“Tetapi kamu bukan demikian. Kamu telah belajar mengenal Kristus. Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus, yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.

Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan. Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kitadan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.”                  (Efesus 4:20-24; 5:15-21)

1. Pandangan Yang Mengatakan Bahwa Tidak Mungkin Mengetahui Kehendak Allah

Pada abad ke-19, ada dua orang yang sangat besar di negeri Inggris, yaitu Sir Herbert Spencer dan Thomas Henry Huxley. Kedua orang ini mempunyai kepandaian dalam bidang sosiologi, biologi serta filsafat yang melampaui banyak orang lain di kalangan atas kebudayaan Inggris. Spencer dan Huxley mempunyai persamaan pendapat, yaitu tidak mungkin mengetahui banyak hal yang berada di luar batasan manusia. Mereka memelopori satu istilah di mana di belakang istilah itu ada satu sistem pikiran yang juga pernah dipelopori di Jerman, yaitu di dalam pemikiran Immanuel Kant

Immanuel Kant menganggap bahwa segala sesuatu yang kita ketahui sesungguhnya hanya kita ketahui luarnya saja, tak pernah kita mengerti sampai sedalam-dalamnya. Apakah yang dimaksud hanya luarnya saja itu? Kant menjawab bahwa “luar” di sini adalah pengetahuan. Kant berkata bahwa kita seharusnya membagi dunia kita ini

menjadi dua, yaitu dunia yang bisa diketahui dan dunia yang tidak bisa diketahui. Lalu, apakah yang dimaksud dengan ‘dunia yang bisa diketahui’ itu? Kant menjawab bahwa dunia yang bisa diketahui adalah dunia yang dapat dikenal dengan rasio, sedangkan dunia yang tidak bisa diketahui adalah dunia yang melampaui pengertian rasio kita. Kalau demikian, yang Kant maksudkan adalah bahwa intelek dan pengetahuan intelegensia manusia itu terbatas.

Sebelum zaman Immanuel Kant, di Eropa telah dijumpai adanya dua arus pemikiran yang kedua-duanya melawan Kekristenan. Arus pertama lahir di Inggris dan arus ke dua lahir di daratan Eropa. Yang lahir di Inggris disebut sebagai British Philosophy dan yang kedua disebut sebagai Continental Philosophy.

Yang di Inggris lebih menekankan bahwa manusia mempunyai pengetahuan melalui panca indera. Kita tahu karena kita bisa melihat, bisa memegang dan sebagainya. Pikiran saya memperoleh pengetahuan dari panca indera, dan tanpa adanya data dari panca indera, pikiran saya tidak mungkin mengerti. Pada waktu saya memegang dua benda yang berbeda, maka panca indera memberikan isyarat bahwa benda yang satu berbeda dengan benda yang lain.

Menurut orang-orang di Inggris dan Skotlandia seperti John Locke, Berkeley dan David Hume, pengetahuan itu bisa masuk dalam pikiran kita hanya kalau kita bisa mempunyai isyarat-isyarat dari panca indera kita. Pengertian seperti ini disebuit sebagai empirisisme. Dalam empirisisme pengalaman sangatlah penting. Saya tahu karena saya punya pengalaman. Jadi pengalaman merupakan dasar dari pengetahuan.

Tetapi orang-orang di Perancis, yang diwakili oleh Rene Descarter dan di Belanda yang diwakili oleh Baruch Spinoza serta di Jerman yang diwakili oleh Leibniz, mengatakan yang sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa pikiran tanpa indera pun mempunyai kemungkinan untuk mengerti sesuatu. Kita tahu bahwa 2 + 2 = 4, kita mengerti dalil-dalil matematika, semua itu bukan diperoleh dari panca indera, tetapi karena satu pengertian yang murni dari pikiran kita sendiri.

Di sini kita melihat satu perpecahan terjadi pada kebudayaan manusia di dalam menangani pengetahuan. Pengetahuan tentang pengetahuan berbeda dengan pengetahuan tentang hal yang diketahui. Jika saya mengetahui tentang bulan, matahari, bumi, meja, dan sebagainya, itu saya ketahui dari hal-hal yang mau diketahui. Maka di sini, segala hal yang diketahui itu ada di dalam status obyek, tetapi pikiran yang mau mengetahui berada dalam status subyek.

Pengetahuan yang ada di dalam pikiran saya, diketahui oleh pikiran yang mau mengetahui. Dengan demikian, pikiran itu subyek dan yang dipikir itu obyek. Tetapi, kalau saya berputar kembali dan memikirkan bagaimana pikiran saya bisa berpikir dan pengetahuan saya bisa mengetahui, maka saya sudah masuk dalam tahap yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan yang saya terima dari obyek. Saya mengetahui tentang bagaimana saya mengetahui, saya mau mengerti tentang pikiran saya yang mengerti. Dengan demikian kita memikirkan tentang bagaimana pikiran itu berpikir. Hal ini merupakan suatu hal yang sudah lepas dari suatu obyek yang di luar dan merupakan satu gabungan dari obyek yang mau diketahui dan subyek yang mau mengetahui. Dengan demikian hal ini disebut sebagai kemurnian pikiran.

Dari sini kemudian timbul satu istilah dalam bahasa Latin, yaitu sesuatu pikiran yang jernih, dan ini disebut sebagai satu pengetahuan yang “clara”, artinya “clear”. Persepsi atau ide yang “clara” adalah satui pikiran persepsi yang murni dalam pikiran.

Kemudian timbullah perpecahan. Di Inggris, orang-orang yang berkebudayaan tinggi menganggap bahwa semua pengetahuan tidak mungkin tidak melalui panca indera, tetapi tidak berhenti pada indera itu saja. Sedangkan orang-orang di daratan Eropa mengatakan bahwa ada juga kemurnian fungsi dari rasio itu sendiri, tidak perlu harus ada isyarat yang diberikan oleh indera. Setelah kedua hal ini, kemudian timbullah pikitan di Jerman dari Immanuel Kant yang mengatakan bahwa keduanya sesungguhnya ada, tetapi kemudian Kant mengkritik kedua pendapat tadi.

Filsafat dari Immanuel Kant disebut sebagai filsafat kritik dalam filsafat. Immanuel Kant mau menggabungkan kedua hal ini dan ia memikirkan apakah rasio itu besarnya sebagaimana yang dikatakan oleh Descartes di Perancis. Kant mengatakan bahwa rasio itu besarnya melebihi satu bidang. Pengetahuan bisa dibagi dalam tiga bidang: Yang pertama, saya tahu bahwa 2 + 2 = 45. Ini adalah satu hal yang bisa dimengerti hanya oleh rasio itu sendiri. Jadi rasio murni ada bidangnya sendiri. Tetapi dengan cara berpikir bagaimanapun, saya tidak bisa mengerti apa artinya moral. Melalui bidang kedua ini saya tahu bahwa hidup itu bermakna dan saya harus hidup dalam kebenaran. Tetapi untuk mengetahui bagaimana saya harus hidup dalam kebenaran atau bagaimana mengkonfirmasikan bahwa hidup saya bermakna, sesungguhnya hal itu tidak mungkin diketahui oleh rasio murni. Bidang keduia ini disebut sebagai rasio praktika.

Rasio praktika berarti bahwa kecuali Anda menjadi manusia, maka Anda tidak akan pernah mengerti apa artinya menjadi manusia, dan tidak akan pernah mengerti bahwa hidup manusia itu ada artinya. Jika kita bertanya tentang arti hidup kepada binatang yang bukan manusia, maka mereka tidak akan pernah bisa menjawab karena mereka tidak pernah menjadi manusia. Jadi dengan adanya pengertian yang praktis, maka Kant memberikan bidang yang ke-dua yang disebut sebagai rasio praktika. Rasio murni dan rasio  praktika itu berbeda.

Ketika Kant telah tua, ia menambah satu bidang lagi yakni rasio yang membeda-bedakan penilaian-penghakiman. Jika saya bertanya apakah wanita A atau B yang pandai, kita dapat mengetahuinya melalui satu ujian, dan ujian itu bisa kita atur untuk mengatakan apakah A lebih pandai dari B. Tetapi kalau ditanyakan manakah yang lebih cantik antara wanita A dan wanita B, maka kita tidak bisa mengambil foto lalu menghitung dengan angka-angka, manakah yang lebih cantik. Pengetahuan di sini sudah melebihi data-data. Pengetahuan di sini memberikan penilaian bahwa ini lebih dari itu atau itu kurang dari ini. Penilaian ini sangat subyektif dan merupakan semacam pengetahuan yang nyata dan pengetahuan-penghakiman dan penilaian, tetapi bukan dalam hal penghitungan dan data-data.

Kalau kita mendengarkan lagu Beethoven yang berjudul “Hallelujah” yang sangat agung, lalu kita ditanya apakah lagu itu lebih agung, ataukah lagu “Malam Kudus” yang lebih agung? Maka kita akan mengatakan bahwa yang satu lebih bagus dan yang lain lebih megah. Kemudian kita mengatakan terserah mana yang lebih disukai oleh masing-masing orang. Dalam bidang ini kita tahu mutu dari musik Beethoven, kita juga tahu rentang mutu dari lagu “Malam Kudus”. Tetapi, pengetahuan seperti ini bukan pengetahuan ilmiah, melainkan pengetahuan yang bersangkut paut dengan penilaian atau evaluasi. Maka, menurut Kant, rasio harus dibagi dalam tiga bidang, yaitu: (1) rasio murni, (2) rasio praktika, dan (3) rasio penilaian-penghakiman.

Dengan keadaan demikian, akhirnya Kant mengatakan bahwa walaupun pengetahuan itu banyak bidangnya, namun tetap tidak melebihi satu batas. Lalu orang bertanya, batas itu menuju ke manakah? Apa isi batas itu? Lalu Kant menjawab bahwa di dalam batas itu terdapat sesuatu yang disebut fenomena dan di luar batas itu disebut noumena. Jadi pengetahuan dibagi di dalam phenomenal world dan noumenal world. Di dalam dunia fenomena kita boleh menghitung, mengetahui bahkan mengerti arti hidup. Tetapi, di luar batas itu, menurut Kant, ada tiga hal yang manusia tak mungkin mengerti, yakni: Pertama, tentang Allah karena terlalu besar; kedua, tentang kebebasan\ karena karena terlalu ajaib; dan ketiga, tentang kekekalan karena tidak kiita ketahui.

Di satu pihak, Kant seolah-olah mengagungkan Allah yang terlalu besar, kebebasan yang sangat rahasia, dan kekalan yang terlalu sulit untuk dimengerti. Namun di lain pihak, Kant telah memberikan satu efek sampingan yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, yaitu Agnostisisme. Agnostisisme berarti tidak mungkin tahu. Dalam bahasa Yunani “gnostik” berarti “tahu”. Agnostik berarti tidak bisa atau tidak mungkin tahu. Kant berkarir dalam pertengahan abad ke-8, dalam permulaan abad ke-19 ia menyimpulkan semua ini dan kemudian meninggal dunia.

Dalam abad ke-19, setelah 50 tahun Kant meninggal dunia, maka pikiran ini merangsang dan menjadi satu arus yang penting di Inggris di mana Sir Herbert Spencer dan Thomas Henry Huxley memberikan satu judul baru yaitu Agnostisisme.

Dalam sejarah pernah timbul Skeptisisme yang berarti ragu-ragu. Apakah Tuhan Yesus Anak Allah? Benarkah Tuhan Yesus dilahirkan oleh anak dara Maria dan melakukan mujizat? Jika orang menjawab, “Saya ragu-ragu,” maka inilah yang disebut Skeptisisme. Tetapi kalau Skeptisisme menuju kepada satu titik puncak dengan mengatakan, “Tidak mungkin saya tahu bahwa Tuhan Yesus itu Anak Allah! Tidak mungkin anak dara bisa melahirkan! Saya tidak tahu bahwa Yesus telah melakukan mujizat!” maka hal itu menjadi Agnostisisme. Jadi, Agnostisisme merupakan puncak logika dari Skeptisisme.

2. Kelemahan Dari Pandangan Yang Mengatakan Bahwa Allah Tidak Mungkin Diketahui

Kalau Allah tidak bisa diketahui, lalu bagaimana dengan kita? Perhatikan kalimat berikut: “Allah sudah menyatakan diri.”   Kalimat ini mungkin ditolak oleh Agnostisisme, karena orang-orang yang berpandangan Agnostisisme memberikan konfirmasi bahwa mereka tidak mungkin mengetahui tentang Allah yang menyatakan diri. Tetapi, ketika mereka mengatakan”tidak mungkin tahu”, sesungguhnya mereka telah menyatakan dengan pasti bahwa mereka tahu sesuatu hal yang berkenaan dengan sesuatu yang tidak mungkin diketahui! Ini merupakan satu kontradiksi! Agnostisisme dan semua sistem-sistem berpikir yang melawan Kekristenan, berkonflik di dalam dirinya sendiri yang akhirnya tanpa mereka sadari melemahkan dan melumpuhkan diri mereka sendiri.

Jikalau ada seseorang mengatakan, “Tidak mungkin mengetahui Allah dan semua orang tidak mungkin tahu!” dan kemudian kita bertanya apakah ia tahu bahwa teorinya itu betul, maka ia akan menjawab. “Saya pasti tahu dan pengetahuan saya itu pasti betul!”  Di sini kita menemukan ketidak-konsistenan, karena jika ia mempunyai pengetahuan terakhir tentang sesuatu yang tidak mungkin diketahui, dengan sendirinya ia harus mengakui bahwa teorinya pun tidak mungkin diketahui!  Jika seseorang menegaskan tentang pengetahuannya dengan mengkonfirmasikan bahwa tidak mungkin mengetahui hal yang lain, maka orang tersebut telah jatuh dalam keadaan seperti itu.

Suatu hari, dalam sebuah musyawarah ilmu pengetahuan yang dihadiri oleh para ilmuwan internasional, Sir Herbert Spencer berkata, “I think is nothing absolute in the world – Saya kira tidak ada yang mutlak dalam dunia ini.”  Setelah ia mengatakan kalimat itu, kemudian seorang ilmuwan muda bertanya kepadanya, “Apakah benar tidak ada satu pun yang mutlak di dalam dunia ini?” Spencer menjawab dengan mantap bahwa tidak ada satu pun yang mutlak di dunia ini. Pemuda itu sekali lagi menanyakan hal yang sama dan Spencer dengan tegas mengulangi jawaban yang sama. Kemudian pemuda itu menanyakan apakah Spencer mempercayai apa yang dikatakannya itu secara mutlak! Di sini Spender terjebak oleh teorinya sendiri. Kalau ia percaya bahwa tidak ada satu pun yang mutlak, lalu ia memegang teori itu dengan satu kemutlakan, berarti ia sudah tidak konsisten, karena kalau ia percaya tidak ada yang mutlak, bagaimana ia dapat menerima teorinya itu dengan mutlak?

Hal ini disebut sebagai “self-defeating factor.”  Itu sebabnya mengapa komunisme, teori evolusi, dan isme-isme yang melawan Kekristenan akhirnya terbongkar bahwa semua teori itu tidak beres. Setiap teori manusia dan hasil dari pemikiran manusia yang telah jatuh dalam dosa, semuanya mengandung benih untuk merontokkan atau meledakkan diri sendiri, tanpa mereka sadari.

Di dalam Alkitab kita tidak melihat adanya ‘self-defeating factor’ ini. Jikalau Allah tidak mungkin diketahui, walaupun kita mencarinya secara mati-matian, itu tidak akan ada artinya. Namun, jikalau Allah mungkin diketahui tetapi kita tidak mau mengetahui-Nya, maka kita berada dalam satu hidup yang menuju pada satu hidup yang mati dan tidak berarti. Itulah sebabnya dalam ayat di permulaan bab ini Paulus mengatakan: Jangan jadi orang yang bodoh, tetapi hendaklah kamu mengerti kehendak Allah.

Dalam mengaitkan hal ini, saya berkata bahwa dunia intelektual abad ke-19 dan ke-20 adalah dunia intelektual yang bodoh. Saya mengkritik filsafat-filsafat yang paling top dan memiliki pengaruh di dunia ini, sebab mereka termasuk kaum intelektual yang bodoh di bawah ayat ini.

Dalam abad ke-20 lahir seorang anak dari keluarga kaya yang terkenal. Keluarga itu adalah keluarga Wittgenstein. Anak yang dilahirkan ini bernama Ludwig Wittgenstein. Waktu Bertrand Russel menemukan anak ini, ia berkata bahwa seluruh dunia harus memperhatikan anak ini, sebab ia luar biasa. Tetapi anak ini adalah anak yang melawan Tuhan. Setelah dewasa, ia berusaha membuat makalah-makalah yang membuktikan bahwa semua agama sesungguhnya hanyalah permainan kata yang tidak ada artinya. Tetapi Ludwig Wittgenstein pada waktu tuanya menyesali apa yang pernah ia tulis.

Apa yang terjadi diseluruh dunia ini, dalam dunia intelek, filsafat, musik, semuanya dijalankan dalam kehendak Alah yang mengatur semua ini. Orang-orang seperti Wittgenstein yang dipuja oleh Russel akhirnya menyesal karena terlalu cepat mengemukakan kesimpulan pada waktu mudanya. Banyak orang yang menganggap diri pandai, dan mengatakan tidak mungkin untuk mengenal Alah, sesungguhnya mereka terjerumus kepada kebodohan intelektual. Mereka ini adalah orang yang pikirannya pandai tetapi hatinya bodoh. Dengan pikirannya yang pandai itu mereka menganggap boleh melawan Tuhan.  Saudara jangan menjadi orang yang semacam itu.

Mengapa ada begitu banyak orang yang sudah sekolah tinggi lalu melawan Tuhan, melawan agama? Saya sudah pergi ke seluruh dunia dan berjumpa dengan orang-orang seperti itu, dan sebagian dari mereka bertobat.

Seorang professor dari Peking University mendengarkan khotbah saya selama 3,5 jam dengan mata melotot. Setelah khotbah 3,5 jam itu selesai masih diadakan tanya jawab, sehingga saya merasa lelah sekali. Setelah kebaktian selesai, saya turun dari tempat kebaktian menuju ke lapangan parkir yang sangat luas. Waktu saya menuju ke mobil, ada satu orang yang menjumpai saya, menahan saya serta bertanya apakah saya betul-betul percaya tentang apa yang saya khotbahkan tadi sebagai iman kepercayaan saya. Maka saya menjawab: “Ya!”  Orang itu kemudian mengatakan bahwa ia telah 35 tahun hidup, dididik dan dibentuk dalam pikiran komunisme yang melawan Tuhan, tetapi malam itu ia menerima kebenaran yang ia cari selama 35 tahun itu.

Apakah betul agama itu racun? Apakah benar iman kepada Kristus itu melawan revolusi dan menjadi racun dan candu bagi masyarakat seperti yang dikatakan Marx? Ia mengatakan bahwa malam itu ia mendapatklan jawabannya. Saya melihat ada cahaya yang masuk ke dalam hatinya. Seringkali kaum intelektrual dengan IQ tinggi, belum menemukan sinar cahaya itu.

3. Kemungkinan Untuk Mengetahui Kehendak Allah

Paulus menekankan tentang berusaha mengerti kehendak Allah. Saya ingin mengkonfirmasikan satu hal: Apakah Allah yang tidak kelihatan itu mungkin dimengerti? Apakah Allah yang besar itu mungkin diketahui oleh otak kita yang terbatas ini? Apakah Allah yang begitu agung mungkin dimengerti oleh kita yang hidup hanya beberapa puluh tahun saja? Alkitab mengatakan: “Mungkin!”  Kita bisa, kita harus dan kita mungkin mengenal kehendak Tuhan.

Saya sadar bahwa kita tidak boleh dengan sembarangan mengatakan “Ini kehendak Tuhan.”  Ada banyak orang yang terlalu sering mengatakan ini kehendak Tuhan, itu kehendak Tuhan, namun mereka justru adalah orang yang paling tidak tahu tentang kehendak Tuhan. Tetapi sebaliknya, orang yang betul-betul mau tahu kehendak Tuhan, kadang-kadang tidak berani mengungkapkan itu kehendak Tuhan. Kedua hal ini kalau dikumpulkan akan menghasilkan satu kesimpulan: Takutlah kepada Allah dan jangan sebut nama Tuhan dengan sia-sia.

Kalau orang yang berpegang pada Agnostisisme berkesimpulan bahwa kita tidak mungkin tahu akan Allah yang terlalu besar, maka saya tidak setuju dengan pendapat seperti itu, walaupun saya dapat mengerti mengapa mereka berpendapat seperti itu. Kita harus berusaha mengerti setiap orang, walaupun kita tidak harus selalu setuju dengan semua orang. Orang Agnostik mempunyai kesimpulan yang salah, tetapi titik tolak mereka benar: Allah terlalu besar dan kita mungkin tidak bisa tahu. Tetapi ketika mereka kemudian mengatakan bahwa kita tidak mungkin tahu tentang Allah, maka kesimpulan ini yang salah. Sedangkan di dalam gereja, terlalu banyak orang Kristen yang mengatakan bahwa mereka mengetahui kehendak Allah, tetapi hidupnya sembarangan. Jangan sembarangan mengatakan mengerti tentang kehendak Allah!

Pada waktu saya masih sekolah teologi tahun pertama, rektor saya mengatakan, “Hati-hati dengan orang yang terus berbicara tentang kehendak Allah.”  Saya heran, bukankah itu “rohani”?  tetapi beliau melanjutkan  bahwa orang yang selalu mengatakan tentang kehendak Allah, justru merupakan orang yang paling jauh dari kehendak Allah. Saya menjadi bertambah bingung, apalagi ketika ia kemudian berkata bahwa ia justru paling takut dengan orang “rohani”. Ia kemudian menjelaskan bahwa sewaktu ia menjadi pendeta di Makao, ia pernah mengenal seorang pemain piano. Biasanya kalau ia mendapat jadwal untuk main piano ia mau main, tetapi suatu hari ketika tiba gilirannya, pemain piano itu ternyata menolak untuk bermain. Ketika ditanya mengapa ia menolak untuk bermain, ia berkata bahwa itu merupakan kehendak Tuhan. Rektor ini bingung. Selesai kebaktian, ia mencari anak itu dan bertanya mengapa dia tidak mau main piano. Akhirnya diketahui bahwa hari itu guru pianonya yang keras dalam mengajarnya, datang ke kebaktian. Anak itu biasanya main piano dengan sembarangan, sehingga ketika gurunya datang ke kebaktian  ia tidak mau main dan mengatakan ini kehendak Tuhan. Karena itu hati-hatilah dengan orang yang mudah berkata bahwa ia mengetahui kehendak Tuhan.

Saya mengajak Saudara berpikir, berapa kalikah istilah “kehendak Tuhan” muncul dalam Alkitab? Istilah ini tidak terlalu sering diucapkan baik oleh para nabi maupun para rasul! Tetapi, setiap kali istilah ini muncul, selalu muncul dalam satru suasana yang sangat penting dan berbicara tentang satu hal yang besar sekali. Saudara harus berhati-hati dengan mereka yang sembarangan berkata bahwa mereka mendapat wahyu dan mengetahui kehendak Allah. Banyak orang mengatakan hal-hal yang sepertinya mirip dengan nubuatan para nabi. Tetapi Alkitab berkata bahwa nubuat-nubuat yang tidak terjadi membuktikan bahwa mereka tidak diperintahkan oleh Yehova, dan orang yang menubuatkan nubuat yang tidak tergenapi, harus dibunuh (band. Ulangan 18:20-22). Allah begitu keras dan menjalankan hukum dengan begitu ketat, sebab Ia tidak mau kita menjalankan kehendak-Nya secara sembarangan dan bermain-main.

Sebagai kesimpulannya, kita percaya bahwa: (1) Allah memang sulit diketahui, tetapi tidak berarti bahwa Allah tidak bisa diketahui, (2) Alangkah indahnya jika hidup kita mengerti kehendak Allah, sebab jika tidak demikian, meskipun kita orang pandai kita adalah seorang intelektual yang bodoh.

4. Jangan Menjadi Bodoh

Paulus berkata bahwa kita jangan menjadi orang yang bodoh atau terjemahan lain: linglung, pikun, tidak mempunyai kejernihan pikiran; tetapi berusahalah untuk mengerti kehendak Allah.

a. Orang Yang Bodoh Tidak Mengerti Tentang Keberadaan Allah.

Kalau kita tidak sadar dan tidak mengerti tentang keberadaan Allah, maka kita menjadi orang yang bodoh. Pengertian akan  keberadaan Allah dapat dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah bahwa Allah itu ada dan Dia-lah yang menopang segala sesuatu yang ada. Kata yang dipakai oleh Paul Tillich adalah, “Allah bukan saja ada, tetapi juga menjadi dasar dari segala sesuatu yang ada.”  Allah-lah yang menopang keberadaan kita dan menjadi fokus keberadaan kita. Allah adalah dasar dari segala sesuatu yang ada dan berada. Kalau kita tidak mengerti bahwa Allah ada, maka kita menjadi seperti layang-layang putus, dan  kalau kita tidak tahu bahwa Allah ada, maka kita menjadi orang bodoh.

Bukan saja Allah itu ada, Ia juga ada di mana pun Saudara berada. Ini berarti Allah ada di mana-mana. Ini yang kedua. Seseorang yang bodoh adalah orang yang selain percaya Allah ada, tetapi juga menganggap Ia mungkin sedang tidur di sorga dan tidak memperhatikan apa yang dikerjakan manusia.

Kalau kita mempunyai pengertian bahwa Allah bukan saja ada, tetapi bahwa Ia juga mempunyai pengertian atas segala sesuatu dan segala sesuatu dilihat oleh-Nya, maka kita mempunyai iman kepercayaan yang benar, yang tidak bodoh, dan yang dapat dipertanggungjawabkan. Waktu kita mengetuk pintu, di situ Allah ada. Waktu seseorang berzinah, waktu itu Allah sedang melihat. Waktu kita mau mencuri, waktu kita mempunyai satu pikiran untuk menyontek, di situ Allah ada. Allah mengetahui segala pikiran kita. Karena itu janganlah menjadi bodoh tetapi berusahalah mengerti kehendak Allah. Kebodohan datang pertama kali karena tidak mengerti bahwa Allah itu ada.

Satu kali ada seorang guru yang memberikan ujian pada muridnya sambil membaca surat kabar. Para muridnya mengambil kesempatan itu dan menyontek. Akan tetapi, pada akhir semester guru itu memberikan peringatan pada murid-murid yang menyontek sambil menyebutkan berapa kali mereka telah menyontek dalam satu semester itu. Anak-anak itu menjadi heran. Mereka menghampiri guru mereka dan bertanya bagaimana mungkin ia bisa tahu bahwa mereka telah menyontek. Guru itu kemudian mengatakan bahwa surat kabar yang ia baca itu ternyata diberi lubang sehingga ia bisa melihat setiap perbuatan para muridnya. Orang yang bodoh adalah orang yang mengira semua orang lebih bodoh dari dirinya! Kalau manusia saja bisa tahu apa yang kita lakukan, apa lagi Tuhan.

b. Orang Yang Bodoh Tidak Mengerti Kewajibannya

Sesungguhnya hidup adalah hidup dalam kewajiban. Hidup mempunyai hak istimwa dan kewajiban yang bertanggung jawab kepada Tuhan yang memberikan hidup. Dan hidup juga merupakan satu krisis. Jikalau kita hidup dalam dunia ini tanpa tahu apa yang menjadi kewajiban kita, mungkin kita akan menjadi putus asa. Hidup memang penuh dengan krisis, tetapi kalau kita mengerti arti dasar kata ini maka sesungguhnya kata itu bukan sekedar menunjukkan sesuatu yang berbahaya, tetapi juga memberikan titik perubahan atau titik putar. Jika titik perubahan itu tidak benar akan menjadi berbahaya, tetapi jika benar akan berbahagia. Orang yang berada di dalam keadaan bahaya bisa menjadi bahagia kalau ia berbalik kepada Tuhan. Orang yang bahagia bisa menjadi bahaya jika titik putarnya kepada setan. Bahagia mengandung bahaya dan bahaya bisa mengandung bahagia, inilah titik krisis itu.

Hidup kita adalah hidup yang baru, yang harus bertanggung jawab kepada Tuhan dan hidup kita adalah hidup yang mengalami krisis yang mengandung bahaya. Karena itu janganlah kita tidak mengenal Allah dan keberadaan-Nya, dan janganlah menjadi orang yang tidak sadar mempunyai kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan.

c. Orang Yang Bodoh Tidak Mempunyai Arah Hidup

Orang menjadi bodoh karena tidak mempunyai arah hidup, yang setelah melihat uang menjadi berubah arah. Ada berapa banyak orang yang sebelum masuk ke sekolah hukum, merasa harus menegakkan keadilan, tetapi setelah menjadi hakim matanya dibutakan oleh uang? Yang salah dijadikan benar, sebaliknya yang benar dijadikan salah.

Hidup ini berarti dan mempunyai tujuan. Kalau hidup kita mau mempunyai tujuan, maka seperti kata Paulus, hendaklah kita mengerti kehendak Allah.

d. Orang yang Bodoh Tidak Mengerti Tentang Kesempatan Yang Tersembunyi Di Dalam Waktu

Hidup itu tersimpan di dalam waktu, dan waktu itu sama panjangnya dengan hidup. Di dalam kronos (waktu yang bersifat netral) seharusnya ada satu waktu yang mempunyai makna yang penting (yaitu kairos). Di dalam waktu ada kesempatan-kesempatan yang tersisip yang harus kita pegang dengan benar. Jika kairos itu tidak ada, maka kita disebut orang yang bodoh.

Sebuah kapal terbang di angkasa sesungguhnya terbang dalam sebuah koridor udara yang tidak tertlihat mata, tetapi di dalam ruang kemudi pesawat ada satu layar yang menunjukkan koridor udara itu. Kalau pesawat tetap terbang dalam garis koridor itu, maka pesawat akan tetap aman; tetapi kalau keluar dari koridor itu maka itu berarti akan mengalami bahaya.

Ilustrasi ini dapat menunjukkan bagaimana hidup kita ini tidak boleh berada di luar jalur yang ditetapkan oleh Tuhan. Kita tidak boleh hidup dalam nafsu kita sendiri. Tuhan Yesus itulah Tuan kita. Biarlah kita berjalan dan memperhatikan-Nya dalam korodor yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Maukah kita belajar dan berusaha mengerti kehendak Tuhan, hidup dalam jalur yang Ia tentukan? Biarlah kita kembali kepada Tuhan, dan mau mengerti kehendak Allah.

Amin.


Nama Buku        :  Mengetahui Kehendak Allah
Sub Judul          :  Apakah Kehendak Allah Dapat Diketahui?
Penulis              :  Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit            :  Momentum, 2010
Halaman           :  1 – 15

 

Sumber : https://www.facebook.com/pages/Sola-Scriptura/354987984549661