Ketika masih remaja, aku dan ayahku seringkali menghabiskan waktu bersama. Entah pergi memancing, berenang atau berkuda. Ya, rumah kami berada di pedesaan yang sangat tenang dan indah. Tak banyak lalu lalang kendaraan dan keramaian di sana. Sampai suatu saat ada sebuah rombongan sirkus datang dan menyebarkan rasa penasaran pada diriku.

Ayahku tahu benar apa yang aku inginkan, dan dengan senyumnya yang khas ia mengajakku menonton pertunjukan sirkus tersebut.

Malam itu berangkatlah kami ke sebuah lapangan luas yang sudah disulap menjadi panggung pertunjukan raksasa. Di sana ada sebuah tenda yang sangat besar, bahkan aku tak tahu bagaimana cara tenda itu berdiri. “Hei, lihat ayah di sini ramai sekali,” ungkapku kagum melihat gemerlap lampu dan keramaian sekitar. Kami pun tiba pada loket masuk sirkus, dan kami harus mengantri cukup panjang. Di depanku ada delapan anak dan dua orang tuanya yang sedang mengantri. Mereka tak tampak seperti orang kaya, baju mereka pun biasa, tapi mereka sangat bersih dan terlihat ceria. Masing-masing berbaris dua-dua di belakang orang tuanya dengan rapi dan sopan. Sayup-sayup kudengar mereka bercanda dan tertawa, mengatakan betapa antusiasnya mereka melihat pertunjukan sirkus yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Sang ibu dan ayahnya adalah kedua orang tua yang terlihat bijaksana dan penyayang. Keduanya bergandengan tangan seolah tak ingin kehilangan satu sama lain.

Saatnya tiba giliran mereka, sang ayah kemudian maju ke depan loket dan bertanya berapa harga tiket yang harus dibayarnya. Dengan sigap, penjaga loket menghitung dan menyebutkan harga yang harus dibayarkan. Sang ayah tampak kebingungan dan mendekatkan diri kepada penjaga loket, “Maaf, bisa Anda ulangi? berapa yang harus saya bayarkan?” tanyanya. Dan penjaga loket menyebutkan kembali harga yang harus dibayar. Tampak wajah kecewa sekaligus bingung yang tersirat di wajah sang ayah. Dan seketika aku dan ayahku tahu, ia tak punya cukup uang untuk membayar semuanya. Delapan orang anaknya akan sangat kecewa jika mereka tak jadi menonton sirkus yang sudah mereka impi-impikan sepanjang hidupnya.

Ayahku kemudian maju beberapa langkah dan mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya. Dibuangnya uang tersebut ke lantai dan dipungutnya lagi, “Maaf, tuan, sepertinya uang Anda jatuh tadi,” ungkapnya sambil tersenyum. Seketika mata kedua ayah bertatapan dan mereka terdiam selama beberapa detik. Namun sang ayah mengerti apa maksud ayahku. Diremasnya tangan ayahku dengan mata berkaca-kaca, “Terima kasih tuan, uang ini sangat berarti untuk keluargaku,” katanya.

Hati sang ayah jelas terluka, harga dirinya tercabik-cabik, dan ia sangat malu dan kecewa. Namun ia tak meminta-minta, ia juga tak pernah bermaksud menodong siapapun. Ia hanya ingin membahagiakan ke delapan anaknya.

Ayah menggandeng tanganku menuju mobil dan pulang ke rumah. Aku tak pernah bertanya mengapa tak jadi masuk dan menonton sirkus. Bagiku tindakan ayah adalah tindakan yang sangat berani, bahkan lebih berani daripada Tarzan si raja hutan sekalipun.

(Seperti diceritakan oleh Jeff dari Texas)

Sumber : https://www.vemale.com/inspiring/lentera/4341-sebuah-pertunjukan-sirkus.html