Dengan  berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013  tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai. Dimana poin pokok perubahannya adalah tentang batasan peredaran usaha. Jika sebelumnya batasannya tidak melebihi Rp. 600.000.000,- sekarang menjadi tidak melebihi  Rp. 4.800.000.000,-. Aturan yang berlaku sejak Januari 2014 ini tentu mengundang respon yang luar biasa bagi wajib pajak.

Dalam tulisan kali ini penulis mencoba menulis tentang pilihan mana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang omsetnya tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,-. Apakah tetap menjadi PKP atau memilih untuk tidak PKP. Karena aturan pelaksanaannya sampai saat dituliskannya belum kelear, maka sambil menanti kita mencoba mempelajari hal yang perlu dipelajari :P, semoga bermanfaat. 🙂

Tahun Berlakunya Batasan Pengusaha Kecil

Dalam artikel terdahulu yang berjudul “Sekilas Perubahan Batasan Pengusaha Kecil” telah dibahas terkait perubahannya. Namun karena berlakunya sejak 1 Januari 2014 maka ada persepsi yang mengatakan bahwa  wajib pajak dapat memilih untuk menjadi Non PKP berdasarkan peredaran usaha tahun buku sebelumnya yaitu tahun 2013, tetapi beberapa mengatakan berdasarkan jumlah peredaran usaha selama tahun 2014 yang artinya dapat diajukan di tahun 2015. Lalu sebenarnya tahun yang mana dasar patokan peredaran usaha tersebut.

PKP Memilih Menjadi Non PKP

Karena belum keluar aturan penegasannya, maka menurut pendapat penulis bahwa patokannya adalah peredaran usaha tahun 2013 sama seperti penentuan UKM yang berlaku sejak Juli 2013 lalu karena bukankah motif kenaikan batasan ini adalah agar ada sinkronisasi. Artinya, ditahun 2014 ini bagi wajib pajak yang sudah PKP dan ingin menjadi Non PKP dipersilahkan untuk melakukan permohonan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar.

Kenapa melakukan pencabutan PKP, karena sebelumnya batasannya adalah Rp. 600.000.000,- sehingga pengusaha dipaksa untuk menjadi PKP. Namun karena dalam satu tahun masih dibawah Rp. 4.8 Milyar  maka bukankan pengusaha berhak untuk memilih tidak PKP (Non PKP) begitulah pemikiran pengusaha.

Non PKP Wajib Menjadi PKP

Bagi pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tersebut dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/ atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Permohonan Pencabutan  PKP

Apabila wajib pajak memilih untuk Non PKP sementara selama ini sudah menjadi PKP akibat perubahan Batasan Pengusaha Kecil maka wajib pajak melakukan permohonan untuk  dicabut pengukuhan Pengusaha Kena. Adapun proses pencabutan sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor -146/PMK.03/2012 tentang tata cara verifikasi, serta penegasan dalam  SE-48/PJ/2012 tentang kebijakan pelaksanaan verifikasi.

Artinya apabila perusahaan dalam tahun 2014 jumlah peredaran usahanya tidak melebih jumlah tersebut di atas maka Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Keuntungan Dan Kerugian Menjadi PKP

Seperti kita ketahui bahwa setiap Pengusaha perlu  memahami Hak dan Kewajiban perpajakan apabila pengusaha tersebut sudah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), adapun hak dan kewajiban tersebut diantaranya :

Hak setelah menjadi PKP

  1. Berhak melakukan pengkreditan Pajak Masukan (Pembelian) atas perolehan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak
  2. Berhak meminta restitusi apabila Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran dan berhak atas kompensasi kelebihan pajak.

Kewajiban:

  1. Memungut PPN/PPnBM yang terutang
  2. Menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
  3. Melaporkan PPN/PPnBM yang terutang

Apabila ditinjau dari sudut bisnis menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun memilih untuk tidak menjadi Pengusaha Kena Pajak (Non PKP) memiliki konsekuensi masing-masing disisi satu dapat menguntungkan disisi lain memiliki kerugian semuanya tergantung pengusaha memandang dari sudut mana.

Keuntungan Menjadi PKP

Beberapa keuntungan apabila wajib pajak memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) diantaranya adalah :

  1. Pengusaha dianggap memiliki sistem yang sudah baik dianggap legal secara hukum karena sudah menjadi PKP dan tertib membayar pajak.
  2. Menjadi PKP berarti perusahaan dianggap besar dan tentunya akan berpengaruh saat menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang tergolong besar.
  3. Dapat melakukan transaksi penjualan kepada Bendaharawan Pemerintah.
  4. Pola produksi dan investasi yang baik karena penyerahan BKP/JKP menjadi beban sipenikmat (konsumen)
  5. Membantu Republik ini dalam penerimaan pajak (PPN) secara optimal

Kerugian Menjadi PKP

Beberapa kerugian apabila pengusaha memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak diantaranya adalah :

  1. Pembayaran pajak semakin besar, karena bagi wajib pajak Non PKP, perlakuan pajak masukan  akan merugikan apabila dibandingkan sebagai biaya.
  2. Mengurangi daya saing karena harga jual lebih tinggi, hal ini karena harus memungut PPN  dari lawan transaksi, apabila wajib pajak dikukuhkan sebagai PKP maka setiap penyerahan BKP/JKP  harus ditambah dengan PPN.
  3. Menambah kerumitan dan pengenaan sanksi yang lebih besar, kerumitan disini terkait dengan aturan pelaporan PPN yang makin hari bikin botak kepala serta sanksi-sanksi di depan terkait keterlambatan maupun kesalahan faktur.

Contoh I  ditinjau dari sudut Pengusaha PKP maupun Non PKP

Membeli Dari PKP

PT. Nusahati (PKP) membeli barang dari PKP senilai Rp. 1.100.000,- (Harga + PPN), PT. Nusahati menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp. 1.320.000,- (Rp. 1.000.000,- + Rp. 200.000.- + Rp. 120.000,-). Atas mekanisme ini maka PT. Nusahati membayar PPN sebesar Rp. 20.000,- (Rp. 120.000,-  dikurang Rp. 100.000,-).

Membeli dari Non PKP

PT. Nusahati (PKP) membeli barang dari Non PKP senilai Rp. 1.000.000,-, PT. Nusahati menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp. 1.320.000,- (Rp. 1.000.000,- + Rp. 200.000.- + Rp. 120.000,-). Atas mekanisme ini maka PT. Nusahati membayar PPN sebesar Rp. 120.000,-.

Pada kasus ini PT. Nusahati membayar PPN lebih besar karena membeli dari Non PKP sehingga hal ini membuktikan bahwa kebanyakan perusahaan PKP lebih memilih melakukan transaksi dengan PKP.

Penjual Non PKP membeli dari PKP

PT. Nusahati (PKP) membeli barang dari PKP senilai Rp. 1.100.000,- (Harga + PPN), PT. Nusahati menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp. 1.320.000,- (Rp. 1.000.000,- + Rp. 200.000.- + Rp. 120.000,-). Atas mekanisme ini karena PT. Nusahati bukan PKP maka tidak ada kewajiban membayar PPN.

Penjual dan Pembeli Non PKP

PT. Nusahati (Non PKP) membeli barang dari Non PKP senilai Rp. 1.000.000,-, PT. Nusahati menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp. 1.200.000,-. Atas mekanisme ini karena PT. Nusahati bukan PKP maka tidak ada kewajiban membayar PPN.

Contoh II ditinjau dari sudut Konsumen.

Pada contoh di atas dapat diuraikan sebagai berikut :

  • Apabila konsumen membeli dari  Pengusaha Kena Pajak maka untuk membeli sebuah barang dalam contoh di atas konsumen mengeluarkan uang sebesar Rp. 1.320.000,-
  • Apabila konsumen membeli dari bukan Pengusaha Kena Pajak (Non PKP) maka untuk membeli sebuah barang dalam contoh yang sama di atas konsumen mengeluarkan uang sebesar Rp. 120.000,-

Sehingga dapat disimpulkan sebagai konsumen akan lebih memilih membeli barang kepada Non PKP  karena lebih murah.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau menjadi Bukan Pengusaha Kena Pajak (Non PKP) adalah memang suatu pilihan. Dengan naiknya batasan pengusaha kecil menjadi tidak lebih dari Rp. 4.800.000.000,-  wajib pajak diberi kelegaan yang cukup luar biasa, karena batasan sebelumnya yang hanya tidak melebihi Rp. 600.000.000,- sehingga apabila melebihi nilai tersebut maka pengusaha kecil dipaksa menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Kini wajib pajak yang memiliki omset di atas Rp. 600 juta namun dibahwa Rp. 4.8 Milyar dipaksa untuk menimang-nimang apakah tetap meneruskan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau mencabut PKP nya. Di atas sudah diuraikan keuntungan dan kerugian dalam memilih menjadi PKP yang tentu dikembalikan kepada pelaku usaha itu sendiri.

Artikel Terkait :

  1. Sekilas Perubahan Batasan Pengusaha Kecil
  2. Sekilas Tentang Pengusaha Kecil
  3. Sekilas Tentang Faktur Pajak Yang Digunggung
  4. Sekilas Tentang Penggantian Faktur Pajak
  5. Sekilas Tentang Penomoran Faktur Pajak
  6. Sekilas Tentang Subjek Dan Objek PPN
  7. Sekilas Muasal Pajak Pertambahan Nilai