Nats : Yoh. 9 : 8 – 23

Di perikop ini, kita melihat: 1). pendapat orang yang berbeda-beda, yang dikemukakan berdasarkan fakta yang dia lihat dari kacamatanya. 2). Psikis manusia begitu lemah, saat dia mengemukakan pendapat atas satu keyakinan yang dianut banyak orang, cenderung tidak jujur, bahkan berupaya mempengaruhi orang menuruti pendapatnya. Tapi kebenaran tetap kebenaran, dia tak akan pernah berubah jadi bukan kebenaran, karena kau tak menyetujuinya. Juga tak akan berubah jadi lebih benar, karena kau menyetujuinya. Kebenaran adalah fakta; realita yang berada pada dirinya sendiri secara obyektif: tak akan terpengaruh oleh apapun; siapapun. Begitu juga dengan Allah, Dia tak akan menjadi ada, hanya karena orang percaya Dia ada. Juga tak akan jadi tidak ada, hanya karena orang tak percaya Dia ada. Keberadaan Allah adalah fakta yang tak akan berubah, hanya karena tanggapan orang; no reaction from anybody can change the fact; fakta adalah fakta.

Maka mintalah Tuhan menolong kita jadi orang yang mau mengakui fakta. Bukan malah melawan, menggeser atau lari dari fakta yang ada. Perdebatan tak pernah berarti apa-apa. Tapi mengapa saat kita memberitahu kesalahan seorang, dia akan marah? Karena dia tak mau menerima fakta; terus saja membela diri. Mengapa membela diri? Karena dia mempertuhan dirinya. Jadi, diri, gengsi, kulit muka membuat seorang mengatakan satu statemen yang mirip dengan statemen Tuhan: “tak boleh ada tuhan lain di luar diriku” dan tak akan pernah mengizinkan siapapun mengeritik dirinya. Tuhan yang sejati pasti akan menghukum orang seperti itu di Penghakiman terakhir. Karena hanya Dia — Allah yang sejati. Maka mintalah Dia menolongmu untuk selalu sinkrun denganNya. Sinkron dengan sesama tak terlalu penting. Tapi tak boleh tak sinkrun dengan Tuhan.

Banyak orang tak menyukai Reformed Theology, karena dia menuntut orang sinkrun dengan Allah Penciptanya: to think after God’s thinking, to feel after God’s feeling, to act after God’s action, to plan after God’s planning. Bisakah kita mencapainya? Memang tidak gampang. Karena firmanNya: jalanmu bukan jalanKu, pikiranmu bukan pikiranKu. Setinggi langit dari bumi, demikian juga jalanKu dari jalanmu. Tapi My word will not return in vain. Sebab tak seorangpun dapat mengubah Tuhan. Itu sebab never ask God to change, but ask God to change you. Kita berdoa juga bukan untuk mengubah atau memaksa Tuhan, melainkan siap untuk taat padaNya, menjalankan kehendakNya. Ada satu syair lagu Karismatik: doa dapat menggoyangkan tangan Tuhan. Apa mereka mengira Tuhan sedang tidur dan malas, tanganNya harus digerakkan dengan doa yang amat emosional? Padahal Alkitab mengajar kita, Tuhanlah yang menganugerahkan Roh Kudus, yang mengerti isi hatiNya guna menolong kita berdoa. Itu sebabnya, ajaran Paulus: kita harus berdoa di dalam roh. Adalah berdoa berdasarkan pimpinan Roh Kudus. Karena kita yang selalu self center ini tak dapat melihat rencana Allah. Jangan ditafsirkan berdoa dengan bahasa roh; bahasa yang tak dimengerti — tafsiran sekenanya yang membawa iman seorang menyimpang jauh dari firmanNya. Mengakibatkan orang berdoa semaunya, minta Tuhan “taat” padanya. Maka orang yang memejamkan mata, melipat tangan dan mulutnya berkata-kata, sepertinya sedang berdoa. Sesungguhnya sedang memaksa Tuhan jadi “pembatunya”; menuruti semua kemauannya — sangat kurang ajar terhadapNya. Ingat, you can never change God, atau memaksa Dia melakukan sesuatu bagimu. Berdoa dalam roh adalah berdoa seturut pimpinan Roh Kudus. Mengapa roh kita; manusia harus mengikuti Roh Kudus? Karena Alkitab mengajar kita untuk berbakti dengan roh dan kebenaran. Jadi, lewat kebenaran yang Roh Kudus wahyukan, roh kita mengerti kebenaran, dituntun untuk taat, menerapkan etika Kristen dalam hidup kita. Orang yang hidupnya mau sinkrun dengan Tuhan perlu menyangkal diri: sadar bahwa pikiran dia bisa salah, pikiran Tuhan yang benar, dia mau menuruti pikiran Tuhan, emosinya mau kembali pada emosi Tuhan. Bagai pujian yang Allah Bapa berikan lewat Roh Kudus untuk sang Anak: because You love the righteousness and hate the sin. So God, Your God anoint You with the oilment of joy — Allah Tritunggal: Allah Anak mencintai kebenaran – membenci ketidakadilan, maka Allah Bapa mengurapi Dia dengan Allah Roh Kudus. Karena emosiNya sinkrun dengan emosi Bapa: menolak dosa yang terkecil, tapi mencintai orang yang paling berdosa. Persis terbalik dengan kita yang menolak kesucian, tapi menyukai dosa. Mengapa? Karena Yesus datang untuk menyangkal diri, menyerahkan nyawaNya, mencurahkan darahNya bagi orang berdosa. Mengapa Yesus tak menolak orang berdosa? Karena Dia adalah the Son, the true and the only One from Father.

Maka bagi saya, Yoh.9 sangat menakutkan, karena di sana terdapat banyak orang yang sibuk mengemukakan pendapat, bukan menginginkan Tuhan. Sehingga setelah Yesus mencelikkan mata orang yang buta sejak lahir, semua orang di sekitar orang buta, yang tahu, bahwa dia yang tadinya mengemis itu sekarang sudah dapat melihat itu jadi heboh, muncul macam-macam pendapat: “bukankah dulunya dia buta?” “dari mana kau tahu dia buta?” “saya tetangganya, tahu dia dilahirkan buta…?” “Apa kau tak salah lihat? Mungkin bukan dia, tapi orang yang mirip dengannya!” “saya tahu persis dialah orangnya” “bukan”…., dan orang yang tadinya buta itu bersuara: “saya memang buta sejak lahir” “Kalau begitu, kami harus membawamu pada orang Parisi”. Karena menurut kebiasaan orang Yahudi: setelah seorang tahir dari penyakit kusta yang dia derita, dia harus menghadap iman atau orang Parisi, guna memastikan kesembuhannya. Maka setelah mata orang yang buta sejak lahirnya itu tercelik — satu hal yang belum pernah terjadi semenjak dunia dicipta; kasus pertama, dia harus menghadap imam; orang Parisi. Lalu tanya mereka: “benarkah kau buta sejak lahir?” “Ya” “Mengapa sekarang kau dapat melihat?” “tadi ada seorang yang mengoleskan tanah di mataku, menyuruhku membasuhnya, dan terceliklah mataku” “apa kau berkata jujur?” “ya” “siapa yang mencelikkan matamu?” “Yesus”. Dia memaparkan fakta, tanpa menambah ataupun menguranginya dengan rasa sangat bersyukur. Karena dirinya sudah jadi orang yang normal. Itulah kesaksian. Orang yang sudah mengalami perubahan hidup, tak boleh menyimpan rahasia itu untuk dirinya sendiri; dia harus bersaksi. Tapi jangan karena ingin naik mimbar dan bersaksi, lalu ikut-ikutan berkata: “saya pernah berzinah, tapi sudah bertobat” — menyatakan perubahan. Apa jadinya kalau semua laki-laki di gereja bersaksi tentang hal itu? Orang di seluruh dunia akan menghina: ternyata semua orang Kristen adalah penzinah dan kitapun masuk ke dalam perangkap setan. Jadi, kalau kau memang pernah berzinah dan sudah bertobat, tak perlu banyak bicara, setialah pada nyonyamu. Karena saat orang pertama mengakui dirinya pernah berzinah, tentu merasa sangat malu. Tapi orang kedua, ketiga, keempat, kelima… yang ikut-ikutan memberi kesaksian serupa, tak lagi punya rasa malu. Bahkan pikirnya: semua orang juga sama denganku. Bagaimana dengan orang yang memang tak pernah berzinah. Apa perlu ikut-ikutan memberi kesaksian demi menonjolkan diri? Tidak! Kalau di sebuah gereja terdapat lima ratus orang jemaat, dimana semua orang bersaksi dirinya pernah berzinah dan gereja lain yang juga punya lima ratus orang jemaat, tapi tak ada yang pernah berzinah. Gereja mana yang lebih banyak orang bersaksi? Yang pertama. Tapi gereja mana yang lebih berkenan di hati Tuhan? Yang kedua, bukan? Sekarang, sedang musim Gerakan “Abba Love”, dimana semua orang membongkar masa lalunya yang bobrok. Lalu bagaimana tanggapan orang dunia, memuliakan Tuhan atau justru menghina Tuhan? Menghina Tuhan.

Itu sebab, saya harap semua orang di Gerakan Reformed mau memelihara kesucian hidup; hidup berkenan di mata Tuhan, emosi kita sinkrun dengan emosi Tuhan. Bukan ikut-ikutan Gerakan “Pria Sejati”, arus baru yang menggantikan Karismatik liar. The wave are changing, tapi tetap tak sesuai dengan kehendak Tuhan. Karena gereja di akhir zaman memang banyak disusupi tipu muslihat iblis yang menampilkan diri bagai malaikat terang. Orang Parisi; pemimpin agama, penguasa yang merasa diri punya hak atas nasib orang lain menanyai orang itu dengan serangkaian pertanyaan: “benarkah kau tadinya buta?” “ya” “benarkah kau buta sejak lahir?” “ya” “mengapa sekarang kau dapat melihat?….”. Kalau dia salah jawab, tentu berbahaya, bukan? Tapi orang itu berkata jujur dan konsisten: aku memang buta sejak lahir. Tapi sekarang, aku dapat melihat” “Siapa yang mencelikkan matamu?” “Yesus”. Ini adalah fakta, tapi saat dia mengaitkan pengalaman kesembuhannya dengan Yesus, orang Paris jadi tak senang. Mengapa? Karena mereka tak pernah mengakui Yesus datang dari Allah. Jika ditanyakan lebih lanjut pada mereka, kalau begitu, mengapa Dia bisa menyembuhkan? Mereka tak mau tahu. Tetap berkeras, orang yang datang dari Allah pasti memelihara Hari Sabat. Memang, di Yoh.5, Yesus pernah menyembuhkan orang di hari Sabat dan sempat menyeretNya ke dalam kesulitan besar, mengapa di ps.9, Dia menyembuhkan orang di hari Sabat lagi? Mengapa Dia tak belajar jadi lebih “bijak”? Yesus benar, maka Dia tak perlu berubah. Berbeda dengan kita, yang perlu berubah dan berubah. Karena di dalam diri kita ada banyak hal yang tidak benar. Peter Ilich Tchaikovsky menggubah Piano Concerto no.1, yang dikagumi di seluruh dunia dan dia memperlihatkannya pada Anton Rubinstein, Rektor dari Concervatory Moskow. Tapi komentarnya: karyamu kurang bagus, masih perlu banyak dikoreksi. Membuat Tchaikovsky merasa sedih sekali dan menuliskan di buku hariannya: something which is perfect already need not to be corrected even one note.

Meski yang memberi komentar itu adalah seorang Rektor, yang punya hak menentukan, dia boleh terus mengajar di sana atau tidak, boleh mementaskan karyanya atau tidak, dia tak peduli. Dia menyalin karyanya dengan susah payah dan mengirimnya ke Chicago Symphony Orchestra. Berapa bulan kemudian, saat mereka menerima karyanya, menerimanya sebagai karya yang luar biasa. Bahkan melatih dan menetapkan akan mementaskan karyanya. Dengan begitu, semua orang di Chicago memuji karyanya yang luar biasa dan mereka mendapat kehormatan untuk melakukan pementasan perdana bagi karyanya. Satu perkara penting yang akan diingat oleh dunia sampai selamanya. Saat berita ini sampai ke negara asalnya, orang Moskow mengeluh: mengapa konser perdana dari karya komponis anak bangsa bukan dipentaskan di Moskow tapi di Chicago? Merekapun mendesak untuk mementaskan karyanya. Setelah Anton Rubinstein mendengar pementasan Concerto itu, dia mengakui: bukan salah Tchaikovsky, tapi salah saya. Karena saat pertama kali saya melihat gubahanya, justru dia minta untuk mengoreksi. Padahal karyanya sudah begitu sempurna. Bila sikap arogansi itu dibawa ke dalam agama, tentu dapat mendatangkan akibat yang amat mengerikan.

Orang buta itu berkata: “aku lahir buta, tapi Yesus menyembuhkanku” “jangan sebut namaNya, Dia bukan datang dari Allah. Karena Dia menyembuhkan di hari Sabat; Dia melanggar hukum Sabat”. Padahal arti dari “Sabat” yang sesungguhnya adalah: istirahat; terlepas dari belenggu. Orang yang seumur hidupnya buta itu bagai terbelenggu. Baru setelah matanya celik, dia menikmati rest in the Lord — Sabat. Sementara orang Yahudi, menginterpretasikan Sabat sebagai hari dimana orang tak boleh mengerjakan apa-apa, termasuk menyembuhkan dan memutlakkan interpretasi itu. Sehingga mereka menvonis Yesus Kristus melanggar hukum Sabat dan membenciNya. Jadi, interpretasi yang salah terhadap agama dapat mendatangkan perlakuan yang amat kejam. Itulah yang kita saksikan di zaman ini, orang yang paling berani membunuh adalah mereka yang salah menginterpretasikan agamanya. Bahkan mereka lebih berani membunuh dari orang Ateis. Karena saat orang Ateis membunuh, dia tak punya backing. Sementara orang beragama, saat membunuh masih merasa Allah-lah backing mereka. Begitu juga orang Kristen, saat berselisih, lebih berani dari orang non Kristen. Karena saat orang non Kristen berselisih, masih punya rasa was-was, takut pihak lawan memakai backing yang lebih besar. Tapi saat orang Kristen berselisih justru merasa backing-nya adalah Allah — backing terbesar. Jadi, saat orang beragama berpegang pada keyakinan yang salah, keberaniannya jadi liar. Begitu juga orang Yahudi, mereka bahkan berani melawan Yesus Kristus. Karena di mata mereka: Yesus itu manusia. Dan kami, punya backing Allah.

Mengapa mereka mencap Yesus tak taat pada Allah? Karena Dia menyembuhkan orang di hari Sabat. Keyakinan yang didasarkan atas interpretasi harafiah, yang salah. Kalau memang Allah memandang Sabat adalah hari yang penting, mengapa firmanNya: Aku muak akan hari Sabatmu? Terlihat di sini, mereka mati-matinya menekankan hari, tanpa mendalami makna Sabat yang sesungguhnya. Padahal the essence; the substance is more important than the phenomena. Itu sebab kata Tuhan: Aku muak akan hari Sabatmu. Karena kau menciumKu dengan mulut bibirmu. Tapi hatimu, jauh dariKu. Maka sia-sialah kamu menyembah Aku. Statemen yang tertulis di kitab Yesaya satu kali itu dikutip beberapa kali di P.B., mengingatkan pada kita, Tuhan memandang sia-sia akan orang yang lahiriahnya cinta Tuhan, suci, tapi hatinya tak cinta Tuhan dan hidupnya tak suci.

Mereka mengingatkan orang buta itu: “jangan percaya Yesus. Dia bukan datang dari Allah. Karena Dia tak memelihara hari Sabat”. Tapi orang yang disembuhkan itu tak mau berubah, dia tetap mengakui Yesus yang sudah menyembuhkannya. Orang Parisi meragukan kebenaran yang dia tuturkan, mereka kira dia menipu: berpura-pura buta. Maka mereka memanggil mama-papanya. Yang tentu merasa ketakutan, karena dipanggil oleh penguasa. Ternyata, mereka ditanya: “kau adalah papanya?” “Ya” “dan kau adalah mamanya?” “Ya” “apakah waktu dia lahir, matanya dapat melihat?” “tidak”. Papa-mamanya memastikan dia memang buta sejak lahir. Tapi waktu ditanya: mengapa sekarang dia dapat melihat? Papa-mamanya memilih untuk cuci-tangan, tak mau terseret dalam masalah anaknya. Itulah yang disebut play safe; mencari aman dan berlindung di balik istilah “bijaksana”. Kata papa-mamanya “soal mengapa sekarang dia bisa melihat, kami tak tahu”. Padahal mereka tahu. Lalu mengapa tak mau mengaku? takut dikucilkan. Karena bagi orang Yahudi, dikucilkan dari Rumah  Sembahyang merupakan satu perkara yang sangat menakutkan. Waktu membaca buku “The Story of Philosophy” tulisan Wil Duran tentang Upacara Pengucilan yang terjadi di Amsterdam, di abad ke-18, atas seorang filsuf berkebangsaan Yahudi, yang bernama Baruch Spinoza. Saya sempat menangis, tak mengerti mengapa orang beragama tega berlaku begitu kejam. Memang, di Amsterdam terdapat banyak orang Yahudi. Mereka diperlakukan dengan baik oleh orang Belanda. Maka ada banyak orang Yahudi yang diusir dari negara ini – ke negara itu memilih untuk bermukim di sana. Mengapa orang-orang di tempat lain memperlakukan mereka dengan tidak baik; tidak adil? Karena negara mereka dibawah kuasa Paus yang sangat keras, yang menvonis: bangsa Yahudi adalah bangsa yang pernah menyalibkan Yesus, mereka pantas diperlakukan seperti itu. Sementara Amsterdam, adalah kubu Protestan; bukan Katholik, maka di sana, mereka bisa punya perkampungan Yahudi.

Di tengah-tengah mereka terdapat seorang pemuda yang sangat ganteng, punya otak yang cemerlang dan berprofesi sebagai opticion. Dia adalah salah seorang filsuf terbesar di abad ke- 18. Memang, filsafatnya sedikit kacau, dia tak percaya Allah yang berpribadi, percaya bahwa Allah identik dengan alam. Maka kalau seorang bersalah terhadap alam, dia bersalah pada Allah. Dengan kata lain, dia percaya akan Panteisme, tak percaya akan Allah yang bersemayam di sorga. Tapi percaya Allah ada di mana-mana, di alam semesta. Karenanya, orang Yahudi mencap dia menentang doktrin Allah mereka dan menangkapnya. Lalu ditanya: “benarkah kau telah menulis buku tentang Panteisme?” “Ya” “jadi, kau menyangkal agama Yahudi?” “tidak” “tapi tulisanmu menyatakan kau tak percaya pada Allah Yahwe yang bersemayam di sorga, melainkan percaya bahwa alam adalah Tuhan….” Dia tak bisa membela diri. Dan merekapun mengadakan Upacara Pengucilan baginya: dia dipanggil ke rumah sembahyang, diletakkan di tengah-tengah dua belas orang yang mewakili dua belas suku Israel. Di sana terdapat dua belas batang lilin yang menyala. Seorang rabi berkata padanya: “demi nama Allah Pencipta langit dan bumi, aku memerintahkan kau menarik kembali bukumu yang menghina agama Yahudi” “tidak! Buku itu ku tulis berdasarkan keyakinanku”.

Merekapun mengutuki dia dan meniup padam lilin yang pertama, ruangan jadi sedikit redup. Disusul dengan orang kedua yang mengatakan: “aku memberimu kesempatan untuk menarik kembali bukumu, tidak lagi mempertahankan teori Panteismemu; kembalilah pada ajaran Musa” “tidak, aku percaya, buku yang ku tulis itu benar adanya”. Orang itu juga mengutuk dia dengan keras dan meniup padam lilin yang kedua. Demikian seterusnya sampai kedua-belas batang lilin itu dipadamkan. Lalu di tengah kegelapan yang menakutkan itu, mereka berkata: “sekarang, keluarlah dari sini. Namamu dicoret dari Sinagoge. Kau tak punya hak menemui orang Yahudi manapun di Amsterdam, mereka juga tak boleh menyambutmu dengan senyum, tak boleh berjabatan-tangan denganmu. Sesudah mereka mengumumkan pengucilannya, sungguh, tak seorang Yahudi di Amsterdam yang berani menengok dia, berjabatan-tangan dengannya, menikahkan anak perempuannya dengannya — membiarkan dia hidup sebatang-kara. Mengapa manusia bisa berbuat sekejam itu demi nama Allah? Saya tak mengerti. Tapi menurut saya, orang berbeda agama sekalipun tetap punya hak hidup sebagai manusia. Kita harus tetap berkawan dengannya. Masakan kita membenci dan mengucilkan seorang hanya karena imannya; doktrinnya berbeda kita? Tapi sejak hari itu, saat Spinoza, filsuf yang muda dan ganteng itu berjalan-jalan di kota Amsterdam, hanya orang Kristen yang mau menyapanya. Sementara orang Yahudi, bukan saja tak menyapanya, bahkan ada yang meludahinya. Memang waktu kita membaca Injil Yohanes, mungkin kita merasa tak mengerti, mengapa orang tua dari orang buta itu tak berani mengakui fakta yang ada. Tapi setelah kita mendengar kisah Spinoza, kita tahu sebabnya, mereka sangat takut dikucilkan dari masyarakat Yahudi. Karena orang yang sudah dikucilkan, waktu mau membeli makanan, pakaian harus berjalan puluhan kilometer, membeli kebutuhannya pada pedagang non Yahudi. Maka papa-mama orang buta itu memilih untuk berkata: “anak kami sudah dewasa, tanyakan saja padanya” — cucitangan. Bisa kita bayangkan, betapa hancurnya hati orang yang tadinya buta itu tahu papa mamanya cuci-tangan? Inilah kali pertama kita menyaksikan, orang yang mengaku Yesus dihadapkan dengan kesulitan. Meski masa itu belum terjadi penganiayaan terhadap orang Kristen, karena Yesus belum disalibkan. Tapi sudah ada perpecahan. Dan itulah maksud dari statemen Yesus yang sulit kita mengerti: jangan mengira Aku datang membawa damai. Aku datang membawa perpecahan; permusuhan antara papa dan anak, mertua dan menantu. Musuhmu adalah orang di rumahmu sendiri. Karena sebenarnya, statemen itu mengandung kebenaran yang amat besar: kalau tak terjadi perpecahan di antara anggota keluarga yang keyakinannya berbeda, berarti tak ada orang Kristen baru.

Orang-orang Yahudi berbeda pendapat: ada yang percaya – ada yang tak percaya, ada yang mengatakan: “dulu, dia memang buta” – ada yang mengatakan: “dia bukan orang buta itu… orang Yahudi memperkenalkan diri: tak mau menerima Yesus sebagai Dia yang datang dari Allah. Karena dibelenggu oleh konsep: Yesus melanggar hukum Sabat. Dan Yesus Kristus juga tak memilih hari lain untuk melakukan penyembuhan. Karena sesuatu yang sudah sempurna memang tak perlu diubah lagi. Inilah yang mengakibatkan ketegangan antara mereka tak kunjung berakhir. Apalagi setelah ps.11, Dia membangkitkan orang mati. Memang, dari mujizat pertama: air jadi anggur sampai membangkitkan orang mati, mujizat yang Yesus lakukan semakin dan semakin menakjubkan. Mengindikasikan bahwa Dia menjalankan kehendak Tuhan dengan gigih, tanpa peduli akan apa yang akan menimpa diriNya. Jesus never play safe for Himself. He is so consistent to do the will of God, so courageous to go to the final point.

(Ringkasan ini belum diperiksa oleh pengkhotbah – EL)

Ringkasan Khotbah : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : https://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/jakarta/MRI1109.pdf