Saat berlalunya bulan Juli 2013 dan sampai dengan hari ini, istriku tidak bosan dan selalu bertanya kenapa tahun ini tidak menerima Tunjangan (THR) seperti  yang terjadi 3 (tiga) tahun terakhir. Dan jawaban saya tetap sama, yah… mungkin karena menterinya udah ganti, dan masing-masing menteri memiliki kebijakan yang berbeda…itu hal biasa dik, gumanku. Karena sang istri adalah menejer dan selaku pengelola keuangan tentu tidak bisa menerima hal-hal yang tidak masuk akal seperti itu, terlebih dia telah menjurnal menjadi piutang dalam laporan penerimaan dan belanjanya :).

Namun disela-sela pekerjaan yang semakin menumpuk, kepikiran juga kata-kata istri tercinta yang tidak hilang dan terngiang-ngiang, apakah benar demikian? apakah benar karena adanya pergantian Menteri? atau adakah hal lain mengingat sudah sejak 10 (Sepuluh) tahun reformasi pajak belum ada peningkatan gaji maupun tunjangan yang signifikan akibat selalu didahului oleh peningkatan harga dan barang.

Saya memang tidak pernah menanyakan kepihak yang berwenang dan kompeten atas tidak diberikannya tunjangan (THR) tahun ini, namun selentingan yang saya dengar karena penerimaan pajak “Merah” artinya jauh dari ekspektasi yang dicanangkan. Saya tertegun!, ada secercah harapan dan gejolak yang lama tertanam di dalam hati tentang harapan kemandirian Direktorat Jenderal Pajak dalam mengelola penerimaan negara. Artinya bagaimana supaya tidak “Merah” sehingga tunjangan dapat diberikan dan meningkat setiap tahunnya, yaitu dengan mengatur strategi sebebas-bebasnya kepada Direktorat Jenderal Pajak. Hal pertama dari kemandirian tersebut adalah dengan keluar dari Kementerian Keuangan, misalnya menjadi Badan Penerimaan Pajak sehingga tidak adalagi keterbatasan dalam meningkatkan dan mengamankan penerimaan negara.

Pertanyaan pembaca pasti adalah, apa sih keterbatasan yang dirasakan jika Direktorat Jenderal Pajak masih dalam posisi sekarang, ada beberapa permasalahan jika masih tetap seperti ini, diantaranya  adalah :

  1. Keterbatasan anggaran yang disediakan bagi Direktorat Jenderal Pajak, Seperti diketahui bahwa sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 anggaran yang disediakan untuk Direktorat jenderal Pajak menunjukkan trend menurun. Tercatat anggaran Ditjen Pajak tahun 2009 sebesar Rp 5,3 triliun turun menjadi Rp 4,9 triliun dalam APBN-P 2013 ini. Sementara, target penerimaan pajak terus dinaikkan. Jika saja penentu kebijakan mau membuka mata, sebagai catatan bahwa perbandingan dengan Jepang yang tax cost collection ratio-nya 1,4% atau setiap 100 yen pajak yang dikumpulkan dibutuhkan biaya 1,4 yen. Juga, kriteria yang ditetapakan standar Internasional yaitu tax collection ratio 1% atau setiap 100 rupiah pajak yang yang dikumpulkan, maka biaya yang masih diperkenankan sebesar 1 rupiah. Kemungkinan alasan yang paling tepat, hal inilah yang menyebabkan kenapa tunjangan yang rutin diberikan untuk tahun 2013 ini ditiadakan.
  2. Keterbatasan  melakukan rekruitmen pegawai karena harus menunggu persetujuan dari kementerian terkait, Bukti tercatat bahwa realisasi penerimaan pajak sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2012 telah meningkat lebih dari dua kali lipat.  Sementara itu, jumlah Wajib Pajak terdaftar juga bertambah banyak, dari 15 juta lebih ditahun 2009 menjadi sekitar 24,8 juta di Tahun 2012. Ironisnya peningkatan ini tak diimbangi oleh penambahan jumlah pegawai yang signifikan dari Tahun 2006 sampai dengan 2012. Jumlah pegawai tahun 2006 berjumlah 30.196 pegawai dan pada tahun 2012 jumlahnya hampir tetap yaitu 31.408. Malah dibandingkan dengan tahun 2011, jumlah pegawai menurun dari berjumlah 31.733 pegawai menjadi 31.408 pegawai di tahun 2012.
  3. Keterbatasan dalam melakukan kreasi untuk meningkatkan sektor penerimaan pajak, sering kita dengar bahwa beberapa peraturan Menteri Keuangan sering kali berbenturan dengan target penerimaan dari pajak yang ditetapkan. Bahkan beberapa peraturan dikeluarkan justru akan menghilangkan kemampuan penerimaan pajak dari jenis pajak tertentu tanpa adanya nilai lebih dari kebijakan aturan baru tersebut.
  4. Keterbatasan lainnya

hal tersebut di atas adalah beberapa pemikiran kenapa Direktorat Jenderal Pajak harus keluar dari Kementerian Keuangan dan berganti misalnya menjadi Badan Penerimaan Pajak  karena disamping hal tersebut di atas agar Badan Penerimaan Negara (nantinya) dapat secara fleksibel  dan responsif terhadap perubahan situasi ekonomi.

Dan hal yang penting dari semua itu, istriku tidak lagi mempertanyakan adanya penerimaan rutin yang terhenti akibat dari kekerdilan pemikiran oleh penentu kebijakan di atas sana. Dan semoga wacana keluarnya Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan atau setidaknya diberikannya otonomi khusus bagi Direktorat Jenderal Pajak dalam mengamankan penerimaan agar tidak “Merah” sehingga tidak adal alasan terhalangnya hal yang menjadi hak pegawai yang seharusnya diberikan. Akhirnya yang dapat saya katakan kepada istriku tercinta adalah dengan mengatakan…. Istriku bersabarlah sedikit lagi…