Seperti kita ketahui bahwa  Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sudah tidak dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) karena telah dialihkan pengelolaannya kepada Pemerintah Daerah. Pengalihan pengelolaan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah merupakan bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Tepatnya pada tanggal 15 September 2009, pemerintah telah mengesahkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, yang secara resmi berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Kehadiran UU PDRD tersebut  menggantikan UU yang lama yaitu UU No. 18 Tahun 1997 tentang PDRD. Dalam Bagian Keenam Belas UU No. 28 Tahun 2009 mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Sedangkan Bagian Ketujuh Belas tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009 tentang  PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan  PBB P2 dan BPHTB. Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB diatur oleh menteri keuangan bersama dengan menteri dalam negeri (UU PDRD Pasal 182). Maka kegiatan proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan PBB-P2 akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).

Pengalihan Pengelolaan PBB-P2 & BPHTB

Tujuan Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai dengan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:

  1. meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah
  2. memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru (menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah),
  3. memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan memperluas basis pajak daerah,
  4. memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah, dan
  5. menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah.

Ada beberapa pandangan yang mengatakan bahwa sebelumnya walaupun  PBB – P2 dan BPHTB merupakan pajak  pusat sesuai  dengan ketentuan  UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 dan UU NO. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan  sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000, namun penerimaan pajak tersebut, secara mayoritas, diserahkan kembali kepada daerah kabupaten/kota. Cara seperti ini lebih disukai oleh banyak pemerintah kabupaten/kota. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memungut pajak tersebut, tetapi hanya menerima bagi hasilnya saja. Tampak pada gambar dibawah pengalokasian penerimaan pajak tersebut :

Provinsi dan kabupaten/kota otonom hanya mendapat bagian dari PBB yang ditetapkan besarannya ditetapkan pemerintah pusat dan juga dikumpulkan terlebih dahulu oleh pemerintah pusat untuk kemudian dibagi-bagikan. Kini, bukan saja semua jumlah PBB akan menjadi bagian langsung APBD, tetapi juga wewenang penetapannya akan berada di tangan pemerintah kabupaten/kota otonom. Penerimaan PBB-P2 dan BPHTB akan sepenuhnya masuk ke pemerintah kabupaten/kota sehingga diharapkan mampu meningkatkan jumlah pendapatan asli daerah. Pada saat PBB-P2 dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8 % dan BPHTB hanya mendapatkan 64%. Setelah pengalihan ini, semua pendapatan dari sektor PBB-P2 dan BPHTB akan masuk ke dalam kas pemerintah daerah.

Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah kini mempunyai tambahan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari Pajak Daerah, sehingga saat ini Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari sebelas jenis pajak, yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengalihan pengelolaan BPHTB dilaksanakan  mulai 1 Januari 2010 dan pengalihan pengelolaan PBB-P2 ke seluruh pemerintahan kabupaten/kota dimulai paling lambat 1 Januari 2014. Kemudian, agar terciptanya kelancaran dalam pengelolaan PBB-P2, pemerintah kabupaten/kota harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Kebijakan NJOP agar memperhatikan konsistensi, kesinambungan dan keseimbangan antar wilayah
  2. Kebijakan tarif PBB, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat
  3. Menjaga kualitas pelayanan kepada WP, dan
  4. Akurasi data subjek dan objek pajak dalam SPPT tetap terjaga

PBB Perdesaan dan Perkotaan

Objek PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dalam UU PBB dikenakan untuk semua sektor :

  1. Bumi : Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota.
  2. Bangunan : Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.

Sementara Subjek Pajak dan Wajib Pajak PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah Orang Pribadi atau badan yang secara nyata :

  • mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau;
  • memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau;
  • memiliki bangunan, dan/atau;
  • menguasai bangunan, dan/atau;
  • memperoleh manfaat atas bangunan.

PBB Pedesaan dan Perkotaan terutang menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari dan terutang di wilayah daerah yang meliputi letak objek pajak. Dasar pengenaan PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan osetiap tahun sesuai perkembangan wilayah. Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah.

Pendataan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak dan disampaikan kepada Kepala Daerah yang wilayah kerjanya meliputi objek pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak.

Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang). Apabila Wajib Pajak setelah ditegur secara tertulis oleh Kepala Daerah tidak juga menyampaikan SPOP atau berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan Wajib Pajak, maka Kepala Daerah dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD).

PBB Sektor Perkebunan, Kehutanan, dan Pertambangan (PBB P3)

Atas PBB – P3 masih  merupakan penerimaan pajak pusat, adapun PBB P3 itu adalah sebagai berikut :

Sektor Perkebunan

Objek pajak sektor perkebunan adalah adalah objek pajak bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang diberikan hak guna usaha perkebunan. Hal ini di atur dalam PER-64/PJ/2010 tanggal 27 Desember 2010 dan penegasan dalam SE-149/PJ/2010 tanggal 27 Desember 2010.

Sektor Perhutanan

Objek pajak sektor Perhutanan adalah bumi dan/atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang diberikan hak pengusahaan hutan. Objek pajak bumi di dalam sektor perhutanan terdiri dari areal produktif, areal belum produktif, areal emplasemen, dan areal lain.

  • Areal produktif adalah merupakan areal hutan yang telah ditanami pada hutan tanaman, atau areal blok tebangan pada hutan alam.
  • Areal belum produktif merupakan areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami pada hutan tanaman, atau areal hutan yang dapat ditebang selain blok tebangan pada hutan alam.
  • Areal emplasemen adalah areal yang digunakan untuk berdirinya bangunan dan sarana pelengkap lainnya dalam perhutanan termasuk areal jalan yang diperkeras.
    Areal lain adalah areal hutan selain dari areal produktif, areal belum produktif, dan areal emplasemen.

Objek pajak sektor Perhutanan diatur dalam PER-36/PJ/2011 tanggal 18 Nopember 2011 dan penegasan dalam SE-89/PJ/2011 tanggal 18 Nopember 2011.

Sektor Pertambangan

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Berdasarkan undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan bahan galian adalah unsur-unsur kimia mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Bahan-bahan galian ini terbagi atas 3 (tiga) jenis yaitu:

  • Bahan galian strategis dalam arti strategis bagi pertahanan dan keamanan serta perekonomian negara, antara lain seperti minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas alam, bitumen padat, aspal, batubara, uranium  dan bahan radio aktif lainnya, nikel, timah.
  • Bahan galian vital dalam arti dapat menjamin hajat hidup orang banyak, antara lain seperti besi, mangaan, wolfram, tembaga, emas, perak, platina, yodium, belerang.
  • Bahan galian yang tidak termasuk jenis a atau b dalam arti karena sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, antara lain seperti nitrat-nitrat, garam batu, asbes, batu permata, pasir kwarsa, batu apung, batu kapur, granit, andesit.

Sektor pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua jenis golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya. Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan dapat diklasifikasikan ke dalam 3(tiga) jenis yaitu:

  1. Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba)
  2. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Migas)
  3. Pertambangan Energi Panas Bumi

 

 

Bersambung…