Badan Otoritas Pajak

Badan Otoritas Pajak

Hari-hari ini Kementerian Keuangan sedang melakukan seleksi terbuka untuk satu posisi yang superpenting: direktur jenderal pajak. Pengalaman saya saat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, ketika memilih dirjen pemasyarakatan, dirjen peraturan perundangan-undangan, dan dirjen imigrasi, proses lelang yang baik menjadi titik awal terpilihnya pejabat yang tepat dan amanah. Pada tempatnyalah kita kasih perhatian lebih serius atas proses lelang dirjen pajak karena pajak adalah urat nadi perekonomian kita. Hampir 70 persen penerimaan negara dalam APBN dari pajak. Pada 2014, target penerimaan pajak Rp 1.072 triliun dari total target penerimaan negara sebesar Rp 1.635 triliun.

Kelembagaan Perpajakan

Dengan beban tugas sepenting itu, harus dipikirkan kelembagaan yang tepat bagi institusi perpajakan, misalnya dengan menjadikannya executive agency, langsung berada di bawah presiden, dan bukan lagi pada level direktorat jenderal, yang berarti hanya eselon I semata. Tentu tak semua lembaga diletakkan langsung di bawah presiden. Untuk perpajakan, hal demikian sangat patut dipertimbangkan.

Pertama, karena alasan konstitusi. Tak semua urusan bernegara secara tegas diletakkan pada tataran UUD. Di antara yang sedikit itu, salah satunya soal perpajakan. Pasal 23A UUD 1945 dengan jelas mengatur, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Tentu dipahami, konstitusi hanya mengatur hal-hal yang sifatnya fundamental dalam kehidupan bernegara. Maka, penghormatan konstitusi atas urusan perpajakan sudah sepatutnya dikompensasi dengan struktur kelembagaan yang lebih kuat dan mandiri.

Apalagi, fungsi perpajakan tidak hanya bertanggung jawab pada sektor penerimaan APBN, tetapi juga fungsi strategis lainnya, seperti fungsi redistribusi pendapatan. Misalnya, sistem pajak progresif mendorong agar jurang antara orang kaya dan miskin semakin kecil sehingga pemerataan kesejahteraan dapat dioptimalkan. Maka, dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak 2015-2019 ditetapkan target rasio pajak sebesar 19 persen pada 2019. Target yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan rasio pajak saat ini yang berada pada kisaran 12 persen.

Penelitian IMF pada 2011 menyebutkan bahwa dengan regulasi perpajakan yang ada saat ini, Indonesia seharusnya memiliki rasio pajak sebesar 21,5 persen. Artinya, apabila dibandingkan dengan rasio pajak Indonesia pada 2012 sebesar 11,9 persen, Indonesia memiliki tax gap mencapai hampir 100 persen.

Beban meningkatkan rasio pajak sebesar itu tentu akan adil jika diberikan kepada lembaga dengan kewenangan yang lebih kuat dan mandat yang lebih besar. Sebagai perbandingan, ketika Afrika Selatan mampu mencapai angka rasio pajak sebesar 26 persen pada 2011, salah satu faktor utamanya adalah kelembagaan pajak di Afsel yang mandatnya lebih kukuh.

Sejak 1997, Afsel menerapkan bentuk organisasi unified semiautonomous body with board (USBB). Melalui bentuk USBB, otoritas pajak Afsel memiliki komisioner dan dewan penasihat. Komisioner ditunjuk presiden dengan pertimbangan menteri keuangan dan anggota kabinet. Dengan pemberian otonomi, otoritas pajak Afsel berwewenang lebih mengelola organisasi.

Masih terkait kelembagaan yang kuat, penting pula dikaitkan dengan fungsi pajak dalam penegakan hukum. Saat ini saja Ditjen Pajak memiliki wewenang penegakan hukum administrasi (pemeriksaan pajak, penerbitan SKP/STP, penagihan paksa, memutus keberatan WP, hingga bersengketa di pengadilan pajak dan MA) serta penegakan hukum pidana (intelijen pajak, penyelidikan dan penyidikan yang disertai upaya paksa penangkapan, penahanan, dan penggeledahan). Fungsi penegakan hukum demikian seharusnya ditopang kelembagaan yang berwibawa dan, karena itu, penting mempunyai derajat setingkat kementerian sehingga memiliki gengsi dan independensi dalam melaksanakan tugas. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, fungsi penegakan hukum demikian diserahkan kepada model Internal Revenue Service (IRS) dengan penyidik yang kuat dan independen.

Pengalaman Internasional

Di samping fungsi strategis di atas, bidang perpajakan memiliki kekhususan dalam lingkup kerja sama internasional, baik dalam bentuk konvensi, perjanjian bilateral penghindaran pajak berganda (P3B), perjanjian pertukaran data dan informasi, serta forum kerja sama internasional bidang perpajakan.

Saat ini, Indonesia telah memiliki P3B dengan 65 negara. Indonesia telah menandatangani Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters yang diikuti 65 negara dan 18 yurisdiksi. Sedemikian strategis dan penting aspek internasional itu, selayaknya perpajakan dikelola lembaga lebih independen meski tetap di bawah presiden.

Sebagai best practices, sebagian besar negara maju, seperti AS, Inggris, Australia, Perancis Singapura, Kanada, Swiss, dan Spanyol, lembaga perpajakannya memiliki otonomi dalam pengelolaan anggaran, sumber daya manusia, regulasi, dan struktur organisasi layaknya sebagai lembaga atau badan tersendiri.

Di sisi lain, dari sembilan kriteria otonomi yang idealnya dimiliki unit penghimpun pajak, Ditjen Pajak Indonesia dianggap tak punya wewenang dan otonomi cukup menjadi suatu unit penghimpun penerimaan negara. Padahal, dalam penelitian Taliercio (2000), pemberian otonomi dimaksudkan menjadikan otoritas perpajakan lebih kompeten, efisien, dan adil. Kebijakan ini dapat menjadikan organisasi lebih independen sehingga dapat mengurangi tekanan politik terhadap otoritas pajak itu sendiri.

Jadi, proses pemilihan dirjen pajak yang sekarang berlangsung tentu penting. Namun, setelahnya, dirjen pajak yang baru harus mampu meyakinkan Menteri Keuangan dan Presiden Joko Widodo untuk membentuk badan otoritas perpajakan lebih mandiri, kuat dan berwibawa. Dengan struktur kelembagaan yang langsung di bawah presiden, tentu dengan tetap membangun koordinasi yang erat dengan Kementerian Keuangan, kerja-kerja strategis sektor perpajakan dapat lebih efektif dilaksanakan.

Ditulis Oleh : Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (Sumber kolom opini Harian Kompas tanggal 27 Desember 2014)