Tak kuasa menolak request seorang pembaca setia nusahati agar penulis mau menuangkan hal-hal terkait  perpajakan bagi sebuah rumah sakit adalah niat awal penulis kali ini, dan semoga tulisan ini sedikitnya dapat mengobati rasa penasarannya :D.

Seperti kita ketahui Industri rumah sakit adalah industri yang padat karya dan padat modal. Padat karya ditandai dengan banyaknya tenaga kerja yang terlibat dalam aktivitas rumah sakit, padat modal bisa dilihat dari aktiva rumah sakit berupa peralatan medis yang nilainya sangat material dan juga persediaan obat dengan perputaran yang tinggi. Demikian pula unsur-unsur pendapatan sebuah rumah sakit tidak lah sedikit sangat bergantung dari  karakter rumah sakit dan kompleksitas operasi yang dijalankan. Hal itulah yang membuat penulis berhati-hati saat memproses permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25 yang diajukan wajib pajak saat penulis bertugas sebagai Account Representative beberapa tahun yang lampau. Hanya karena  rumah sakit swasta sedang dalam pemugaran untuk membangun ruangan-ruangan kelas istimewa, maka rumah sakit swasta ini merasa berhak untuk meminta pengurangan angsuran PPh Pasal 25, karena proses penelitian dalam rangka permohonan penurunan angsuran tersebutlah penulis melihat banyaknya peluang   penggalian potensi perpajakan saat itu.

Dengan bermodalkan pengalaman tersebut penulis mencoba menguraikan terkait hal-hal pemajakan dalam sebuah rumah sakit khusus swasta, adapun judul tulisan kali ini adalah “Sekilas Perpajakan Atas Rumah Sakit” dan semoga dapat bermanfaat, karena tulisan ini ditinjau dari sudut pandang seorang account representative dalam melihat kewajiban perpajakan untuk wajib pajak yang mengelola rumah sakit bukan berarti hal-hal seputar perpajakan dalam tulisan ini mewakili seluruh rumah sakit, karena sepantasnya yang lebih paham atas rumah sakit sepenuhnya adalah  Pengurus Pusat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).

Sebuah rumah sakit pada umumnya dapat dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Bagi rumah sakit Pemerintah tidak perlu melaporkan PPh 25 (SPT Masa) maupun PPh 29 (SPT Tahunan) karena rumah sakit pemerintah bukan merupakan subyek pajak. Adapun kategori sebagai rumah sakit pemerintah harus memenuhi hal-hal sebagai berikut yaitu :

  1. Dibentuk berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku,
  2. Dibiayai dengan dana yang bersumber APBN dan APBD,
  3. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran,
  4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara

Dengan demikian karena selain RSU/RSUD yang mendapatkan pembiayaan dari luar APBN/APBD atau tidak seluruh penerimaan dan pembiayaan tercatat dalam APBN/APBD, maka kewajiban menghitung pajak sendiri (PPh 25/29) disamakan dengan badan swasta lain.

Aspek Perpajakan Rumah Sakit Pemerintah Dan Non Pemerintah

a. Kewajiban PPh Pasal 25/29

Seperti kita ketahui bahwa Rumah sakit yang dimiliki oleh Pemerintah (RSU ataupun RSUD) didanai dari APBN dan APBD, maka rumah sakit tidak memiliki kewajiban PPh terhadap diri sendiri. Dengan kata lain, rumah sakit pemerintah tidak perlu melaporkan PPh 25 (SPT Masa) maupun PPh 29 (SPT Tahunan) karena bukan subyek pajak beda hal jika rumah sakit swasta sebagaimana objek penulisan kali ini yang tentu saja memiliki kewajiban PPh Pasal 25 dan untuk itulah wajib pajak mengajukan permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25.

b. Kewajiban PPh Pemotongan dan Pemungutan

Sama halnya baik rumah sakit pemerintah maupun swasta memiliki kewajiban sebagai pemungut pajak PPh pasal 21, 23, 26,dan pasal 4 ayat (2) berkaitan dengan aktivitas pembayaran gaji, honor, jasa, sewa, dll kepada karyawan dan pihak ketiga. Berkaitan dengan transaksi yang berhubungan dengan Pph 21 di rumah sakit disamping pengenaan PPh Pasal 21 atas karyawan non dokter dan dokter, terdapat ketentuan khusus bagi rumah sakit, yaitu : Tenaga dokter berdasar status hubungan kerja digolongkan menjadi:

  • Dokter yang menjabat sebagai pimpinan rumah sakit,
  • Doker sebagai pegawai tetap atau honorer rumah sakit,
  • Dokter tetap yaitu dokter yang mempunyai jadwal praktek tetap tetap bukan sebagai pegawai tetap rumah sakit,
  • Dokter tamu yaitu dokter yang merawat atau menitipkan pasiennya untuk dirawat di rumah sakit,
  • Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit untuk praktek,

Sedangkan terkait atas penghasilan yang diterima dokter dan pengenaan PPh nya dapat dibaca dalam tulisan terdahulu yang berjudul Sekilas Tentang Penghasilan Seorang Dokter, dimana penghasilan seorangdokter bersumber dari keuangan rumah sakit atau dari imbalan lain yang diterima oleh para dokter, dan penghasilan yang berasal dari pasien yang diterima oleh para dokter sebagaimana diberikan contoh dalam tulisan tersebut di atas.

 c. Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai

Berkaitan dengan transaksi penyerahan obat kepada pasien, rumah sakit juga berpotensi memiliki kewajiban memungut PPN (pajak pertambahan nilai) dan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No: SE-06/PJ.52/ 2000 tanggal 2 Maret 2000  tentang PPN Atas Penggantian Obat Di Rumah Sakit, ditegaskan bahwa instalasi farmasi (kamar obat) merupakan suatu tempat untuk mengadakan dan menyimpan obat-obatan, gas medik alat kesehatan serta bahan kimia yang bukan berdiri sendiri tetapi merupakan satuan organic yang tidak terpisah dari keseluruhan rumah sakit. Selanjutnya ditegaskan bahwa penyerahan obat-obatan yang dilakukan instalasi farmasi (kamar obat) tidak terutang PPN.

Dalam kenyataannya instalasi farmasi melayani rumah sakit yang terdiri dari pasien rawat inap, pasien rawat jalan dan pasien gawat darurat. Mengingat instalasi farmasi rumah sakit melakukan pelayanan kepada pasien rawat jalan sebagaimana lazimnya sebuah apotik, maka atas penyerahan obat-obatan oleh instalasi farmasi kepada pasien rawat jalan tetap terutang PPN, terkait bagaimana mekanisme pengkreditan karena terdapat yang terutang PPN dan tidak terutang PPN dijelaskan dalam PMK-78/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.

Karena tidak terdapat perbedaan perlakuan PPN antara apotek rawat jalan rumah sakit atau klinik dan pedagang eceran lainnya, maka Rumah Sakit sampai dengan satu tahun buku mempunyai jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak yaitu terbatas pada obat dan alat kesehatan kepada pasien rawat jalan tidak melebihi Rp. 600.000.000,- (batasan Pengusaha Kecil) maka rumah sakit tersebut tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Jenis Jenis Pendapatan Sebuah Rumah Sakit

Yang menjadi objek pajak adalah  semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh sebuah rumah sakit terdiri dari beberapa sumber, untuk itu  penulis mencoba membagi penghasilan yang diperoleh rumah sakit menjadi 2 (dua) jenis penghasilan yang meliputi :

a. Penghasilan dari Operasional Pelayanan Pasien

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan atau jasa, sehubungan dengan kategori penghasilan operasional pelayanan pasien dari sebuah rumah sakit diantaranya :

  1. Instalasi Rawat Inap, hal ini meliputi sewa kamar/ruangan di rumah sakit, poliklinik, pusat pelayanan kesehatan,
  2. Instalasi Farmasi, hal ini meluputi  diantaranya uang pendaftaran untuk pelayanan kesehatan,  dan penghasilan dari penjualan obat
  3. Instalasi Rawat Jalan, hal ini meliputi Penghasilan dari perawatan kesehatan seperti uang pemeriksaan dokter, operasi, rontgen, scanning, pemeriksaan laboratorium, dll
  4. Instalasi Penunjang Medik, meliputi uang pemeriksaan kesehatan termasuk general check up, Senam Hamil dan Pijat Bayi.
  5. Instalasi Gawat Darurat.

b. Penghasilan dari Operasional Lainnya

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan atau jasa, sehubungan dengan kategori penghasilan operasional lainnya dari sebuah rumah sakit diantaranya :

  1. Pembagian keuntungan dari kerjasama usaha, yang meliputi diskon dari supplier yang dibutuhkan oleh rumah sakit, Telepon. Listrik, Parkir
  2. Pemakaian ruangan, yang meliputi  penghasilan dari penyewaan alat kesehatan (Sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta) dan lain-lain.
  3. Bunga deposito, bunga obligasi, diskontto SBI dan bunga lainnya
  4. dan lain-lain

 

Loading……….

 

Dasar Hukum

  1.  KMK-604/KMK. 04/1994 Tentang Badan Badan Dan Pengusaha Kecil Yang Menerima Harta Hibahan Yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan
  2. SE-34/PJ.4/1995 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Yayasan Atau Organisasi Yang Sejenis.
  3. SE-06/PJ.52/ 2000 tanggal 2 Maret 2000  tentang PPN Atas Penggantian Obat Di Rumah Sakit.
  4. PMK-78/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak