Dengan pertimbangan untuk lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu serta untuk menyelaraskan ketentuan Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai, maka perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penunjukkan badan-badan tertentu sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.

Untuk itu diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor : 224/PMK.011/2012 tentang perubahan  Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Sehingga berdasarkankan keputusan ini pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 terdiri menjadi :

1. PPh Pasal 22 Impor

Dalam hal ini, kegiatan yang dikenakan (objek pemungutan) PPh Pasal 22 adalah kegiatan impor barang.  Subjek yang ditunjuk untuk menjadi pemungut (collector) adalah Bank Devisa serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Sedangkan subjek yang dipungut (yang dikenakan PPh Pasal 22) adalah importir yang melakukan impor tersebut.

2. PPh Pasal 22 Bendahara Pemerintah.

Transaksi yang menjadi objek PPh Pasal 22 adalah kegiatan berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang. Subjek yang ditunjuk untuk menjadi pemungut (collector) adalah bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya.

3. PPh Pasal 22 Bendahara Pengeluaran

bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);

4. PPh Pasal 22 Kuasa Pengguna Anggaran

Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);

5. PPh Pasal 22 BUMN

Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:

  1. PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero); dan
  2. Bank-bank Badan Usaha Milik Negara,

berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.

6. PPh Pasal 22 Industri Tertentu

Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;

7. PPh Pasal 22 ATPM

Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;

8. PPh Pasal 22 BBM

Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;

9. PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul

PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul adalah PPh Pasal 22 yang dikenakan terhadap pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul, yang dilakukan oleh industri atau eksportir sektor perkebunan, kehutanan, pertanian, peternakan maupun perikanan.

Subjek Pemungut & Subjek yang Dipungut

Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.  Subjek yang ditunjuk untuk memotong/memungut PPh Pasal 22 ini adalah industri dan eksportir sektor perkebunan, kehutanan, pertanian, peternakan maupun perikanan yang melakukan pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industri atau ekspornya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan Pedagang Pengumpul adalah badan (company) maupun orang pribadi yang kegiatan usahanya:

  1. mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan dan perikanan; dan
  2. menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bersangkutan.

Penunjukkan sebagai pemungut PPh Pasal 22 ini tidak melalui penerbitan Surat Keputusan dari KPP setempat alias ditunjuk secara otomatis melalui PMK Nomor 224/PMK.011/2012.

Sementara subjek yang dipungut, atau subjek yang dikenakan dan wajib membayar PPh Pasal 22 ini adalah para pedagang pengumpul yang menjual hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan maupun perikanan, secara langsung kepada industri atau eksportir sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan maupun perikanan.

Tarif dan DPP

PPh Pasal 22 yang harus dipotong oleh Subjek Pemungut dari para pedagang pengumpul adalah 0,25% dari pembayaran atau harga pembelian tidak termasuk PPN. Dalam hal ini, Subjek Pemungut harus membuat Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dan menyerahkan lembar pertamanya kepada pedagang pengumpul.

Pemotongan atau pemungutan PPh Pasal 22 oleh Subjek Pemungut dilakukan pada saat pembelian. Meski tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai timing ini, tapi sebagian besar praktisi berpendapat bahwa yang dimaksud adalah pada saat pembelian itu dicatat secara cash basis atau accrual basis.

Misalnya sebuah perusahaan produsen saus tomat membeli tomat melalui pedagang pengumpul. Pembelian dilakukan (sesuai invoice) pada tanggal 31 Maret 2013 tetapi pembayaran dilakukan pada tanggal 1 April 2013. Apabila pencatatan pembelian dilakukan secara accrual basis pada tanggal 31 Maret 2013, maka PPh Pasal 22 tersebut harus dipotong/dipungut pada bulan (Masa Pajak) Maret 2013 meskipun pada saat itu belum terjadi pembayaran.

Subjek Pemungut selanjutnya harus menyetorkan PPh Pasal 22 tersebut paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. Sementara pelaporan SPT Masa PPh Pasal 22-nya dilakukan paling lambat pada tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

Tidak Final

Bagi para pedagang pengumpul, yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 22 oleh Subjek Pemungut, PPh Pasal 22 tersebut tidak bersifat final alias bisa dikreditkan di SPT Tahunan PPh mereka.

10. PPh Pasal 22 Barang Mewah

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 membuat suatu tambahan objek pemotongan PPh Pasal 22. Pasal 22 ayat (1) huruf c memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menunjuk badan tertentu untuk memungut PPh Pasal 22 dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Pengenaan PPh ini mulai diberlakukan sejak tahun 2009 berdasarkan PMK Nomor 253/PMK.03/2009 tanggal 4 Februari 2009. Berdasarkan PMK ini, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap penjualan barang yang tergolong sangat mewah berupa:

  • Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20 milyar;
  • Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10 milyar;
  • Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10 milyar dan luas bangunan lebih dari 500 m2;
  • Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10 milyar dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2;
  • Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle (MPV), minibus, dan sejenisnya, dengan harga jual lebih dari Rp 5 milyar dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

Subjek Pemungut

Subjek yang wajib melakukan pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 22 dalam hal ini adalah Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang mewah tersebut.  Pengertian kata ‘badan’ dalam hal ini tentunya Wajib Pajak badan menurut UU perpajakan yang berlaku, yaitu:

“…sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.” (Pasal 1 angka 3 UU KUP Nomor 28 Tahun 2007).

Penunjukkan sebagai pemungut PPh Pasal 22 tersebut berlaku secara otomatis artinya tidak membutuhkan surat keputusan khusus dari Kepala KPP setempat.  Jadi setiap WP badan yang melakukan penjualan atau pengalihan barang mewah tersebut otomatis harus memungut, menyetor dan melaporkan PPh Pasal 22 Barang Mewah.

Subjek yang Dipungut

Pihak yang dikenakan PPh Pasal 22 Barang Mewah adalah pembeli atau penerima barang mewah tersebut.  Dengan demikian, saat membayar kepada penjual barang sangat mewah tadi, pembeli harus membayar pula PPh Pasal 22 selain PPN dan PPn-BM.

Tarif dan DPP

PPh Pasal 22 Barang Mewah dihitung berdasarkan tarif 5% dikalikan dengan harga jual yang belum termasuk PPN maupun PPn-BM.  Jika harga jual barang sangat mewah tersebut misalnya senilai Rp 30 milyar, maka PPh Pasal 22 yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjualnya adalah Rp 30.000.000.000,- x 5% = Rp 1.500.000.000,-.

Tidak Final

Bagi pembeli barang sangat mewah, PPh Pasal 22 yang dipungut oleh penjualnya tadi, tidak bersifat final dan dianggap sebagai kredit PPh.  Untuk itu, pembeli sebaiknya meminta Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dari penjual barang sangat mewah tersebut untuk kepentingan pengkreditan PPh di SPT Tahunan PPh si pembeli.

Bersambung…

Artikel Terkait :