yang menjamin hak asasi manusia pendatang. Itu sebabnya, Sepuluh Hukum Tuhan berikan setelah orang Israel diperbudak 430 tahun oleh para firaun yang menganggap dirinya mendapat mandat dewa yang tertinggi, punya hak mutlak atas hidup atau matinya orang lain.

Babilonia, Assyria/Asyur, dan Mesir adalah tiga negara adikuasa masa lalu yang pernah membuat gentar orang sezamannya. Babilonia dipagari oleh tembok kota yang tebalnya ±15.5 meter dan tingginya puluhan meter. Asyur, memiliki istana yang besarnya ratusan kali lipat istana Gerika. Tetapi pada akhirnya mereka dapat dihancurkan. Asyur, bala tentaranya 250 kali lipat tentara Makedonia yang dipimpin oleh Iskandar Agung, tetapi Iskandar Agung dapat menang. Apa sebabnya? Iskandar Agung membekali prajuritnya dengan “kita berperang demi membebaskan orang-orang yang diperbudak oleh raja. Ini suatu visi yang agung. Sementara prajurit Asyur berperang terpaksa, karena mereka adalah budak raja. Itu sebabnya jangan pernah gentar”, maka semangat juang tentaranya tinggi luar biasa. Selain itu, ibu-suri dan selir-selir Raja Asyur yang ditawan diperlakukan dengan baik, sampai-sampai ibu suri Asyur memuji moralnya dan mengharapkan Iskandar menang sedangkan anaknya kalah.

Sejarawan besar seperti Arnold Toynbee, Wells mengakui, penyebab penting kehancuran kebudayaan-kebudayaan besar adalah masalah moral. Saat sebuah kerajaan mengabaikan moral, pasti mulai keropos, mengarah ke kehancuran. Sekitar 2.300 tahun silam, Mensius berkata, “Bangsa yang menaati aturan sorgawi pasti jaya, sementara yang menentang aturan sorgawi pasti binasa. Kejayaan satu bangsa pasti didahului dengan tanda-tanda positif, sebaliknya, kehancuran satu bangsa pasti didahului dengan munculnya orang yang aneh-aneh.” Sepuluh tahun ini, kaum homoseks berupaya menjadi arus pokok di abad ke-21, merayakan hari homo-lesbi, mengadakan pawai besar-besaran di tiga puluh enam kota besar: New York, London, Paris, Berlin, Roma, Los Angeles, San Fransisco, Rio de Janeiro, Buenos Aires, Sydney, Melbourne, Chicago, dan lain-lain. Ada pria yang mengenakan rok, ada wanita yang menggunting rambut ala pria, mereka berciuman, berpelukan di atas mobil-mobil hias guna menarik perhatian khalayak ramai.

Sebagai pendahuluan, Allah memberitahukan Israel mengapa Dia memberikan Sepuluh Hukum: Aku sudah membebaskanmu. Hak asasi manusia yang dianut oleh Revolusi Perancis sangat berbeda dari ajaran Theologi Reformed. Kebebasan Hak Asasi dalam Revolusi Perancis tak dibatasi oleh Sepuluh Hukum dari Tuhan. Itu sebabnya, abad ke-18 menjadi begitu liar karena orang membangun hak asasi manusia di atas rasa benci dan dendam. Amat berbeda dengan hak asasi manusia yang Tuhan berikan di Sepuluh Hukum. Itu sebabnya, orang Kristen, khususnya jemaat GRII, harus bisa memilah-milah istilah atau isu, seperti kebebasan, hak asasi manusia, yang dibahas di agama lain, dengan yang diajarkan di Theologi Reformed yang didasari prinsip firman Tuhan. Kita harus menemukan perbedaan kualitatifnya, barulah kita bisa menikmati Tuhan, memuliakan Dia, dan mengerti makna hidup Kristen. Sepuluh Hukum tidak diberikan sebelum mereka diperbudak di Mesir, bukan diberikan pada Abraham, Ishak, Yakub, maupun Yusuf yang sempat menduduki jabatan tertinggi di Mesir. Sepuluh Hukum diberikan untuk menegaskan: 1) Mesir tak punya hukum seperti itu, maka setelah empat ratus sekian tahun orang Israel dianiaya; 2) Tuhan ingin memulai satu bangsa yang mempunyai hukum dari-Nya. Karena sejarah belum pernah mempunyai hukum yang seperti itu. Hukum dunia yang dipandang paling penting, Hammurabi Stone (yang tersimpan di Museum Louvre, Paris), hanya mengajar hukum adalah tulang-punggung terpenting untuk menegakkan keadilan di masyarakat. Hukum Hammurabi lebih tua dari Sepuluh Hukum, kira-kira sudah empat ribu tahun lebih usianya. Konon, Hammurabi mendapat wahyu dari dewa matahari dan mengajarkannya pada muridnya, rakyatnya dan pejabat di Mesopotamia.

Perancis yang tadinya begitu besar dan agung itu menyusut, sebaliknya Kerajaan Inggris yang tadinya kecil sekali malah jadi kerajaan terbesar di zamannya. Itu karena Inggris menjalankan hukum lebih dari negara-negara lain. Salah satunya: Magna Charta yang didasarkan pada pengertian Alkitab. Jadi, Alkitab bukanlah sebuah buku kunonya orang Yahudi, Alkitab adalah jiwa dari semua kebudayaan dunia, yang membuat manusia disebut sebagai manusia terhormat. Manusia dicipta seturut peta teladan Allah, dan kepadanyalah Allah berfirman. Signifikansi Magna Charta adalah melimitasi kuasa seorang raja; raja pun harus taat pada hukum. Magna Charta menjadi berkat bagi Inggris, semua mereka menjalankan hukum, raja pun harus patuh pada hukum. Itulah yang Tuhan kehendaki. “Aku memberi kamu, yang pernah diperbudak, Sepuluh Hukum, dan dengarlah!” Pada umumnya, orang yang dianiaya mendambakan adanya keadilan; hukum yang membuat masyarakat jadi tertib. Kita bersyukur pada Tuhan, karena Keluaran 20 telah menjadi berkat bagi seluruh dunia.

Semua hukum berasal dari wahyu umum dan wahyu khusus. Wahyu umum membuat semua orang (termasuk yang tak mengenal Tuhan) tahu bahwa masyarakat memerlukan hukum. Maka di zaman Konfusius (2.600 tahun lalu) terdapat pengajaran hukum, pengajaran moral, tatanan administrasi, politik, dan ekonomi. Filsafat dunia begitu terkenal, dari sejak sebelum Socrates sampai sesudahnya, kita segera melihat bahwa poros filsafat dan hukum dunia sangat berbeda dari Sepuluh Hukum. Hukum dunia didasarkan atas wahyu umum yang Tuhan letakkan di hati nurani manusia: manusia harus berbuat baik. Tetapi manusia tidak memiliki standar apa yang disebut baik. Buddha berpendapat, lebih baik tak menikah. Ajaran lain, menikah juga baik. Bahkan Islam berpendapat, menikah empat kali juga baik.

Sepuluh Hukum didasarkan pada wahyu khusus. Itu sebabnya, tak ada konstitusi hukum di dunia yang diawali dengan “Aku Tuhan Allahmu. Tidak ada Allah selain Aku.” Allah memberikan hukum berdasarkan otoritas-Nya yang paling utama dan paling sah. Ayat 2, “yang membawa engkau keluar dari Mesir, tanah perbudakan.” Lalu hukum ke-4: “Peliharalah hari Sabat”. Mengingat perkataan Yeremia, “Peliharalah hari Sabat, karena kau pernah dibelenggu tujuh puluh tahun di Babilon.” Sepuluh Hukum bersifat temporal, ada di sejarah, pimpinan Roh Kudus atas orang percaya adalah hukum yang kekal. Saat ini Mesir, dalam arti sebuah kebudayaan besar yang jaya, sudah tiada. Dan saat ini, bangsa Mesir sudah menjadi kelompok kecil yang  tersisihkan. Mesir sudah didominasi oleh bangsa Arab. Seperti juga di Jakarta, orang Betawi telah digeser menjadi kaum marginal di daerahnya sendiri. Mayoritas penduduk Jakarta adalah pendatang. Setelah Tuhan mengeluarkan orang Israel meninggalkan Mesir maka Mesir mulai memasuki nasib kehancuran. Tetapi orang Israel yang dianiaya, justru menerima Sepuluh Hukum, yang begitu singkat, tetapi berpengaruh begitu besar ke seluruh dunia sepanjang zaman. Khususnya, memberi pengaruh besar pada pasal-pasal Hak Asasi Manusia di PBB, hukum negara Belanda, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, berpengaruh di jajahan Inggris, Perancis, dan banyak negara lain.

B. Mengapa Perlu Hukum?
Tidak ada satu negara yang tidak mempunyai penjara, pengadilan, rumah sakit, sekolah, dan pekuburan. Dua di antaranya: pengadilan dan penjara berkaitan dengan tingkah laku manusia. Standar hukum dan penghukuman adalah etika. Tetapi apa standar etika dunia? Ketika seorang berkata, “saya kira, ini tidak benar,” yang lain menjawab, “saya kira, benar.” Inilah penilaian subjektif. Dan Subjektivisme akan melahirkan Relativisme. Karena subjektivitas tiap-tiap orang bisa berbeda dan masing-masing mengklaim dirinya adalah otoritas, maka timbullah relativisme. Jadi, Relativisme didasarkan pada subjektivitas, dan subjektivitas didasarkan pada kebebasan pribadi yang sudah jatuh di dalam dosa. Hasilnya: tidak ada hukum suatu negara persis sama dengan hukum di negara lain. Orang Kristen yang ada di tahap ini mengetahui dengan jelas, mengapa dia mempelajari firman, membaca Kitab Suci, bukan berlomba membanggakan diri, melainkan rindu untuk mengerti intinya, sifatnya, kualitasnya, perbedaannya, keunikannya, fungsinya, karena Alkitab adalah sumber yang amat berbeda dengan buku-buku lain.

Kita sudah membahas Sepuluh Hukum Allah berikan setelah orang Israel menjadi budak lebih dari empat abad di Mesir. Umumnya, seseorang yang ditindas atau tertindas ingin menuntut “keadilan” di hatinya. Tetapi, apa itu keadilan? Bagi orang Kristen, keadilan adalah sifat Allah, dasar keadilan adalah Alkitab. Tetapi bagi orang Yahudi, keadilan adalah balas dendam. Jadi, istilah yang sama sangat berbeda pengertiannya. Pengadilan, tempat orang mencari keadilan, ternyata merupakan tempat yang paling tidak adil di seluruh dunia. Banyak ahli hukum bukan orang yang menjalankan keadilan, melainkan bagaimana bisa melanggar hukum tanpa dihukum. Hal seperti itu tak akan kita temukan di Sepuluh Hukum yang Allah tetapkan.

Di Perjanjian Lama, Allah pernah membiarkan umat-Nya dianiaya di Mesir selama 400 tahun baru kemudian menurunkan Sepuluh Hukum. Dalam Perjanjian Baru, Allah juga pernah membiarkan umat-Nya dianiaya oleh Roma dan kerajaan-kerajaan lain selama 400 tahun, baru kemudian mengirim Yohanes Pembaptis. Semua ini adalah cara Tuhan bekerja. Terkadang Dia membiarkan mereka mengira “tak ada Tuhan”, karena keberadaan Tuhan yang menyebabkan orang beriman, mengakui keberadaan-Nya, mengalami penyertaan-Nya, bukan karena orang percaya Dia ada maka Dia menjadi ada. Di sini kita mengerti Covenant (perjanjian Allah). Allah mengingat janji-Nya kepada Abraham. Dia memanggil Musa, firman-Nya: “Katakan pada Firaun untuk membebaskan umat-Ku agar mereka dapat menyembah Aku di padang belantara.” Mereka harus menyembah Tuhan di padang belantara, karena Tuhan tahu di Mesir ada banyak tuhan palsu; dewa yang terbuat dari emas, yang kelihatannya begitu mewah sebenarnya bukan apa-apa. Begitu juga di Perjanjian Baru, ketika Herodes menjadi raja di Yerusalem, orang Israel mempunyai Bait Allah yang begitu mewah, kubahnya berlapis emas, bersinar sampai jarak 25 km, berat tiap batu di dindingnya 5.000 kg, dua kali lipat dari batu di piramida. Tetapi Roh Allah turun di padang belantara, di atas diri Yohanes Pembaptis, yang dipandang tidak waras, karena dia mengenakan pakaian yang dari kulit unta, makan belalang, dan minum madu. Ironis bukan?

Itu sebabnya saya mengingatkan lagi, anugerah Allah yang terkecil bagi gereja adalah gedung gereja. Anugerah-Nya yang terbesar bagi gereja adalah Yesus Kristus, Roh Kudus, firman-Nya.

Kalau tidak ada firman, gedung gereja hanyalah bangunan yang dikelilingi empat dinding. Kalau tidak ada Roh Kudus, agama tak lebih dari sebuah ritual. Kalau tak ada penyertaan Tuhan, gereja hanyalah organisasi. Semua ini membuat saya sangat sedih, saya harap, ada orang-orang Kristen yang betul-betul mau kembali pada prinsip Alkitab. Tuhan mengeluarkan orang Israel dari Mesir, kerajaan besar yang memiliki istana megah, piramida indah, tetapi sedang dihancurkan oleh Tuhan. Sebaliknya, Kerajaan Allah yang mulai dari begitu kecil seperti biji sesawi menjadi begitu besar. Itu karena dipimpin orang pilihan Allah, yaitu Musa. Begitu pula di dalam Perjanjian Baru, ketika Herodes memiliki istana indah, para imam kepala memiliki Bait Allah yang megah, tetapi Tuhan mengeluarkan umat-Nya, menarik mereka ke padang belantara, mendengarkan firman yang tidak mereka dapati di Bait Allah, “Bertobatlah, karena Kerajaan Sorga sudah dekat.” Yohanes Pembaptis tidak memiliki pedang, tetapi Dia memiliki penyertaan Allah, maka tak sanggup orang menggoyahkannya. Sekalipun akhirnya Yohanes Pembaptis dipenggal kepalanya, ribuan tahun kemudian, orang melupakan Herodes, tetapi Yohanes Pembaptis tetap diingat dan dihormati. Firaun boleh saja menutup telinga terhadap Musa, tapi Roh Allah besertanya, dia berhasil memimpin kaum budak itu memulai the Kingdom of God. Firaun kini sudah tiada. Saya yakin, setelah Israel keluar dari hadapan Firaun, Mesir ditetapkan hancur total. Hanya sisa mumi, artefak-artefak Tutankamen, piramida, dan sisa peninggalannya. Sementara Sepuluh Hukum yang Allah berikan pada Musa masih dibahas dengan ketat di gereja. Firman Allah itu kekal adanya. Setelah Israel dibelenggu empat ratus sekian tahun, di hati mereka pasti menuntut keadilan. Di Mesir hukumnya berpihak pada Firaun.

Memang kaum penindas tak pernah merasa butuh akan keadilan, orang kaya tak pernah merasa butuh akan kesamarataan, karena mereka belum pernah tahu bagaimana rasanya hidup susah, hanya tahu memelihara kekayaannya tak dicuri dan dirampas orang. Maka meski banyak pendapat Friedrich Nietzsche tak saya setujui, tapi dia pernah mengungkapkan satu kalimat yang cukup baik: banyak hukum yang penguasa tetapkan hanya untuk manfaat diri, menekan orang miskin. Sebaliknya, orang miskin juga berharap ada hukum yang membatasi keberpihakan penguasa pada orang kaya, karena hak istimewa yang diperolehnya. Hukum sering diperalat orang yang mampu membayar pengacara untuk memutarbalikkan yang hitam jadi putih, yang salah jadi benar. Sementara orang-orang yang tak bersalah tetapi tidak mampu membayar pengacara hanya bisa menelan penindasan dan ketidakadilan. Itu sebabnya dunia membutuhkan hukum Allah. Sepuluh Hukum memang berbeda dengan semua hukum di dunia, karena:

1. Sepuluh Hukum terlepas dari subjektivitas manusia.  Sepuluh Hukum bukan produk manusia; keturunan Adam yang sudah jatuh di dalam dosa, melainkan dari takhta Allah. Orang-orang Injili sering mengabaikan Taurat, padahal Taurat adalah dasar yang mempersiapkan hati kita menerima Injil. Taurat itu tambahan, bukan sesuatu yang berada di dalam rencana Allah yang kekal. Taurat harus ada di masyarakat karena adanya dosa. Ada kekacauan, penguasa pun menetapkan peraturan untuk mengatur, mengekang, membatasi. Allah memberikan Taurat setelah Adam berdosa, setelah umat Tuhan dianiaya. Tujuan Allah memberi Taurat adalah untuk mengatakan kehendak-Nya; sementara raja-raja, menetapkan hukum untuk menindas rakyat lebih taat dan gampang diatur. Memang hukum dunia pernah ada penerobosan yang berarti: Magna Charta di Inggris, tak seorang pun (termasuk raja) boleh tidak taat hukum. Bila tidak, raja akan menjadi diktator dan rakyat dirugikan.

Seorang profesor yang mengajar di Post Doctorate Study Beijing, yang mendapat bea siswa untuk studi di Reformed Institute di Washington D.C. mengatakan, “Apa kekurangan kebudayaan Tiongkok? Sejak 2.216 tahun silam, dari Kaisar Pertama sampai Mao Ze Dong, tetap sama, di mana penguasa tidak mengenal Allah yang Mahatinggi, sehingga sebelum naik takhta selalu berusaha menyenangkan semua orang, tetapi setelah naik takhta, menggunakan kuasa mereka tanpa batas. Mereka membunuh yang mereka ingin bunuh. Sungguh penyakit riil kebudayaan Tiongkok, maka Tiongkok membutuhkan Allah.”

Inggris sebenarnya adalah negara kecil. Ratu Elizabeth I baru belajar menggunakan garpu dari orang Perancis. Itu sebabnya orang Perancis menganggap, Parislah pusat dunia, negara pengekspor demokrasi, membuat maju seluruh dunia. Waktu sekelompok orang meninggalkan Inggris, pindah ke Benua Amerika, Perancis tepuk tangan, bahkan mengirimkan patung god of Liberty (yang di New York) untuk mereka. Karena Perancis tak ingin Inggris merajalela, tapi mengapa bahasa Inggris menjadi bahasa internasional? Karena Inggris menjadi berkat bagi dunia lewat Magna Charta, artinya: The Big Chapter, lembaran baru bagi sejarah umat manusia untuk kembali kepada hukum. Sebenarnya, kembali kepada hukum bukan diawali oleh Magna Charta melainkan Sepuluh Hukum: ketika raja Israel naik takhta, imamlah yang mengurapinya, artinya raja tak lebih besar dari hamba Tuhan. Inilah yang Kitab Suci tetapkan, yang tak kita temui di dunia, kecuali Magna Charta yang menerapkan ketetapan Kitab Suci. Tanpa firman Tuhan, hanya hidup bersandar roti saja, manusia tak beda dengan binatang.

Ketika Sepuluh Hukum diturunkan, Musa harus mendaki gunung, berpuasa empat puluh hari, menanti firman-Nya, petunjuk-Nya, Allah yang suci, Pemilik alam semesta kepada orang berdosa. Sepuluh Hukum diturunkan dalam situasi yang sangat menakutkan. Itulah psychological influence yang diadopsi oleh arsitektur Pengadilan Tinggi di seluruh dunia, bukan horisontal melainkan vertikal. Supreme Court di Washington D.C. betul-betul mengerti psychological impact ini: orang harus menaiki anak tangga yang begitu tinggi, di depan pintu masuk, ada tiang-tiang yang proporsinya jauh lebih tinggi dari bangunan model Gerika pada umumnya. Karena jarak antara manusia di bawah dan Allah di atas menyebabkan rasa takut akan Tuhan. Engkau akan menghadap Tuhan di tempat tertinggi, mempertanggungjawabkan hidupmu.

2. Sepuluh Hukum diturunkan dari atas, bukan dibuat di bawah.  Hukum di dunia dibuat dari bawah, di mana orang berkuasa memakai hukum untuk menindas yang lemah. Sampai suatu saat, yang lemah tidak tahan, bangkit memberontak, menghukum orang berkuasa. Itulah yang dialami Louis XVI dan isterinya; Mary Antoinette, yang cantik, dari kecil di istana Vienna yang mewah. Mereka tinggal di istana Versailles yang dibangun oleh Louis XIV, kakek Louis XVI, menggunakan 40% dari penerimaan pajak. Di sana Louis ke-16 membangun opera house yang berkapasitas 365 tempat duduk, berhiaskan emas untuk isteri tercinta. Mary Antoinette tak pernah hidup susah, hanya tahu mengeruk pajak dari rakyat agar bisa hidup lebih dan lebih mewah. Suatu kali ketika dia minta menaikkan pajak lagi, seorang pejabat mengingatkan, “Tolong jangan naikkan pajak lagi. Rakyat sudah terlalu miskin, tak punya roti.” “Jangan katakan itu padaku. Kalau mereka tak punya roti, ya makan saja kue taart,” karena di meja makannya selalu tersedia berbagai makanan, kalau tak ada roti, bisa memilih makanan lain. Saat kalimat itu sampai ke telinga rakyat, mereka membenci dia sampai ke tulang sumsum. Maka, pada tahun 1789, mereka ditangkap dan dipenjarakan, dan pada tahun 1793, mereka dibawa ke Place of Concorde, yang dijuluki tempai kelahiran demokrasi, di-guillotine. Dan sejak itu, di Perancis tak ada raja, rakyat jadi tuan rumah negaranya. Itulah demokrasi Perancis: waktu raja menetapkan hukum, rakyat sengsara. Giliran rakyat menetapkan hukum, raja mengalami nasib tragis.

Sepuluh Hukum sama sekali berbeda. Karena Tuhan, Pemberi Sepuluh Hukum, adalah Pencipta langit dan bumi, maka hukum yang Dia berikan menjadi berkat bagi manusia ciptaan-Nya. Sekelompok orang pindah dari Inggris ke Amerika adalah untuk mencari kebebasan agama, untuk bisa menyembah Allah. Hukum pertama di Sepuluh Hukum: selain Aku, tidak boleh ada Allah lain. Inilah firman Tuhan. Mayflower itu orang-orang Puritan; Reformed yang agamanya benar ditindas oleh mereka yang agamanya salah, maka mereka mencari kebebasan beragama. Tetapi saat orang yang agamanya benar memberi “kebebasan beragama” pada orang-orang yang tak mau taat pada kebenaran adalah awal dari malapetaka. Itulah yang terjadi di Amerika sekarang: di sekolah negeri, tidak boleh ada pembacaan Kitab Suci, berdoa, sesuatu yang bertentangan dengan semangat awal dari orang-orang Puritan; pendiri negara United States. Tuhan memberi Sepuluh Hukum bukan jaminan “bebas beragama” yang ada di konsep kita, karena firman-Nya: Akulah Allah, dan tidak boleh ada ilah lain selain Aku.

Urutan Sepuluh Hukum tak pernah ada di hukum dunia: mengutamakan relasi, tentu bukan relasi yang berbau persekongkolan, melainkan menjalin hubungan; relasi antara Allah dan manusia harus mendahului relasi antara manusia dengan manusia. Karena seorang yang hanya pandai menjalin relasi dengan sesama, tetapi tidak didasarkan relasinya dengan Allah, maka relasi dengan sesama itu tidak lebih dari topeng, sandiwara, munafik, dan memperalat Allah. Maka Sepuluh Hukum menegaskan, empat hukum pertama adalah fondasi dari enam hukum berikutnya. Inilah yang tak ada di hukum dunia. Hukum dunia hanya bisa membahas hubungan antar manusia, tetapi tidak mungkin membangun hubungan antar manusia bisa beres tanpa takut akan Tuhan. Akhirnya, para pakar hukum mengakui, “Orang yang tidak takut Tuhan selalu bersandiwara di hadapan sesamanya.” Seorang Barat bertanya kepada saya mengapa orang Cina selalu bisa tersenyum pada siapapun. Maka saya ajarkan satu pepatah Cina kepadanya, “Engkau mengenal orang, hanya mengenal kulitnya, siapa bisa mengetahui hatinya? Melukis kuda, macan, bisa dibedakan kulitnya, tetapi siapa bisa melukis tulang?” Karena kita hanya bisa melihat kulitnya bukan hatinya. Bagaimana kita tahu hubungan seorang dengan sesamanya itu beres atau tidak? Kuncinya hanya satu: takut pada Tuhan. Alkitab mengajar kita untuk berdiri di hadapan Allah. Jerman, Swedia, Switzerland terkenal produk begitu bagus, begitu akurat, karena pengaruh Theologi Reformed, pengaruh perkataan Paulus, “Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia.” Di dalam sebuah arloji yang terumit punya 1.800 alat. Butuh sekitar lima ribu jam kerja untuk memasangnya. Maka sama-sama arloji, ada yang harganya hanya lima ribu rupiah, ada yang lima juta rupiah, lima puluh juta, bahkan satu milyar rupiah. Ada arloji yang sampai 100 tahun tidak perlu dicocokkan. Semua arloji yang paling bagus bukan dibuat di Zurich, Baren, Lausanne, Luzern, Aroza, Interlaken, hanya ada satu yang dibuat di Schaffhausen, selebihnya di Jenewa (Geneve), tempat asal Calvin. Dengan kata lain, Theologi Reformed bukan satu permainan, dia membuat manusia mengerti apa itu etika: Aku hidup di hadapan Allah; dan Ia meminta setiap pikiran, perkataan, dan tindakanku bertanggung jawab di hadapan-Nya. Itulah semangat Sepuluh Hukum. Hubungan antara manusia dengan Allah melandasi hubungan antar manusia. Kiranya kita bisa memiliki pengertian Sepuluh Hukum yang akurat.

C. Tujuan dan Motivasi Hukum
Sepuluh Hukum adalah prinsip yang Tuhan tetapkan bagi manusia yang Dia cipta seturut peta teladan-Nya. Tuhan memberikan Sepuluh Hukum agar umat-Nya mengerti hukum dan hidupnya menjadi takut akan Tuhan. Tuhan memberikan hukum untuk membebaskan umat-Nya dari perbudakan. Maka di dalam Sepuluh Hukum, relasi vertikal dengan Allah harus mendahului relasi horisontal dengan sesama manusia, karena relasi vertikal merupakan dasar dari relasi horisontal. Pemikiran seperti ini tidak ada di dalam hukum dunia manapun. Di sini kita ingin melihat lebih teliti sifat, tujuan, dan motivasi Allah memberikan Sepuluh Hukum.

Sepuluh Hukum sangat penting, karena dia memancarkan keunikan dari etika Kristen: bukan etika tujuan atau etika relasi atau etika tindakan, melainkan etika motivasi. Itu sebabnya Alkitab mengajar kita untuk memelihara hati lebih dari segalanya, karena dari sana terpancarlah seluruh hidup. Kalau kita tidak mengontrol, tidak mengoreksi hati kita, tindakan kita akan sesat. Terlebih lagi, manusia hanya dapat melihat apa yang ada di luar, sementara Tuhan bisa melihat bagai x-ray menembus ke sanubari. Itu sebabnya, Sepuluh Hukum mengajar kita menjadikan takut pada-Nya sebagai dasar dari kelakuan kita. Sungguh, tanpa takut pada Tuhan, kelakuan kita palsu adanya. Orang bisa saja berbuat amal atau menolong orang, tetapi apa motivasinya? Apa itu amal? Jika amal kita hanya untuk diperlihatkan pada orang agar dipuji, atau untuk memenuhi syariah agama, apakah amal kita diperkenan Tuhan?

Pepatah mengatakan: “Sokrates berwajah badut tetapi berjiwa malaikat,” karena di zaman Sokrates hidup 2.500 tahun silam di Gerika, banyak orang yang menganggap diri pandai lalu menjadi guru untuk memperkaya diri. Sokrates berani mendobrak sejarah pendidikan. Kebenaran tidak seharusnya diperjualbelikan tapi dibagi-bagikan. Inilah bedanya Alkitab dan agama; agama menuntut orang berbuat baik agar mendapat pahala. Padahal perbuatan baik yang didasari motivasi mendapat pahala, bukan saja tidak diperkenan Tuhan, malah menimbun murka-Nya. Karena Tuhan membenci orang yang motivasinya tak benar. Motivasi mendahului kelakuan dan dilihat oleh Tuhan, karenanya kita harus hidup benar di hadapan Tuhan barulah hidup kita benar di hadapan sesama. Orang yang digerakkan oleh kasih Tuhan menolong sesamanya tanpa pamrih. Sepuluh Hukum tidak menjanjikan upah bagi orang yang berbuat baik. Hanya satu kali mengatakan, Aku akan memberkati seribu generasi orang-orang yang mencintai-Ku. Sementara orang-orang yang membenci-Ku, akan Ku-tuntut tiga sampai empat generasi. Mengapa demikian? Tuhan ingin membenahi motivasi manusia. Sepuluh Hukum diberikan oleh Allah, sang Pencipta, kepada manusia yang seturut peta teladan-Nya, yang harus mempertanggungjawabkan semuanya kepada-Nya. Mereka harus hidup takut kepada-Nya dan memperlakukan sesamanya dengan baik.

Mengapa Sepuluh Hukum penuh dengan larangan; jangan ini dan itu? Anak yang dididik dengan penuh larangan, biasanya tidak sukses, karena bahan pendidikan yang orang tuanya berikan hanyalah didasarkan pada rasa takut atau khawatir. Memang tidak salah orang tua takut anaknya tertabrak mobil, anaknya buang-buang air karena salah makan, anaknya jatuh saat memanjat pohon. Tetapi jika rasa takut atau khawatirnya itu dia pakai untuk mengekang anaknya, dia bukan mendidik. Karena pendidikan yang benar adalah menemukan dan memperkembangkan potensi yang ada di dalam diri. Jadi, kalau Saudara tidak suka musik, anakmu belum tentu tidak berbakat musik. Kalau Saudara tidak mengerti filsafat, tidak berarti anakmu tidak mungkin punya otak seorang filsuf, karena Tuhan mungkin memberi anakmu otak yang jauh lebih cemerlang darimu. Larangan harafiah: jangan membunuh, jangan berzinah, jangan berdusta, jangan tamak, memang tercantum di Sepuluh Hukum, tetapi seperti kata Tuhan Yesus: “kau harus tahu akan kebenaran, karena kebenaran akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:32), yang kemudian dipertegas oleh Yakobus: “Hukum yang memerdekakan” (Yak. 1:25).

Di dalam sejarah, ada dua orang yang mengatakan pernyataan itu: 1) Yesus Kristus. 2) Seneca, yang lahir sezaman dengan Yesus, penganut filsafat Gerika aliran Stoicism, yang mengajar orang hidup sederhana, bertanggung jawab, berbajik, berbijak, tidak menindas wanita, budak, tawanan perang, berdamai dengan semua orang. Penganut Stoicism sulit menerima Kristus, karena mereka menganggap diri cukup baik dan cukup bijak. Beberapa filsuf aliran Stoicism: 1) Marcus Aurelius, kaisar Romawi abad kedua. 2) Seneca. 3) Epitectus, budak yang sangat pintar, yang akhirnya menjadi filsuf. Seneca berkata: “kebenaran tidak akan membuatmu kaya, tetapi akan memerdekakan kamu.” Berbeda dengan perkataan Yesus. Yesus bukan hanya mengatakan “kebenaran membebaskan kamu,” tetapi Dia melanjutkannya “Akulah kebenaran”. Jikalau Anak Allah memberimu kebebasan, barulah engkau sungguh-sungguh bebas. Saya selalu membandingkan kalimat Konfusius vs Yesus, Lao Zi vs Yesus, Sokrates vs Yesus, Seneca vs Yesus, Zoroaster vs Yesus, Buddha vs Yesus, semua pendiri agama vs Yesus, dan menemukan apa yang Theologi Reformed maksudkan perbedaan kualitatif antara respons manusia terhadap wahyu umum dengan wahyu khusus yang langsung dari Allah sendiri.

Tujuan Allah memberi Sepuluh Hukum: Membebaskan kita. Mengapa membebaskan dengan begitu banyak larangan? Kita harus mengerti bahwa kebebasan yang tidak diikat oleh kebenaran bukan kebebasan, melainkan kebebasan liar, maka ikatan kebenaran merupakan keharusan mutlak (absolute necessity). Misalnya pada saat kita makan bersama seorang wanita dan menawarkan untuk tambah, dia menolak. Itu disebabkan dia mengerti fiIsafat kebebasan, bahwa jika orang yang makan terlalu bebas tidak bisa berjalan dengan bebas. Kebalikannya, kalau pria mau terus tambah, akhirnya menjadi gemuk dan tidak bisa bebas berjalan. Pria memakai ikat pinggang, tetapi ketika ada makanan enak, ikat pinggang dikendurkan; sementara wanita menggunakan ikat pinggang yang tidak kelihatan. Inilah relativisme kebebasan. Yang kelihatannya bebas sebenarnya tidak bebas, yang kelihatannya tidak bebas sebenarnya bebas. Orang yang dapat menyadari pengertian ini akan bersyukur kepada Tuhan, sebab hukum yang Tuhan beri sungguh-sungguh akan membebaskan dirinya. Saya adalah orang yang selalu ingin cepat, apalagi saat mengendarai sepeda motor. Hal yang paling menjengkelkan adalah ketika sampai di persimpangan, lampu berganti warna merah. Mengapa jengkel? Karena harus stop. Tetapi apa jadinya jika di seluruh kota tidak ada lampu lalu lintas. Pasti akan lebih terhambat lagi dan lebih banyak kecelakaan terjadi. Lampu lalu lintas memang sepintas dianggap menghambat, tetapi dia menolong pengaturan lalu lintas lebih baik, dan menghindarkan kita dari banyak kecelakaan. Maka filsuf besar Immanuel Kant berkata, “Bebas bukanlah aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan, sebaliknya, bebas adalah aku mampu tidak melakukan hal yang tidak kuinginkan.” Paulus memaparkan kontradiksi ini di kitab Roma pasal 7 dengan jelas, apa yang kuinginkan tidak aku lakukan, sebaliknya apa yang tidak kuinginkan, malah aku lakukan. Itu disebabkan karena kita sudah jatuh di dalam dosa, tidak kuasa mengendalikan kebebasan kita. Maka firman Tuhan, Aku memberi Taurat untuk membebaskanmu. Berbeda dengan psikologi masa kini, yang berpandangan “Jangan sekali-kali melarang, biarkan saja”. Akibatnya, orang tidak mau dikekang oleh hukum dan aturan. Homoseks, lesbian, berzinah, tidak masalah, karena dipandang sebagai hak asasi manusia. Pada hakekatnya, hak asasi manusia perlu dibatasi dengan kesucian, kebajikan, kasih, keadilan Allah. Karena Allah sendiri pun tak menggunakan kebebasan semaunya, tak melakukan apapun yang bertentangan dengan atribusi moraI-Nya. John Stott mengatakan, “Allah pun tidak memiliki kebebasan yang mutlak.” Saya tak bisa menerimanya, karena bagi saya, istilah “tidak mutlak” dikenakan pada diri Allah adalah kurang hormat. Maka saya menggantinya: “Allah begitu rela menundukkan kebebasan-Nya ke bawah pengaturan atribusi moral-Nya”. Allah yang suci bebas melakukan segalanya di dalam kesucian-Nya, Allah yang adil bebas melakukan segalanya di dalam keadilan-Nya, Allah yang penuh kasih tak melakukan apapun di luar kasih-Nya. Itu sebabnya Dia berhak mengatakan pada manusia: Inilah perintah-Ku, yaitu kuasailah dirimu, karena Aku adalah Allahmu.

Allah memberi Taurat untuk membebaskan manusia dari kebobrokan dan dari maut. Dulu, Jakarta penuh dengan becak, dan walikota Jakarta menetapkan “daerah bebas becak”. Yang disebut “daerah bebas becak” bukan berarti di situ becak boleh mondar-mandir dengan bebas, melainkan justru becak tidak boleh ada di daerah itu. Saat membahas kebebasan, orang suka mengaitkannya dengan tindakan semaunya, padahal kebebasan yang sejati, tidak boleh tidak diikat dengan kebenaran. Kita bersyukur, orang yang tak pernah berzinah Tuhan bebaskan dari penyakit kelamin, tetapi membiarkan syphilis (penyakit kelamin) merajalela selama 450 tahun, untuk mengingatkan manusia, bahwa engkau sudah melanggar hukum. Jika engkau memegang perintah-Ku, firman-Ku adalah kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu. Jika engkau rela dipimpin dan diatur oleh Roh Kudus, maka Roh-Ku akan memerdekakan kamu. Yang dapat memberikan kebebasan sejati kepada kita hanyalah kebenaran, Roh Kudus, Kristus. Allah memberi kita hukum untuk menjamin kita bebas di dalam kebenaran bukan bebas mengikuti nafsu diri. Bebas karena ikut aturan main kebenaran, membuat semuanya menjadi sinkron dan indah. Mengapa arloji buatan Gerald Genta laku satu juta dollar per buah? Karena seribu dua ratus tujuh puluh sekian onderdil yang ada di dalam arloji itu, kait-mengait satu dengan lain, masing-masing menjalankan fungsinya dengan stabil, seratus tahun tidak perlu distel. Tuhan memberi Taurat supaya engkau sinkron satu dengan yang lain, dan masing-masing bertanggung jawab kepada-Ku. Inilah kebebasan yang dikontrol oleh kebenaran.

Apa motivasi Allah memberikan Taurat? Kasih. Paulus berkata, kesimpulan Taurat adalah kasih. Jadi, karena Aku mengasihi engkau, maka Aku memberikan perintah-perintah-Ku dan juga batasan-batasan-Ku. Seorang bertanya pada Yesus, “Tuhan, perintah mana yang paling penting?” jawab-Nya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” Dengan lain kata, cintailah Allah Yang Esa dengan seantero hidupmu. “Dan yang kedua, yang sama dengan itu, kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.” (Mat. 22:37-39). Saat seorang ibu melarang anaknya, jangan lakukan ini, jangan lakukan itu, tanpa memberikan penjelasan, maka anaknya berpikir bahwa ibunya sedang mengekang kebebasannya. Dia tidak mengerti bahwa ibunya melarang dia, karena ibunya mengasihi dia. Ketika seorang dokter membatasi konsumsi pasiennya, maka pasiennya merasa dipersulit dan dianiaya, padahal dokter itu membatasi karena mengasihi pasien itu dan tidak ingin dia celaka. Sampai suatu hari, dokter itu berkata pada suster “mulai besok, dia boleh makan apa saja yang dia mau”. Itu bukan tanda pasien itu mendapat kebebasan sejati, itu tanda bahwa dia sudah tidak ada harapan lagi. Orang Kristen taat pada Tuhan, bukan karena dia sudah berada di ambang kematian, melainkan karena dia ingin hidupnya sesuai dengan kehendak Tuhan. Kalau seorang pria berkata kepada pacarnya, aku mencintaimu, mari kita menikmati hubungan seks, padahal mereka belum menikah, maka perlu segera mengingat bahwa cinta yang sejati menikmati kebenaran bukan kesalahan. Mengapa kita menghormati orang tua? Karena kasih. Mengapa di Sepuluh Hukum tertulis: jangan membunuh, jangan berzinah? Karena mengasihi sesama, maka menghormatinya, memikirkan kebaikannya. Cintailah sesama dengan motivasi kasih yang suci. Jangan pernah ada pikiran jahat dalam pikiran kita terhadap orang lain. Kalau orang tidak menyukaimu, bersalah padamu, doakan dia dan bukan membalasnya dengan perlakuan yang sama. Jangan engkau terjerat tipuan Iblis. Saya harus melakukan apapun yang diperkenan Allah, dan saya harus bertanggung jawab atas apapun yang saya lakukan di hadapan Allah. Kita tidak bisa berkata bahwa kita sedang hidup di dalam zaman anugerah, sehingga kita boleh berbuat apa saja sekehendak hati kita. Kita harus meneladani Kristus yang berkata: “Anak Manusia datang bukan untuk meniadakan Hukum Taurat, melainkan untuk menggenapi-Nya.” Memang, kita tidak mungkin bisa secara sempurna menggenapkan Hukum Taurat; untuk itulah Kristus mengganti kita menggenapkan semua tuntutan hukum Taurat, dan pada saat yang sama Roh Kudus memimpin kita masuk ke dalam seluruh kebenaran, menjalankan perintah Tuhan dan menjadi orang yang diperkenan oleh-Nya. Kiranya mempelajari Sepuluh Hukum ini menjadikan kita semakin takut akan Tuhan, semakin mengasihi Dia, dan mengasihi sesama kita, menjalankan moral yang dibatasi oleh kebenaran Allah. Amin.

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/sepuluh-hukum