Yohanes 3 dan 4 adalah dua pasal terpenting yang membahas tentang penginjilan pribadi. Sebab setiap orang yang sudah diselamatkan oleh Yesus Kristus mempunyai tanggung jawab untuk mengabarkan Injil kepada orang lain. Karena intisari seluruh Kitab Suci mengajarkan bahwa orang Kristen tak boleh egois, harus membagikan anugerah Tuhan kepada orang-orang yang masih di dalam dosa. Dan contoh penginjilan pribadi terbaik adalah penginjilan yang Yesus Kristus lakukan.

Di Yohanes 3, Yesus berdialog dengan seorang pemimpin agama. Di Yohanes 4, Dia berdialog dengan seorang penganut agama yang tak mempunyai rasa tanggung jawab. Pernyataan Yesus kepada Nikodemus melampaui semua hasil studi akademis orang Farisi. Sementara pernyataan-Nya kepada perempuan Samaria, meski sederhana tapi mengandung makna yang amat dalam. Di Yohanes 3, pemimpin agama yang datang mencari Yesus, tapi di Yohanes 4, Yesus mencari orang yang tak pernah mencari Dia. Di Yohanes 3, Yesus dikunjungi oleh seorang pria tua, di Yohanes 4, Yesus menemui seorang perempuan muda. Di Yohanes 3, Nikodemus adalah orang yang mengamati Yesus dan akhirnya menemukan: Dia mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang mempelajari bahkan mahir akan Perjanjian Lama. Tapi di Yohanes 4, perempuan Samaria ini tak mendalami firman Tuhan, dia hanya menjalankan tradisi. Kedua pasal itu memang sangat kontras, di mana Yesus menyinggung soal lahir baru oleh Roh Kudus (psl. 3) dan air hidup (psl. 4).

Setelah membandingkan Yohanes 3 dan 4, kita tahu bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang paling adil, paling suci, paling penuh kasih, dan paling bijaksana. Bisa bayangkan tidak apa jadinya kalau Yesus menemui perempuan di waktu malam, apalagi di kamar yang tertutup, tentu sangat berdampak buruk bagi pelayanan-Nya, bukan? Maka Dia berbicara dengan perempuan di siang bolong. Tapi mungkinkah kebijaksanaan-Nya menemui pria di waktu malam membangkitkan orang curiga Dia homo? Mungkin saja. Maka pria yang dia temui di malam hari itu bukan orang muda melainkan orang tua. Yang tak mungkin Dia temui di siang hari, apalagi di tepi perigi, karena pria tua itu mungkin saja pingsan. Semua itu menandakan, Yesus melakukan segala sesuatu dengan proporsional, tak menyisakan celah untuk gunjingan orang. Billy Graham mempunyai satu kebiasaan, sebelum masuk kamar di hotel, dia minta dua orang stafnya untuk memastikan terlebih dahulu, tak ada perempuan yang bersembunyi di lemari pakaian, di dapur, bahkan di bawah tempat tidur. Mengapa begitu? Jangan sampai terjadi peristiwa, di mana ada perempuan yang menyelinap di kamar hotelnya. Waktu dia buka pintu, perempuan itu keluar memeluk dan menciumnya. Jika adegan itu diabadikan lalu disebarkan ke seluruh dunia, tamatlah pelayanannya karena hal-hal yang konyol. Mungkin kita tak perlu sampai berbuat seperti itu, tapi bagaimanapun juga tetap perlu sangat berhati-hati, agar pelayanan kita tak dirusak oleh hal-hal seperti itu. Yesus Kristus mempunyai kepekaan tersendiri, maka saat Dia mengabarkan Injil, sangat memerhatikan soal orang yang akan dia temui, berapa usianya, dan kapan waktunya.

Samaria diapit oleh Galilea di Utara dan Yudea di Selatan. Galilea terkenal dengan Danau Galilea atau Tiberias, yang terletak di atas bukit tinggi, airnya mengalir ke bawah sampai ke Laut Mati, yang letaknya sekian ratus kaki di bawah sea level, dan berhenti di sana; tak mengalir ke tempat lain lagi. Maka orang-orang Kristen yang hanya mau menerima anugerah, tapi tak mau membagikannya pada orang lain, juga tak mau mempersembahkannya pada Tuhan, mereka dijuluki Laut Mati.

Baik Galilea yang di Utara maupun Yudea yang di Selatan, penduduknya adalah orang-orang Yahudi tulen. Sementara penduduk di Samaria, yang berada di tengah Galilea dan Yudea adalah keturunan dari sepuluh suku Israel yang sudah tak tulen, karena kawin campur dengan bangsa kafir. Menurut catatan sejarah, saat Nebukadnezar datang menghancurkan Yerusalem, orang Yahudi ditawan ke Babilonia selama tujuh puluh tahun, tetapi mereka tetap memelihara benih keturunan yang murni, tak menikah dengan bangsa kafir. Benarkah di antara mereka tak ada orang yang melanggar larangan itu? Ada. Tapi setelah masa pembuangan berakhir dan pulang ke Yerusalem, mereka mendapat ganjaran; hukuman berat dari para pemimpin, ada yang dicabut janggutnya, dan dipukul. Karenanya mereka berketetapan untuk memelihara kemurnian dari darah leluhurnya: Yakub, yang sungguh-sungguh setia pada Tuhan. Berbeda dengan orang Israel di Utara, saat mereka ditawan ke Asyria, mereka melupakan ajaran Taurat yang Allah berikan lewat Musa, mereka kemudian bergaul, berzinah, dan menikah dengan bangsa-bangsa kafir, membuat darah dari keturunan mereka tak murni, bercampur dengan darah bangsa kafir. Itulah yang membuat orang Yahudi murka besar terhadap orang Samaria, dan tak mau mengakui mereka sebagai keturunan Yakub, saudara sebangsanya. Orang Samaria juga tak terima perlakuan demikian: apa sih salah kami? Orang tua kami yang menikah dengan bangsa kafir, mengapa kalian mendiskreditkan kami? Tapi orang Yahudi tak mau meladeni komplain mereka dan terjadilah ketegangan antara suku Yehuda di Selatan dan suku Israel di Utara. Memang, sejak generasi Daud yang ketiga, Israel terbagi menjadi dua: sepuluh suku bergabung mendirikan Kerajaan Israel di Utara, memberontak terhadap anak Salomo, kerajaan di Selatan yang hanya terdiri dari dua suku.

Apakah keunggulan dari Kerajaan Yehuda di Selatan? Ibu kota mereka tetap Yerusalem. Sama seperti negara-negara Arab masa kini, hanya ada satu negara: Arab Saudi, yang memiliki Mekah; pusat agama Islam. Di mana terdapat Ka’abah, batu yang berwarna hitam – setiap tahun menarik paling sedikit tiga sampai empat juta orang dari segala penjuru dunia datang berziarah; beribadah di sana. Mereka mengelilingi batu hitam, yang mereka percaya sebagai batu yang diturunkan dari sorga. Mereka juga ke Medinah, tempat suci kedua dan ke Yerusalem, tempat suci ketiga. Jadi, meski Emirat, Yordania, Lebanon, Oman, Yemen, Irak, Iran juga merupakan negara-negara Islam yang besar, tapi hanya Arab Saudi yang memiliki Mekah. Begitu juga Israel, meski telah terpecah jadi negara Utara dan negara Selatan. Bahkan negara di Utara terdiri dari sepuluh suku, tapi Yerusalem dan Bait Allah terletak di Selatan. Karena kerajaan Selatan yang hanya terdiri dari dua suku itu mempunyai Bait Allah, terlebih karena mereka memelihara darah yang murni, mereka pun membanggakan diri dan menghina orang-orang Israel di Utara. Bahkan saat orang-orang di Galilea atau bagian Utara mau ke Yerusalem atau sebaliknya yang di Yerusalem mau ke Galilea, mereka tak mau melintasi Samaria, mereka memilih untuk memutar. Walau untuk itu, mereka harus menempuh jarak yang lebih panjang, menghabiskan lebih banyak waktu. Padahal kalau mereka mau melewati Samaria, bisa menghemat waktu; lebih cepat tiba di tempat tujuan. Tetapi karena perseteruan suku, orang Yahudi tak mengambil jalan pintas itu.

Tapi mengapa di ayat 4 tertulis: Yesus harus melewati Samaria. Orang yang memahami sejarah dan geografi Tanah Suci tentu tahu, apa yang Yesus lakukan saat ini tidak lazim. Apalagi dibubuhi kata “harus”. Mengapa Yesus tak mengikuti kebiasaan orang Yahudi lain; harus melewati Samaria: apakah untuk menghemat waktu? Tidak. Tapi bagian ini jelas memberitahukan kepada kita, hari itu Dia memang harus di Sikar. Karena di sana ada satu orang yang perlu mendengar Injil. Itu sebabnya, orang-orang yang suka mengabarkan Injil harus peka akan hal-hal seperti ini: ke mana, tinggal di sana, melewati mana… Semua itu turut menentukan sukses tidaknya penginjilan yang dia lakukan. Jadi, selain kita perlu mempelajari theologi, mengetahui teori Perkabaran Injil, juga perlu mengetahui kapan waktunya, mengapa dilakukan di tempat ini, bukan di tempat itu; Tuhan menuntunku ke mana. Sayang, banyak orang yang sudah studi theologi tak tahu hal-hal ini, hanya mengisi diri dengan pengetahuan dan pergi mengabarkan Injil, kurang peka terhadap pimpinan Tuhan atas dirinya. Tidak demikian dengan Yesus, Dia tahu, harus melewati Samaria, ke Sikar, ke tepi perigi yang Yakub wariskan kepada keturunannya. Murid-murid Yesus memang tak tahu apa alasan Dia harus melewati Samaria, tapi saat diajak, mereka patuh. Dan setelah sampai di sana, baru mereka tahu, Sikar berbeda dengan tempat-tempat yang biasa mereka lalui, di Sikar mereka sulit menemukan makanan. Maka mereka minta izin kepada Tuhan Yesus untuk membeli makanan.

Setelah murid-murid pergi, Yesus seorang diri duduk di tepi perigi tua, peninggalan Yakub. Dan datanglah seorang perempuan yang membawa tempayan, mau mengambil air. Yesus pun membuka mulut. Perhatikan, setiap bangsa mempunyai kebiasaan yang berbeda untuk menyapa orang yang dia temui, orang Islam menyapa dengan: asalamualaikum. Orang Tionghoa menyapa dengan: sudah makan belum? Mengapa mereka menyapa orang dengan pertanyaan itu? Karena zaman dulu, di Tiongkok terdapat banyak orang miskin, maka hal utama yang mereka perhatikan adalah soal makan. Dan tak heran, kalau kau bertanya pada orang Tionghoa: untuk apa kau bekerja? Pasti dijawab dengan: mencari sesuap nasi. Tapi, saat Yesus Kristus bertemu dengan perempuan Samaria yang berbeda suku adat itu, apa yang Dia katakan? Dia merendahkan diri begitu rupa. Itulah senjata yang sangat ampuh dalam bergaul dengan orang lain. Ingat: if you put yourself in the humble position, you will find out, that is easy to have relationship with others. Pelajaran ini saya dapatkan dari Bob Pierce, pendiri World Vision: when you visit to one place, do not tell them who you are; do not show off, but be humble, tell them that you want to learn from them. Jadi, waktu kita berkunjung ke satu tempat, bukan memperkenalkan siapa dirimu. Misalnya, aku ini pendeta dari gereja anu dengan bangga. Karena gaya seperti itu mungkin membuat orang yang kau temui itu merasa minder. Jadi, ke mana pun kita pergi, jangan menonjolkan diri. Bertanyalah pada orang, minta pendapatnya; belajarlah darinya. Waktu engkau merendahkan diri, mereka merasa dihargai, bukan merasa minder. Jadi usahakan untuk selalu merendahkan diri, maka orang akan bersedia menjalin hubungan baik denganmu. Seperti contoh yang Yesus berikan saat bertemu dengan perempuan Samaria: “Tolong beri Aku air minum.” Cara pendekatan yang terbaik, membuat orang merasa dirinya dibutuhkan. Bukan membuat orang merasa dihina, direndahkan, dan menutup pintu; lalu tidak mau menerima kehadiranmu.

Perlakuan Yesus terhadap perempuan Samaria memang sangat berbeda dengan perlakuan-Nya terhadap Nikodemus: waktu berdialog dengan Nikodemus, Dia menghantam keangkuhannya, menyadarkan Nikodemus, bahwa dia tak punya apa-apa. So, if you feel that you already have everything, Jesus will surely make you down to earth. Banyak orang karena tak memahami hal ini, lalu menuduh Yesus tak bersahabat bahkan cenderung memusuhi orang Farisi, karena kata-Nya: kalau kau tak diperanakkan pula, kau tak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah. Tapi waktu berbicara dengan perempuan Samaria yang sudah merasa rendah diri, minder, Yesus justru menguatkan dia: meski orang lain merendahkan engkau, tapi Aku, bukan saja tak merendahkanmu, malah memberimu kesempatan melakukan sesuatu untuk-Ku: please give Me some water to drink. Sungguh, tak ada pernyataan yang lebih indah dan lebih agung dari pernyataan Yesus ini. Dia tak menggunakan gaya bicara orang pada umumnya, saat bertemu dengan perempuan Samaria: “Hai perempuan, mengapa engkau tak menimba air di pagi hari, seperti yang biasa dilakukan oleh perempuan-perempuan di tempat ini?” Melainkan menciptakan situasi seolah-olah Dia butuh bantuan perempuan itu, bukan perempuan itu yang membutuhkan bantuan-Nya. Meski faktanya terbalik, perempuan itulah yang membutuhkan Yesus, bukan Yesus yang membutuhkan dia.

Mengapa ada banyak orang gagal dalam penginjilan? Karena sambil mengabarkan Injil sambil merendahkan orang yang dia injili. Suatu kali, waktu saya dan Jahja Ling ke Manila, panitia menghantar kami ke tempat para pengungsi Vietnam yang melarikan diri dari negerinya karena takut dianiaya oleh Komunis. Mereka menjual rumah, tanah, semua miliknya, dan membeli emas. Karena mereka diharuskan membayar empat ratus gram emas, baru diizinkan naik ke kapal yang akan membawa mereka meninggalkan Vietnam. Setelah kapal penuh, tali pengikat kapal dilepas, dan kapal pun berlayar tanpa tahu ke mana tujuannya. Saat kehabisan bensin, kapal pun terapung-apung di samudera raya. Banyak negara yang menolak untuk menampung mereka. Ada yang hanya berjanji memberi dana bantuan, tapi tak bersedia menampung mereka. Sisa emas yang ada, dijahit di bagian ketiak bajunya, agar saat mereka tidur, tak ada yang bisa mencurinya. Karena itulah modal yang kelak dapat mereka gunakan untuk berusaha di negara yang mau menampung mereka. Filipina masih terhitung sebagai negara yang cukup baik, mau menampung mereka. Tapi waktu saya menyaksikan tempat tinggal mereka, saya ingin menangis, mereka tidur di tempat tidur susun yang terbuat dari kayu. Tinggi tiap susun + delapan puluh sentimeter, jadi saat mereka mau masuk-keluar tempat tidur harus melakukannya dengan merangkak.

Saat kami tiba, para pengungsi itu dipanggil berkumpul untuk mendengarkan khotbah. Dan sebelum saya berkhotbah, utusan dari gereja-gereja di Manila yang melayani di sana mengatakan: “Duduklah dengan tenang; jangan berisik. Selesai khotbah nanti, kami mau membagi-bagikan sesuatu buat kalian. Kalau kalian tak bisa duduk tenang, kalian tak akan mendapatkan barang yang akan kami bagikan.” Yang dia maksud adalah pakaian, sandal, barang bekas yang sudah tak layak pakai. Mendengar itu, hati saya jadi sedih, ingin sekali menangis. Karena sikap mereka begitu keterlaluan, memosisikan diri sebagai pemberi anugerah sambil menuntut orang lain taat padanya. Saya minta Tuhan mengampuni mereka.

Maka begitu saya berdiri di mimbar, saya berkata, “Mari kita mendengar firman Tuhan dengan tenang. Sebenarnya, saya juga tak lebih baik dari kalian. Kalau saat ini Tuhan tak mengizinkan saya jadi pengungsi, hanya karena saya lebih lemah dari kalian. Itu sebab, bersabarlah sampai waktu Tuhan tiba, Dia akan membebaskanmu dari segala penderitaan, memberimu hari yang penuh pengharapan.” Sambil berkhotbah sambil berdoa di hati: Tuhan, khotbah apa yang harus saya sampaikan pada mereka? Kalau saya menyampaikan cinta kasih Tuhan, mungkin mereka berpikir, kalau Tuhan memang mencintaiku, mengapa Dia membiarkanku mengalami hal yang begitu tragis: aku jadi pengungsi, istriku diperkosa, bahkan mati tenggelam di laut. Anak-anakku terpisah, tak tahu ada di mana. Hati saya pedih bagai teriris-iris, tak tahu bagaimana caranya menyampaikan kasih Tuhan pada mereka, hanya dapat mengatakan: orang yang Tuhan pilih untuk menerima ujian, pasti imannya akan jadi lebih kuat dari orang lain, dan siap Tuhan pakai untuk menjadi saluran berkat-Nya yang besar. Saya harap, suatu hari nanti bisa bertemu dengan kalian di Perancis, Jerman, atau San Francisco. Sikap merendah seperti inilah yang membuat mereka membuka hati, maju ke depan, menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya.

Selesai khotbah, seseorang mendatangi saya seraya bertanya, “Apakah Bapak masih mengenali saya?” “Maaf, saya benar-benar lupa.” “Dulu, saya adalah orang terkaya di Vietnam, punya pabrik kertas terbesar. Tahun 1974, waktu Pak Tong khotbah di Guan Zhong Tang, saya duduk di baris pertama dengan gagah. Tapi saat Komunis datang, kami ketakutan sekali dan sekeluarga meninggalkan Vietnam. Sekarang, kami tak punya apa-apa, semua milik kami dirampas.” Dia mengisahkan pengalaman pahitnya sambil menangis. Karena masa kejayaannya hanya tinggal kenangan. Memang, setiap kita tak pernah tahu, bagaimana hari depan kita. Itu sebabnya, orang yang hari ini kaya tak perlu sombong, apa yang akan terjadi dua puluh tahun kemudian, apakah dipenjara, dibuang, tak seorang pun tahu. Kalau kita membiasakan diri hidup dengan selalu mendapatkan apa yang kita mau, bisa memerintah siapa sesuka hati kita,  tidakkah terpikir olehmu, akan datang hari-hari di mana tak ada orang yang peduli akan perintahmu yang kau sertai gertakan “Lakukan ini dan itu bagiku. Kalau tidak, kau akan kuhabisi, kupecat!”? Karena hak seperti itu tak selalu ada padamu. Mantan orang terkaya di Vietnam yang kala itu berusia sekitar enam puluh tahun tersebut minta saya mendoakan dia. Karena istrinya mungkin ada di kapal, yang tenggelam di tengah laut – sisa dia sebatang kara, tak tahu bagaimana hari depannya, negara mana yang mau menampung dia.

Sungguh, saya tak habis pikir, mengapa ada orang yang menginjili dengan memosisikan diri sebagai utusan sorga, yang diutus untuk menyampaikan Injil, menolong orang-orang yang malang. Padahal Yesus yang benar-benar datang dari sorga saja tak bersikap seperti itu, Dia malah merendahkan diri, minta perempuan Samaria memberi-Nya air minum.

Masalah yang sering kita temui adalah: waktu kita merendah, menghormati orang yang dihina orang, dia mungkin langsung berbalik jadi arogan, lupa dirinya adalah orang berdosa. Itulah yang kita lihat dari perempuan Samaria, karena Yesus minta air minum darinya, dia malah jadi sinis, “Tak tahukah kau, bahwa orang Yahudi tak berhubungan dengan orang Samaria, apalagi kau adalah pria, mengapa minta air padaku; seorang perempuan?” Adakah Yesus membalas dia, “Tahukah kau siapa Aku, awas ya berani berkata seperti itu kepada-Ku, nanti…?” Tidak, melainkan kata-Nya, “Jika kau mengenal anugerah Tuhan dan tahu siapa yang minta air padamu, tentu kau sudah minta air pada-Nya.” Inilah kunci-Nya, menyadarkan orang bahwa “bukan Tuhan yang membutuhkanmu, tapi kau yang membutuhkan Tuhan”. Kalau kita membaca pasal 4 dengan teliti, kita mengetahui bahwa Yesus yang hari itu merasa lapar dan haus ternyata tak makan juga tak minum. Menandakan bahwa Dia sanggup menahan diri, sanggup menjalani hidup yang susah. Karena Dia datang dari sorga justru untuk menderita, bahkan mati bagi orang berdosa. Jadi sebenarnya, Yesus bukan perlu air, Dia hanya merendahkan diri, memakai pernyataan itu sebagai prolog dari pembicaraan-Nya dengan perempuan Samaria. Maka setelah perempuan itu mendengar Yesus mengatakan, “Kalau saja kau tahu siapa Aku, tentu kau akan minta air pada-Ku. Dan Aku akan memberimu air hidup, yang akan mengalir sampai selamanya,” dia langsung sadar. Saya percaya, dia adalah orang yang sangat pintar. Karena begitu menerima hint yang Yesus berikan, dia langsung menyadari kebutuhannya lalu berkata, “Rabi, berilah air itu padaku.” Karena pikirnya dengan mempunyai air hidup, dia tak perlu datang menimba air di perigi. Karena alasan yang sebenarnya dia datang menimba air di siang bolong adalah untuk menghindar dari tudingan, ejekan, dan hinaan perempuan-perempuan di Sikar: “Kami adalah perempuan yang baik, yang alim, yang bijak, yang dapat menahan diri. Tapi kau, pelacur yang selalu bergaul dan berusaha menggoda laki-laki bahkan suami orang.” Memang, orang yang tinggal di kota besar, hubungannya dengan orang-orang di sekitar renggang, jarang bertemu, dan kalaupun bertemu juga tak saling tegur-sapa. Apalagi orang yang sibuk, begitu pulang, langsung tutup pintu garasi dan masuk rumah. Sehingga apa yang terjadi di sebelah rumahmu, tak kauketahui. Berbeda sekali dengan orang yang tinggal di kota kecil, penduduknya sedikit, saling mengenal satu dengan yang lain, berita-berita juga cepat tersiar. Itulah keadaan kota Sikar, semua orang tahu siapa perempuan Samaria itu, perempuan murahan, perempuan yang tak tahu malu, setiap malam menggandeng pulang pria yang berbeda-beda. Itulah alasannya dia datang menimba air di siang bolong; saat sinar matahari begitu terik, bukan di pagi hari, di saat perempuan-perempuan lain keluar rumah menimba air. Tapi Yesus, sengaja datang berbicara dengannya di waktu itu dan di tempat itu, karena kepekaan-Nya akan pimpinan Bapa. Inilah penginjilan.

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/yesus-menginjili-perempuan-samaria-bagian-1?