Dalam beberapa penanganan atas Surat Keberatan wajib pajak yang saya tangani, terdapat beberapa kasus sengketa dimana wajib pajak mengajukan keberatan karena atas pembayaran pajak akibat pembetulan SPT (saat sedang dilakukan proses pemeriksaan) yang dilakukan oleh wajib pajak tetap tidak diakui oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak Republik Indonesia. Pertanyaan wajib pajak, kenapa wajib pajak tidak diberitahu jika sedang dilakukan pemeriksaan wajib pajak tidak boleh melakukan pembetulan?

Dibawah ini coba dijelaskan perbedaan pengertian tentang pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Pasal 8 ayat (1) KUP dengan pengungkapkan ketidakbenaran menurut Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (4) KUP.

Pengertian Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Pasal 8 ayat (1) KUP

Sebagai yang berkecimpung di dunia perpajakan di Indonesia tentu mengetahui Ketentuan terkait hak wajib pajak untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) diatur dalam pasal 8 UU KUP.  Dalam pasal 8 ayat 1 UU KUP mengatakan, “Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur  Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan”; Dalam ayat selanjutnya yaitu pasal 8 ayat (1a) dikatakan, “ Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan”.

Dari kedua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sepanjang belum dilakukan tindakan pemeriksaan wajib pajak diberikan hak untuk melakukan pembetulan SPT tanpa terikat waktu,  kecuali untuk pembetulan yang menyatakan  rugi atau lebih bayar dibatasi paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. Pada penjelasan Pasal 8 ayat 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud “mulai melakukan tindakan pemeriksaan” adalah  pada saat surat pemberitahuan pemeriksaan pajak disampaikan kepada wajib pajak, wakil, kuasa, pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak, sedangkan pada ayat (1a) dijelaskan bahwa daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak.

Atau dengan bahasa sederhana ditegaskan bahwa wajib pajak dapat membetulkan SPT  apa saja sepanjang wajib pajak belum menerima surat pemberitahuan pemeriksaan pajak, kecuali pembetulan yang menyatakan  rugi atau lebih bayar  dibatasi paling lama 3 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak.

Apabila dalam hal pembetulan SPT wajib pajak mengakibatkan hutang pajak lebih besar, wajib pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan yang dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, bagian dari bulan dihitung satu bulan. (Pasal 8 ayat 2). Sanksi bunga ini akan ditagih kepada wajib pajak melalui penerbitan STP (Surat Tagihan Pajak) sesuai dengan pasal 14 ayat 1 huruf c.

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, Kenapa wajib pajak tidak boleh melakukan pembetulan SPT pada saat wajib pajak sedang dilakukan pemeriksaan? “Dibenerin kok nggak boleh,” begitulah guman wajib pajak.

Sebenarnya walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, Wajib Pajak masih diberi hak untuk membetulkan SPT sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (4) UU KUP, namun istilahnya bukan pembetulan SPT melainkan mengungkapkan ketidakbenaran.

Hal ini karena Undang-undang KUP tidak menggunakan istilah pembetulan SPT dalam pasal 8 ayat (3) dan ayat (4), istilah yang digunakan adalah “ mengungkapkan ketidakbenaran.” Istilah pembetulan SPT hanya digunakan pada Pasal 8 ayat 1. Walaupun demikian, banyak orang yang menggunakan istilah  “pembetulan SPT ” untuk kondisi pada pasal 8 ayat (4) UU KUP; Penggunaan istilah “pembetulan SPT” kurang tepat, untuk selanjutnya istilah  pengungkapan ketidakbenaran yang akan digunakan. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT merupakan salah satu hak wajib pajak yang dijamin oleh Undang-undang yaitu pada pasal 8 ayat 3 dan pasal 8 ayat 4 UU KUP.

Pengertian Pengungkapan Ketidakbenaran Pasal 8 ayat (3) KUP

Pasal 8 ayat (3) UU KUP berbunyi: “walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakuan wajib pajak sebgaimana dimaksud dalam pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan wajib pajak tersebut tidak akan dilakukan  penyidikan, apabila wajib pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% dari jumlah pajak yang kurang dibayar”. Selanjutnya jika kita lihat peraturan pelaksanaan Pasal 8 ayat 3 UU KUP yaitu pasal 7 Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan yaitu:

  1. Wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan  tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu: a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar;  sepanjang mulai penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
  2. Pernyataan tertulis harus ditandatangani oleh wajib pajak dan dilampiri dengan: a. perhitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terhutang dalam format Surat pemberitahuan, b. Surat Setoran Pajak (SSP) sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak, c. SSP sebagai bukti sanksi administrasi berupa denda sebesar 150%.
  3. Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan wajib pajak di atas telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap wajib pajak  tidak dilakukan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan,
  4. Apabila setelah wajib pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan  masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap wajib pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan,
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan ketidakbenaran oleh wajib pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Dari uraian di atas, ada beberapa poin penting yang dapat disimpulkan terkait pengungkapan ketidakbenaran berdasarkan pasal 8 ayat 3 UU KUP dan peraturan pelaksanaannya, yaitu: 

  1. Pengungkapan ketidakbenaran berdasarkan pasal 8 ayat (3) merupakan fasilitas yang dapat digunakan oleh wajib pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan (pemeriksaan bukti permulaan merupakan pemeriksaan untuk menyelidiki apakah benar telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan) agar tidak dilakukan penyidikan tindak pidana,
  2. Pengungkapan ketidakbenaran dilakukan dengan  menyampaikan pernyataan tertulis yang dilampiri dengan perhitungan pajak yang sebenarnya terhutang  dalam format Surat Pemberitahuan, beserta SSP pembayaran kekurangan pajak yang sebenarnya terhutang dan SSP  pembayaran sanksi denda 150%
  3. Perlu dicatat bahwa terdapat dua SSP yang digunakan dalam rangka pengungkapan ketidakbenaran berdasarkan pasal 8 ayat 3. SSP pertama merupakan pembayaran atas kekurangan jumlah pajak yang sebenarnya terhutang dan yang kedua SSP pembayaran sanksi denda sebesar 150% yang sudah harus dilunasi oleh wajib pajak sebelum pengungkapan ketidakbenaran berdasarkan pasal 8 ayat (3) disampaikan.

Pengertian

Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan (Surat Perintah Pemeriksaan Pajak telah disampaikan kepada wajib pajak), dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), wajib pajak diberi kesempatan untuk mengungkapkan sendiri ketidakbenaran pengisian SPT dalam laporan tersendiri yang dapat mengakibatkan:

  1. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil,
  2. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar
  3. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil,
  4. Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil.

Walaupun wajib pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan. Pajak yang kurang dibayar sebagai akibat pengungkapan ketidakbenaran Pasal 8 ayat 4 beserta sanksi administrasi kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang dibayar harus dilunasi terlebih dahulu sebelum laporan tersendiri disampaikan. Dalam Pasal 8 PP-74/2011 disebutkan bahwa:

  1. Wajib pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 4 UU KUP, sepanjang pemeriksa pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).
  2. Laporan tersendiri secara tertulis tersebut harus ditandatangani oleh wajib pajak dan dilampiri dengan: a) Perhitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan, b) SSP atas pelunasan pajak yang kurang dibayar, c) SSP atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50%
  3. Untuk membuktikan pengungkapan ketidakbenaran maka pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil pemeriksaan tsb diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok pajak yang telah dibayar.

Dari uraian ketentuan diatas, dapat disimpulkan bahwa:

  • Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang KUP memberikan pilihan bagi wajib pajak untuk mengungkapkan sendiri ketidakbenaran pengisian SPT sebelum proses pemeriksaan pajak selesai (sebelum Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) disampaikan),
  • Pengungkapan ketidakbenaran sesuai Pasal 8 ayat 4 ini mengakibatkan adanya sanksi administrasi berupa kenaikan 50% dari pajak yang belum dibayar,
  • Laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT dilampiri dengan perhitungan pajak yang kurang dibayar dalam bentuk SPT, SSP pelunasan pajak yang kurang dibayar dan SSP atas pembayaran sanksi administrasi. Kekurangan pembayaran pajak dan sanksi administrasi harus dilunasi sebelum laporan tersendiri disampaikan.

Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT berdasarkan pasal 8 ayat 3 KUP berbeda dengan pengungkapan ketidakbenaran berdasarkan pasal 8 ayat 4 KUP. Pengungkapan ketidakbenaran Pasal 8 ayat (3) merupakan fasilitas yang dapat diambil oleh wajib pajak jika sedang diperiksa dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan, sedangkan pengungkapan ketidakbenaran berdasarkan pasal 8 ayat (4) merupakan fasilitas yang dapat digunakan oleh wajib pajak yang sedang diperiksa (selain pemeriksaan bukti permulaan) dalam mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT.

Motivasi dalam Ketentuan pengungkapan ketidakbenaran pasal 8 ayat 4 adalah seharusnya untuk menumbuhkan kesadaran wajib pajak untuk mengungkapkan sendiri ketidakbenaran dalam pengisian SPT. Namun jika dibandingkan besaran sanksi pasal 8 ayat (4) dengan besaran sanksi berdasarkan pasal 13 UU KUP, lalu dimana kemurahan atas ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU KUP? Seperti diketahui bahwa pengungkapan ketidakbenaran pasal 8 ayat (4) mengakibatkan adanya sanksi kenaikan sebesar 50% ( hal ini berarti jika wajib pajak mengungkapkan sendiri kesalahan dalam SPT nya ia akan dikenakan sanksi 50% dari pajak yang kurang dibayar). Bandingkan, jika kesalahan dalam SPT ini ditemukan oleh pemeriksa pajak (dengan kata lain wajib pajak tidak mengungkapkan sendiri kesalahan/kekeliruannya) dalam proses pemeriksaan. Pemeriksa pajak akan mengenakan sanksi bunga berdasarkan pasal 13 ayat (2) UU KUP yaitu sebesar 2% per bulan maksimal 24 bulan, berarti maksimal hanya 48%. Dengan demikian, wajib pajak yang berpengalaman akan bertanya buat apa mengungkapkan kesalahan sendiri jika dikenai sanksi 50% sedangkan jika ditemukan tim pemeriksa sanksi maksimal hanya 48%.

Kembali dalam kasus di atas, yang jadi permasalahan bagi penulis  sebagai penelaah keberatan adalah Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini petugas pelaksana di Seksi Pelayanan (Petugas Tempat Pelayanan Terpadu/TPT) menerima dan menulisnya dalam lembar kuning/ Lembar Pengawasan Arus Dokumen (LPAD) sebagai “SPT Pembetulan” atas pembetulan terhadap Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan. Hal inilah yang membuat wajib pajak yang sedang diperiksa tidak terima ketika atas SPT Pembetulan tersebut tidak diakui oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Republik Indonesia.