Salah satu hal yang dilakukan oleh Account Representative (selanjutnya disebut AR dalam jurnal ini) dalam rangka pekerjaannya adalah memberikan pelayanan dan melakukan  pengawasan, walau sejujurnya sewaktu menjadi AR saya lebih mengutamakan pengawasan diantaranya adalah dalam rangka penerimaan yaitu penggalian potensi. Salah satu yang menjadi perhatian saya adalah pengusaha orang pribadi (Selanjutnya disebut OP dalam jurnal ini) yang sekaligus pemilik Stasiun Pengisian Bahanbakar untuk Umum (selanjurnya disebut SPBU dalam jurnal ini). Berdasarkan hasil kunjungan (visit) dan investigasi diketahui bahwa disamping pemilik SPBU, juga memiliki usaha perdagangan seperti usaha meubel dan usaha material bangunan serta sebagai direktur dan komisaris dibeberapa perusahaan dan tentu saja OP ini juga belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (Selanjutnya disebut PKP dalam jurnal ini). Hal tersebut menarik buat saya, karena tidak ada nilai pembayaran PPh Pasal 25 OP alias nihil dalam laporannya.

Nah dalam jurnal kali ini saya mencoba menuliskan permasalahan apa yang menyebabkan SPT OP tersebut nihil, apakah karena pengusaha SPBU sudah dikenakan PPh Final sehingga tidak perlu melaporkan  kewajiban perpajakannya, lalu bagaimana dengan usaha lainnya? apakah memang tidak perlu dilaporkan, atau ketidakperdulian wajib pajak atau ketidakperdulian petugas pajak?, atau memang kekurangtahuan wajib pajak dalam pengisian SPT? Adapun judul jurnal kali ini adalah Sekilas Perpajakan Bagi Pengusaha SPBU, harapannya pembaca baik itu pelaku usaha, petugas pajak maupun lainnya dapat berbagi pengalaman dan informasi dalam rangka meluruskan informasi yang salah dalam jurnal-jurnalan ini :).

Pengenalan Usaha SPBU

SPBU atau yang dikenal masyarakat sebagai pom bensin adalah prasarana umum yang disediakan oleh PT. Pertamina (Persero) untuk masyarakat umum dalam memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM). Premium, solar, pertamax  dan pertamax plus merupakan BBM yang dijual oleh SPBU. Adapun setiap SPBU memiliki prasarana standar yang sudah ditentukan oleh PT. Pertamina.

Terdapat dua jenis SPBU yaitu SPBU yang menjual produk Pertamina dan SPBU yang menjual produk lain (seperti, Shell, Petronas) adapun perbedaan antara kedua SPBU itu adalah sebagai berikut :

  1. SPBU Pertamina, BBM yang dijual merupakan subsidi dari pemerintah (khusus untuk premium dan solar), sedangkan pada SPBU Shell yang dijual merupakan non subsidi.
  2. SPBU Pertamina, BBM yang dijual harganya tergantung kebijakan pemerintah, sedangkan pada SPBU Shell yang dijual harganya berfluktuasi (sering naik turun).

Kepemilikian atas SPBU Pertamina terbagi menjadi dua macam yang dimiliki oleh pertamina itu sendiri dan dimiliki oleh swasta. Sebagai syarat untuk membuka SPBU Pertamina diwajibkan untuk menyediakan semua produk pertamina yang meliputi Solar, Premium, Pertamax, pertamax plus dan pelumas.

Mekanisme transaksi pembelian ke Pertamina adalah sebagai berikut :

  1. Hal yang pertama dimiliki SPBU adalah nomor pelanggan yang terdiri atas sold to dan ship to yang keduanya berisikan nama pemilik SPBU dan kode-kode yang telah ditentukan oleh Pertamina. Sold to menunjukan nomor NPWP pemilik SPBU dan ship to menunjukan alamat daripada SPBU tersebut.
  2. Pihak SPBU melakukan pemesanan produk kepada pertamina umumnya 4 (empat) produk yaitu Solar, Premium, Pertamax, pertamax plus. Setiap pemesanan tiap item harus berkelipatan delapan dikarenakan truk tangki yang mengangkut BBM tersebut bervolume 8 ribu  kilo liter. Pemesanan tersebut dilakukan di bank dengan mengisi formulir aplikasi standar yang khusus disediakan oleh bank untuk kegiatan pemesanan produk-produk dari pertamina.
  3. Setelah pemesanan, pihak SPBU melakukan pembayaran. Pembayaran dilakukan melalui transfer di bank, dapat dilakukan dengan tunai maupun transfer. Pembayaran meliputi harga pokok pembelian, PPN, PPh Pasal 22, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang tertera dalam invoice. Dari pembayaran tersebut, bank akan mengeluarkan ship order (SO) sebagai bukti telah dilakukan pembayaran atas pemesanan produk pertamina.
  4. Selanjutnya, pihak pertamina layanan jual akan mengeluarkan DO (Delivery Order) yang nantinya diserahkan dahulu pada pihak Patra. Patra adalah anak perusahaan pertamina yang merupakan distributor antara pertamina dan SPBU. Pihak patra tersebut nantinya akan mengeluarkan surat jalan yang akan dibawa oleh mobil pengangkut pada waktu pengiriman barang.
  5. Pihak pertamina memiliki sistem pengiriman barang ke pihak SPBU satu hari setelah dilakukan pembayaran. Setelah dilakukan pembayaran, maka keesokan paginya akan dilakukan pengiriman BBM dengan membawa surat jalan sampai ketujuan sesuai dengan alamat yang tertera pada kolom ship to yang terdapat pada dokumen invoice. Harga pemesanan tersebut berlaku pada saat penyerahan, misalkan pembayaran telah dilakukan hari ini juga dan barang akan dikirim keesokan harinya tetapi keesokan harinya harga BBM mengalami kenaikan harga, maka pihak SPBU harus membayar lagi atas kenaikan harga tersebut pada saat pengiriman.

Untuk SPBU yang menjual produk Pertamina mendapat laba (margin) yang telah ditentukan oleh Pertamina. Laba yang diberikan kepada SPBU itu bermacam-macam tergantung dari jenis SPBU itu sendiri. Ada tiga jenis SPBU jika dibedakan dari margin yang didapat yaitu : 1). Biasa, 2). Way dan 3). Pasti Pas. Untuk SPBU Biasa diberikan margin Rp. 180,00/liter, untuk SPBU Way diberikan margin Rp. 190,00/liter dan untuk SPBU Pasti Pas diberikan margin Rp. 205,00/liter.

Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pada SPBU

Minyak mentah hasil pertambangan/pengeboran oleh Pertamina bukan merupakan Barang Kena Pajak (Selanjutnya disebut BKP dalam jurnal-jurnalan ini) yang dikenakan PPN karena diambil langsung dari sumbernya (UU PPN Pasal 4 ayat 2 huruf a). Namun setelah diolah menjadi BBM yang siap dikonsumsi menjadi BKP yang dikenakan PPN. Jadi BBM yang dijual oleh Pertamina kepada SPBU yang nantinya dikonsumsi oleh masyarakat umum merupakan BKP yang terutang PPN. Namun terdapat aspek khusus untuk penjualan atas produk-produk Pertamina dimana yang memungut PPN adalah Pertamina pada saat penebusan DO oleh SPBU (SE-10/PJ.51/1993). Harga jual BBM kepada konsumen include PPN sebesar 10%, atas PPN telah dibayarkan oleh SPBU kepada Pertamina  karena di dalamnya sudah termasuk harga jual kepada konsumen. Dimana DPP atas BBM dalam SPBU didapat dari harga jual dari pihak Pertamina kepada SPBU, jadi Pertamina memungut PPN sebesar10% dari harga jual kepada SPBU.

Dalam SE- 10/PJ.51/1993 tanggal 3 April 1993 tentang Pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas BBM, disebutkan bahwa bagi pengusaha yang dalam kegiatannya hanya semata-mata menyerahkan produk BBM (premium, solar, minyak tanah, minyak diesel, minyak bakar, avtur, avigas), selain PERTAMINA, tidak perlu dikukuhkan menjadi PKP). Karena produk yang dijual, yaitu premium, solar, minyak tanah, dan lainnya, di dalam harga jualnya sudah termasuk PPN

PPN atas pembelian BBM yang dibayarkan oleh SPBU kepada Pertamina dianggap sebagai biaya. Atas penjualan BBM, SPBU tidak lagi memungut PPN kepada konsumen tetapi harga include PPN atau lebih dikenal oleh pengusaha SPBU dengan sebutan PPN Final karena tidak perlu memungut PPN lagi. Berdasarkan aspek khusus tersebut maka SPBU tidak terdapat Pajak Masukan dan Pajak Keluarannya.

Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22) Pada SPBU

Berdasarkan Pasal 22  ayat 1(b) dan 2 UU PPh dikatakan bahwa Menteri Keuangan dapat menetapkan bahwa badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Dan ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Maka Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh Pertamina dan badan usaha selain pertamina yang bergerak dibidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas, atas penjualan hasil produksinya.

Atas penjualan hasil produksi pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak dibidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas serta pelumas kepada penyalur dan/atau agennya dipungut  dengan tarif :

  1. 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada SPBU Pertamina
  2. 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada SPBU bukan pertamina & Non SPBU
  3. BBG: 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN
  4. Pelumas: 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 terhadap Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas; atas penjualan kepada penyalur/agen bersifat final (PMK-224/PMK.011/2012  Pasal 9 ayat 2).

SPBU wajib membayar atas pungutan PPh Pasal 22 oleh Pertamina sebesar tarif yang telah ditentukan di atas dari DPP yang didapatkan dari harga jual SPBU kepada konsumen. Dan saat terhutang Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, terutang dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang/delivery order diterbus (PMK-224/PMK.011/2012  Pasal 4 ayat 5).

Perlakuan PPh  Orang Pribadi Pengusaha SPBU

Berdasarkan SE-11/PJ.41/1995 ayat 1 mengatakan bahwa SPBU, Agen/dealer produk Pertamina Premium, Solar, Pelumas, Gas LPG dan Minyak Tanah tetap berkewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh yang harus melaporkan seluruh penghasilannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Bagi SPBU, Agen/dealer produk Pertamina yang menerima atau memperoleh penghasilan semata-mata dari usaha sebagai penyalur Premium, Solar, Pelumas, Gas LPG dan Minyak tanah,  jumlah PPh yang terutang untuk suatu tahun pajak adalah sama dengan jumlah PPh Pasal 25 yang telah disetor selama tahun pajak tersebut berdasarkan perjanjian kerjasama. Dengan demikian, sepanjang penyalur tersebut tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain selain dari usaha sebagai Penyalur Premium, Solar, Pelumas, Gas LPG dan Minyak tanah, untuk tahun pajak yang bersangkutan tidak ada Pajak Penghasilan yang kurang atau lebih bayar. Oleh karena itu ruang besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak berikutnya diisi “NIHIL”.  Dalam hal jumlah pajak yang terutang sebagai hasil penerapan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas Penghasilan Kena Pajak berdasarkan laporan  keuangan tidak sama dengan jumlah PPh yang telah disetor berdasarkan ketentuan Perjanjian Kerjasama, maka atas jumlah penghasilan kena pajak tersebut dilakukan penyesuaian sehingga penerapan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas penghasilan kena pajak yang telah disesuaikan adalah sama dengan jumlah PPh yang telah disetor berdasarkan Perjanjian Kerjasama.

Berdasarkan hal tersebut diatas jelas bahwa Orang Pribadi pemilik SPBU wajib melaporkan semua penghasilannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan OP) meskipun Nihil dan wajib dilampiri laporan laba rugi dan neraca. Di dalam SPBU, pembelian BBM diakui sebagai inventory yang termasuk di dalamnya harga beli, PPN, PPh Pasal 22, Pajak BBKB yang merupakan cost of inventory. Di dalam invoice juga terdapat margin yang diberikan kepada SPBU yang langsung memotong jumlah yang harus dibayarkan kepada Pertamina yang nantinya menjadi keuntungan bagi pihak SPBU  dari penjualan BBM tersebut.

Pemilik SPBU Juga Pemilik Usaha Lain

Seperti yang yang saya jelaskan  diawal tulisan ketika penulis masih menjadi AR (Tahun 2007) dan dalam rangka tugas penggalian potensi menghadapi permasalahan : disamping pemilik SPBU, juga memiliki usaha perdagangan seperti usaha meubel dan usaha material bangunan serta sebagai direktur dan komisaris dibeberapa perusahaan dan belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Berdasarkan uraian tersebut di atas sangat jelas bahwa OP yang hanya memiliki usaha SPBU saja memungkinkan SPT Tahunannya Nihil dan tidak perlu dikukuhkan sebagai PKP. Namun berbeda apabila kasus tersebut di atas. Apabila memiliki usaha lain yang berbentuk Perdagangan Meubel dan Material Bangunan sekaligus dapatlah dipastikan bahwa seharusnya laporan perpajakannya memiliki kewajiban PPh Pasal 25 dan harus dikukuhkan sebagai PKP apabila peredaran usahanya selain SPBU memiliki peredaraan usaha (Omset) lebih dari Rp. 600.000.000,-.

Bagi OP yang memiliki usaha lain disamping SPBU sebaiknya segera melakukan pembetulan SPT Tahunan OP  1770 dan melaporkan semua penghasilan dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentang penghasilan atas ini terdapat pada Formulir 1771 Lampiran IV  bagi badan hukum, tentang bagaimana prosedur dan pengisiannya, silahkan tanya pada AR Saudara yang ditunjuk.

Kesimpulan

Karena persyaratan untuk usaha SPBU tidak dibatasi, artinya boleh orang pribadi atau badan hukum sepanjang memenuhi persyaratan perijinan SPBU, siapapun dapat menjadi mitra PT. Pertamina dalam mendistribusikan  kepada  masyarakat luas guna memenuhi kebutuhan bahan bakar dimana pada umumnya SPBU menjual bahan bakar sejenis premium, solar, pertamax dan pertamax plus. Berdasarkan kasus yang menjadi contoh di atas, ada kemungkinan  bahwa disamping pemilik usaha SPBU  wajib pajak OP tersebut juga memiliki penghasilan lain. Memang akhirnya saya tidak melihat apakah usulan pemeriksaan yang saya rekomendasikan telah dilakukan atau tidak karena keburu pindah dari kantor tersebut (usulan pemeriksaan dilakukan karena beberapa himbauan tetap tidak direspon).

Maka setelah membaca uraian singkat ini dan semangat “self assesment system” bagi pengusaha SPBU untuk melaporkan seluruh penghasilan dalam SPT Tahunan Orang Pribadi serta menyampaikan ke KPP Pratama setempat, apalagi  bulan Februari ini berdekatan dengan batas penyampaian SPT  Tahunan. :).

 

Sumber Dan Dasar Hukum :

  1. SPBU Pertamina. com
  2. Blog Teman saya https://wongcikawung.blogspot.com
  3. SE-11/PJ.41/1995
  4. SE-10/PJ.51/1993 Tentang tentang Pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas BBM
  5. PMK-224/PMK.011/2012
  6. Serta Sumber Lainnya

(Ditulis dalam rangka pemberian informasi dan Arsip :)).