Alasan Melukai Hati Seseorang

Sekarang kita melangkah ke pemikiran berikutnya, yaitu mengapa orang merasa dilukai dan mengapa ada orang yang melukai? Ada dua bentuk tindakan melukai orang lain. Pertama, melukai hati seseorang secara tidak sadar. Kedua, melukai hati orang lain dengan sengaja. Kalau orang memperlakukan  kamu secara tidak sadar, lalu kamu terluka, ini tidak berarti mereka tidak bersalah, tetapi engkau juga tidak boleh selalu mempersalahkan mereka, karena bagaimanapun juga mereka melakukan itu secara tidak sadar. Orang yang tidak sadar bahwa dirinya  memiliki sifat yang selalu melukai orang lain haruslah kita kasihani, bukan kita tuntut. Doakan dia, bukan kita maki. Orang itu bukan hanya perlu dikritik, tetapi juga perlu ditolong. Orang  yang dilukai jangan serta merta membela diri, tetapi ia harus mengasihani mereka yang melukai secara tidak sadar.

Kalau ada seorang gila memukul dokter, apakah dokter itu marah dan langsung menembaknya? Ataukah dokter yang baik akan berusaha membereskan kegilaan orang gila ini? Kalau ada orang yang menderita suatu penyakit, akankah kita melarang pengobatannya, atau kita akan mengobatinya sampai dia sembuh? Maka perasaan simpati kepada sesama, khususnya kepada mereka yang berada di dalam kesulitan yang mereka sendiri tidak sadari, sangat diperlukan oleh orang Kristen. Orang Kristen harus penuh pengertian, penuh simpati, penuh belas kasihan kepada mereka yang tidak sadar. Di situ engkau harus bisa menang, engkau baru bisa mengalahkan dirimu sendiri sebelum mengalahkan situasi dan segala kesulitan. Kita baru bisa mengalahkan situasi dan kesulitan setelah kita bisa mengalahkan diri kita sendiri. Mengalahkan diri atau menyangkal diri adalah hal yang utama, karena musuh kita yang terbesar adalah diri kita sendiri. Kalau seorang ibu terus merasa terganggu oleh anaknya, maka ibu inilah yang harus masuk rumah sakit dulu. Melahirkan anak dan menjadi ibu berarti bersedia diganggu. Maka kalau engkau langsung memukul  anak yang mengganggu, engkau bukannya menyelesaikan permasalahan atau menghentikan gangguan anak itu, tetapi engkau justru harus terlebih dahulu menyelesaikan masalah dirimu sendiri yang terganggu. Seorang  yang sedang menyelesaikan masalah pribadi, sedang merasa dirinya perlu marah karena diganggu, tidak mungkin menyampaikan isyarat pendidikan ke dalam hati anak-anak yang dididiknya. Inilah teori pendidikan. Pemikiran penting ini saya pelajari dari Alkitab melalui sifat Yesus Kristus.

Ketika Yesus datang ke dunia, dia terus menerus diganggu oleh manusia, tetapi Dia memiliki belas kasihan kepada mereka yang mengganggu-Nya. Di Alkitab dinyatakan bahwa Dia tidak melontarkan satu kalimat yang mengancam mereka yang melukai-Nya, karena Dia mau menyelesaikan persoalan yang perlu diobati, bukan mencetuskan kesulitan-Nya seolah-olah Dialah yang perlu diobati. Kalahkan dirimu sendiri, taklukkan dirimu sendiri, baru kamu mungkin menaklukkan dunia. Tidak mungkin kamu mengajar atau menghibur orang lain, dan menjadi suatu kekuatan yang bisa mengubah orang lain, jika kamu sendiri belum mampu mengalahkan dirimu sendiri. Kalahkan terlebih dahulu sifat  dan tabiatmu yang tidak beres, barulah kamu bisa dipakai Tuhan dan berkuasa untuk menghibur dan membereskan orang lain. Kita perlu sekali mengerti bahwa diri kita yang lemah.

Kalau seorang sengaja melukai kita, kita harus menghadapinya dengan cara yang berbeda. Bagaimana membedakan antara orang tersebut melakukan dengan sengaja atau tidak? Ada orang yang selalu berfikiran bahwa orang lain selalu tidak baik terhadapnya dan bahwa semua orang lain selalu tidak baik terhadapnya dan bahwa  semua orang sengaja melukainya. Di dalam psikologi orang demikian disebut paranoia. Paranoia berarti menganggap semua orang mau merugikan, merusak, melukai, mengancam, atau menyusahkan dia. Paranoia selalu melihat dan memikirkan orang lain dengan pikiran negatif. Kalau orang lain tidak sungguh-sungguh sengaja, tetapi kita anggap dia sengaja, berarti kita sendiri yang paranoia. Orang yang paranoia hidup dalam kesulitan besar yang sulit ditolong. Maka kita harus mengalahkan diri kita sendiri.

Jikalau engkau belum bisa membedakan dengan tepat apakah seseorang melakukan tindakan itu dengan sengaja atau tidak, janganlah engkau mengambil keputusan terlalu cepat. Mengambil keputusan terlalu cepat itu berarti menjadikan diri sebagai hakim yang memvonis tanpa dasar yang cukup. Dosa memvonis orang lain secara tidak sesuai mungkin lebih berat daripada dosa mereka yang secara tidak sengaja melukaimu. Belajar mengasihi dan menjaga mutual relationship dengan mutual respect (saling menghargai) itu sulit sekali, tetapi kita tetap harus belajar. Sepanjang hidup kita belajar, terus belajar sampai mati dan bertemu Tuhan, Dia akan menilai berapa persen kita menyerupai Tuhan. Mari kita menyerupai Tuhan sebanyak mungkin, seperti tuntutan Paulus, yaitu berdasarkan ukuran Kristus. Kita harus berjuang mengubah hidup kita sampai bisa menyerupai Kristus sepenuhnya, menjadi seperti Bapa kita yang di sorga. Ini tidak mudah. Ini berarti tidak mungkin ada orang yang sempurna secara kuantitas di dunia ini.

John Wesley beranggapan bahwa manusia mungkin bisa mencapai tahap tidak berdosa sama sekali ketika masih berada di dunia ini. Theologi Reformed menolak pandangan demikian, namun ini bukan berarti Reformed tidak percaya adanya kesempurnaan. Kita percaya kepada kesempurnaan dalam kualitas yang menuju kepada kuantitas, yang hanya akan terjadi ketika kita diubah dalam kesempurnaan oleh Tuhan saat Dia datang kembali. Tapi kita tidak percaya bahwa melalui pergumulan diri di dunia ini manusia bisa mencapai taraf kesempurnaan seperti Kristus. Disinilah letak perbedaannya. Ketika ada seorang mengatakan, Saya sudah sempurna, saat itu dia sedang mengatakan hal yang tidak sempurna, karena dia tidak sempurna. Pada waktu seorang  menganggap diri baik, itu berarti dia tidak cukup baik. Sebelum mati Paulus berkata, “Aku tidak merasa aku sudah memperolehnya, aku tidak merasa aku sudah sempurna.” Mari semua orang yang menuju kesempurnaan mempunyai pikiran seperti ini.  Orang yang menuju kesempurnaan sadar bahwa dirinya tidak sempurna.

Diambil dan disalin kembali dari buku  Pdt. Dr. Stephen Tong , DLCE:  Pengudusan Emosi (Hal 288 s.d 292)

 

Artikel Terkait :

  1. Kerohanian Dan Luka Hati (Part 2)
  2. Kerohanian Dan Luka Hati (Part 1)
  3. Kasih Yang Sempurna (Bagian II)
  4. Kasih Yang Sempurna (Bagian I)
  5. Ketakutan Yang Benar (Bagian III)
  6. Ketakutan Yang Benar (Bagian II)
  7. Ketakutan Yang Benar (Bagian I)