Sebagai warga negara yang baik adalah mengetahui kewajibannya terhadap negara, termasuk di dalamnya adalah membayar pajak. Seperti kita ketahui bahwa dalam Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2015 beserta nota keuangannya pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Jumat (15/8). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikian bahwa dalam RAPBN 2015, total penerimaan negara ditargetkan Rp. 1.762,3 triliun atau meningkat Rp. 126,6 triliun dibandingkan dengan target APBN perubahan 2014. Sementara total anggaran belanja mencapai Rp. 2.020 triliun atau meningkat Rp. 143 triliun dibandingkan dengan pagu APBN Perubahan 2014 (defisit sebesar Rp. 257,6 triliun (2,32%).  Dengan Belanja anggaran yang menembus di atas Rp. 2.000 triliun adalah pertama kali dalam sejarah Indonesia, lalu dari manakah sumber untuk mencukupi kebutuhan tersebut? Pajak!, berdasarkan pendapatan APBN tahun 2013 kontribusi pajak mencapai 73% dari total pendapatan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, diakhir pekan ini penulis mencoba mengulas tentang kewajiban perpajakan bagi Radio Siaran  Swasta. Seperti kita ketahui bahwa Radio Siaran Swasta juga merupakan subjek pajak dalam hal ini adalah badan. Adapun tulisan kali ini dengan judul “Sekilas Tentang Kewajiban Pajak Radio Siaran Swasta”. Tulisan ini ini adalah murni sudut pandang penulis semata dan ditulis pun karena sebelumnya diminta untuk memberikan edukasi kepada beberapa anggota Radio Siaran Swasta. Kiranya dapat memberi informasi yang bermanfaat, khususnya bagi kita wajib pajak dalam ikut berperan memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Subjek Dan Objek Pajak

Pada prinsipnya semua subjek pajak yang memiliki penghasilan (objek pajak) sesuai dengan batasan (melebihi penghasilan tidak kena pajak/PTKP bagi Orang Pribadi, setelah dikurangi biaya-biaya bagi Badan Usaha) selalu disebut dengan penghasilan neto yang diterima/diperoleh dalam periode satu tahun disebut wajib pajak dan atas penghasilan kena pajak tersebut dikalikan tarif pajak yang berlaku serta menyetorkannya ke kas negara melalui bank yang ditunjuk.

Subjek Pajak

Dalam pasal 2 UU PPh yang menjadi subjek pajak adalah :

  1. Orang Pribadi dan Warisan Yang Belum Terbagi
  2. Badan
  3. Bentuk Usaha Tetap

1. Orang Pribadi dan Warisan Yang Belum Terbagi

Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

2. Badan

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

3. Bentuk Usaha Tetap

Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh:

  1. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan (SPLN Orang Pribadi).
  2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia (SPLN Badan).

Berdasarkan subjek pajak sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa  setiap Radio Siaran Swasta merupakan subjek pajak badan. Salah satu yang menjadi syarat dalam izin stasiun radio (ISR) adalah Fotocopy akta pendirian badan hukum beserta salinan pengesahan dan akta perubahan terakhir. Maka kewajiban perpajakan bagi Radio Siaran Swasta dipersamakan seperti badan hukum lainnya.

Objek Pajak

Dalam Pasal 4 UU PPh disebutkan, Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dalam definisi tersebut konsep penghasilan dibagi menjadi 5 elemen yaitu :

  1. Tambahan kemampuan ekonomis, dalam hal ini berbicara dalam sisi aspek ekonomis bukan secara akuntansi.
  2. Diterima atau diperoleh, hal ini berbicara tentang pengakuan secara cash atau accrual basis.
  3. Dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, hal ini berbicata cakupan geograpis (global).
  4. Untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan, hal ini berbicara tentang pemanfaatan/pemakaian.
  5. Dengan nama dan dalam bentuk apapun, hal ini berbicara tentang konsep material (bukan formal).

Berdasarkan pasal 4 ayat (1) UU PPh disimpulkan bahwa yang termasuk objek Pajak Penghasilan dapat di bagi menjadi 4 (empat) sumber, yaitu :

  1. Penghasilan dari usaha/Kegiatan, yaitu (Pasal 4 ayat 1 huruf c,o,q, dan s) yang terdiri dari :
    1. laba usaha
    2. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
    3. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
    4. surplus Bank Indonesia.
  2. Penghasilan dari Pekerjaan, yaitu (Pasal 4 ayat 1 huruf a,b & j) yang terdiri dari :
    1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
    2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
    3. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  3. Penghasilan dari Modal, yaitu (Pasal 4 ayat 1 huruf d, f, g, h, & i) yang terdiri dari :
    1. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
    2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
    3. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
    4. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
    5. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  4. Penghasilan lain-lain, yaitu (Pasal 4 ayat 1 huruf e, k, m. n, p & r) yang terdiri dari :
    1. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak
    2. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
    3. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
    4. premi asuransi;
    5. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
    6. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan

Berdasarkan uraian terkait objek Pajak tersebut diatas, maka Radio Siaran Swasta dapat terus berjalan karena adanya sumber penghasilan yaitu penghasilan dari usaha/kegiatan diantaranya adalah jasa iklan yang mereka berikan.

Pajak Penghasilan

Seperti kita ketahui bahwa sejak 1 Juli 2013, bagi usaha yang penghasilannya dibawah Rp. 4.8 Milyar dalam satu tahun dikenakan PPh Final sebesar 1% dari jumlah omset. Terkait hal ini dapat di baca dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “PPh Final 1% UKM“.

Maka apabila Perusahaan Radio Siaran Swasta yang memiliki penghasilan dibahwa Rp. 4.8 Milyar dalam satu tahun tidak perlu lagi dipusingkan dengan penghitungan pajak terutang dan kewajiban perpajakannya.

Dan agar wajib pajak Perusahaan Radio Siaran Swasta tidak dilakukan pemotongan maka dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain. Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain diberikan melalui Surat Keterangan Bebas dengan Tata Cara sebagaimana dimaksud PER-01/PJ/2011 jo PER-32/PJ/2013).

Contoh :

PT. Ekstra Jaya (Perusahaan Yang Mengiklankan Hasil Produksinya) kepada PT. Radio Jaya Abadi (Perusahaan Periklanan /Mass Media/Radio) dengan kontrak sebesar Rp. 100.000.000,- (termasuk PPN di dalamnya). Maka PT. Ekstra Jaya akan mentransfer pembayaran sebagai berikut :

DPP (100/110 x Rp. 100.000.000,-) = Rp. 90.909.091,-
PPN  (10% x Rp. 90.909.091,-) = Rp. 9.090.909,-
PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT. Ekstra adalah (2% x Rp. 90.909.091,-) = Rp. 1.818.181,82.

PT. Ekstra Jaya mentransfer pembayaran atas jasa iklan ke PT. Radio Jaya Abadi  sesuai dengan faktur pajak adalah sebesar  Rp. 98.181.818,- (Rp. 100.000.000 dikurang pemotongan PPh Pasal 23 sebesar Rp. 1.818.181,-) dan PT. Ekstra Jaya memberikan bukti potong kepada PT. Radio Jaya Abadi senilai tersebut.

Berdasarkan contoh tersebut di atas PT. Ekstra Jaya tidak akan memotong PPh Pasal 23 sebesar Rp. 1.818.181,- apabila PT. Radio Jaya Abadi dapat memberikan Surat Keterangan Bebas (SKB) karena termasuk Wajib Pajak UKM (PPh Final 1%).

Adapun alasan PT. Ekstra Jaya melakukan pemotongan karena sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor -244/PMK.03/2008 yang mengatakan bahwa  atas jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi (Jasa Periklanan) dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.

Pajak Pertambahan Nilai

Subjek PPN

Seperti kita ketahui dengan motivasi memberikan kemudahan kepada pengusaha (Subjek PPN) yang memiliki peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tertentu, maka pemerintah merasa perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai batasan pengusaha kecil terkait kewajiban Pajak Pertambahan Nilai.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai. Adapun poin pokok perubahannya adalah tentang batasan peredaran usaha. Jika sebelumnya batasannya tidak melebihi Rp. 600.000.000,- sekarang menjadi tidak melebihi  Rp. 4.800.000.000,-.   Terkait hal batasan ini dapat dibaca dalam tulisan dengan judul “Sekilas Perubahan Batasan Pengusaha Kecil.”

Dengan perubahan ini maka setiap orang pribadi atau badan yang memeiliki jumlah peredaran di bawah Rp. 4.8 Milyar menjadi tidak wajib  sebagai Pengusaha Kena Pajak, karena mereka dikategorikan sebagai Pengusaha Kecil. Pengusaha kecil tidak berhak memungut PPN dan membuat Faktur Pajak, namun pengusaha kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Terkait keuntungan dan kerugian menjadi pengusaha kena pajak dapat dibaca dalam tulisan “Sekilas Tentang Pilihan PKP atau Non PKP“.

Maka terkait Radio Siaran Swasta harus memastikan apakah mereka adalah Pengusaha Kecil atau Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, hal ini terkait dengan kewajiban perpajakan dengan jenis pajak Pajak Pertambahan Nilai.

Objek PPN

Bagi perusahaan Radio Siaran Swasta apabila memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak karena peredaran usaha dalam satu tahun masih dibawah Rp. 4.8 Milyar, harus memperhatikan kewajiban perpajakannya khususnya Pajak Pertambahan Nilai karena Pengusaha Kecil yang memilih dikukuhkan akan sama kewajibannya seperti Pengusaha Kena Pajak.

Karena mayoritas penghasilan terbesar dari Pengusaha Radio Siaran Swasta adalah dari iklan, maka perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Atas Jasa Iklan dikenakan PPN termasuk :

  1. Iklan Bonus, Dalam hal terjadi pemberian iklan bonus yang diberikan oleh Media Massa kepada pengiklan sebagai akibat dari pemasangan iklan pada Media Massa tersebut, maka iklan bonus tersebut tetap terutang PPN.
  2. Iklan Barter, Dalam hal terjadi iklan barter antara 2 atau lebih Mass Media, maka atas masing-masing pemasangan iklan tersebut tetap terhutang PPN atau dengan perkataan lain yang masing-masing Mass Media tersebut harus membuat Faktur Pajak.
  3. Iklan Sponsor, Dalam hal terjadi pemuatan iklan mengenai suatu produk atau tulisan yang disponsori oleh orang atau badan-badan tertentu maka atas pemasangan iklan tersebut terutang PPN.

Atas Jasa Iklan Tidak dikenakan PPN atas :

  1. Iklan Pelayanan Masyarakat, Dalam hal terjadi pemuatan Iklan Layanan Masyarakat (ILM), yang ditujukan untuk kepentingan umum maka  sepanjang iklan tersebut dibiayai sendiri oleh Mass Media yang bersangkutan atau dibiayai oleh sponsor tertentu asalkan identitas atau kepentingan sponsor tidak diungkapkan dalam iklan dan dana yang disediakan oleh sponsor tersebut benar-benar sebesar biaya yang diperlukan untuk membuat ILM dimaksud sehingga Mass Media yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan dari pemasangan ILM, atas pemuatan ILM dalam Mass Media tersebut tidak terutang PPN.

 

Loading…

Artikel Terkait :