Dalam tulisan-tulisan sebelumnya telah disinggung tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) diantaranya berjudul Perjanjian Pajak.

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dikenal dengan beberapa istilah yaitu Perjanjian Perpajakan (Tax Treaty), Tax Convention, Double Tax Agreement atau  Double Tax Treaty.

Beberapa pendapat sepakat mengatakan bahwa Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam meningkatkan arus investasi dan perdagangan suatu negara, hal ini sesuai dengan tujuan dari  P3B, yaitu:

  1. Memfasilitasi perdagangan internasional dan arus investasi antar negara, antara lain dengan cara :
    1. Menghindarkan pengenaan pajak berganda
    2. Memberikan pengurangan tarif pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu, Pembagian Hak Pemajakan.
  2. Alat untuk lebih dapat menerapkan aturan-aturan domestiknya, tentang: anti tax avoidance (Pengelakan Pajak) , EoI (Exchange  Of Information), Mutual Agreement Procedure (MAP).

Seperti kita ketahui bahwa pajak berganda timbul karena dua negara mengenakan pajak atas penghasilan yang sama. Maka ketentuan-ketentuan dalam P3B yang dimaksudkan untuk mencegah pengenaan pajak berganda ini misalnya :

  • Adanya ketentuan untuk menyelesaikan kasus dual residence di mana seseorang atau badan diakui sebagai subjek pajak dalam negeri (resident tax person) oleh dua negara yang berbeda. Aturan ini dikenal dengan istilah Tie Breaker Rule yang dicantumkan dalam Pasal 4 ayat (2) P3B.
  • Adanya ketentuan pembagian hak pemajakan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 21 P3B untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Pembagian hak pemajakan ini ada yang bersifat ekslusif diberikan hanya kepada satu negara dan ada juga yang berupa pembatasan kepada suatu negara untuk mengenakan pajak.
  • Adanya ketentuan tentang Corresponding Adjustment terhadap lawan transaksi di suatu negara dalam hal negara yang lain melakukan koreksi terhadap satu Wajib Pajak yang melakukan transfer pricing.
  • Adanya ketentuan tentang penerapan metode penghindaran pajak berganda yang diatur dalam Pasal 23 P3B.
  • Adanya ketentuan tentang Mutual Agreement Procedures (MAP) di mana jika satu Wajib Pajak diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan P3B di negara lain maka Wajib Pajak tersebut dapat meminta otoritas pajak untuk menyelesaikan masalahnya melalui MAP ini.

Maka dengan motivasi tersebut di atas  pada UU PPh nomor 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal 32 dikatakan bahwa “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”

Hal ini menegaskan bahwa dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Adapun tujuan P3B terkait dengan Pasal 32A tersebut adalah :

  • Penghindaran pajak berganda
  • Pencegahan pengelakan pajak
  • Peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain
  • Memberikan kepastian hukum

Kedudukan P3B Dalam UU PPh

P3B (Tax Treaty) merupakan kesepakatan bilateral dua negara tentang bagaimana mengatur pengenaan pajak yang memiliki dimensi internasional dari dua negara yang melakukan kesepakatan itu agar tidak terjadi pengenaan pajak secara berganda. Pengaturan ini menjadi penting karena beban pajak yang ditanggung oleh orang atau badan yang memiliki kaitan di dua negara tersebut akan mempengaruhi keputusan investasi dan permodalan di antara kedua negara tersebut. Lalu bagaimana kedudukan  UU domestik suatu negara terkait P3B ini, khususnya di Indonesia?

Sesuai dengan penjelasan UU PPh Pasal 32 A disebutkan bahwa kedudukan P3B adalah lex spesialis dari UU PPh, artinya bila terjadi perbedaan pengaturan antara UU PPh dan Tax Treaty, maka ketentuan dalam tax treaty yang diberlakukan.

Sampai dengan pertengahan tahun 2012 sudah ada sekitar 60 P3B Indonesia dengan negara lain yang sudah berlaku efektif. Jumlah ini akan terus bertambah karena ada beberapa P3B lagi yang belum berlaku efektif tetapi masih dalam proses  perundingan, penandatanganan, ratifikasi atau proses pemberlakuan. P3B lebih banyak meliputi perjanjian yang menyangkut pembagian kewenangan perpajakan atas pajak yang menyangkut pembayaran bunga, royalti, deviden, dan pajak atas laba cabang. Ke 60 negara tersebut seperti tampak pada tabel di bawah :

Interaksi UU PPh Dan P3B

Apabila dalam suatu transaksi internasional terjadi maka perlu dilakukan proses identifikasi terlebih dahulu tentang Subjek dan Objek Pajaknya lalu ditentukan perlakuan perpajakan menurut ketentuan UU Pajak Penghasilan. Apabila diketahui bahwa atas transaksi tersebut ada Pajak Penghasilan yang terutang maka perlu dicermati apakah antara Indonesia dengan Subjek Pajak Luar Negeri tersebut memiliki P3B. Hal ini sering terjadi dalam 2 (dua) kondisi yaitu :

  1. Apabila memiliki P3B, dimana Indonesia memiliki P3B dengan negara residen maka WP Luar Negeri tersebut adalah mitra P3B Indonesia. Diperlukan syarat SKD yang sah untuk selanjutnya diterapkan tarif pajak sesuai P3B tersebut.
  2. Apabila P3B berkonflik dengan UU PPh, maka diperlukan permintaan MAP (Mutual Agreement Procedure) untuk memberi kepastian hukum dan panduan dalam prosedur administratif MAP dalam P3B, konlik terjadi semisal :
    1. Status Subjek Pajak Dalam Negeri
    2. Keberadaan BUT
    3. Hak Pemajakan
    4. Besarnya penghasilan (tax base)
    5. Besarnya tarif pajak
    6. Definisi penghasilan/harta
    7. Sumber penghasilan,

Model Dan Struktur P3B

Terdapat 2 (dua) model P3B, yaitu OEC Model dan United Nations Model, kedua model ini digunakan sebagai referensi bagi para negara dalam membuat P3B. Atau sebagai acuan kedua negara dalam menyamakan bentuk P3B yang hendak dirundingkan. Bagi Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kedua model digunakan sesuai dengan kondisi dalam perundingan, dengan landasan dasar adalah kepentingan nasional. Adapun kedua model P3B tersebut memiliki karakteristik masing-masing yaitu :

  1. The Organisation for Economic Co-operation and Development Model (OECD Model) memiliki karekteristik utama melindungi hak pemajakan negara domisili dalam wujud :
    1. Pencantuman definisi istilah ke dalam P3B untuk mencegah penggunaan definisi yang terdapat dalam hukum domestik negara sumber.
    2. Pembatasan hak pemajakan negara sumber dalam bentuk seperti: syarat-syarat, time test yang lebih panjang, dan pembatasan tarif pajak.
  2. United Nations Model (UN Model) lebih condong melindungi hak pemajakan negara sumber dibandingkan OECD Model.

Pasal- pasal dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dapat dikelompokan menjadi :

  1. Ruang Lingkup (Scope)
  2. Definisi (Definition)
  3. Substansi yaitu tentang pembagian hak pemajakan atas penghasilan
  4. Anti Penghindaran Pajak,
  5. Metode menghilangkan pajak berganda
  6. Lain-lain

Pengelompokan pasal-pasal dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

Penerapan & Penggolongan Penghasilan Dalam P3B

Teknik yang digunakan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dalam rangka menghindari adanya pemajakan berganda adalah dengan menggolongkan suatu penghasilan berdasarkan suatu penggolongan tertentu dan menentukan hak pemajakan suatu negara atas jenis-jenis penghasilan yang dihasilkan dari penggolongan penghasilan tersebut. Penentuan jenis penghasilan merupakan hal penting karena akan menentukan negara mana yang berhak untuk memajaki penghasilan tersebut. Secara umum penggolongan penghasilan dalam pasal-pasal (lihat substansi dalam pengelompokan di atas) yang disebut sebagai distributive rules, yaitu :

  1. Active Income, merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan pekerjaan. Jenis-jenis yang di atur yaitu Penghasilan dari kegiatan bisnis, transportasi baik  laut, sungai dan udara, penghasilan dari pemberian jasa profesi yang dilakukan oleh individu (Independent Personal Service), gaji pegawai (Dependent Personal Service), penghasilan direktur, artis,  dan olahragawan, gaji PNS, dan penghasilan yang diterima pelajar.
  2. Pasive Income, merupakan penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk tangibel maupun intangibel properties. Jenis-jenis yang di atur yaitu : penghasilan dari harta tidak gerak, penghasilan dari dividen, bunga, royalty, capital gain serta pensiun.
  3. Other Income, pasal ini mengatur  penghasilan  yang tidak dapat digolongkan  berdasarkan  penggolongan tersebut di atas.

Hak pemajakan suatu negara berdasarkan distributive rules yang di atur dalam P3B pada dasarnya adalah sebegai berikut :

  • Hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada salah satu negara. Umumnya  kepada negara dimana Subjek Pajak terdaftar sebagai SPDN (Resident State).
  • Hak pemajakan dibagi  antara negara domisili dan negara sumber penghasilan

Dalam pembagian hak pemajakan kepada suatu negara, P3B yang dikembangkan oleh OECD model cenderung memberikan hak pemungutan pajak sebanyak mungkin kepada negara domisili. Artinya ketentuan-ketentuan yang ada dalam distributive rules dimaksudkan untuk membatasi hak pemajakan negara sumber.

Penutup

Seperti kita ketahui bahwa pajak berganda timbul karena dua negara mengenakan pajak atas penghasilan yang sama. Maka dilakukanlah perjanjian Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara dua negara tersebut, dimana objek perjanjian perpajakan adalah jenis-jenis pajak yang ada di masing-masing negara yang tercakup oleh perjanjian perpajakan, dan jenis-jenis penghasilan yang diperoleh dan yang diterima oleh orang atau badan yang tercakup perjanjian perpajakan, serta bagaimana perlakuan perpajakan atas jenis-jenis penghasilan tersebut.

Karena perjanjian perpajakan hanya mengatur prinsip-prinsip pemajakan yang dapat diterapkan di kedua negara. Maka bagaimana cara melaksanakan prinsip-prinsip pemajakan tersebut di masing-masing negara, akan sangat tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan pajak masing-masing negara.

 

Artikel Terkait :