Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. (Matius 5 : 3-4).

Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa. (1 Yohanes 1 : 7).

Apakah orang Kristen masih memiliki emosi kesedihan setelah menerima Tuhan Yesus? Bukankah kita sering kali mendengar orang mengatakan: “Mari kita percaya kepada Tuhan, maka kita akan senantiasa bersukacita, mendapatkan damai sejahtera, dan tidak akan mengalami dukacita lagi.” Di dalam banyak kesempatan, orang sering kali menekankan aspek yang sangat positif kepada orang lain dan melupakan aspek negatif yang juga tercantum dalam Alkitab. Di dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen yang membahas tema “Dinamika Pimpinan Roh Kudus,” saya berkata bahwa  banyak orang Kristen mengetahui pimpinan Tuhan yang bersifat positif, tetapi tidak pernah  mengetahui adanya pimpinan  Tuhan yang bersifat negatif.

Pada satu kesempatan di Amerika Serikat, dalam sebuah persekutuan yang terdiri dari 37 orang Doktor, sebelum berkhotbah saya meminta setiap peserta membagikan secara singkat kisah pengalaman hidupnya yang paling berkesan. Satu per satu peserta tersebut bercerita  sekitar satu menit sampai semua mendapat giliran. Ada yang mengatakan bagaimana Tuhan memimpin dia ke Amerika Serikat, ada yang dipertemukan dan dipersatukan dengan isterinya, ada yang baru naik gaji, dan lain-lain. Lalu saya bertanya kepada mereka, bagaimana jika Tuhan memimpin dia ke Afrika, bukan ke Amerika? Bagaimana jika Tuhan tidak mempertemukan dia dengan isterinya? Bagaimana kalau gajinya diturunkan? Apakah masih tetap berseru: Puji Tuhan! Apakah masih bisa  tetap bersyukur akan pimpinan Tuhan? Ketika mendengar  berita bahwa orang tua kita meninggal, apakah kita masih bisa bersyukur? Bagaimana kita  berespon terhadap kondisi dan situasi seperti ini? Apakah kita mengatakan bahwa semua itu bukan pimpinan Tuhan? Saat itu semua peserta menjadi tercengang, mereka tidak tahu apa yang mereka harus katakan. Inilah pola kerohanian orang Kristen pada umumnya. Kerohanian kita biasanya hanya memuji Tuhan dan bersyukur kepada Tuhan pada saat kita mendapatkan keuntungan, saat kita dalam keadaan lancar dan sukses, bertambah berkat  dan bertambah karunia. Tanpa kita sadari, kita telah tercemar oleh ajaran Theologi Sukses. Tanpa kita sadari, kita telah tercemar oleh pengajaran yang hanya menekankan satu aspek dan mengabaikan aspek-aspek yang lain. Dari lebih dari 40 presiden Amerika Serikat, yang paling menonjol berasal dari keluarga yang paling miskin. Dari Puluhan komponis besar dunia dan semua ilmuwan yang sukses di dunia, beberapa diantara mereka yang paling menonjol  justru berasal dari keluarga yang miskin dan hidupnya sangat susah. Sejarah membuktikan bahwa anugerah Allah tidak dapat diukur dengan uang. Anugerah Tuhan juga tidak boleh diukur dengan segala kesehatan atau berbagai ukuran keunggulan yang bisa dihitung dengan angka tabungan di bank. Berkat Tuhan terkadang diberikan melalui kesulitan-kesulitan dan kerelaan kita untuk bertemu dengan berbagai tantangan dan penderitaan. Kita memang tidak menginginkannya, tetapi justru ada berkat terselubung di balik penderitaan dan kesengsaraan yang kita alami, di mana semua kejadian tersebut menjadi suatu kuasa yang meledakkan kita keluar dari keterbatasan-keterbatasan sia-sia yang selama ini  membelenggu  kita. Dengan demikian kita boleh mengalami pimpinan Tuhan dan anugerah Tuhan yang melampaui hikmat manusia. Itulah sebabnya kita membutuhkan pengudusan emosi (sanctification of emotion).

Apa Itu Kekudusan

Dalam banyak filsafat Dunia, kekudusan sering kali dimengerti sebagai sesuatu yang tabu, sesuatu yang begitu besar, yang menakutkan dan misterius, seperti dalam filsafat agama Rudolf Otto. Jika dikatakan, “Ini Tempat Kudus,” apa itu berarti memiliki kekudusan moral? Belum tentu. Ada konsep pemikiran primitif di Afrika yang menganggap seorang gadis belum boleh dikatakan suci sebelum dia disetubuhi oleh dukun mereka. Kalau seorang gadis perawan belum ditiduri oleh pemimpin agamanya, maka dia dianggap belum suci. Inikah kesucian? Maka kita bisa mengerti bahwa di dunia konsep kesucian bisa sedemikian rusak. Kesucian manusia bisa sedemikian berbeda dari konsep Alkitab, sehingga manusia berjalan sekehendak hatinya, bagaikan domba yang tersesat.

Yang disebut “kedasyatan” (awfulness), yaitu sesuatu yang tidak kita mengerti, yang sedemikian kita kagumi, yang kita takuti, dikaitkan dan dimengerti sebagai kekudusan. Bagi penganut Hinduisme, dewa yang paling ditakuti justru adalah dewa yang membinasakan, yaitu dewa Syiwa, bukan dewa yang menyelamatkan. Dewa ini ditakuti karena memiliki kuasa membinasakan. Maka dewa yang sangat menakutkan itu digambarkan sebagai dewa kekudusan.

Apa Kata Alkitab Tentang Kekudusan?

Konsep “Kekudusan” di dalam Alkitab sangat berbeda dari pemikiran dunia tentang kekudusan. Pertama kali Alkitab dalam Perjanjian Lama membicarakan kekudusan adalah ketika  Tuhan bertemu dengan Musa dan berkata: “Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus” (Keluaran 3 : 5). Kata kudus inilah yang dimengerti sebagai suci, dan dalam bahasa Ibrani adalah Qadosh.

Kekudusan dimulai dengan mengenal dan berjumpa dengan Tuhan. Kekudusan  dimulai dengan mengenalnya sebagai sifat Allah. Inilah permulaan dari konsep kekudusan. Kita memerlukan kekudusan, dan kekudusan itu dimulai dari Allah. Kita dikuduskan oleh Allah. Alkitab mencatat bahwa hanya ada tiga hal yang dapat menguduskan kita, yaitu :

  1. Darah Yesus,
  2. Firman Tuhan;
  3. dan Roh Kudus

Tidak ada hal lain yang dapat menyucikan kita selain ketiga hal ini. Oleh darah Tuhan Yesus dosa kita dihapuskan; oleh Firman Yuhan kita dibersihkan dari semua konsep, semua pemikiran dan kelakuan yang salah, dan dibawa kembali kepada kebenaran; dan oleh Roh Kudus kita diberi suatu dorongan dan pengudusan dengan memberikan hidup yang baru. Selain ketiga hal ini, tidak ada sumber dan daya yang bisa menguduskan kita.

Orang Kristen Dan Pengudusan

Orang Kristen secara status dikuduskan oleh Tuhan. Kita dikuduskan secara status  pada hari kita menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita. Tetapi secara kondisi setiap hari kita masih perlu menyesali dosa dan bertobat. Kita perlu setiap saat hidup dekat dengan Tuhan dan memohon Firman Tuhan mencerahkan hati kita. Kita perlu setiap hari memohon Yesus Kristus membersihkan jiwa kita. Pembersihan oleh Yesus Kristus dengan darah-Nya dalam 1 Yohanes 1:7 dituliskan  dengan format present continuous tense, yang berarti suatu pembersihan yang terus menerus. Sebagaimana Tuhan ada di dalam terang, maka demikianlah darah-Nya menyucikan kita dari segala dosa. Proses penyucian itu terjadi terus menerus. Jika kita hidup dalam dosa, berada dalam kegelapan, lalu kita berpura-pura dan menjadi munafik, maka kita tidak mungkin dibersihkan dari dosa-dosa kita oleh Tuhan.

Pembersihan ini bersifat present continuous tense, suatu tindakan aktif mau membersihkan terus menerus. Ilustrasi terbaik untuk menggambarkan pembersihan terus menerus ini adalah seperti kerja kedipan mata manusia. Mata kita selalu berkedip secara periodik untuk membersihkan lensa mata kita dari segala kotoran. Mata kita berkedip secara otomatis, tidak peduli apakah pada saat itu kita sedang memperhatikan sesuatu atau tidak. Kedipan itu bisa banyak 12 hingga 20 kali setiap menit. Kedipan ini sangat penting untuk memberikan suatu pelumasan pada mata. Mata kita perlu senantiasa bersih untuk bisa melihat dengan jelas. Dan pembersihan itu harus berjalan secara terus menerus dengan memberikan pelumasan pada mata. Lubrikasi (pelumasan) yang paling baik bukanlah pelumasan pada mesin, tetapi pelumasan pada mata manusia. Inilah pelumas yang diciptakan oleh Tuhan. Air mata manusia merupakan suatu komposisi cairan yang sedemikian istimewa dan sangat bernilai, oleh karena itu, janganlah sembarangan menangis. Kalau sampai mata kita rusak dan membutuhkan air mata buatan, kita baru sadar bahwa air mata  buatan yang baik mutunya, ternyata harganya sangat mahal. Itu pun belum bisa mencapai kualitas air mata yang asli, air mata yang Tuhan ciptakan. Pada  saat itu kita baru sadar, bahwa pada saat kita menangis kita sedang membuang-buang banyak anugerah air mata yang mahal sekali harganya. Pelumasan air mata ini merupakan suatu karya yang luar biasa untuk membersihkan sebuah lensa.

Tuhan memberikan air mata secara proporsional. Jumlahnya tepat untuk membersihkan mata, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak. Bisa dibayangkan kalau terlalu banyak air mata dikeluarkan setiap kali kedipan, maka mata kita akan “kebanjiran.” Sering kali kita berfikir jika kita menerima sangat banyak anugerah, itu menguntungkan kita. Kita terkadang berpikir semua yang banyak itu baik. Kalau air mata Anda terlalu banyak dan mata Anda berlinang-linang setiap saat, tentu orang akan enggan menikah dengan anda. Kalau kita berfikir:”Puji Tuhan, air mata itu mahal, dan saya diberi dua liter.” itu bukan Puji Tuhan, karena hal sedemikian tidaklah perlu dan justru tidak tepat. Melalui kedipan dengan air mata pembersih ini, dan bisa kita pergunakan sampai berpuluh-puluh tahun.

Seluruh proses kedipan ini pun berjalan secara otomatis. Jika kita setiap kali harus memerintahkan mata kita untuk berkedip, maka sangat mungkin mata kita akan kekurangan pembersih, dan kita tidak bisa bekerja apa-apa, demi untuk mengatur kedipan  mata kita. Maka, Tuhan membuat mata kita berkedip terus menerus secara otomatis. Itulah yang disebut sebagai present continuous tense. Itulah pekerjaan yang dikerjakan terus menerus di dalam masa kini. Demikian pengertian kita tentang darah Kristus yang menyucikan kita.

Nama Buku        :  Pengudusan Emosi
Sub Judul           :  Sukacita Yang Kudus
Penulis                :  Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit              :  Momentum, 2011
Halaman           :  1 – 10

Artikel Terkait :