Salah seorang rekan kerja sesama Penelaah Keberatan bertanya tentang perlakuan perpajakan atas jasa angkutan, khususnya seputar pengenaan PPh Pasal 23 atas jasa angkutan, hal ini sehubungan dengan sengketa Wajib Pajak atas koreksi yang dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa. Dalam kasus ini perusahaan mengeluarkan biaya angkutan sementara  perusahaan memiliki armada sendiri disamping sekaligus menggunakan jasa angkutan lain, adapun terkait angkutan tersebut dibagi menjadi :

  • Menggunakan angkutan sendiri (perusahaan memiliki armada sendiri untuk menunjang perusahaannya).
  • Mengganti semua biaya-biaya angkutan yang dikeluarkan oleh pembeli terkait penjualan barang (Reimbursement).
  • Menggunakan jasa sewa  angkutan darat dalam mengirimkan barang kepada pembeli .

berdasarkan kondisi-kondisi di atas penulis mencoba menelaah konsekuensi pembiayaan khususnya tentang efek perpajakannya dengan judul tulisan kali ini adalah “Sekilas Tentang Perpajakan Atas Jasa Angkutan”, tulisan ini adalah interprestasi penulis sendiri sebagai pembelajaran dan kiranya bermanfaat, terbuka ruang untuk saling melengkapi melalui komentar pembaca.

PPh Pasal 23 Atas  Jasa Angkutan

Dalam pasal 23 UU Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan dikatakan bahwa setiap penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2 % dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).

Sebelum diterbitkannya PER-70/PJ/2007  tentang jenis jasa lain, khusus tentang persewaan alat angkutan darat diatur dalam SE- 08/PJ.313/1995 bahwasanya yang termasuk sebagai sewa alat angkutan darat dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah :

  • Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang disewa atau dicharter untuk jangka waktu tertentu baik secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : 50/PJ./1994 tanggal 27 Desember 1994, misalnya untuk antar jemput karyawan suatu perusahaan atau antar jemput anak sekolah suatu Yayasan atau untuk kepentingan lainnya, sehingga mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat lagi menumpang kendaraan umum yang bersangkutan.
  • Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata dan milik orang pribadi yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewakan kepada Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23.
  • Sewa kendaraan berupa truck, mobil derek, taksi milik perusahaan/orang pribadi tersebut  yang disewa atau charter oleh suatu perusahaan angkutan untuk keperluan operasi usaha angkutan darat atau untuk keperluan lain.

Berkaca pada  Pasal 1 ayat 1 Per-70/PJ/2007 juga diatur bahwa “atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang dibayarkan badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong PPh sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto oleh pihak yang membayar.

Adapun perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang dijelaskan dalam lampiran aturan tersebut yaitu :

  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis, perkiraan penghasilan netonya adalah 10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, selain kendaraan angkutan darat, untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, perkiraan penghasilan netonya adalah 30% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.

Adapun pengertian Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat, dalam ketentuan ini adalah :

  • Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23;
  • Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis kepada Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23;
  • Sewa kendaraan berupa milik perusahaan yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis kepada Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23

Perjanjian tertulis maupun tidak tertulis adalah kesepakatan untuk mengikatkan diri pada satu atau lebih pihak lain yang dituangkan secara tertulis maupun lisan.

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa yang menjadi pedoman atau standar atau acuan dalam menetapkan apakah jasa angkutan umum di darat dikenakan PPh Pasal 23 adalah “untuk jangka waktu tertentu seperti jam-jaman, harian, mingguan, bulanan, atau bahkan tahunan” sedangkan adanya perjanjian tertulis tidak menjadi pedoman atau standar. Sehingga apabila penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta atas jasa angkutan khususnya di darat berdasarkan charter sesuai tarif argometer dan banyaknya volume barang atau berat barang atau jarak tempat tujuan adalah bukan objek pemotongan PPh Pasal 23.

Penegasan tersebut diatas dipejelas dalam Surat Edaran (SE) Nomor SE-35/PJ/2010 tanggal 9 Maret 2010, yang dimaksud dengan kata “sewa” adalah penghasilan atau imbalan sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu, baik dengan perjanjian tertulis maupun lisan, sehingga harta tersebut hanya digunakan oleh penerima hak (penyewa) selama jangka waktu yang telah disepakati. Penjelasan ini diharapkan dapat menghilangkan perdebatan yang selama ini sering terjadi, misalnya dalam soal sewa gudang dengan jasa penitipan/penyimpanan, jasa angkutan umum kendaraan dengan sewa (charter) kendaraan, dan beberapa transaksi sejenis.

Tarif PPh Pasal 23 atas sewa harta ditetapkan sebesar 2% dengan ketentuan jika si penerima imbalan sewa tidak memiliki NPWP, maka tarifnya dinaikkan menjadi 4% [Pasal 23 ayat (1a) UU PPh].  Sedangkan yang menjadi DPP adalah jumlah bruto sewa, dalam bentuk apapun (barang atau uang). Dengan demikian, PPh Pasal 23 atas sewa harta dihitung = 2% (atau 4%) dikalikan dengan jumlah bruto imbalan sewa.

Perlu dijelaskan tentang perbedaan tarif, dimana UU No 36 Pasal 23  disebutkan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengunaan harta dengan tarif 2% dari bruto, sementara di dalam PER 70/PJ/2007  disebutkan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan tarif 1,5% (atas penghitungan 15% x 10 %/dasar pengenaan pajak) hal ini  bahwa PER-70/2007 merujuk UU PPh lama, dengan demikian masih tetap berlaku sepanjang menyangkut transaksi sampai dengan 31-12-2008. Dan untuk transaksi mulai 1-1-2009 dst tatacara penghitungan PPh Ps 23 merujuk UU PPh baru Jo. PMK-244/2008.

Pajak Pertambahan Nilai Atas Jasa Angkutan

Berdasarkan Pasal 4A Ayat (3) huruf j Undang-undang PPN 1984, salah satu jenis jasa yang tidak dikenai PPN  adalah jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.

Penjelasan mengenai jasa angkutan umum di darat yang tidak dikenai PPN diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2006, dan terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2012 tanggal 29 Mei 2012.

Pasal 2 ketentuan tersebut menyatakan bahwa  atas penyerahan jasa Angkutan Umum di darat dan di air tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Adapun Penyerahan jasa Angkutan Umum di darat terdiri dari dua jenis yaitu :

  • penyerahan jasa Angkutan Umum di jalan dengan menggunakan Kendaraan Angkutan Umum dan
  • penyerahan jasa Angkutan Kereta Api.

Dengan demikian penyerahan jasa angkutan umum di jalan tidak dikenai PPN jika menggunakan Kendaraan Angkutan Umum. Adapun pengertian dan batasan Kendaraan Angkutan Umum diatur dalam Pasal 1 ketentuan di atas, Kendaraan Angkutan Umum adalah kendaraan bermotor yang dipergunakan untuk kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, dengan menggunakan tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan hitam.

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa, jasa angkutan umum di jalan yang tidak dikenai PPN adalah jasa angkutan umum yang menggunakan kendaraan bermotor dengan tanda nomor kendaraan berpelat kuning dan tulisan hitam di atasnya. Hal ini berarti  jika jasa angkutan umum yang dilakukan tidak menggunakan pelat kuning, maka jasa angkutan umum di jalan tetap dikenai PPN.

Kesimpulan

Melihat kasus diatas dimana perusahaan sekaligus menggunakan 3 (tiga) tipikal angkutan dalam menjalankan bisnisnya, penulis menyimpulkan sebagai berikut :

a.  Armada Angkutan Dimiliki Sendiri

Semua biaya yang dikeluarkan tentu dapat dibiayakan sepanjang dapat dibuktikan dengan dokumen pendukung serta dalam rangka untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UU PPh. Dan atas biaya tersebut tidak mengandung unsur perpajakan baik PPh Pasal 23 maupun Pajak Pertambahan Nilai.

b. Penggantian Biaya Angkutan

Adakalanya perusahaan tidak menyediakan angkutan dan menyerahkan kepada pembeli namun sebagai pihak penjual akan mengembalikan biaya angkutan yang dikeluarkan oleh pembeli. Sepanjang bukti atau dokumen atas biaya-biaya yang ditalangi terkait biaya pengangkutan mengatasnamakan si penjual maka terbebas dari unsur pemungutan dan pemotongan pajak yaitu PPN dan PPh Pasal 23. Berbeda hal apabila atas bukti atau dokumen atas biaya-biaya tersebut atas nama pembeli, terkait hal ini pembaca dapat membuka kembali catatan yang pernah penulis tulis dalam “Sekilas Tentang PPN Atas Reimbursement Cost“.

c. Menggunakan Jasa Angkutan

Dalam hal ini perusahaan penjual menggunakan Jasa Angkutan dengan cara menyewa kendaraan angkutan misalkan truk. Sesuai perjanjian bahwa biaya sewa truk dihitung berdasarkan jumlah barang yang akan diangkut/dipindahkan dan proses pengangkutan/perpindahan dilakukan dalam waktu 2(dua) hari. Maka atas kasus ini sesuai dengan surat penegasan SE-35/PJ/2010 dikatakan bahwa pengertian sewa yang terutang PPh Pasal 23 adalah atas penghasilan atau imbalan sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu.