Demokrasi yang marak pada abad-abad terakhir ini memiliki beberapa sumber. Pertama adalah Athena, sebuah kota sekaligus negara, yang menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, “demos” (rakyat), “kritos” (pemerintahan). Pandangan tersebut lalu dikembangkan oleh Calvin di Jenewa pada abad ke-16, hadirlah sistem politik yang sangat baru. Kemudian, pada akhir abad ke- 18, cetusan demokrasi yang paling modern dikenal di Perancis, dari sana kemudian diekspor ke negaranegara lain.

Demokrasi yang diterapkan baik di Athena maupun di Perancis sesungguhnya belum memenuhi syarat pemerintahan demokrasi. Di Athena, penduduk yang diizinkan memberikan suara tidak lebih dari 30 persen. Perempuan, budak serta para tawanan yang dijadikan budak, dan orang kelas rendah tidak mendapat tempat dalam demokrasi Athena. Demikian juga dengan demokrasi di Perancis, dirasuki oleh semangat balas dendam, kebencian akibat penindasan pemerintahan monarki yang absolutis, mengakibatkan rakyat dengan kemarahan dan kebencian besar, menghantam, merusak, dan menghancurkan penjara Bastille. Pada peringatan ke-200 tahun revolusi Perancis, Margaret Thatcher, Perdana Menteri Inggris ketika ditanya mengenai revolusi Perancis mengatakan, penggerak revolusi Perancis adalah bajingan-bajingan yang merebut kekuasaan dengan membuat kekacau-balauan, setelah merebut kuasa, dan terjadi kekacauan dalam masyarakat mereka pun puas, itulah revolusi Perancis. Demokrasi Perancis menjunjung tinggi manusia dan kebebasan, namun tanpa ditunjang oleh ikatan moral yang sesuai dengan kebenaran.

Dilema Demokrasi

Semenjak Revolusi Perancis, semua bangsa yang tertindas mulai bergerak menumpas semua  penindas-penindas demi mendapatkan kembali kedaulatan rakyat. Namun pada realitasnya,  untuk menghadirkan demokrasi bukan persoalan mudah. Demokrasi bagaikan bayi dalam kandungan yang sulit untuk dilahirkan. Pelaksanaan demokrasi menempuh jalan yang lama dan sulit, bagaikan kehamilan yang sudah amat tua dan sulit untuk tidak dilahirkan. Terkadang, kelahiran demokrasi mengakibatkan luka yang berat bagi induknya, membawa korban yang banyak di pihak rakyat, dan bukan mustahil, perjuangan membangun demokrasi menjadi suatu kecelakaan besar bagi bangsa itu. Itulah dilema demokrasi. Namun, apapun akibatnya, demokrasi harus tetap dilahirkan.

Sulitnya membangun demokrasi dialami oleh China. Dr. Sun Yat Sen sangat tersohor dalam usaha menegakkan demokrasi di China. Namun itu hanya berlangsung singkat. Hanya 11 tahun setelah Tiongkok memulai demokrasi, bangkitlah seorang tirani yaitu Mao Tse-Tung yang merebut tampuk kekuasaan dan kemudian mendirikan negara komunis. Pembunuhan demokrasi yang dilakukan Mao Tse-Tung mengakibatkan negara China mundur secara politik berpuluh-puluh tahun.

Sebagai negara demokrasi terbesar di dunia saat ini, India juga mengalami perjalanan yang tidak mudah. Hal ini disebabkan karena India tidak memiliki bibit demokrasi. India menjalankan demokrasi karena Mahatma Gandhi menjalankan demokrasi di India. Dan perjuangan demokrasi di India mengalami tantangan yang tidak mudah dari Hinduisme yang membagi manusia berdasarkan kasta, sehingga hak asasi manusia menjadi terbagi bagi. Perjuangan Gandhi menegakkan demokrasi di India sesungguhnya dipengaruhi kekristenan. Sulitnya membangun demokrasi itu terkait dengan keharusan adanya faktor- faktor lain yang ikut andil dalam membentuk demokrasi, salah satunya adalah supremasi hukum. Faktor faktor itu sesungguhnya ada dalam Calvinisme, dan itu terbukti dalam pembangunan demokrasi di Jenewa.

 Calvinisme adalah solusi untuk mengatasi dilema demokrasi. Calvinisme bukan hanya menggarap doktrin. Karena yang disebut doktrin adalah kepercayaan yang dipegang oleh orang berdasarkan ketaatan kepada Firman Tuhan yang mengakibatkan normalisasi relasi, secara vertikal antara manusia dengan Allah dan secara horizontal antara manusia dengan manusia. Kenapa Calvinisme? Karena Calvinisme menjelaskan manusia secara tuntas. Kitab Suci menulis, manusia dicipta menurut peta dan teladan Allah. Men are created after the image and the likeness of God. We should be like God, because we are created after His image. Setiap presiden yang memerintah, setiap penguasa  yang berkuasa, harus menghargai serta menghormati Tuhan, dan mengerti siapa manusia yang diperintah. Reformed Theology berhasil menjelaskan image and the likeness of God dengan sangat tepat.

Menurut Reformed Theology, Efesus 4:24, menjelaskan bahwa manusia baru yang dicipta menurut peta dan teladan Allah mempunyai keadilan dan kesucian yang benar. Jadi, kesucian, keadilan, kebenaran merupakan tiga pilar penting dalam membentuk masyarakat. Masyarakat kalau tidak ada kebenaran, itu masyarakat apa? Barbar. Kalau tidak ada keadilan, itu masyarakat apa? Barbar. Masyarakat yang tidak ada kesucian, itu masyarakat apa? Masyarakat yang seperti binatang. Ketiga pilar itu menjadikan kemungkinan manusia berkomunitas secara beres. Selanjutnya, keadilan mengakibatkan adanya pengadilan, adanya hukum, adanya hakim, adanya jaksa, adanya Mahkamah Agung, dsb. Karena sifat hukum dan kesucian menjadi dasar bermoral dan beretika yang berjalan di dalam segala hal yang beres dan senonoh. Dan dua hal ini didasarkan pada satu fondasi, yaitu kebenaran. Jadi the truth as the foundation of the righteousness, and the truth as the foundation of the holiness. Maka keadilan yang sungguh-sungguh, kesucian yang sungguh-sungguh, menyebabkan masyarakat itu beres. Ketiga sifat ini membentuk manusia menjadi mahluk yang  berbeda dari semua binatang.

Apabila pemerintah itu suci, adil, dan benar maka pemerintahan itu akan menjadi baik. Pemerintah  yang memahami bahwa semua yang diperintahnya adalah mahkluk Tuhan dan dicipta dengan pengertian kebenaran, menuntut adanya keadilan, dan pelaksanaan kesucian. Dan ini menjadi peta Allah yang menjadi dasar yang diperintah dan yang memerintah. Itu sebabnya Calvinisme akhirnya memengaruhi seluruh dunia untuk menuntut demokrasi.

Calvinisme menuntut, melaksanakan dan memengaruhi bahwa ide yang paling tinggi untuk demokrasi bukan pada keinginan kekuasaan semata. Soren Aabye Kierkegaard mengatakan rakyat sebagai ide tertinggi dari demokrasi. Semua orang boleh saja mengatakan mengikuti amanat rakyat.

Tapi siapa rakyat itu? Kierkegaard juga mengatakan bahwa mayoritas dan massa adalah anjing yang tidak ada pemiliknya. Itu menjadi peringatan penting untuk siapapun yang menganggap diri mewakili rakyat. “Kapan rakyat memilih kamu mewakili dia?” Hanya karena ambisi banyak orang mau memengaruhi rakyat, jadi bukan karena rakyat yang memengaruhi. Mereka yang memengaruhi lalu mengklaim diri mewakili rakyat. Itu berarti suatu perwakilan yang mewakili ketidakjujuran, ketidakbenaran, dan ketidakadilan. Itulah sebabnya demokrasi dibenci oleh Plato, karena demokrasi telah membunuh gurunya, Sokrates. Demokrasi setidaknya telah menyebabkan kematian dua orang yang paling penting di dunia ini, Sokrates dan Yesus kristus. Itulah dilema demokrasi.

(Ulasan Pdt. Dr. Stephen Tong, dalam Seminar RCRS “Calvinisme, Demokrasi, dan Penerapannya di Indonesia”)

Sumber : https://www.reformed-crs.org/pic/pdf/vd_vol5_thn2_jun2011.pdf