Tentang berapa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tahun 2013 dapat dibaca dalam tulisan terdahulu yang berjudul “Penyesuaian PTKP 2013“. Dalam tulisan ini penulis mencoba menuangkan kembali tatacara penghitungan PPh Pasal 21 yang tentu saja sedkit besarnya mengalami beberapa perubahan. Perubahan tersebut diatur dalam ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. Penghitungan PPh Pasal 21 menurut ketentuan tersebut, dibedakan menjadi 5 macam cara penghitungan, yaitu :

  1. PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala;
  2. PPh pasal 21 untuk pegawai  tidak tetap atau tenaga kerja lepas;
  3. PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, mantan pegawai yang menerima Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun.
  4. PPh pasal 21 bagi Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Bukan Pegawai
  5. PPh Pasal 21  bagi Peserta Kegiatan

1. PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala

Untuk penyederhanaan dalam penghitungan PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, penulis membagi dalam beberapa tahapan salah satunya adalah memahami  unsur penambah dan pengurang penghasilan bruto karyawan sebagai pegawai tetap, adapun tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap, terlebih dahulu dihitung seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya.
  2. Untuk perusahaan yang masuk program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JK) dan premi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai.
  3. Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua, dan/atau iuran Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada Badan Penyelenggara Program Jamsostek.
  4. Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah penghasilan neto sebulan dikalikan 12.
  5. Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari, maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan penghasilan neto sebulan dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan Desember.
  6. Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, yaitu sebesar Penghasilan neto setahun pada poin 1 atau 2 di atas, dikurangi dengan PTKP.
  7. Setelah diperoleh PPh terutang dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh terhadap Penghasilan Kena Pajak, selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke kas negara, yaitu sebesar: a). Jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan dibagi dengan 12; atau b). Jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada poin 5 dibagi banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada poin 5.
  8. Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji sebulan, maka untuk penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut:  a). Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4;       b). Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26. Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 sebulan, Pasal 21 sebulan dibagi 4, sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf b dibagi 26.
  9. Jika kepada pegawai di samping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaikan gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima) bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas rapel tersebut adalah sebagai berikut :  a). rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel tersebut. b). hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya kenaikan gaji, yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21; c). PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan; d). PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud adalah selisih antara jumlah pajak yang dihitung berdasarkan huruf c dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana disebut pada huruf b.

Contoh  : Gaji Bulanan Pegawai Tetap

Remapra pegawai pada perusahaan PT Nusa Hati, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp 3.000.000,00. PT Nusa Hati mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Nusa Hati menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Remapra membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Nusa Hati juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Nusa Hati membayar iuran pensiun untuk Remapra ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Remapra membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Remapra hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:

Gaji                                                                                             Rp     3.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja                                        Rp          15.000,00
Premi Jaminan Kematian                                                      Rp            9.000,00
                                                                                                         ———————
Penghasilan bruto                                                                  Rp    3.024.000,00
Pengurangan
1.Biaya jabatan 5% x Rp3.024.000,00        Rp   151.200,00
2.luran Pensiun                                                 Rp     50.000,00
3.luran Jaminan Hari Tua                             Rp     60.000,00
Total Pengurang                                                                        Rp      261.200,00
 
Penghasilan neto sebulan                                                       Rp   2.762.800,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp2.762.800,00                                                             Rp    33.153.600,00
PTKP
-untuk WP sendiri                     Rp   24.300.000,00
-tambahan karena menikah   Rp     2.025.000,00
                                                           ———————-
                                                                                                      Rp   26.325.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun                                            Rp     6.828.600,00
Pembulatan                                                                                 Rp     6.828.000,00
PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp6.828.000,00  =                Rp        341.400,00
PPh Pasal 21 bulan Juli Rp341.400,00 : 12     =                     Rp         28.450,00

 

Dari contoh tersebut di atas disebutkan  PT Nusa Hati menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji,  PT Nusa Hati membayar Iuran JHT namun tidak sebagai penambah penghasilan bagi Remapra, hal ini sesuai dengan Pasal 8  ayat (1)c dikatakan bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah  iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja; sehingga karena Iuran THT dan atau JHT yang ditanggung atau dibayarkan oleh perusahaan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan sehingga tidak dikenakan PPh Pasal 21.

Terdapat 2 (dua) jenis yang ditanggung perusahaan yang memiliki implikasi berbeda terhadap penghasilan bruto karyawan, yaitu :

  1. Bagi Perusahaan yang ikut program Jamsostek (sejenisnya) dan menanggung premi (JKK, JK, JPK), maka hal ini akan menambah penghasilan bruto karyawan. Jumlah persentase tertentu yang ditanggung perusahaan tersebut dapat dibiayakan hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf d dijelaskan demikian  Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Hal ini menjelaskan bahwa penghasilan yang diterima karyawan dan disisihkan ke perusahaan asuransi sudah dikenakan pajak sebelum diberikan ke perusahaan asuransi sehingga saat kembali dari perusahaan asuransi (diterima manfaat asuransi) maka tidak boleh dikenakan pajak lagi.
  2. Bagi Karyawan yang membayar iuran Jaminan Hari Tua atau iuran Tunjangan Hari tua (dipotong dari gaji) sepanjang Perusahaannya ikut program pensiun atau Badan Penyelenggara Program Jamsostek (Dana Pensiun yang disahkan oleh menteri keuangan), maka atas jumlah tertentu tersebut dapat sebagai unsur yang mengurangi penghasilan bruto sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 21. Pengenaan pajak atas iuran JHT ini akan dilakukan pada saat wajib pajak bersangkutan pensiun dan dilakukan pencairan dana pensiun.

2. PPh pasal 21 untuk pegawai  tidak tetap atau tenaga kerja lepas

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh) atas Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian atau Mingguan, adalah :

  1. Menentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari:  a). upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;  b). upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;  c). upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan.
  2. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp200.000,00, dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp2.025.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong.
  3. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp200.000,00, dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp2.025.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp200.000,00, dikalikan 5%.
  4. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi Rp2.025.000,00 dan kurang dari Rp7.000.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
  5. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp7.000.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.

Contoh Upah  Tenaga Harian Dibayar Bulanan

Pramudya bekerja pada perusahaan jasa dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2013 Pramudya hanya bekerja 20 hari kerja dan upah sehari adalah Rp150.000,00. Pramudya menikah tetapi belum memiliki anak.

Penghitungan PPh Pasal 21

Upah Januari  2013 = 20 x Rp150.000,00                            =   Rp     3.000.000,00
Penghasilan neto setahun = 12 x Rp3.000.000,00             =   Rp  36.000.000,00
PTKP (K/-) adalah sebesar
-Untuk WP sendiri    Rp  24.300.000,00
-tambahan karena menikah   Rp     2.025.000,00
Total PTKP                                                                                 =    Rp   26.325.000,00
Penghasilan Kena Pajak                                                        =    Rp     9.675.000,00
PPh Pasal 21 setahun adalah sebesar:
5% x Rp 9.675.000,00                                                            =   Rp       483.750,00
 
PPh Pasal 21 sebulan adalah sebesar:
Rp483.750,00 : 12                                                                   = Rp40.312,00
 


3. PPh Pasal 21 Bagi Anggota Dewan pengawas Atau Dewan Komisaris Yang Tidak Merangkap Sebagai Pegawai Tetap, Mantan Pegawai Yang Menerima Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus Atau Imbalan Lain Yang Bersifat Tidak teratur, Dan Peserta Program Pensiun Yang Masih Berstatus Sebagi Pegawai Yang Menarik Dana Pensiun

Untuk memudahkan dalam pemahaman terkait penghitungan PPh Pasal 21 atas poin 3 ini maka penerima penghasilan dibedakan menjadi :

  1. Dewan Pengawas/Komisaris Non Pegawai tetap, yang menerima honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun kalender.
  2. Mantan Pegawai, yang menerima jasa produksi , tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur maka PPh Pasal 21 dihitung dengan cara menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun kalender.
  3. Peserta Program Pensiun Yang Masih Berstatus Pegawai, yang menerima dari penarikan dana pensiun maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari kumulatif jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan selama 1 (satu) tahun kalender.

Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium komisaris yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap.

Reyhan AP adalah seorang komisaris di PT Nusa Hati, yang bukan sebagai pegawai tetap. Dalam tahun 2013, yaitu bulan Desember 2013 menerima honorarium sebesar Rp 60.000.000,00

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
  5% x Rp50.000.000,00   = Rp  2.500.000,00
15% x Rp10.000.000,00   = Rp  1.500.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong      Rp               4.000.000,00

Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada yang bersangkutan lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.

Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan kepada mantan pegawai.

Yulia bekerja pada PT Nusa Games. Pada tanggal 1 Januari 2013 telah berhenti bekerja pada PT Nusa Games karena pensiun. Pada bulan Maret 2013, Yulia menerima jasa produksi tahun 2012 dari PT Nusa Games sebesar Rp55.000.000,00.

 PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
    5% x Rp50.000.000,00   = Rp  2.500.000,00
  15% x Rp  5.000.000,00   = Rp       750.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong  = Rp   3.250.000,00

Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada mantan pegawai lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.

 

4. PPh pasal 21 bagi Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Bukan Pegawai

Definisi penerima penghasilan bukan pegawai  sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka (12) Per-31/PJ/2012 adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan. Dalam Pasal 3 huruf c ketentuan tersebut dijelaskan bahwa Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa. Pemberian jasa tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu tenaga ahli dan bukan tenaga ahli dengan syarat mereka bukan termasuk di dalam struktur kepegawaian, dengan ulasan sebagai berikut :

  1. Tenaga ahli yang terdiri dari : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. Bukan tenaga ahli yang meliputi; pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya; olahragawan, penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; dll
Contoh :
Evan Dimas melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT Cahaya Kurnia dengan fee sebesar Rp5.000,000,00. Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:
5% x 50% Rp5.000.000,00 = Rp125.000,00
Dalam hal Evan Dimas tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar:
120% x 5% x 50% Rp5.000.000,00 = Rp150.000,00

loading…..