Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu. (Amsal 3 : 5 – 8)

Tema sebelumnya adalah “Luka Hati.” Ketika saya mengkhotbahkan urutan Pengudusan Emosi ini, beberapa kali saya menanyakan tema minggu sebelumnya, dan kebanyakan jemaat melupakannya. Tetapi kali ini mereka dengan mudah mengingat bahwa tema sebelumnya adalah “Luka Hati.” Banyak orang mengingat tema ini karena banyak orang yang telah dilukai. Ketika kita dilukai orang, kita selalu mengingatnya. Tetapi ketika kita melukai orang, kita cenderung melupakannya. Jika ada orang yang marah atau mengeluh karena kita telah melukai hatinya, kita sering kali mengatakan bahwa kita tidak sengaja melakukan hal itu. Kita sering berada di dalam dosa yang tidak kelihatan, kita sering berada di dalam dosa yang tidak disengaja. Ini membuktikan kita keturunan Adam, keturunan  orang yang jatuh ke dalam dosa, sehingga kita merasa apa yang kita kerjakan hanyalah sekedar kebebasan kita dan sekedar kewajaran yang kita lakukan. Namun, sebenarnya tindakan itu sangat melukai hati orang lain.

Psikologi mengatakan bahwa hal-hal yang paling mudah kita ingat dan sulit kita lupakan adalah ketika hati kita dilukai orang. Ketika hati kita dilukai, kita insyaf akan satu hal, yaitu tentang keutuhan kita. Kita merasa seharusnya kita utuh, tetapi sekarang kita menjadi tidak utuh lagi karena ada kerugian yang dilontarkan oleh orang lain. Di situ kita menemukan nilai positif dari penderitaan yang tidak mudah disadari oleh orang lain, yaitu penderitaan menolong kita untuk mengerti kesempurnaan yang asli. Kalimat seperti ini tidak mudah Anda temukan di dalam buku, karena sering kali buku hanya meneruskan warisan yang biasa terjadi di dalam pikiran akademis sekuler. Tetapi Alkitab selalu menunjuk ke titik yang belum ditemukan orang yang sudah tercemar dosa. Penderitaan merangsang kita untuk mengingat kembali bahwa kita seharusnya mempunyai keutuhan yang diciptakan oleh Tuhan menurut peta dan teladan Tuhan. Manusia dicipta Tuhan menurut peta dan teladan Tuhan. Ini suatu dasar yang tidak disadari psikologi modern karena mereka memakai titik tolak yang melawan Tuhan dan Alkitab. Akibatnya, mereka tidak dapat menemukan hal-hal paling penting yang diwahyukan Tuhan.

Hilangnya Pengharapan

Tema pembahasan ini adalah frustasi dan putus asa. Frustasi dan putus asa adalah hal yang begitu sering dan lazim terjadi dalam hidup kita sehari-hari. Frustasi dan putus asa begitu wajar, dan mudah kita lihat dalam diri kita sendiri maupun orang lain. Kita pernah atau mungkin sering merasa frustasi, putus asa atau patah semangat. Kita merasa dipatahkan dengan sesuatu keinginan kita yang sudah lama kita rencanakan tetapi akhirnya tidak tergenapi. Pada saat hal itu terjadi, kita merasa hidup menjadi tidak berarti. Hidup baru berarti kalau lancar. Kalau tidak lancar, kita mulai bertanya untuk apa kita hidup di dunia. Hidup berarti kalau kita mendapatkan apa yang kita inginkan; kalau kita tidak bisa mencapai keinginan kita, kita tidak ingin hidup lagi. Kejadian seperti ini sering kita alami dalam hidup kita masing-masing. Psikologi mengatakan, yang membuat manusia terus menerus merasa bahwa hidup itu berarti dan yang menunjang manusia bereksistensi adalah pengaharapan. Jikalau pengharapan sudah hilang, kita tidak melihat hari depan. Kita tidak melihat cahaya terang untuk memimpin kita.

Inilah bedanya manusia dengan binatang. Binatang hanya menyambung eksistensi dengan makanan dan seks. Kalau kebutuhan perut dan seks sudah terpenuhi, maka untuk binatang, itu sudah cukup. Tetapi manusia, sekalipun cukup makanan, tetapi tidak mempunyai isi dalam otak dan hati, akan tetap merasa kosong. Jika manusia memiliki seks tetapi tidak memiliki cinta kasih, kita merasa tidak berarti. Manusia bukanlah binatang. Manusia mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi daripada binatang. Manusia mempunyai bobot substansi jiwa yang begitu anggun, tinggi, hormat, dan mulia yang tidak boleh dibandingkan dengan binatang. Bahwa kita manusia yang dicipta menurut peta dan teladan  dan Tuhan Allah merupakan sebuah kalimat yang begitu agung dan terhormat, tetapi malah ditolak oleh Atheisme, Sekularisme, dan Liberalisme. Kita harus mengembalikan pengenalan akan diri manusia kepada titik tolaknya, yaitu kalimat pertama yang Tuhan ucapkan tentang manusia. “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita” (Kejadian 1 :26a). Allah Tritunggal telah menciptakan manusia menurut peta dan teladan, gambar dan rupa Tuhan sendiri. Dari sanalah antropologi dibangun, dari sanalah pengenalan akan siapa manusia boleh dipelajari, dan dari sanalah kebenaran tentang arti hidup manusia boleh berfondasi.

Konsep Kesempurnaan, Tuntutan, Dan Frustasi

Ketika mengetahui hidup kita tidak lancar atau tidak mencapai apa yang kita inginkan, dan kita merasa hidup tidak berarti, itu sudah menunjukan bahwa kita memiliki keinginan berdasarkan kebutuhan yang lebih dari sekedar materi dan seks saja, yaitu  yang berdasarkan pada suatu konsep kesempurnaan. Konsep kesempurnaan hanya dimiliki oleh manusia. Konsep kesempurnaan berdasarkan citra kesempurnaan sebagai peta dan teladan Allah. Manusia dicipta menurut peta dan teladan Allah. Allah adalah diri-Nya kesempurnaan. Allah adalah diri-Nya kemutlakan. Itulah sebabnya peta dan teladan Allah yang berada di dalam diri kita menuntut kita untuk hidup dengan ide kesempurnaan dan ide kemutlakan. Ide kesempurnaan dan ide kemutlakan itu menjadi tuntutan yang biasa kita tuntut kepada orang lain, tetapi tidak kepada diri kita sendiri. Itu akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Betapa banyak orangtua yang memakai ukuran kesempurnaan untuk menuntut anaknya: harus baik, tidak boleh nakal, dan sebagainya. Tetapi, apakah orangtua itu, ketika masih kecil, sudah melakukan apa yang dituntutkan kepada anaknya? Berarti tuntutan kesempurnaan berdasarkan konsep kemutlakan yang ada pada dirimu tidak kamu pakai untuk dirimu, tetapi untuk orang lain. Tetapi di lain pihak, kita sendiri mempunyai keinginan yang kita anggap lumrah, yaitu kita ingin mendapatkan kesempurnaan dan kemutlakan tanpa perjuangan. Inilah ketidakadilan manusia. Kalau untuk orang lain, saya tuntut dia harus berjuang sampai sempurna, tetapi untuk diri saya sendiri, paling baik bisa dapat lotre. Manusia tidak menuntut diri seperti menuntut orang lain. Manusia tidak memakai standar untuk mendisiplin diri seperti mendisiplin orang lain. Barang siapa bisa mengontrol diri, dia baru berhak mengontrol orang lain. Barangsiapa bisa mendisiplin diri, dia baru berhak menuntut disiplin orang lain. Orang yang dapat menguasai diri lebih berhak daripada mereka yang hanya mau menguasai orang lain tetapi tidak menguasai diri. Kalau kita bisa menuntut, mendisiplinkan dan menaklukan diri, maka kita masih mempunyai alasan saat kita menuntut orang lain untuk hidup dengan baik.

Seorang anak usia 17 tahun yang tampan dan pandai akhirnya bunuh diri dua jam sebelum ayahnya pulang. Dia bunuh diri karena pada hari itu dia mendapat peringkat kedelapan ketika lulus SMU. Dari kecil, orang tuanya menuntut dia minimal mendapat peringkat ketiga. Dia pulang dari sekolah dengan hati susah, karena dari kecil sudah berjanji kepada ayahnya untuk paling sedikit mendapat peringkat tiga. Maka dua jam sebelum ayahnya pulang dari kantor, dia bunuh diri dengan cara menggantung diri dengan tali. Menuntut diri dengan tujuan atau standar yang tinggi itu tidak salah. Ayah menuntut anak, dan anak menuntut diri, itu bukanlah hal yang salah. Tetapi yang perlu dipikirkan baik-baik adalah bagaimana jikalau tuntutan itu tidak dapat dicapai? Bolehkah kita marah, frustasi, menghukum, putus asa, ketakutan, dan berakhir dengan bunuh diri? Mengapa banyak orang salah langkah, salah keputusan, dan akhirnya salah mengambil keputusan dengan membunuh diri? Orang berbuat demikian karena frustasi dan putus asa akibat tuntutan yang salah. Tidak salah jika kita menuntut diri, tetapi kita harus tahu dengan tepat apa dasar, prinsip dan standar yang benar untuk dipakai menuntut diri, dan jika kita gagal mencapainya, bagaimana reaksi dan tindakan yang tepat yang seharusnya kita ambil.

Saya berkali-kali berkata kepada rekan saya, hati-hati dengan efek samping. Di surat kabar, semua iklan hanya menguntungkan penjual, tidak banyak memikirkan pembeli. Misal, penjual sampo mendorong orang membeli sampo dan menunjukkan betapa indahnya rambut yang memakai sampo itu, tapi efek samping pemakaian sampo tersebut  tidak pernah diberitahukan. Orang mengiklankan produk mereka agar dibeli memperkaya diri mereka sendiri, tetapi sedikit sekali memikirkan apa untung ruginya bagi konsumen. Saya senang di Amerika ada Consumer Report, yaitu sebuah majalah yang khusus memihak konsumen dengan membahas kelebihan dan kekurangan sebuah produk. Dan untuk pekerjaan itu, mereka menolak untuk menerima iklan. Kalau menerima iklan, majalah itu akan bias (tidak objektif). Maka dengan tidak menerima iklan, mereka benar-benar memikirkan apakah  konsumen dirugikan atau tidak. Ada satu laporan mengatakan bahwa seluruh perusahaan asuransi selama 130 tahun sudah mengambil ratusan miliar dari rakyat dan hanya mengembalikan sedikit sekali. Bukanlah suatu hal yang salah jika kita mendapatkan keuntungan dari perdagangan kita, karena memang Firman Tuhan memperkenankan hal itu. Namun, jika keuntungan itu menjadi berlipat ganda dan melampaui standar yang wajar, dan tidak dikerjakan dalam rangka kepentingan kesejahteraan orang lain, maka itu menjadi suatu ketamakan. Ketamakan seperti ini mengandung unsur satanik atau unsur iblis yang menjadikan manusia menginginkan lebih dari yang seharusnya, akhirnya mulai menjadi dosa dalam masyarakat.

Beberapa penganut ajaran Karismatik beranggapan bahwa mendapat uang banyak adalah berkat Tuhan. Itu ajaran yang beracun. Ajaran yang mengatakan,”Kalau kamu memberikan satu juta, maka kamu akan mendapat sembilan juta,” adalah ajaran yang sangat berbahaya dan beracun, bukan ajaran Alkitab. Alkitab mengajar kita memberikan perpuluhan kepada Tuhan yang sudah terlebih dahulu memberikan kepada kita. Alkitab tidak mengajar kita untuk memberikan satu untuk menjadi pancingan agar Tuhan memberikan sembilan kali lipat. Ajaran beracun yang memutarbalikkan dan memanipulasi Alkitab akan mendapatkan hukuman dua kali lipat dari Tuhan. Saya telah menjadi pendeta yang banyak dibenci orang karena harus mengajarkan kebenaran-kebenaran Alkitab dan apa yang betul-betul merupakan kehendak Tuhan. Kalau tidak, saya hanya berjubah pendeta, tetapi berjiwa setan. Saya boleh dibenci oleh semua pendeta lain, tetapi saya tetap menjalankan apa yang Tuhan suruh saya khotbahkan.

Kita boleh mempunyai harapan. Kita boleh menuntut. Kita boleh mempunyai sasaran atau target. Tetapi target kita yang tertinggi adalah Tuhan. Target kita adalah Tuhan, bukan uang. Target kita adalah sorga yang kekal. Target kita adalah kebenaran yang tidak berubah. Target kita bukanlah ambisi pribadi untuk mencapai nafsu kita.

Nama Buku        :  Pengudusan Emosi
Sub Judul           :  Frustasi Dan Putus Asa
Penulis                :  Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit              :  Momentum, 2011
Halaman           :  301 – 310