Ketetapan PajakAda perbedaan mendasar antara sistem self assessment dengan sistem official assessment terkait penetapan pajak. Dengan sistem official assessment maka pembayaran pajak didahului dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak oleh Direktorat jenderal Pajak (DJP). Sementara dalam sistem self assessment pembayaran pajak tidak harus tergantung adanya Surat Ketetapan Pajak.

Dalam sistem self assessment pemenuhan kewajiban perpajakan ada pada Wajib Pajak, Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan. peraturan perpajakan. Artinya kepercayaan penuh  diberikan kepada Wajib Pajak dalam melakukan penetapan penghitungan besarnya pajak yang terutang. Penetapan dimaksud adalah hal-hal yang dilakukan Wajib Pajak dalam rangka self assessment. Sementara ketetapan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam “menghitung kembali” pajak yang sudah dibayar oleh wajib pajak apabila didapati cukup bukti, yang dapat menjadi kurang bayar, nihil atau lebih bayar.

Tentang apa itu penetapan pajak dan ketetapan pajak, akan kita bahas dalam tulisan kali ini dengan judul “sekilas Tentang Penetapan dan Ketetapan Pajak” semoga tulisan ini menambah informasi dan wawasan kita terkait perpajakan.  

 Ketentuan Penetapan

Dalam pasal 12 ayat (2) UU KUP disebutkan bahwa “Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Hal ini menegaskan bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak dianggap benar.

Contoh :

PT. Nusahati  melakukan kegiatan usaha “halal barokah” melaporkan seluruh penghasilan yang diperoleh tahun 2013 dengan perincian sebagai berikut :

  • Peredaran Bruto    Rp  58.000.000.000,-
  • Penghasilan Neto   Rp.   6.000.000.000,-
  • PPh Terutang         Rp.   1.500.000.000,-
  • Kredit Pajak            Rp.   1.200.000.000,-
  • PPh Pasal 29           Rp.      300.000.000,-

Maka PPh terutang sebesar Rp. 1.500.000.000,- tersebut adalah hasil perhitungan Wajib Pajak sesuai ketentuan peraturan perpajakan. Sedangkan kredit pajak sebesar Rp. 1.200.000.000,- dan PPh Pasal 29 sebesar Rp. 300.000.000,- yang telah dilunasi adalah pembayaran pajak oleh Wajib Pajak tanpa didahului dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) melainkan melalui pemotongan/pemungutan pihak ketiga dan dibayar sendiri.

 Ketentuan Ketetapan

Dalam pasal 12 ayat (3) UU KUP yang  menyebutkan “Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.” Hal ini menegaskan bahwa peranan fiskus adalah untuk menguji kebenaran SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak melalui self assessment tersebut.

Proses pengujian dan pembuktian dilakukan melalui tindakan pemeriksaan, dan apabila hasil dari pemeriksaan tersebut ternyata jumlah pajak yang terutang menurut Wajib Pajak sebagaimana dilaporkan dalam SPT tidak benar, maka Direktorat Jenderal Pajak menetapkan jumloah pajak yang terutang dengan menerbitkan SKP.

Contoh :

PT. Nusahati  melakukan kegiatan usaha “halal barokah” melaporkan seluruh penghasilan yang diperoleh tahun 2013 dengan perincian sebagai berikut :

  • Peredaran Bruto    Rp  58.000.000.000,-
  • Penghasilan Neto   Rp.   6.000.000.000,-
  • PPh Terutang         Rp.   1.500.000.000,-
  • Kredit Pajak            Rp.   1.200.000.000,-
  • PPh Pasal 29           Rp.      300.000.000,-

Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa pajak  terutang yang dilaporkan dan dibayarkan tidak benar, misalkan pembebanan biaya tidak didukung dengan dokumen pengeluaran yang sah sebesar Rp. 500.000.000,-, maka Fiskus menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya  sesuai dengan ketentuan perpajakan yaitu dengan menerbitkan SKP.

Pajak terutang berdasarkan hasil pemeriksaan menjadi :

  • Peredaran Bruto    Rp  58.000.000.000,-
  • Penghasilan Neto   Rp.   6.500.000.000,-
  • PPh Terutang         Rp.   1.625.000.000,-
  • Kredit Pajak            Rp.   1.500.000.000,-
  • Kurang Bayar          Rp.      125.000.000,-
  • Sanksi Adm              Rp.       20.000.000,- (Rp. 125 Jt X 2% x 8 Bulan)
  • SKPKB 2013            Rp.      145.000.000,-

Berdasarkan hasil pemeriksaan,  maka penghitungan perpajakan menjadi sebagaimana contoh di atas, PT Nusahati diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Tahun 2013 sebesar Rp.  145.000.000,-.

Jenis-Jenis Ketetapan

1. Surat Ketetapan Pajak

Ketentuan yang mengatur tetang kewenangan Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak diatur dalam beberapa pasal dalam UU KUP yaitu :

  1. Pasal 13,  Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
  2. Pasal 13A, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
  3. Pasal 15, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
  4. Pasal 17, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
  5. Pasal 17A, Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
  6. dan Pasal 17 B, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

Wajib Pajak yang sudah diterbitkan SKPKB tidak menutup kemungkinan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) apabila ditemukan data baru (novum) yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan Pajak tersebut.

2. Surat Tagihan Pajak

Dalam Pasal 1 angka 20 UU KUP disebutkan bahwa “Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.” Dengan demikian maka fungsi Surat Tagihan Pajak (STP) adalah untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :

  • melakukan tagihan pajak dan/atau
  • melakukan tagihan administrasi berupa bunga dan/atau denda

Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak (oleh Account Representative dan Pejabat Fungsional Pemeriksa)  dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak dalam hal :

  1. Pajak Penghasilan (PPh) dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar (diterbitkan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak masa pajak yang bersangkutan) ;
  2. Berdasarkan hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/ayau salah hitung;
  3. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
  4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu;
  5. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak mengisi faktur pajak secara loengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN, selain :
    1. Identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b UU PPN; atau
    2. Identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b, dan huruf g UU PPN, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
  6. Pengusaha Kena Pajak (PKP) melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak
  7. Pengusaha Kena Pajak yang mengalami gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) UU PPN.

Pada umumnya STP diterbitkan setelah dilakukan penelitian administrasi perpajakan atau berdasarkan hasil pemeriksaan pajak.

loading…

 

Artikel Terkait :

  1. Dan Lain-Lain