Nikodemus mewakili orang Israel, umat pilihan Tuhan, yang menganggap diri memiliki pengetahuan yang tinggi tentang Taurat. Ia menemui Yesus Kristus yang turun ke dunia untuk menyelamatkan kaum pilihan-Nya yang sejati dari segala bangsa. Di zaman Tuhan Yesus, kebudayaan Israel berjalan timpang. Mereka hanya meneliti Taurat secara akademis, tetapi tidak memiliki pengenalan yang benar akan Allah. Mereka tidak memiliki pengertian yang benar tentang: 1) Mengapa Tuhan memberikan Taurat dan kitab para nabi kepada mereka; dan 2) Apakah Taurat dapat menyelamatkan mereka. Maka Tuhan Yesus menegur mereka, “Engkau meneliti Kitab Suci karena engkau menyangka ada hidup kekal di dalamnya. Tetapi engkau tidak mau datang kepada-Ku.” Di sini terlihat bahwa sebenarnya mereka memisahkan antara “mencari firman Allah” dan “menerima Firman Allah yang berinkarnasi”.

Kita melihat bahwa ketika Yesus lahir, politik memperalat agama, yaitu Herodes membangun Bait Allah yang megah untuk orang Israel agar ia mendapatkan kedudukan di Yudea. Ketika Yesus mati, agama memperalat politik dengan memakai tangan Pilatus untuk menyalibkan Tuhan Yesus. Sepuluh Hukum melarang orang untuk membunuh, maka mereka menggunakan kuasa Pilatus. Ironisnya, Pilatus yang cuci tangan hingga tiga kali dan berkata bahwa ia tidak menemukan kesalahan dan dosa apa pun pada Yesus, tetap memberikan izin untuk menjatuhkan hukuman mati. Di sini kita melihat dua pihak yang saling memperalat. Kita harus tahu bahwa kalau engkau memperalat uang, maka uang pasti akan memperbudak engkau. Di dunia ini tidak ada pedagang yang bisa menang sendiri, apalagi kalau ia bermain-main dengan setan yang tidak pernah berdagang rugi. Ia pasti akan berusaha meremukkan engkau. Jadi, orang Yahudi meneliti Kitab Suci, menghargai firman yang berbentuk tulisan, tetapi menolak Firman yang berinkarnasi. Sebaliknya, mereka malah menyalibkan Dia. Mereka mengutamakan yang relatif dan membuang yang mutlak. Itulah sebabnya Tuhan membuang kebudayaan Yahudi. Hal ini ditandai dengan:

  1. Di awal Perjanjian Baru, Yohanes Pembaptis tidak bersaksi bagi Firman di Bait Allah yang megah, melainkan di padang gurun yang gersang. Ini membuktikan bahwa tanpa kehadiran Roh Kudus, maka Bait Allah tidak berarti apa-apa.
  2. Perjanjian Baru yang Tuhan wahyukan, tidak lagi ditulis dalam bahasa Ibrani, tetapi menggunakan bahasa Yunani.

Sayang, orang Israel tidak menyadari bahwa dirinya sudah dibuang, tetapi masih terus membanggakan Bait Allah yang dibangun atas kehendak Herodes, politikus yang memperalat agama, dan bukan mengerjakannya karena kehendak Tuhan. Demikian juga Kayafas, Hanas, dan semua pemimpin Israel membius diri, tidak peduli siapa yang membangun Bait Allah, terbuai oleh tempat ibadah yang mempesona. Bait Allah yang dibangun oleh Herodes memang indah luar biasa, dengan kubah besar berlapis emas, memberikan kemilau yang dapat dilihat hingga dua puluh lima kilometer jauhnya. Itu membuat mereka bangga dan merasa bahwa mereka adalah umat yang menyembah Allah yang Esa dan membangun satu-satunya Bait Allah di bumi. Akhirnya, Bait Allah ini dibangun selama enam puluh tahun lebih dan dipakai belum sampai dua puluh tahun, oleh Tuhan diizinkan untuk dihancurkan oleh tentara Romawi hingga habis.

Di tengah situasi demikian, orang yang dapat mengenali Yesus adalah orang yang berjiwa nabi. Dia adalah pemimpin zaman karena pemimpin zaman spiritual bukanlah orang yang mengenakan banyak lencana, melainkan manusia yang dapat membawa umat-Nya dari kesementaraan kepada kekekalan. Sama seperti Yohanes Pembaptis, meski hanya berpakaian bulu unta, makan belalang, minum madu, tak menerima apa-apa dari dunia, tetapi dia memberikan apa yang tidak dapat dunia berikan kepada manusia. Tuhan memakai orang seperti dia untuk mempersiapkan zaman yang akan datang. Ia membelah orang Israel menjadi dua, yaitu: 1) Orang yang menurut tradisi, tiap tahun tiga kali beribadah ke Bait Allah di Yerusalem, dan 2) Orang yang pergi ke Yerusalem untuk mendengar seruan Tuhan di padang gurun, “Bertobatlah kamu karena Kerajaan Allah sudah dekat!”

Saat itu, kebudayaan Yahudi sudah sangat terpuruk. Mereka datang beribadah kepada Tuhan, tetapi hati mereka jauh dari Tuhan. Inilah perbedaan antara doa orang Farisi dengan doa pemungut cukai. Justru pemungut cukai itu yang lebih dekat dengan Tuhan (Luk. 18:9-14). Ketika saya masih berada di tingkat dua sekolah theologi, seorang berkhotbah, “Adakah orang yang lebih kasihan dari mereka yang sudah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Tuhan, tetapi akhirnya dibuang oleh Tuhan?” Itu sebabnya, meskipun Tuhan sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk berkhotbah kepada puluhan juta orang, saya masih tetap gentar, takut dibuang oleh Tuhan.

Di tengah situasi yang buruk seperti itu, masih ada seorang pemimpin agama yang mempunyai hati nurani, yaitu Nikodemus. Ia datang menemui Yesus dan akhirnya pengertiannya dikoreksi oleh Tuhan Yesus. Yesus menyatakan, “Tidak ada seorang yang pernah ke sorga, kecuali Anak Manusia yang turun dari sorga dan tetap berada di sorga.” Pernyataan ini bisa saja mengundang cemooh dari Nikodemus, tetapi Nikodemus tidak mencemooh. Ia mau mendengar dan belajar. Kita sekarang melihat banyak orang yang baru belajar sedikit sudah cenderung suka mengkritik ini dan itu. Orang yang tidak mau belajar dengan baik, hanya mau mengkritik, akan dibuang oleh Tuhan.

Nikodemus tidak mencela Tuhan Yesus. Dia mencoba mencerna pernyataan Tuhan Yesus yang sangat dalam ini dengan rendah hati. Dan memang Tuhan Yesus tidak memberikan pengertian yang mendalam, konkret, dan jelas kepada semua orang, melainkan hanya kepada mereka yang rendah hati. Maka, orang yang rendah hati memperoleh lebih banyak berkat. Sebenarnya, melalui pernyataan itu, Tuhan Yesus ingin memberitahu mereka tentang adanya “Langit yang tertinggi” tempat Allah bertakhta, yang berbeda dengan langit atau sorga yang ada di dalam pikiran mereka.

Apa Itu “Langit”?

Apakah langit itu atmosfer, tempat bintang-bintang, atau galaksi-galaksi yang ada? Semua itu adalah alam semesta ciptaan Tuhan. Semua yang merupakan ciptaan pasti lebih rendah posisinya dari Penciptanya. Posisi Pencipta alam semesta, yaitu Tuhan sendiri, pasti lebih tinggi dari seluruh alam semesta yang dicipta. Maka “langit” yang di dalam ciptaan dan bersifat ciptaan, pasti mengandung sifat keterbatasan. Ini membedakan secara kualitatif antara Pencipta dan semua ciptaan. Lalu bagaimana ciptaan bisa mencela Pencipta? Itu adalah sesuatu yang sangat tidak tepat. Istilah “sorga” yang Yesus pergunakan sama dengan istilah “Yang Mahatinggi” yang digunakan oleh malaikat ketika kelahiran Yesus, “Kemuliaan bagi Allah di ‘tempat yang mahatinggi.’” Jadi, ini bukan “sorga” di mana Henokh dan Elia berada. Dengan kata lain, Henokh dan Elia bukan naik ke tempat yang tertinggi. Juga pernyataan Salomo saat mendedikasikan Bait Allah kepada Tuhan, “Langit dan langit di atas (langit) tak memadai untuk Kau huni… tempat-Mu di atas.” Ini menunjukkan bahwa Tuhan ada di tempat yang mahatinggi. Ada satu kesatuan antara berita Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Maka, ayat 13 ini memberikan pencerahan kepada Nikodemus, sesuatu yang ia belum pahami.

Di ayat 14, dialog antara Tuhan Yesus dan Nikodemus mengarah ke tahap yang lebih mendalam dan sekaligus menjadi puncak dialog ini, yaitu hidup kekal. Hidup kekal adalah hal yang tidak didapatkan di dalam Kitab Taurat maupun kitab para nabi. Hidup kekal hanya ada di dalam anugerah Yesus Kristus. Maka, Nikodemus yang belum diperanakkan pula tidak dapat memahami perkataan Yesus, “Kecuali engkau dilahirkan kembali, engkau tidak akan dapat melihat Kerajaan Allah.” Sekalipun sudah dijelaskan bahwa Roh bekerja sama seperti angin bertiup seturut keinginannya, yang mengisyaratkan kedaulatan Allah di dalam memberikan anugerah-Nya. Ia sekaligus menegaskan bahwa semua orang yang dicipta, yang menerima wahyu, dan yang ditebus, mengarah kepada satu tujuan: rencana Allah yang terbesar, yaitu menggenapkan janji-Nya tentang hidup kekal. Maka, tujuan terakhir dari seluruh janji Allah adalah memberikan hidup yang kekal, dan hidup kekal bukan di dalam Taurat dan bukan pula di dalam kitab para nabi, tetapi di dalam penebusan Kristus. Itu sebabnya, sebelum Nikodemus pergi, Yesus mengemukakan hal yang terpenting kepadanya, yaitu hidup kekal.

Kita tidak tahu apakah setelah Nikodemus meninggalkan Tuhan Yesus ia mengambil keputusan untuk percaya kepada Tuhan Yesus atau tidak. Yang kita tahu adalah adanya perbedaan akibat antara Tuhan Yesus berkhotbah kepada orang intelektual dan kepada wanita di Samaria. Yohanes 3 tidak memiliki akhir yang jelas, sementara Yohanes 4 memiliki akhir yang jelas, yaitu perempuan Samaria itu berseru kepada semua orang untuk datang kepada Yesus. Penginjilan di Yohanes 3 sepertinya tidak membuahkan hasil, sementara penginjilan di Yohanes 4 langsung membuahkan hasil yang besar. Tetapi Tuhan Yesus tidak menolak Nikodemus, malah menggunakan kesempatan yang langka itu untuk menyampaikan khotbah yang sangat penting. Yesus tidak melihat itu sebagai suatu kesia-siaan. Kita tidak boleh terpaku oleh tipuan setan, yang hanya melihat gejala yang tampak. Ada kalanya Tuhan memakai satu orang untuk mengubah suatu negara, atau bahkan suatu zaman. Kita melihat Filipus, seorang penginjil besar yang sudah melayani ribuan orang, diangkat oleh Roh Kudus ke padang gurun hanya untuk menginjili seorang sida-sida dari Ethiopia. Itu berarti kualitas bukan kuantitas. Tentu bukan berarti orang yang tidak dapat mencapai kuantitas pasti berkualitas. Namun, kita jangan hanya mengutamakan kuantitas tanpa memedulikan kualitas. Kita harus menjaga keseimbangan keduanya. Prinsip saya: kualitas terlebih dahulu, kuantitas akan mengikutinya.

Ketika Tuhan Yesus berdialog dengan Nikodemus yang berkedudukan tinggi di masyarakat, Ia tidak segan-segan memberitahukan: 1) Tanpa diperanakkan pula, engkau tidak akan melihat apalagi masuk ke dalam Kerajaan Allah; 2) Tidak seorang pun pernah naik ke sorga. Pernyataan Tuhan Yesus ini bisa membuat Nikodemus membenci-Nya atau sebaliknya justru takluk kepada-Nya, karena Yesus adalah figur yang paling paradoks di dalam sejarah. Bahkan menurut Kierkegaard, Ia adalah paradoks yang final dan sukses, dan harga yang harus dibayar untuk itu adalah kematian di kayu salib. 3) Engkau perlu hidup kekal. Hidup kekal tidak diperoleh melalui pendidikan akademis. Tentu tidak salah jika seseorang ingin mengetahui dan mempelajari Kitab Suci dengan mendalam, karena studi akademis memang penting. Namun, setelah Mesias sungguh tiba, orang tidak perlu hanya meraba-raba bayang-bayang-Nya atau masih terus menanti kedatangan-Nya. Seharusnya kita langsung datang kepada-Nya dan menerima-Nya. Untuk itu Yesus menyinggung suatu peristiwa sejarah yang penting, yaitu Musa meninggikan ular tembaga di padang belantara. Uniknya adalah bukan di Bait Allah, tetapi di padang belantara.

Saya sulit mengerti, mengapa Alkitab menggunakan ‘ular’ yang sering kali dipakai sebagai lambang setan tetapi kali ini dipakai untuk melambangkan Kristus. Saat di padang belantara, Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat ular tembaga dan mengangkatnya tinggi-tinggi, sehingga dapat dilihat oleh semua orang yang telah digigit ular berbisa dan meluputkan mereka dari kematian. Setelah Perjanjian Lama mencatat peristiwa itu, tidak ada seorang pun yang menyinggung lagi, sampai Tuhan Yesus menyinggungnya di ayat 15. Istilah “ular” muncul beberapa kali di Alkitab, antara lain: 1) Di taman Eden, di mana ular menggoda manusia; 2) Di padang belantara, di dalam pembicaraan Tuhan Yesus dengan Nikodemus ini (baik di Perjanjian Lama maupun di Perjanjian Baru); 3) Di kitab Kisah Para Rasul di mana ular keluar dari api unggun dan menggigit Paulus, tetapi Paulus tidak mati; 4) Di kitab Wahyu dengan sebutan naga (ular besar). Jadi, dari Kejadian hingga Wahyu ular dipakai untuk melambangkan setan. Tetapi ular tembaga adalah lambang Yesus Kristus, yang memberikan keselamatan kepada orang yang digigit ular berbisa. Di sini Yesus dinyatakan datang ke dunia mengenakan tubuh manusia berdosa tetapi Dia tidak berdosa.

Pernah suatu kali ketika saya akan berkhotbah di penjara Medan, mereka meminta saya mengenakan pakaian tahanan karena itu adalah peraturan di sana. Saya harus mengenakan pakaian yang sama seperti para narapidana. Itu membuat saya lebih mengerti tentang inkarnasi. Ketika saya bercermin, saya merasa aneh karena saya menjadi seperti narapidana, tetapi sebenarnya kami berbeda, saya pengkhotbah sedangkan mereka betul-betul narapidana. Demikian pula ketika Tuhan Yesus datang ke dunia, Ia rela menyamakan keadaan lahiriah-Nya dengan kita, manusia berdosa; tetapi sebenarnya secara hakikat tidak sama. Maka Tuhan memerintahkan Musa untuk mengangkat ular tembaga tinggi-tinggi dan menyuruh semua orang yang digigit ular berbisa untuk memandang ular tembaga yang tidak berbisa, dan mereka pun terselamatkan. Itulah cara Tuhan menyelamatkan kita. Manusia diciptakan menurut peta teladan Allah; setelah jatuh ke dalam dosa, Tuhan Yesus datang mengenakan peta teladan manusia. Sungguh suatu perkara yang begitu dalam dan begitu indah. Ular melambangkan setan, juga melambangkan Kristus. Dia bukan memberikan bisa kepada kita, melainkan membebaskan kita dari bisa ular yang mematikan. Sama seperti orang-orang yang memandang kepada ular tembaga yang ditinggikan itu akan sembuh, demikian pula orang yang memandang kepada Kristus, Anak Manusia yang ditinggikan itu akan beroleh hidup kekal. Inilah kalimat terakhir yang Yesus katakan kepada Nikodemus. Setelah itu, Yohanes menyambung dengan ayat 16 yang sudah sangat dikenal. Banyak orang menafsirkan ayat 16 sebagai perkataan yang Yesus katakan kepada Nikodemus, tetapi bagi saya, pernyataan ini adalah pernyataan yang Yohanes tulis untuk memperkenalkan Kristus.

Sejak Yohanes 3, kita menemukan adanya pemisah yang besar antara yang sorgawi dan yang duniawi. Kita telah membahas tentang perbedaan kualitatif antara sorga dan neraka yang dinyatakan di ayat 12. Injil Yohanes berbicara bagaikan sinar tajam yang memisahkan apa yang dari Allah dan apa yang dari manusia, “Kamu telah meneliti theologi Perjanjian Lama, Taurat Musa 1.500 tahun yang lalu, tetapi Aku berkata kepadamu, jika kamu tidak mengerti bahwa yang dari sorga berbeda dari yang dari dunia, maka semua pengajaran dan kesaksianmu hanya membawa orang untuk mengerti hal-hal yang ada di bumi dan bukan hal-hal sorgawi. Itu sebabnya, engkau perlu diperanakkan pula, karena yang dari dunia mengatakan hal-hal dunia, sementara yang dari sorga lebih tinggi dari semua yang dicipta. Allah Bapa telah menyerahkan segala sesuatu ke dalam tangan-Nya, dan Dia akan mengatakan kepadamu perkara yang bukan dari dunia.” Jadi, kunci utama untuk mengerti Injil Yohanes adalah mengerti pembedaan yang dari dunia dan yang dari sorga.

Ketika kita membandingkan semua pernyataan yang paling besar atau paling agung dari agama, kebudayaan, dan filsafat; pernyataan Konfusius, Shakyamuni, Muhammad, Socrates, Aristoteles, Zoroaster, dengan pernyataan Tuhan Yesus, kita akan segera menemukan bahwa Ia adalah satu-satunya yang datang dari sorga. Konfusius pernah mengajarkan: Jangan memberikan sesuatu yang tidak engkau inginkan dari orang lain. Sementara Yesus mengajarkan: Apa yang engkau inginkan, berikan dan lakukan kepada orang lain. Sepertinya mirip, tetapi sangat berbeda. Yang satu bersifat pasif-negatif, yang lain bersifat aktif-positif. Kalau engkau tidak ingin dihina, jangan menghina; kalau tidak ingin dirugikan, jangan merugikan orang. Tetapi pengajaran Yesus sangat positif: jika engkau ingin dihormati, hormatilah orang lain; jika engkau ingin dicintai, cintai orang lain. Jadi, etika Kristen bukan hanya mengutamakan motivasi, tetapi juga bersifat inisiatif. Inilah sifat sorgawi. Maka kekristenan menjadi satu-satunya agama yang memerintahkan orang untuk pergi mengabarkan Injil ke seluruh dunia, menjadikan semua bangsa murid Kristus.

Ketika saya masih berusia 28 tahun, setelah saya mengucapkan pernyataan tersebut di kota Padang, seorang profesor yang sangat terpelajar mengajukan pertanyaan: “Benarkah agama lain tidak punya inisiatif? Bagaimana dengan ajaran Konfusius yang mengatakan bahwa engkau harus menegakkan diri dulu baru bisa menegakkan orang lain? Bukankah dia juga mengajarkan orang untuk berinisiatif?” Saya menjawab, “Sejarah memberitahukan kita bahwa ajaran Konfusius sudah 2.600 tahun dan tidak ada orang Tionghoa yang pergi memelopori ajaran Konfusianisme ke negara lain. Hanya Kristus yang memberikan amanat agung kepada murid-murid-Nya.” Dari banyak contoh kita bisa menemukan perbedaan kualitatif: firman Allah yang dikatakan oleh Anak Allah, yang datang dari tempat tinggi, membawa firman kekal Allah kepada manusia.

Tentu tidak mudah bagi Nikodemus untuk menerima pernyataan yang Yesus katakan, apalagi Yesus mengatakannya tanpa basa-basi, begitu tegas dan keras dan tidak ada satu pun pernyataan-Nya yang menyenangkan. Ini menunjukkan bahwa pelayanan Yesus bukanlah berorientasi pasar atau keuntungan. Ia juga tidak berusaha menyenangkan telinga pendengar-Nya. Dia bukan pengkhotbah yang meng­ompromikan kebenaran demi menyenangkan pendengar-Nya, karena Dia adalah kebenaran yang benar-benar memaparkan kebenaran, dengan motivasi yang benar, dengan sikap yang benar. Akibatnya: barangsiapa mendengar firman-Nya harus mendengarkannya dengan gentar, dengan rendah hati, dan merenungkannya dalam-dalam, tanpa sibuk dengan reaksi psikisnya, untung rugi pribadinya, baru bisa mengerti kebenaran yang dinyatakan kepadanya.

Betapa besar anugerah Nikodemus ketika ia bertemu dengan Tuhan Yesus, yang mungkin sangat singkat tetapi menerima kebenaran yang murni, yang tidak mengenal kompromi, yang begitu kental, dan mendalam. Itu membuat ia merenungkannya berulang-ulang dan menurut tradisi, ketika tua ia memimpin seluruh keluarganya menjadi Kristen. Perubahan hidup Nikodemus dimulai dari pertemuannya dengan Yesus pada malam itu. Ia tidak membantah, hanya bertanya dan merenungkan, karena memang ia tidak mengerti. Bahkan ia rela menerima teguran keras Yesus kepadanya. Biarlah ini juga menjadi sikap kita, meneladani Nikodemus yang mau belajar dan mau mengerti firman.

Setelah Nikodemus pulang, ada dua kemungkinan: 1) Mulai membenci Yesus; 2) Semakin rendah hati. Fakta yang kita dapat adalah ia semakin rendah hati dan kemudian seluruh keluarganya menjadi Kristen, dan risikonya, ia dan keluarganya dikucilkan oleh orang Yahudi. Diceritakan bahwa pada usia tuanya, ia sangat sulit hidupnya. Bersama anaknya, ia mengumpulkan kayu di bukit-bukit sekitar Yerusalem untuk dijual menjadi kayu bakar. Dia mengerjakan itu sampai akhir hidupnya. Itulah harga yang begitu mahal untuk mengikut Tuhan Yesus.

Maukah engkau mengikut Tuhan dengan sungguh-sungguh? Maukah engkau mendengar firman Tuhan dengan tekun dan mengabdi kepada-Nya seumur hidupmu? Jawablah pada Tuhan!

 

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong