Tidak ada seorangpun diluar sana yang membantu, memberikan kontribusi yang baik, hanya setiap kita yang masih ingin berkarya dan ingin institusi ini besar yang dapat melakukannya (TDP).

Saat mengikuti workshop perpajakan disebuah hotel berbintang dikota Bandung baru-baru ini, saya dikejutkan dengan suatu pernyataan dari sesama peserta yang adalah Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan bertugas di Kantor Pusat. Dikatakan seperti ini, “Bang, saya malu dan tidak percaya diri, pangkat dan golongan saya Oktober 2013 ini adalah golongan III/d sementara saya tidak pernah bertugas dilapangan, selama ini hanya ikut pendidikan saja, dan saya menolak untuk dipromosikan menjadi kepala seksi karena memang saya masih kurang mengerti tentang praktek pajak dilapangan yang menjadi pekerjaan saya”.

Sebuah pernyataan yang anomali dan tidak pernah saya dengar sepanjang sejarah selama menjadi pegawai di jajaran Direktorat Jenderal Pajak entah di luar sana, justru di zaman ini berbondong-bondong pribadi memaksakan diri untuk menduduki suatu jabatan atau posisi tertentu.

Dalam suatu diskusi dengan salah seorang pejabat fungsional pemeriksa (Supervisor)  tentang kompetensi pejabat khususnya di institusi vital ini, ada suatu kemunduran yang sangat luar biasa karena memang tidak berjalannya suatu parameter kompetensi seseorang dalam menduduki jabatan eselon, berbeda dengan isu yang dihembuskan saat diberlakukannya reformasi. Bahkan terlalu kuatnya pengaruh-pengaruh dalam pola promosi dan penempatan. Hal ini nyata terlihat beberapa pejabat yang kami anggap memiliki integritas dan intelektual yang mumpuni  malah tersingkir.

Kantong Semar

Teringat saat mengikuti rakortas di kota Malang, salah seorang peserta yang dulu pernah sama-sama ditempatkan dan bertugas di Papua mengatakan pada saya, “pangkat dan golongan saya sudah mentok di IV/a sementara sudah hampir kali yang ke-8 saya mutasi sebagai pejabat esolan IV”, sepertinya saya pensiun dijabatan ini” suatu curahan hati yang menyedihkan dan menyakitkan. Hal ini mengingatkan pula saat saya ditugaskan untuk mendata suatu objek pajak tertentu di KPP Pratama dan pejabat eselon IV yang saya temui malah nglantur curcol sana sini persis seperti rekan di Rakortas itu, sepertinya saya ini adalah pegawai yang dapat mendengar curahan hati mereka dan dapat memberikan solusi.

Inilah hal penting yang tidak pernah dipahami oleh para penentu di institusi terpenting, selain tingkat remunerasi yang sudah jauh dari harapan. Saya memang tidak pernah menginventarisir maupun membuat matriks atau apapun itu, namun yang saya lihat dan rasakan terlalu cepat dan banyaknya SDM yang memiliki golongan dan kepangkatan yang tinggi dan sama dalam setiap generasinya. Hal ini diperparah saat dihentikannya sementara penerimaan mahasiswa STAN, yang menurut saya pola rekruitment dan kepangkatannya sangat baik dibandingkan penerimaan lain yang langsung menduduki pangkat dan golongan yang tinggi (III/a). Penerimaan sarjana sangat baik, disamping memberi harapan yang sama bagi setiap insan namun penentuan pangkat dan golongannyalah yang perlu disesuaikan misalnya ditempatkan dengan pangkat dan golongan II/d.

Gerbong Adalah Penentu

Pernah saya bertanya kepada seorang rekan kerja, kok bisa Kepala Kantor si anu dipindahkan ketempat yang menurut saya kurang pantas untuk pejabat sepintar itu, jawabanya singkat saja, “beliau salah pilih gerbong”! cetusnya.

Memang sejak awal saya menyadari, bahwa untuk institusi sepenting dan sevital ini, pasti sangat dipengaruh oleh hal-hal yang bersifat eksternal (invisible hand) dalam menentukan pejabat-pejabat yang menduduki posisi-posisi strategis, namun saya tidak percaya bahwa pejabat-pejabat yang diangkat tersebut bersifat sangat naif dan tidak perduli dengan institusi dimana dia menaruh harapan hidupnya.

Kerusakan Ditingkat Dasar

Pejabat eselon IV khususnya seksi pengawasan konsultasi dan Keberatan/Banding sangatlah vital, karena hal-hal yang sudah mentok ditingkat Account Representative (AR)  maupun Penelaahan Keberatan (PK) pasti meminta kawalan Kasi-nya jika wajib pajak yang bersangkutan masih tidak puas atas penjelasan seorang AR/PK, sebagai contoh yang penulis alami sebagai berikut : Wajib pajak (Direktur Keuangan dan Manajer Accounting) hadir menanggapi himbauan yang menurut saya simpel saja, yaitu Wajib Pajak tidak setuju membayar kekurangan PPh Pasal 25 untuk masa April, Mei dan Juni, karena wajib pajak baru memasukan SPT Tahunan (Status KB PPh 29) di masa Juli (tahun buku WP adalah Januari s,.d Desember). Wajib pajak tersebut menjelaskan kepada Kepala Seksi dengan bahasa seorang Direktur Keuangan, dan kesimpulannya Kepala Seksi yang sudah senior tersebut meminta maaf atas kelemahan pengetahuan AR nya?!

Hal tersebut tidak akan terjadi jika pengalaman, pengetahuan perpajakan, keinginan untuk berkembang/update sangatlah penting bagi seorang pejabat. Karena dia akan berharga dimata wajib pajak dan bawahannya. Demikian pula dengan eselon III (khususnya kepala Kantor di suatu KPP), saya sangat tidak setuju dengan suatu pernyataan seorang supervisor, bahwa seorang eselon III tidak perlu pintar-pintar banget karena dia dapat bekerja seperti air yang mengalir.

Demikian pula yang terjadi saat sebagai penelaah keberatan, ketika memanggil Pejabat Fungsional Pemeriksa yang menetapkan pajak yang menjadi sengketa, yang hadir hanya ketua tim, dan dia mengatakan memang untuk wajib pajak ini dialah yang mengerjakan dan memohon maaf jika Supervisor dan anggota lain tidak hadir. Saat dikonfirmasi sumber temuan wajib pajak dengan penelitian keberatan dengan simpel dia menjawab dan mengakui bahwa itu salah input tanpa pembuktian dengan mentrasir sampai dokumen dasar. Salah input dan mengakui tidak mentrasir sampai dokumen dasar, dasar pemeriksaan hanya mengambil dari General Ledger tokh pun double input!, bahkan mengabaikan sanggahan wajib pajak. Saya akui para Pejabat Fungsional Pemeriksa ditingkat Madya dan Khusus memiliki beban yang sangat banyak tapi tidak berarti profesional dan integritas ditinggalkan.

Baru-baru ini saya sempat merinding, ketika seorang rekan yang baru bekerja 4 (empat) tahun di insitusi tercinta ini dan baru bekerja di satu seksi sebagai pelaksana, curhat pada saya bahwa dia mendapat email dan akan diangkat menjadi Pejabat Fungsional Pemeriksa (rekan saya ini sekarang golongan III/b) dan dia mengatakan bahwa dia sudah tidak sabar menjadi Ketua Tim dan merasakan salary sebagai Pejabat Fungsional Pemeriksa… Komentar saya hanya satu…. jangan lupa mentraktir  saat menerima gaji Pejabat Fungsional Pemeriksa pertama kali  .

Membiakkan Anak Macan

Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel di portal internal kami, dengan judul memelihara anak macam, dalam tulisan itu dicontohkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak telah menyaring dan mengutus SDM nya untuk mengikuti pendidikan dengan memberikan  Beasiswa S2, maupun S3 di Luar negeri dan hasilnya menjadi seorang guru besar dalam sebuah universitas ternama, yang akhirnya memutuskan untuk keluar dari institusi yang membesarkannya menjadi konsultan dan atau menjadi pejabat di Pengadilan Pajak yang berujung mematahkan setiap argumen mantan rekan institusinya.

Inilah yang akan terus terjadi, selama pola dan system yang salah, yang tidak mampu menghargai dan melimitasi SDM dalam jajarannya.

Media  Dan Pengamat

Banyak kali penulis tersenyum, dengan gembar-gembornya media memberitakan hal-hal miring tentang Direktorat Jenderal Pajak mulai dari penyimpangan pegawai, aturan/kebijakan , remunerasinya selalu tidak luput dari pemberitaan negatif media, bahkan tidak jarang salah dalam memberikan gambaran karena memang kekurang-tahuan media, yang penting pesan tersampaikan bahwa DJP rusak. Ironinya DJP pun sering salah dalam memainkan strategi sehingga cenderung malah semakin masuk kejurang yang diinginkan media.

Muara pengamat dari dulu tetap sama, seperti halnya yang disampaikan kembali oleh Faisal Basri seorang pengamat ekonomi baru-baru ini yang menganjurkan agar DJP (Pajak) dan DJBC (Bea Cukai) dipisah dari Kementerian Keuangan dengan pesan sangat jelas agar ada kompensasi berbeda untuk mencegah penyimpangan oleh aparatnya, dan ini hanya tetap sebagai lullaby yang tiada arti, selalu demikian.

Kutipan diawal tulisan ini sangatlah tepat, seharusnya  yang berperan dan penentu di institusi itulah yang berinisiatif mengubah paradigma yang tidak beres, sehingga tercipta kebijakan tanpa adanya intervensi dengan motivasi yang tidak beres atas institusi untuk terciptanya  kemandirian bangsa.