Sokrates pernah mengatakan bahwa kematian bagaikan sehelai pintu yang membawa manusia menuju kepada kekekalan.

Di bulan April (2012) ini saya kehilangan 2 (dua) orang yang saya kenal, disamping saya mengenal kedua orang ini dan juga memang kami memiliki relasi keluarga. Hal ini  mengingatkan saya  untuk baik-baik memakai salah satu harta yang paling penting yang kita miliki, yakni waktu hidup kita. Saya katakan demikian karena saya sendiri merasa aneh dengan hubungan relasi ini ketika mereka masih hidup di dunia ini. Yang pasti ketika saya mengangkat tubuh yang sudah mati itu ke Keranda dan Peti Mati, saya merasa kehilangan, kehilangan atas keunikan dari sifat mereka ketika hidup, kehilangan warna dari manusia ciptaan.

Tanggal 03 April 2012 Pukul 19:15 WIB

Khabar duka saya terima 3(tiga) menit setelah waktu kematiannya, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak segera berangkat ke tempat duka. Kami tiba dirumah duka sekitar pukul 23 :30 WIB,  karena memang jarak kota Karawang dan Bandung tidaklah terlalu jauh (keterlambatan disebabkan karena saat itu kebetulan saya sedang dinas ke Kantor Pusat di Jakarta). Terakhir komunikasi saya dengan beliau adalah ketika beliau menikahkan putri pertamanya di Bandung (Nopember 2011).

Dalam perjalanan menuju Bandung kami berbagi cerita tentang beliau dimasa hidupnya, walau kami bisa dikatakan sangat sering berkunjung ke Bandung karena memang keluarga ini adalah juga merupakan keluarga dekat (kakak dari istri saya), namun bisalah dihitung dengan jari waktu kami sekedar berbicara atau mengobrol dengan beliau. Jikalau menghitung/mengingat tentang kunjungan kami ke Bandung pastilah kami lupa karena saking banyaknya, namun ketika mengingat Mas ini berkunjung ketempat kami di Karawang pastilah sangat mudah diingat karena selama ini beliau hanya mengunjungi kami satu kali (itupun transit yang tak terhindarkan). Hingga saya berkesimpulan bahwa Mas saya yang satu ini memang memiliki kesulitan yang tinggi dalam berinteraksi (itulah yang saya simpulkan demi menghibur diri ketika hidupnya beliau).

Tanggal 20 April 2012 Pukul 14:07 WIB

Khabar duka ini datang yang membuat saya hening dan blank sejenak, yah… kali ini adalah ibu yang sudah hampir 16 tahun menemani ayah saya. Terakhir komunikasi saya adalah 3 (tiga) hari sebelum kepergiannya.

Saya bergegas menuju rumah untuk menjemput anak-anak dan istri untuk pergi ke rumah duka, namun dirumah sudah ramai dengan kumpulan (Punguan Pakpahan boru, bere/ibabere) yang dengan tulus menunjukan empati mereka terhadap kehilangan ini. Seperti di atas, dalam jalan menuju rumah duka saya dan istri memikirkan hal-hal yang dapat dikenang, kami tiba dirumah duka sekitar pukul 21:- an.

Hal yang tidak pernah lepas dari memori saya tentang ibu ini adalah tentang ketaatan dan kefasihan dalam berbicara tentang Firman Tuhan namun memiliki kekhawatiran yang cukup tinggi terhadap financial dan kebutuhan hidup. Saya mencoba merekam semua yang memberi sambutan (kata) terakhir sebelum dimasukkan ke tempat yang sementara itu. Mereka menangis bahkan meraung-raung, seakan tidak rela melepaskannya, pada umumnya mereka berkata bahwa ibu saya ini adalah ibu yang sangat penyayang pada anak2, ibu yang sangat baik dan penuh perhatian, ibu yang selalu mengajarkan tentang Firman Tuhan dll.

Kata-kata itulah yang membuat saya menangis, apakah yang salah terhadap keluarga saya, mengapa hal itu tidak pernah ditunjukan pada kami selama hidupnya. Itulah kematian, semua terungkap ketika tidak ada lagi kesempatan untuk membela diri, yang tersisa untuk dikenang hanya kepalsuan (sepertinya itulah yang diinginkan iblis). Ingin rasanya  saya mengatakan apa yang dikatakan Aristoteles ketika dia berdebat dengan Plato : Aku mengasihi guruku, tetapi aku mengasihi kebenaran lebih dari mengasihi guruku. Namun biarlah… yang kami pikirkan adalah bagaimana membuat upacara penguburan yang layak dan berwibawa.

Sebuah Renungan

Kehilangan seseorang  pastilah kita merasakan sedih, terlebih orang yang meninggalkan kita itu  adalah merupakan keluarga dekat kita. Hal ini memaksa saya untuk merenungkan makna dari kematian kedua orang yang saya kasihi ini, untuk menjalani sisa kesempatan  hidup yang diberikan kepada kita. Masih teringat dibenak kita tentang kematian Steve Jobs dan Whitney Houston. Jika membaca liputan berita dan artikel yang ditulis di media massa, kita akan tahu betapa dunia merasa kehilangan, dan akan rindu sekali dengannya. Mereka bukan hanya seorang penemu, tetapi juga seniman yang sangat bertalenta. Kita terkagum-kagum bukan hanya kepada kecanggihan teknologi, tetapi juga keindahan bentuk dan warna dari karya-karyanya. Dia telah menggabungkan teknologi dan seni dengan begitu genius. Betapa tidak, dunia menantikan produk baru demi produk baru di-launching oleh Apple, atau lebih tepatnya, Steve Jobs. Dunia rindu dengan saat-saat Steve Jobs keluar di atas podium dengan sebuah gadget di tangannya, dan mempresentasikannya, dan mengajari dunia sebuah cara hidup yang baru, dan dunia rindu mendengar suara indahnya Whitney Houston. Namun kenangan tentang mereka pun pasti akan hilang dengan sendirinya  seiring dengan berjalannya waktu.

Kematian suatu rahasia, ancaman, ajal yang kita semua harus hadapi, tetapi siapakah yang bisa memberi tahu kepada kita apa itu mati, setelah mati ke mana, apa rasanya kalau sudah mengalami kematian. Tidak ada satu orang sanggup. Karena yang bisa bicara kepada kita semua belum mati. Yang sudah mati semua tidak bisa bicara, sehingga tidak ada satu orang yang bisa membongkar rahasia kematian, tidak ada seorang bisa mengajar apa itu kematian, kecuali Sang Pencipta yang menentukan mati hidup, kecuali Sang Penebus yang pernah mati dan bangkit. Di dalam Kitab Suci satu ayat begitu indah yang membuat saya kaget: “Aku pernah mati dan bangkit kembali untuk hidup selama-lamanya.” Kalau di sebelahmu bisikkan di telingamu: “Aku pernah mati”. Lalu siapa orang ini, langsung engkau lari (ketakutan) tidak berani lagi duduk di sebelah dia. Tidak ada orang yang boleh mengatakan kalimat itu. Kong Fu Cu tidak pernah mengatakan kalimat itu. Kong Fu Cu hanya mengatakan: “If I cannot not what is the living, how can I say about that?” Socrates tidak bisa mengatakan kalimat itu. Dia hanya bisa mengatakan: “Saya tidak takut mati karena mati membawa saya ke dunia yang lain, meskipun saya tidak pernah pergi.” Orang yang paling agung, pendiri-pendiri agama apapun mereka orang yang agung, orang yang hormat, orang baik tapi mereka semua tidak tahu apa itu mati. Kristus satu-satunya yang berkata: “Aku pernah mati dan Aku sudah bangkit kembali dan Aku hidup untuk selama-lamanya.” Pengharapan manusia ada di dalam tangan Tuhan. Janji Tuhan ada di dalam Yesus Kristus. Kemenangan Kristus ada di dalam kuasa kebangkitan-Nya.

Janji Hidup Kekal

Hal yang saya pahami/renungkan dan coba tuliskan kembali (Stephen Tong). Sebelum para pendiri agama meninggal dunia, mereka masing-masing mempunyai waktu yang cukup panjang untuk mengajarkan doktrin mereka dan mempengaruhi masyarakat. Mereka mempunyai waktu puluhan tahun panjangnya, tetapi Kristus hanya mempunyai waktu 3,5 tahun. Pada waktu Yesus dipaku di atas kayu salib, Ia belum pernah mendirikan satu sekolah Kristenpun. Dia belum pernah menulis satu syair Kristen yang baik, Dia belum pernah menulis otobiografi, belum pernah mengumpulkan data-data bagi murid-murid-Nya untuk mengabarkan Injil. Kristus belum pernah mendirikan partai politik. Dilihat dari sudut pandang manusia pada umumnya, Kristus tidak membangun satu perbuatan jasa yang besar. Dia kelihatannya gagal total. Tetapi heran sekali di dalam keadaan yang tampaknya gagal total, berusia pendek, mati dalam dalam keadaan paling pedih, hidup dalam ancaman besar, hidup tersendiri, tidak menikah, tidak mempunyai banyak pengikut dan tidak memiliki jasa ataupun karir yang mempunyai pengaruh yang besar, minoritas; namun Yesus Kristus memberikan pengharapan kekal. Yesus berteriak: “Tetelesthai!” Suara ini terdengar menembus ke dalam dunia-dunia yang lain, selain kepada orang yang ada di bawah kayu salib, yaitu: 1. Dunia malaikat 2. Dunia manusia dalam segala zaman 3. Dunia dalam alam maut.

Kita bersyukur kepada Tuhan, kita memuji Halleluya!, karena kita percaya kepada Tuhan yang sudah mengalahkan kuasa maut. Jikalau engkau masih takut mati saya meragukan iman Kristenmu beres atau tidak. Saya berani berkata bahwa saya mengalami begitu banyak bahaya dan saya tidak takut mati, karena Tuhanku adalah Tuhan yang hidup dan kehidupan Tuhan adalah kehidupan yang sungguh-sungguh dan hidup itu sudah dikaruniakan kepada orang yang beriman kepada Dia. Tuhan Allah mengasihi orang seisi dunia, Tuhan mengasihi orang Kristen, Tuhan mengasihi orang Islam, Tuhan mengasihi orang Buddha, Tuhan mengasihi orang Confusiusisme, Tuhan Allah mengasihi orang Komunis, Tuhan mengasihi orang Atheis, Tuhan mengasihi teroris, Tuhan Allah mengasihi semua orang, tetapi Tuhan tidak mengasihi dosa manusia. Tuhan mencintai orang berdosa tapi Tuhan tidak cinta dosa manusia. Seperti seorang ibu mencintai seorang anak, tapi tidak cinta kotoran yang ada di muka anaknya, maka dia mau membersihkan supaya anak itu keluar dari kenajisan.

(Kami tinggalkan Mas Sapta Pribadi dan Ibu Sonti br Marpaung di tempat tanah yang sementara ini).