Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. (Matius 5:7).

Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. (1 Yohanes 3 : 17-18).

Jika sebelumnya telah dibicarakan tentang elemen-elemen pengudusan emosi dalam hidup orang Kristen, maka kali ini kita berbicara mengenai elemen lainnya, yaitu : Simpati. Sebagai orang Kristen, kita harus memiliki rasa simpati, kemurahan yang suci, serta hati yang berbelas kasihan kepada orang lain, di mana semuanya itu merupakan elemen-elemen yang sangat penting. Ini adalah salah satu aspek yang paling anggun dari karakter yang mungkin dicapai oleh seseorang. Kadang-kadang kita melihat orang yang kurang bersimpati, kurang bermurah hati, dan kurang berbelas kasihan, dapat memperlakukan sesama manusia seperti seekor binatang. Mengapa? Karena dia lupa bahwa dirinya sendiri adalah manusia dan sesamanya yang diperlakukan demikian pun juga seorang manusia. Dalam hubungan antar manusia diperlukan sebuah tali ikatan, yang mengikat keduanya berdasarkan emosi yang sangat indah, yaitu simpati.

Mengerti Simpati

Kata simpati terdiri dari gabungan kata “sym,” yang berarti bersama-sama, harmonis, kebersamaan;  dan “pathos,” yang berarti perasaan. Kita memerlukan pengertian dan perasaan bersama , bahwa dia manusia, saya pun manusia. Manusia mempunyai perasaan yang mirip, sama-sama adalah manusia yang sama-sama memerlukan perasaan sama, maka saya harus mengerti dari sudut ini apa yang dirasakan oleh orang lain.

Jika kita sendiri memiliki perasaan yang halus, tetapi mengira orang lain itu binatang, sebongkah kayu, dan benda yang tidak berperasaan, maka kita tidak lagi, menjalankan tugas dan kewajiban kita sebagai manusia yang harus bersimpati. Di dalam percakapan dua orang, jika kita melihat orang ketiga yang terus berbicara sendiri dan tidak mau mendengar orang lain, jangan pernah kita menjadi kawannya. Jika kita dalam pembicaraan dengan orang lain, yang dibicarakan  hanya anaknya sendiri atau usahanya sendiri, dan tidak pernah mau mengetahui kesulitan orang lain, jangan kita menjadi kawannya. Mungkin secara tidak sadar kita juga sudah menjadi orang semacam ini. Jika berbicara, hanya membicarakan diri kita sendiri; hanya bicara tentang perasaan sendiri, bicara tentang untung sendiri, dan segala sesuatu yang ada sangkut paut nya dengan diri sendiri. Orang seperti ini tidak akan pernah menjadi pendengar yang baik. Kalau bertemu dengannya, dia akan terus berbicara, dan hanya dia saja yang mau didengar, dan dimengerti; pada waktu orang lain mulai berbicara, dia pergi. Mungkin juga kita sudah membiasakan diri menjadi orang semacam ini.

Di dalam pergaulan, kadang-kadang kita perlu mendengar, perlu mengerti, perlu bersabar mengetahui apa yang dirasakan dan dikatakan orang lain. Berbeda dengan seorang guru, mustahil dan tidak benar jika seorang guru sepanjang hari hanya mendengar murid, karena murid memang datang untuk mendengarkan guru. Orang Kristen yang terus menerus meminta Tuhan untuk mendengarnya, tetapi tidak mau terus menerus mendengarkan Tuhan, bagaikan Gereja-gereja Kharismatik yang hanya terus berdoa, mau Tuhan mendengar, tetapi tidak memedulikan Firman sebagai kebenaran Allah serta hanya menonjolkan kesaksian manusia dan doa keinginan manusia yang diemosikan. Mereka terlihat giat sekali, tetapi sebenarnya tidak baik-baik mendengarkan Firman Tuhan. Apabila orang Kristen seumur hidupnya tidak mau mendengarkan Firman Tuhan, hanya mau Tuhan mendengarkan kita, hal ini tidaklah adil.

Simpati Vertikal Dan Horizontal

Ketika Tuhan berbicara kepada manusia, Dia tidak mungkin salah, karena Dia adalah kebenaran. Dalam relasi guru dengan murid, guru yang berbicara, karena guru yang mengajar dan murid mendengarkan. Tetapi di dalam persamaan sebagai saudara, sebagai anggota dalam komunitas, atau sebagai sesama orang Kristen, atau sebagai sesama manusia, kita perlu saling , mendengarkan. Kecuali jika kita betul-betul mengakui bahwa orang itu benar-benar mengerti lebih banyak dan kita mau belajar dari dia, maka belajarlah mendengar. Kalau tidak, kita harus  mempunyai perasaan yang sama satu dengan yang lain. Dengan demikian, kita memupuk pengertian isi hati, pengertian perasaan, dan pengertian kebutuhan orang lain.

Kebudayaan di Barat dan Timur mempunyai titik tolak yang berbeda sehingga mengakibatkan pemusatan yang berlainan dalam menjadikan titik tolak atau pusat dalam mengembangkan seluruh sistem kebudayaan. Di Barat, rasio yang diutamakan. Di Timur, perasaan yang diutamakan. Itulah sebabnya  banyak agama timbul di Timur, bukan di Barat; logika berkembang di Barat, bukan di Timur. Pendidikan lebih banyak dianggap penting di Barat, tetapi meditasi dan perasaan budaya yang harus dari hati manusia dikembangkan di Timur. Mengapa orang Barat kalau mau  bermeditasi pergi ke Timur, sedangkan orang Timur mengirim anaknya sekolah ke Barat. Mengapa kita tidak mengirim anak kita sekolah ke Irak? Kenapa sesudah lulus anak kita tidak dikirim ke Srilanka? Kenapa anak kita tidak dikirim ke Jerman, Amerika, Belanda, Inggris, Australia? Namun demikian, dunia Barat telah merasionalisasikan agama dan theologi, sedangkan dunia Timur lebih mementingkan perasaan jiwa, hati, bermeditasi, dan perenungan. Inilah perbedaan Barat dan Timur. Orang yang penting di Gerika adalah Aristoteles, orang yang penting di Asia adalah Mencius.

Menceus mengatakan empat kalimat yang penting tentang bagaimana mengembangkan sesuatu yang sudah ada dalam jiwa manusia. Istilah “ren jie you ze” berarti setiap orang yang disebut manusia – semua orang sama sama memiliki – itu tidak berbeda – semua orang sama-sama memiliki – itu tidak berbeda. Tidak ada perbedaan warna kulit, hitam, putih, coklat, atau bangsa, suku, bahasa. Semua yang disebut manusia itu sama. Ini penemuan besar. Menemukan persamaan menjadi suatu dasar kemungkinan untuk mencapai perdamaian. Menemukan perbedaan mungkin menjadi penyebab peperangan. Peperangan terjadi karena ”kamu berbeda dengan saya, dan saya harus menghancurkan kamu.” Tetapi ketika kita menemukan persamaan kita dengan orang lain, persamaan-persamaan yang digali dan disadari mengakibatkan kita mencari keharmonisan. Tapi sebenarnya, orang yang mengerti persamaan namun tidak mengerti perbedaan adalah orang yang agak bodoh, sebaliknya yang bisa mengerti perbedaan dia adalah orang yang pintar. Jika kita hanya bisa mengerti persamaan antara monyet dan manusia, kita hanya mengerti teori evolusi, tetapi mengerti perbedaan manusia dengan monyet barulah menemukan keunikan ciptaan Tuhan.

Empat Keunikan Manusia Versi Mencius

Mencius berdasarkan wahyu umum telah mengatakan, “Semua manusia (ren jie you ze) sama-sama memiliki empat hal.” Keempat hal tersebut meliputi :

  1. Perasaan Terharu. Perasaan terharu kita berbeda dengan binatang. Pada waktu seorang anak kecil sakit, dia menangis. Kita bukan anak kecil, kita sudah dewasa, tapi ketika kita melihat anak kecil menangis karena sakit, kita ikut menangis dan terharu. Kita sedih, karena kita terharu. Perasaan terharu ini membuktikan bahwa kita adalah manusia. Tetapi ketika seorang anak kecil menangis , apakah seekor harimau datang dan berkata, “Kasihan ya. Meskipun aku lapar, tapi aku terharu, aku pergi dan tidak jadi makan”? Tidak, anak itu pun langsung dimakan harimau, karena harimau bukan manusia. Harimau tidak bisa merasa terharu karena emosinya tidak dapat terangsang menjadi emosi simpati. Menurut Mencius, perasaan terharu adalah aspek pertama atau fungsi pertama dari hati nurani.
  2. Perasaan Malu. Perasaan kedua adalah rasa malu. Ketika kita berbuat salah, kita menjadi malu. Kita malu mengapa mengatakan kalimat tertentu, mengapa mengerjakan sesuatu, atau bersikap seperti itu. Orang yang berbuat salah bisa merasa malu. Orang yang berkata salah bisa merasa malu. Orang yang bertindak salah bisa merasa malu. Orang setelah berbuat dosa bisa menyesal dan merasa malu. Binatang tidak. Jika ada orang orang yang setelah berbuat dosa tidak malu, malah membanggakan diri, “Coba lihat, aku bisa menipu papaku, istriku, mereka tidak tahu,” maka orang itu lebih mirip binatang, dan tidak mirip manusia. Manusia adalah manusia, karena manusia dapat menjadi malu karena kesalahannya. Ini adalah hal yang sangat penting, yang dapat menjadikan kita mungkin bertobat, mungkin meninggalkan dosa, mungkin hidup lebih baik karena kita memiliki kesanggupan atau daya dasar untuk merasa malu karena dosa.
  3. Perasaan Hormat dan Mengalah. Perasaan unik yang ketiga adalah kerelaan menghormati orang lain dan mengalah. Perasaan ini dimiliki oleh setiap orang. Ketika kita berada di dalam bus dan melihat ada seorang yang jauh lebih lemah, jauh lebih tua, dan tidak mempunyai kekuatan, kita akan merasa sungkan dan tidak enak untuk tetap duduk dan membiarkan kursi kepadanya. Jika kita seorang laki-laki yang masih kuat, maka kita tidak mungkin tetap duduk  dan membiarkan seorang perempuan yang sedang hamil tua tetap berdiri. Dengan perasaan mengalah, kita rela memberikan sesuatu yang seharusnya menjadi hak kita untuk menghormati orang lain karena kita simpati kepadanya. Perasaan demikian haruslah ada, untuk membuktikan bahwa kita benar-benar manusia. Jika perasaan itu tidak ada, maka kita bukanlah manusia. Filsafat Tiongkok Kuno mengatakan, “ren ci ren ye,” berarti manusia harus memiliki  jiwa kebaikan, jika hal itu tidak ada apakah dia boleh disebut manusia? Apa tanda dan syarat-syaratnya? Apa kualifikasi seseorang sehingga dia dapat disebut sebagai manusia? Jika dia berbentuk manusia, tetapi berjiwa setan, berjiwa binatang, dia adalah penipu yang paling besar dalam masyarakat.
  4. Perasaan Intuisi Pembeda. Perasaan keempat yang merupakan keunikan dalam diri manusia adalah suatu intuisi dalam diri manusia yang membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh, yang sesuai dengan hati nurani atau yang melawan hati nurani. Hal keempat ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Paulus dalam Roma 2, bahwa orang-orang yang tidak diberi Taurat, bangsa-bangsa yang tidak pernah mengenal Taurat Musa, tidak boleh lupa bahwa Allah tetap akan menghakimi mereka karena fungsi Taurat sudah dicantumkan dalam hati mereka. Mereka tidak luput dari penghukuman Tuhan pada hari kiamat karena kepada mereka sudah diberikan hati nurani. Istilah “hati nurani” yang dibicarakan lebih dari dua puluh kali dalam Perjanjian Baru tidak pernah muncul dalam Perjanjian Lama, tetapi sudah disyaratkan dalam Perjanjian Lama dalam kitab Amsal sebagai “pelita di dalam jiwa manusia.” Roh manusia merupakan pelita Tuhan yang diletakan di dalam diri manusia. Manusia disebut manusia karena ada satu pelita, yaitu cahaya yang memberikan penyinaran, pencerahan, untuk menunjukan kesalahan-kesalahan, dosa dan kejahatan yang telah kita lakukan.

Keempat hal yang digabungkan dan ditemukan oleh Mencius ini adalah reaksi manusia terhadap wahyu umum. Saya membagikan reaksi manusia dalam dua jenis:

  1. Reaksi manusia terhadap wahyu umum secara external (external reaction), yaitu reaksi yang dinyatakan keluar, mengakibatkan timbulnya kebudayaan.
  2. Reaksi manusia terhadap wahyu umum Tuhan Allah secara (internal reaction), yaitu nilai hidup internal dalam diri manusia, mengakibatkan timbulnya agama.

Agama dan kebudayaan saling bertumpang tindih dan bertemu dalam satu bidang, yaitu moral. Meskipun keagamaan yang liberal tidak lagi menerima hal-hal metafisika, supernatural, mujizat seperti yang tercantum dalam Kitab Suci, namun mereka, tidak dapat menolak satu-satunya bidang yang tidak mungkin dibuang, yaitu moral. Demikian juga pada waktu kebudayaan membicarakan  tentang nilai yang paling dalam, tidak mungkin tidak menjelajah ke dalam satu hal yang paling dalam, yang paling misterius yaitu nilai moral. Inilah satu tempat yang tumpang tindih, satu tempat yang sama-sama dimiliki; kebudayaan sedalam-dalamnya memiliki penilaian tentang moral, agama sedangkal-dangkalnya juga memiliki penilaian di dalam bidang moral.

Moral, seperti yang tercantum di dalam Alkitab disebut sebagai “hati nurani,” menjadi salah satu aspek yang menyebabkan kita disebut “ciptaan menurut peta dan teladan Allah.” Manusia disebut manusia karena ia memiliki kemampuan untuk terharu, memiliki kemampuan untuk mengerti jiwa orang lain, memiliki kewajiban untuk berbuat baik dan tidak berkanjang (melakukan pekerjaan) dalam kejahatan, seperti yang dimandatkan dalam perintah tertinggi yang diberikan Tuhan dalam hatinya. Dengan demikian, usaha untuk membuktikan Allah itu ada atau tidak, tidak diperlukan lagi. Di dalam filsafat Immanuel Kant, presuposisi ini menjadi  dasar  yang tidak membutuhkan argumen lain, apapun itu. Argumen ini sudah cukup. Argumen bahwa kita harus bermoral tinggi merupakan argumen dasar yang tidak membutuhkan argumentasi pendukung lainnya. Hal ini yang kemudian dikenal dalam pemikiran Kant sebagai categorical imperative yang diterjemahkan sebagai perintah tertinggi yang tidak mungkin bisa dilampaui oleh perintah yang lain. Perintah ini diberikan kepada kita oleh yang tertinggi, karenanya perintah ini adalah perintah yang tertinggi. Karena apa? Karena perintah ini bukan berasal dari hukum manusia, bukan dari pemerintah, bukan dari institusi, bukan dari gubernur, bukan dari raja, bukan dari papa mama. Setiap orang diberi perintah untuk “berbuat baik, berbuat benar.” Dari mana kalimat ini berasal? Tidak perlu dibuktikan. Tidak perlu membicarakan Allah ada atau tidak. Perintah ini sendiri sudah membuktikan bahwa Allah itu ada. Ini teori dari Immanuel Kant.

Jika ada Kant di Barat, maka di Timur ada Mencius, yang sama-sama mempunyai pengertian ini, namun berbeda dua ribu tahun. Mencius mengatakan hal ini da ribu empat ratus tahun yang lalu, sedangkan Kant baru dua ratus tahun yang lalu. Dunia Barat jauh ketinggalan di dalam mengerti sifat manusia yang paling inti di dalam aspek kebudayaan, khususnya tentang masalah moral. Tetapi Kitab Suci jauh lebih dahulu ada daripada Mencius, Konfusius, Buddha, dan pemikiran Upanishad dari Hinduisme. Dalam Mazmur 90, Musa telah mengatakan, “Mari kita dengan takut akan Allah mengenal kemaran-Nya.” Karena takut kepada Allah, menghormati Tuhan, mengerti kemaran-Nya, berarti  kita mau berbuat segala sesuatu yang sesuai dengan perintahNya. Allah memberikan perintah moral kepada manusia melalui Musa dalam bentuk Sepuluh Perintah, sehingga kita dimampukan untuk mengerti bahwa aspek moral itu memang perintah yang berasal dari Tuhan Allah.

.