Info Pajak NusahatiBerawal dari keluhan wajib pajak, ketika proses permohonan pengurangan sanksi administrasi pasal 13 ayat (2) KUP sedang berjalan. Juru Sita Pajak Negara melakukan penagihan dengan Surat Paksa. Akibat penagihan aktif tersebut wajib pajak terpaksa mencari jalan untuk melunasi  sisa utang pajak (yang tersisa adalah sanksinya karena atas pokoknya telah dilunasi), padahal alasan wajib pajak melakukan pengurangan sanksi karena kesulitan likuiditas.

Maka dalam kesempatan kali ini penulis mencoba menuliskan tentang perlakuan utang pajak dalam hal Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, dengan judul tulisan “Sekilas Tentang Penangguhan Pembayaran Pajak” dan opini dalam tulisan ini adalah  interprestasi penulis atas ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku, semoga memberi informasi yang  bermanfaat.

Dasar Hukum Terkait :

  1. Pasal 25, 27 dan Pasal 36 UU KUP;
  2. UU Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas UU No 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 tentang tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan;
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tanggal 02 Januari 2013 yang mulai berlaku sejak 1 Maret 2013 tentang tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak;
  5. Surat Edaran Nomor 17/PJ/2014 tanggal 07 April 2014 tentang petunjuk pelaksanaan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak;

Pengantar

Seperti dijelaskan di awal tulisan bahwa banyak wajib pajak mengeluh atas kebijakan yang menurut pendapat mereka sangat aneh, contohnya  wajib pajak sesuai ketentuan pasal 36 ayat (1)a UU KUP  wajib pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; namun atas sanksi (utang pajak) tersebut dipaksa untuk dilunasi terlebih dahulu (tindakan penagihan aktif).

Dengan demikian pertanyaannya adalah apakah memang ada yang salah dengan ketentuan perpajakan terkait dengan pelunasan sanksi administrasi tersebut? kenapa wajib pajak diperkenankan untuk melakukan permohonan pengurangan atas sanksi namun diwajibkan melunasi terlebih dahulu utang pajaknya?

Tentu sangat tidak logis bila utang pajak (sanksi administrasi) yang salah karena penetapan oleh fiskus namun diharuskan untuk dilunasi oleh Seksi Penagihan dalam hal ini oleh Juru Sita Pajak negara (JSPN), walaupun nantinya apabila sudah keluar Surat Keputusan atas Penghapusan Atas Sanksi Administrasi maka atas sanksi yang sudah dibayar akan dikembalikan.

Perlu dipahami bahwa dalam pasal 1 ayat (8) UU Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dijelaskan pengertian utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dan dalam  pasal 18 ayat (1) UU KUP dijelaskan bahwa yang menjadi dasar penagihan yang dilakukan oleh Jurusita adalah  Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.

Maka berdasarkan penjelasan tersebut maka tidaklah ada sesuatu yang salah yang dilakukan oleh petugas JSPN, karena menagih utang pajak yang belum dibayar adalah tugas dan fungsi mereka.

Jika pembaca membuka kembali catatan dalam blog ini diantaranya :

Dalam tulisan-tulisan tersebut penulis mengatakan bahwa tidak ada alasan wajib pajak melakukan permohonan pengurangan sanksi karena kesulitan likuiditas, karena jika wajib pajak mengalami kesulitan likuiditas dapat mengajukan penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam UU KUP pasal 10 ayat (3) serta aturan lanjutan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tentang perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007. Maka terkait alasan permohonan atas bukan kesalahan wajib pajak dan atau  kekhilafan wajib pajak tetap harus dilakukan pelunasan terlebih dahulu karena jangka waktu penyelesaian permohonan pengurangan adalah selama enam bulan.

Berikutnya juga akan dibahas tentang penangguhan pembayaran pajak yang terjadi yaitu dalam hal wajib pajak mengajukan Keberatan dan atau Banding. Walaupun penangguhan ini sangat beresiko bagi tindakan penagihan pajak (nantinya) karena tertangguh dalam waktu yang cukup lama.

Misalkan ditetapkan SKPKB sebesar Rp. 500.000.000.000,- (Lima ratus Milyar Rupiah) namun wajib pajak hanya setuju sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu), maka wajib pajak hanya membayar sebesar minimal Rp. 10.000,- dan sisanya mengajukan Keberatan bahkan diteruskan Banding. Saat Surat Keputusan Banding keluar dengan hasil menolak permohonan banding maka wajib pajak diharuskan membayar sisanya beserta sanksi 100%, dan pada kenyataanya wajib pajak sudah tidak memiliki aset lagi (semua dijual pada saat masa penangguhan tersebut).

Penangguhan Pembayaran Apabila Mengajukan Keberatan

Dalam hal keberatan, dalam pasal 25 ayat (7) diatur bahwa Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak atas Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, dan  apabila atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

Seperti kita ketahui bahwa sejak tahun pajak 2008 Wajib Pajak hanya melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum Surat Keberatan disampaikan (Pasal  4 PMK-9/PMK.03/2013; sehingga apabila SKPKB yang diterbitkan sebesar Rp. 650.000.000,- namun wajib pajak hanya setuju sebesar Rp. 2.000.000,-  maka wajib pajak sebelum pengajuan keberatan diwajibkan membayar minimal sebesar Rp. 2.000.000,- dan  apabila keputusan keberatan keluar dengan keputusan “menolak” dan wajib pajak tidak mengajukan banding maka wajib pajak harus segera melunasi kekurangannya yaitu Rp. 648.000.000,- ditambah sanksi administrasi sebesar 50% yaitu Rp. 324.000.000,- atau jika keberatan wajib pajak “dikabulkan” seluruhnya maka wajib pajak tidak memiliki utang pajak yang kurang dibayar lagi.

Penangguhan Pembayaran Apabila Mengajukan Banding

Dalam hal keberatan, dalam pasal 27 ayat (5a) diatur bahwa Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak atas Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan dan apabila keberatan sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan, namun Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Contoh apabila SKPKB yang diterbitkan sebesar Rp. 650.000.000,- namun wajib pajak hanya setuju sebesar Rp. 2.000.000,-  maka wajib pajak sebelum pengajuan keberatan diwajibkan membayar minimal sebesar Rp. 2.000.000,- dan  apabila keputusan banding keluar dengan keputusan “menolak” maka wajib pajak harus segera melunasi kekurangannya yaitu Rp. 648.000.000,- ditambah sanksi administrasi sebesar 100% yaitu Rp. 648.000.000,- atau jika banding wajib pajak “dikabulkan” seluruhnya maka wajib pajak tidak memiliki utang pajak yang kurang dibayar lagi.

Penangguhan Pembayaran Apabila Pengurangan/penghapusan Sanksi

Tentang penangguhan pembayaran pajak atas keberatan dan banding masing-masing diatur dalam UU KUP pasal 25 ayat (7) dan Pasal 27 ayat (7), namun tentang penangguhan pembayaran apabila pengurangan/penghapusan sanksi sepanjang pengetahuan saya memang tidak diatur. Sehingga atas permohonan pengurangan/penghapusan sanksi administrasi wajib pajak diwajibkan untuk melunasinya sesuai jangka waktunya yaitu paling lama satu bulan sejak diterbitkan suatu ketetapan.

Ada beberapa inovasi dilakukan oleh fiskus dilapangan untuk berusaha menangguh pembayaran sanksi administrasi yaitu dengan hanya menyetujui pokok pajak (tidak termasuk sanksi) sehingga dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar hanya setuju dan membayar pokoknya saja dan atas sanksi administrasinya oleh wajib pajak diajukan pengurangan/penghapusan sanksi.

Namun rekayasa tersebut pun hanya menangguh pembayaran sanksi administrasi selama 3 (tiga) bulan, karena setalah itu JSPN akan melakukan tindakan penagihan (mengacu pada permohonan keberatan).

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penangguhan perpajakan hanya terjadi pada saat dilakukan pengajukan keberatan dan atau banding. Sedangkan atas permohonan pengurangan/penghapusan sanksi yang diajukan oleh wajib pajak tidak menunda pembayaran utang pajaknya.

Dan apabila wajib pajak mengalami kesulitan keuangan atau adanya hal-hal  yang bersifat force majeur terkait utang pajak tersebut wajib pajak dapat mengajukan permohonan mengangsur atau menunda sebagaimana dijelaskan dalam UU KUP pasal 10 ayat (3) serta aturan lanjutan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tentang perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 yang secara lebih teknis lagi tentang tatacara pengangsuran pajak ini diatur dengan Peraturan DIrjen Pajak Nomor PER-38/PJ/2008.

loading…

Artikel Terkait :