Sekali kita berketetapan mengikuti keinginan kita sendiri, kita akan dijeratnya. (Mr. Moonlight)

Kata-kata tersebut di atas ditujukan pada insan pegawai di institusi saya. Ini berawal dari sebuah dialog percakapan antara eselon IV dan III seperti diceritakan teman saya. Sang eselon III tersebut keluar dari sebuah rapat yang masih berlangsung, rapat yang di pimpin seorang Dirjen, sambil mengajak keluar rekan eselon IV. Dalam obrolan tersebut disimpulkan bahwa banyak hal yang membuat kecewa dalam pola promosi seorang pejabat di dalam institusi. Dia yang merupakan lulusan S2 luar negeri sepertinya akan berakhir dan pensiun dengan hanya menduduki eselon III sementara banyak junior-juniornya sudah menduduki eselon II.

Cerita itu mengingatkan saya ketika bertugas sebagai pelaksana di pelosok suatu daerah, dimana seorang rekan kerja bercerita bagaimana dia merasa dicampakkan. Dahulu dia menjabat sebagai eselon V (sudah dihapus) dan sejak reformasi birokrasi diganti menjadi koordinator pelaksana dan sekarang menjadi pelaksana dengan sebutan Account Representative, namun karena persyaratan dan tuntutan pekerjaan sehingga rekan kerja saya itu hanya menjadi pelaksana biasa. Dengan berempati tentu tidak dapat membangkitkan semangatnya, dia hanya mengatakan, saya hanya menunggu waktu pensiun saya yang akan berakhir 4 (empat) tahun  lagi.

Berbicara tentang ketidakpuasan maupun kekecewaan tentu tidaklah akan habis-habisnya, pemikir manajemen seperti Adam Smith telah mengatakan  bahwa  setiap orang cenderung mencari keuntungan untuk dirinya, tetapi dia “dituntun oleh tangan gaib untuk mencapai tujuan akhir yang bukan menjadi bagian keinginannya. Dengan jalan mengejar kepentingan dirinya sendiri dia sering memajukan masyarakat lebih efektif dibanding bilamana dia betul betul bermaksud memajukannya”. Jika Adam Smith berbicara dalam konteks perdagangan dan ekonomi namun faktanya hal tersebut juga sangat memiliki relavansi dalam kasus cerita tersebut di atas, yaitu suatu kompetisi, jika kompetisi untuk meningkatkan penerimaan pajak mungkin sesuatu yang positif namun kompetisi disini adalah suatu kompetisi yang tidak terstruktur dan tak beraturan.

Jika dirunut dari awal yaitu sejak proses rekruitmen, sesungguhnya dapatlah ditarik benang merah dan langkah antisipatif. Pada awal masuk kerja, seorang bakal pegawai pasti mengatakan seandainya saya diterima kerja di Kementerian ini, maka saya akan bahagia dan bersyukur.” Kemudian setelah diterima di kementerian tersebut, maka mulai merasa tidak bahagia dan berpikir, “Ah, seandainya saya dapat menjadi  eselon IV, eselon III..” Dan seterusnya, menjadi Eselon II, menguasai kementerian, menjadi orang terkaya dan seterusnya. Saya pahami bahwa manusia tidaklah pernah puas, namun ketidak puasan ini dapat di minimalisir setidaknya tidak menjadi suatu penyakit apabila hirearki jabatan jelas dan transparan.

Pernahkah kita renungkan bahwa seorang Abraham Moslow menyesal menempatkan susunan diagram dan membaliknya, Ia merasa bahwa susunan hirarki tersebut telah menjustifikasi banyak orang untuk menjadi SERAKAH dan hanya mengutamakan kebutuhan dasarnya. Itu sebabnya, di akhir hayatnya Maslow merasa bahwa diagram tersebut harus “dibalik” urutannya. “Pembalikan” ini juga dilakukan oleh Ian Marshall dan Danah Zohar dalam bukunya Spiritual Capital: Wealth We can Live By. Disini dapat disimpulkan bahwa untuk suatu “keberhasilan” memerlukan suatu tahapan dan setiap tahapan memiliki makna tersendiri.

Semua orang hampir sepakat, meraih suatu jabatan diperlukan suatu teknik dan cara tersendiri. Baru-baru ini saya berbincang-bincang dengan seorang mantan pejabat yang baru saja resign dari perusahaan BUMN yang bonafid, dia masih muda dan banyak peluang untuk dapat duduk dengan jabatan yang lebih tinggi. Apakah karena kecewa atau sakit hati dia menjawab tidak! lalu apa? dia merasa terhalang menerapkan pengetahuan dan keahliannya, terlalu banyak intrik dan kemunafikan di dalamnya, tak seorang pun berfikir kemajuan perusahaan, yang ada adalah bagaimana mengamankan posisi dan kenyamanan. jika ada kesempatan menusuk dan maju. Dia sangat empati terhadap para pegawai yang ditempatkan dipelosok-pelosok daerah yang berharap dapat pindah ke tempat yang setidaknya dekat dengan rumahnya dengan bekerja dan menunjukan segudang prestasi  yang akhirnya  pegawai tersebut akan berakhir dengan kekecewaan.

Akhirnya saya sepakat bahwa  permasalahan psikologi pegawai tidak hanya ada di Kementerian saya atau BUMN sahabat saya itu, beberapa bulan yang lalu saya diskusi dengan seorang pengusaha, dia mengatakan bahwa salah seorang rekannya yang bekerja di kesatuan elite dalam struktur pemerintahan, rekannya ini setengah mabuk dan memohon padanya untuk diberikan sebuah kasus untuk “dipecahkan” agar dia tidak dimutasi kedaerah “kering dan tandus”. (dipecahkan, kering dan tandus adalah suatu istilah). Sungguh luar biasa rusaknya sistem dan moralitas yang ada ini.

Pertanyaan saya, adakah pemimpin di negeri ini yang sejenak mau berfikir tentang kebaikan? maka saya jawab pasti ada, saat ini mereka itu sudah dalam tahapan diamnya orang/pemimpin yang baik dan ini sangatlah berbahaya. Tidak salah jika dalam buku First Break All the Rules Marcus Buckingham dan Curt Hoffman menjelaskan bahwa seorang pemimpin adalah penentu pegawai untuk tetap semangat dalam berkarya pada pekerjaannya.

Kembali berbicara dengan institusi saya, reformasi perpajakan sudah berlangsung secara parsial sejak tahun 2002 dan secara serentak sejak tahun 2007 artinya sudah berlangsung kurang lebih 5 (lima) tahun. Dan rekan saya pelaksana dan eselon III tadi pun mungkin sudah pensiun. Lalu bagaimana selanjutnya? cukuplah kita mengorbankan tenaga-tenaga pioner tersebut jangan ciptakan korban-korban berikutnya. Saya percaya bahwa sekarang pegawai dilingkungan ini telah mengenjot gas berusaha mencapai perubahan yang diinginkan, dan saya yakin alam sadar sudah tidak menginjak rem dalam menahan perubahan tersebut. Jangan katakan  hal ini bukan hanya ada di negara kita, namun marilah kita gunakan  sebagai inspirasi apa yang dilakukan negara lain, sebagai contoh baru-baru ini China akan mengembangkan pusat pelatihan untuk pegawai negeri sipil. Sekolah Administrasi Nasional China (CNSA) menjadi sekolah dengan kualitas kelas dunia, sekolah untuk menopang tiga tugas utama yakni pelatihan, penelitian ilmiah, dan konsultasi kebijakan. Dengan demikian, para PNS lulusan sekolah itu akan memberikan layanan yang lebih baik untuk pekerjaan pemerintah pusat dan pelatihan kader. Bagaimana dengan negara kita?

Ada pesan yang disampaikan oleh sahabat saya yang resign tersebut, banyak pegawai yang menjadi benalu di tempat kerjanya akibat ketidak puasan baik secara psikologi maupun alasan lainnya, untuk resign mereka merasa bimbang. Sehingga mereka mencari kerja sambilan (cenderung lebih fokus), akibatnya perusahaan inti dia bekerja hanya menerima sumbangsih yang minim. Jika kita sudah tidak merasa cocok dan mungkin diluar sana kemampuan kita dapat diberikan dengan baik, maka keluarlah… kembangkan bakat dan talentamu ditempat dimana orang-orang lebih membutuhkan, maka kau akan lebih bermartabat.

Seharusnya kita pun menyadari, kita yang berjuang terhadap pengamanan penerimaan negara, dalam nota keuangan dan RAPBN 2012, pemerintah mematok alokasi anggaran belanja pegawai sebesar Rp215,7 triliun. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp32,9 triliun atau 18% bila dibandingkan dengan pagu anggaran belanja pegawai dalam APBN-P 2011 sebesar Rp182,9 triliun. Sungguh kebutuhan yang sangat besar, marilah kita imbangi dengan bekerja dengan lebih giat. Bapak Dr. Stephen Tong mengatakan You know about good, you know that you should do good but you do not do it, that is sin. Saya percaya para pemimpin di sana dapat menjaga dan konsisten dalam perubahan yang terus menuju baik dan lebih bijak dalam memutuskan langkah percobaan kebijakan. Saya tidak pernah cemburu dengan institusi lain, tapi saya concern ditempat saya bekerja, Direktorat kita ini adalah pioneer dalam urusan transformasi dan reformasi maka jangan lah kita mau dirusak oleh orang diluar dan di dalam.

(Dalam cuti dan gejolak merah putih di dada.. 🙂 )