Beberapa kali telah dibahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya, bahwa dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP 46 Tahun 2013) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sehingga atas penghasilannya dikenakan dengan tarif 1% dan bersifat Final, namun masih terdapat  begitu banyak pertanyaan terkait pelaksanaannya.

Kita ketahui bahwa PP 46 Tahun 2013 adalah meliputi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Maka dengan maksud agar pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat berjalan dengan baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya, telah dikeluarkan Surat Edaran nomor SE-32/PJ/2014 tanggal 17 September 2014 tentang penegasan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Agar pembaca setia nusahati dapat mengetahui dan update atas penegasan atau munculnya hal-hal terkait aturan yang berhubungan dengan PP 46 Tahun 2013, maka penulis mencoba mensarikan kembali terkait Surat Edaran yang baru saja dikeluarkan sebagaimana disebutkan di atas dengan judul tulisan kali ini “Penegasan Tentang Pelaksanaan PP 46 Tahun 2013” semoga  menjadi informasi yang bermanfaat.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu;
  4. Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-37/PJ/2013 tentang Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
  6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Sumber Penghasilan

Berdasarkan memori penjelasan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh dijelaskan bahwa sumber penghasilan bagi Wajib Pajak dapat dikelompokkan menjadi :

  1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara dan sebagainya.
  2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan
  3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalty, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha.
  4. Pengasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Penghasilan Berdasarkan PP 46 Tahun 2013

Untuk penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, kecuali :

  1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013;
  2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri
  3. Penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat Final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri (contoh : Jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan bangunan dll); dan
  4. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Saat Beroperasi Secara Komersial bagi WP Badan

Penentuan saat beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam pasal 2(4) dan pasal 9 PP 46 Tahun 2013 bagi wajib pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan operasi secara komersial untuk pertama kali bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor :

  1. Jasa, adalah saat pertama kali dilakukan penjualan jasa dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan; dan/atau
  2. Dagang dan Industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.

Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak Badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial. Maka bagi Wajib Pajak yang baru beroperasi secara komersial dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial.

Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial melewati tahun pajak saat beroperasi secara komersial ketentuan pengenaan PPh berdasarkan tarif umum UU PPh berlaku sampai dengan akhir tahun pajak berikutnya setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.

Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan untuk tahun pajak selanjutnya, ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.

 

Contoh :

  1. Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh untuk Tahun 2013 dan tahun 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
  2. Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh untuk Tahun Pajak 2013 (jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013). Untuk pengenaan PPh pada tahun 2014 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2013.
  3. Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
  4. Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Agustus 2013 sampai dengan 31 Juli 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan PPh pada Tahun 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

Definisi saat beroperasi secara komersial dalam SE-32/PJ/2014 sedikit berbeda dengan definisi yang dicontohkan oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.011/2013 (Lampiran dalam contoh nomor 5), namun dengan penegasan ini kita mengacu pada saat dilakukan penjualan pertama kali bukan dilakukannya operasi produksi.

PPh Bagi WP Badan atau Lembaga Nirlaba

Perlakuan PPh bagi WP badan atau lembaga Nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan.

  1. Atas sisa lebih yang diterima diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m UU PPh.
  2. Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana dimaksud pada nomor 1 tidak terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek pajak yang dikenai PPh berdasarkan ketentuan umum UU PPh.

Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan mengacu pada ketentuan umum UU PPh (Bukan PP 46 Tahun 2013).

PPh bagi Wajib Pajak Reksa Dana

Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan penghimpunan dana dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam UU no 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Berdasarkan kriteria tersebut , maka aliran penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana termasuk dalam kategori penghasilan yang berasal dari usaha sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh sehingga, dalam hal WP reksa dana memenuhi PP 46 Tahun 2013, maka Wajib Pajak reksa dana dikenai PPh yang bersifat final sesuai PP 46 Tahun 2013 beserta ketentuan pelaksanaannya.

PPh Bagi WP bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman.

Bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman adalah jumlah seluruh penghasilan usaha jasa perbankan/pinjaman, antara lain :

  1. Pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberian kredit/pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman;
  2. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

Apabila Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman tidak memenuhi kriteria sebagai WP yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.

PPh Bagi WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT)

Bagi WP pengusaha yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000 dalam 1 (satu) tahun pajak yang memenuhi kriteria sebagai WP OPPT dan kriteria sebagai wajib pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP OP pengusaha tersebut dikenai PPh bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Bagi WP OP pengusaha yang memiliki peredaran bruto melebihi Rp. 4.800.000.000 (empat koma delapan milyar) dalam 1 (satu) tahun pajak dan memenuhi kriteria sebagai WP OPPT, maka pengenaan Pajak Penghasilan bagi WP tersebut mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (7) UU PPh yaitu sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan usaha.

PPh Bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, ditegaskan bahwa Wajib Pajak OP yang berprofesi sebagai PPAT:

  1. mempunyai persamaan kewenangan dengan notaris, yaitu merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu yakni akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan
  2. dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas.

Maka dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT mengacu pada ketentuan Umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa

Penegasan kembali ketentuan penyetoran dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013.

  1. Wajib Pajak menyetor Pajak Penghasilan terutang ke kas negara paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnyasetelah Masa Pajak berakhir, melalui tempat sebagai berikut :
    1. Kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
    2. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank tertentu, Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dalam bentuk cetakan struk ATM yang kedudukannya disamakan dengan SSP.
  2. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana point 1 wajib menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
  3. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud point 3 diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014, sehingga atas keterlambatan pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN) masa Juli – Desember 2013 tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
  4. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan dan telah mendapat validasi NTPN, dianggap telah menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan  dengan tanggal pelaporan sesuai tanggal NTPN yang tercantum pada SSP atau cetakan struk ATM.
  5. Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2).

loading…

Artikel Terkait :

  1. Pengenaan PPh Final 1% UKM
  2. Sekilas Tentang SE-42/PJ/2013
  3. Sekilas Tentang PMK Nomor 107/PMK.011/2013
  4. Sekilas Tentang PP Nomor 46 Tahun 2013