Beberapakali bertanya dalam ruang kelas brevet pajak  tentang  jenis pajak apa yang terdapat pada penghasilan yang diterima atas modal dalam hal ini khusus  dividen , selalu jawabannya bervariasi sebagian dengan penuh percaya diri mengatakan atas dividen hanya dikenakan PPh Final, sebagian lagi mengatakan hanya PPh Pasal 23 dan tidak final, ada juga yang mengatakan dividen tidak terutang unsur pajak apapun, bahkan ada juga yang melengkapi bahwa dividen yang diterima oleh luar negeri dikenakan PPh Pasal 26. Hampir saya merasa tidak perlu menjelaskan lagi, karena semua jawaban  adalah benar namun ketika saya berikan contoh sebagai berikut  :

PT. Nusahati Pada tanggal 22 Maret 2013 membagikan dividen kepada pemegang sahamnya sebesar Rp. 3.000.000.000,- yang berasal dari Laba Ditahan sesuai dengan jumlah kepemilikan saham, dengan rincian sebagai berikut :

  1. Nusaworld (LN) (20%)     sebesar Rp. 600.000.000,-
  2. PT. Nusagames (30%)     sebesar Rp. 900.000.000,-
  3. PT. Nusaproperty (20%) sebesar Rp. 600.000.000,-  dan
  4. Mario Pakpahan (30%)    sebesar Rp. 900.000.000,-

Berapakah Pajak yang harus dip0tong kepada para penerima dividen  tersebut? Nah ternyata banyak yang keliru dalam menjawabnya, Maka perlu kiranya penulis menginformasikan kembali hal-hal tentang dividen dengan judul kali ini “Sekilas Tentang PPh atas Dividen II” tulisan ini sekaligus melengkapi tulisan terdahulu yang berjudul Sekilas Tentang PPh Atas Dividen,  semoga informasi ini bermanfaat.

Pengertian Dividen

Pengertian dividen dijelaskan dalam pasal 4 ayat 1 huruf g UU nomor 36 tahun 2008 (UU PPh) dikatakan ” Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;”. Karena dividen adalah penghasilan atas modal, maka dividen selalu diterima oleh pemegang saham, meskipun perusahaan tidak secara spesifik menyebut sebagai dividen tapi ada beberapa kondisi yang dianggap sebagai dividen, yaitu:

  • pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham;
  • dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis;
  • pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  • pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
  • pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
  • pembagian laba dalam bentuk saham;
  • pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
  • jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
  • pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
  • pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
  • bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
  • bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
  • pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
  • pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Nampak sekali bahwa pengertian dividen ini sifatnya sangat luas tidak terbatas pada pembagian dividen yang sifatnya formal saja. Apalagi di bagian terakhir penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g ini juga ditambahkan pengertian dividen terselubung yang pada intinya ada pembagian laba namun mengambil bentuk lain supaya tidak terlihat seperti dividen.

Seperti yang sering terjadi adalah saat pemegang saham yang telah menyetorkan modalnya secara penuh lantas memberikan pinjaman kepada perusahaan  dengan imbalan bunga melebihi kewajaran. Dengan demikian maka selisih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar diperlakukan sebagai dividen (dividen terselubung). Konsekuensinya bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan tersebut.

Dividen Bukan Objek Pajak Pengasilan

Pada umumnya semua penghasilan berupa dividen yang memenuhi pengertian dividen di atas adalah objek Pajak Penghasilan. Namun, dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh dikatakan  : Yang dikecualikan dari objek pajak adalah dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

  1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
  2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;

Maka berdasarkan contoh di atas apabila PT. Nusagames membayar dividen sejumlah Rp. 900.000.000,- atas jumlah saham sebanyak 30%  kepada PT. Nusaproperty, maka sesuai ketentuan tersebut di atas dimana kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari modal yang disetor sementara dalam contoh di atas Kepemilikan saham pada PT. Nusahati yang memberikan dividen sebanyak 30% sehingga bukan merupakan objek PPh.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa dividen akan menjadi Objek Pajak Penghasilan (PPh) apabila :

  1. Penerima dividen adalah pemegang saham Orang Pribadi
  2. Penerima dividen adalah pemegang saham badan [intercorporate] dengan kepemilikan kurang dari 25% dari jumlah yang disetor.
  3. Penerima dividen adalah wajib pajak luar negeri.

Dividen Sebagai Objek PPh Pemotongan Pasal 23

Apabila Wajib Pajak Dalam Negeri, baik orang pribadi maupun badan, menerima atau memperoleh dividen, maka atas penghasilan dividen tersebut dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 23 UU PPh ayat (1) huruf a UU PPh.

Maka berdasarkan contoh di atas apabila PT. Nusahati membayar dividen sejumlah Rp. 600.000.000,- kepada PT. Nusaproperty, maka besarnya PPh Pasal 23 yang harus dipotong adalah misal 15%  dari Rp. 600.000.000,- atau sama dengan Rp.  90.000.000,-. Hal ini sesuai kepemilikan saham pada PT. Nusahati yang memberikan dividen sebanyak 20% sehingga  merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.

Jika PT. Nusahati melakukan pencatatan dalam pembukuannya dengan tanggal  22 Maret 2013 persis hari Ulang Tahun saya yang ke 40 😀 maka bertepatan dengan tanggal tersebut dibuatkan bukti potong atas PPh Pasal 23, PPh Final dan PPh Pasal 26 dengan masa pajak Maret, dan disetorkan pada paling lambat tanggal 10 April 2013, serta dilaporkan paling lambat tanggal 20 April 2013.

Dividen Sebagai Objek PPh Pemotongan Pasal 26

Jika penghasilan dividen yang bersumber dari Indonesia diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri, maka atas penghasilan dividen tersebut wajib dipotong PPh Pasal 26 oleh fihak yang membayarkan. Besarnya tarif PPh Pasal 26 ini adalah 20% dari penghasilan bruto. Namun demikian, apabila penerima dividen ini adalah penduduk dari negara yang mempunyai perjanjian perpajakan dengan Indonesia, maka tarif yang dikenakan adalah tarif sesuai dengan tax treaty.

Maka berdasarkan contoh di atas apabila PT. Nusahati membayar dividen sejumlah Rp. 600.000.000,- kepada Nusaworld yang berada di Amerika, maka besarnya PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah misal 20% (sesuaikan tarif tax treaty Indonesia Amerika) dari Rp. 600.000.000,- atau sama dengan Rp. 120.000.000,-.

Hal ini sesuai kepemilikan saham Luar Negeri (Amerika) pada PT. Nusahati yang memberikan dividen sebanyak 20% sehingga  merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26.

Dividen Sebagai Objek PPh Final

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 telah mengatur bahwa atas dividen yang diterina oleh Wajib Pajak orang pribadi, dikenakan PPh Final dengan tarif maksimal 10%. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2c) ini diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor  111/PMK.03/2010.

Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% dari jumlah bruto dan bersifat final. Dengan demikian, Maka berdasarkan contoh di atas apabila PT. Nusahati membayar dividen sejumlah Rp. 900.000.000,- kepada Tuan Mario Pakpahan, maka besarnya PPh Final yang harus dipotong adalah 10% dari Rp. 900.000.000,- atau sama dengan Rp. 90.000.000,-.

Hal ini sesuai kepemilikan saham Mario Pakpahan pada PT. Nusahati yang memberikan dividen sebanyak 30% sehingga  merupakan objek pemotongan PPh Final. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen. Pemotongan dilakukan pada saat dividen disediakan untuk dibayarkan.

Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen wajib memberikan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang dipotong Pajak Penghasilan setiap melakukan pemotongan.

Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen wajib menyetor Pajak Penghasilan Final dengan menggunakan SSP ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan, dengan tanggal jatuh tempo penyetoran paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal tanggal jatuh tempo bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal batas akhir penyampaian bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Penyampaian laporan Pajak Penghasilan di atas dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2).