Pdt. Dr. Stephen Tong

Pdt. Dr. Stephen Tong

Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita. Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat. Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia. Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui. Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini. (Ibrani 11:1-3, 6, 8, dan 13)

Ayat-ayat di atas ini sepintas lalu terlihat sebagai suatu konflik. Tanpa iman, tidak ada seorang pun yang diperkenan oleh Tuhan.  Dan orang yang beriman, tidak memperoleh apa yang dijanjikan, tetapi mereka melihat dari jauh. Apakah yang mereka lihat? Mungkinkah mereka yang tidak memperoleh dapat melihat dari jauh? Ketika Abraham dipanggil, ia beriman kepada panggilan itu. Ia taat berdasarkan iman yang dinyatakan di dalam tindakan. Sehingga tindakan menjadi bukti iman. Tindakan dapat dilihat oleh manusia, tetapi iman dilihat oleh Tuhan Allah. Iman kepercayaan yang diakui oleh seseorang senantiasa tidak dapat dilihat oleh orang lain, tetapi iman kepercayaan yang dilihat oleh Allah itu, perlu dinyatakan di dalam ketaatan sebagai wujud tindakan, sehingga dapat menjadi saksi di hadapan manusia yang lain.

Kunci dari semua ini adalah: “Karena iman kita mengerti” (ayat 3). Ayat ini telah lama saya gumulkan dan telah menjadi prinsip yang banyak mempengaruhi sistem epistemologi saya. Dengan ayat ini saya menegakkan epistemologi saya. Saya melihat bagaimana kita dapat menegakkan cara menjadi seorang Kristen yang bertanggung jawab di dalam pengertian, dengan prinsip “karena iman kita mengerti”.

Istilah “epistemologi” tidak diketemukan di dalam kamus bahasa Inggris biasa, karena istilah ini merupakan istilah filsafat. Epistemologi adalah teori mengenai pengetahuan tentang bagaimana kita berpengetahuan. Ilmu ini bukan ilmu pengetahuan (sains) itu sendiri, tetapi ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Ilmu ini membahas tentang sumber, sifat, batasan, kemungkinan, keakuratan dan kredibilitas pengetahuan itu. Mungkinkah manusia mempunyai pengetahuan? Sampai berapa jauh kemungkinan itu? Andaikata tidak ada batasnya, mengapa tidak ada batasnya? Bagaimana dapat mencari cara yang benar, sehingga pengetahuan itu diterima, dipelajari, dimiliki dengan tepat dan tidak berbeda dari seharusnya, sehingga antara subyek yang ingin tahu dan obyek yang diketahui, tidak terdapat kesenjangan lagi? Ilmu seperti ini disebut sebagai epistemologi. Epistemologi adalah salah satu bidang dari lima bidang utama di dalam filsafat.

Kita dapat mengerti karena kita beriman, bukan karena kita mengerti maka kita beriman! Kita dapat mengerti karena kita memiliki iman. Alangkah hebatnya bila seseorang dapat percaya kepada Tuhan, tetapi alangkah bahagianya bila ia dapat mengerti mengapa ia percaya. Hanya percaya tanpa mengerti mengapa percaya, akan mengakibatkan orang sedemikian tidak memiliki pegangan, dan tidak mempunyai hak untuk menyatakan imannya kepada orang lain. Tetapi dengan mengerti apa yang menyebabkan kita percaya, kita dapat dengan tegas dan teguh untuk membagi-bagikan  iman kepada orang lain.

Mengalami anugerah Tuhan adalah satu aspek penting. Tetapi mengerti anugerah yang dialaminya merupakan aspek penting lainnya. Banyak orang mau menerima anugerah, tetapi tidak berusaha mengerti anugerah yang diterimanya. Alangkah indahnya bila keseimbangan ini dapat kita capai. Biarlah ada satu gerakan besar di dalam Kekristenan, yang menyadarkan setiap orang Kristen bukan hanya mau mempunyai pengalaman menerima anugerah Tuhan, tetapi juga mempunyai pengertian tentang anugerah yang diterima itu, sehingga kita berdiri teguh dan memiliki pegangan untuk membagi-bagikan iman kepercayaan kita kepada orang lain. Mereka perlu diberi pengertian tentang kepercayaan kita dan sekaligus pengertian tentang kesalahan mereka yang tidak mau  percaya  seperti kita di dalam Yesus Kristus.

Rasio : Di manakah Tempatnya?

Kita telah membahas bahwa manusia berbeda dari binatang, karena manusia memiliki rasio, sifat hukum, dan sifat moral. Selain tiga hal ini, banyak hal lain yang tidak dibahas di sini. Tidak mungkin manusia mengerti siapa dan apa manusia kecuali dari apa yang diwahyukan Tuhan di dalam Alkitab. Tidak mungkin ada siapa pun atau apa pun yang lebih mengenal manusia kecuali dari Allah yang mencipta manusia dan yang mewahyukan Alkitab. Kitab Suci merupakan jawaban yang paling tuntas bagi semua kesulitan pribadi maupun masyarakat, baik secara antropologi maupun sosiologi.

Ketika manusia dicipta menyerupai Penciptanya, ia memiliki hak yang khusus, yaitu: memiliki rasio. Oleh karena itu, jika orang Kristen tidak mementingkan rasio atau meniadakan fungsi rasio di dalam kepercayaan atau sistem iman kita, maka kita telah menjual hak yang penting di dalam diri kita masing-masing. Tetapi celaka pula jika orang Kristen memperilah rasio, sehingga rasio yang dicipta dimutlakkan seperti Allah yang mencipta. Ia akan mengalami kesulitan yang lebih banyak lagi.

Jangan meniadakan rasio, tetapi juga jangan memperilahkan rasio. Jangan menyangkal rasio dan jangan mendewakan rasio. Rasio hanya suatu fungsi yang tinggi sekali yang dicipta oleh Tuhan di dalam diri manusia, yang serupa dan segambar dengan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, rasio bukan tidak ada gunanya, tetapi rasio juga tidak setara dengan Tuhan Allah. Ilmu pengetahuan bukan tidak ada apa-apa, ilmu pengetahuan juga bukan segala-galanya, tetapi ilmu pengetahuan adalah sesuatu hal. Bepikir bukan tidak ada nilainya, pikiran juga bukan segala-galanya, tetapi pikiran adalah sesuatu yang penting. Tidak benar perkataan pemimpin-pemimpin yang tidak bertanggung jawab yang menganggap bahwa rasio itu tidak ada gunanya, yang hanya mengutamakan aspek percaya saja. Jika pemimpin-pemimpin gereja tidak mau berpikir, lalu berharap jemaatnya juga tidak berpikir, maka yang ada hanyalah orang bodoh yang memimpin orang bodoh, dan menjadi gereja yang bodoh. Hanya pemimpin yang bodoh takut jemaatnya berpikir lebih banyak daripadanya. Ini adalah peperangan yang sulit bagi kita.

Kita berada di dalam abad di mana teknologi semakin hari semakin pesat berkembang. Jika kita tidak mempersiapkan diri, maka di dalam beberapa tahun yang akan datang, seluruh dunia akan masuk ke dalam zaman masa berlalunya Kekristenan, “post-Christian era”.  Saya tidak ingin melihat Indonesia masuk ke dalam zaman seperti ini. Pada saat seperti itu, gedung-gedung gereja menjadi kosong. Itu sebabnya kita perlu berjuang bagaimana kita mempergunakan rasio sebaik mungkin untuk memuliakan nama Tuhan, tetapi tidak boleh menjadikan rasio itu sebagai Tuhan. Orang Kristen harus rasionil, tetapi orang Kristen tidak boleh menjadi rasionalis.

Allah adalah Pencipta rasio, rasio dicipta oleh Allah. Antara Pencipta dan yang dicipta selalu ada tenggang yang penting yang disebut sebagai Kualitas Pembeda, “qualitative difference”.  Perbedaan secara kualitas dan perbedaan secara esensi menunjukkan bahwa antara Pencipta dan yang dicipta pasti tidak sama.

Alangkah bodohnya jika seseorang mengatakan, “Hal ini tidak dapat diterima oleh akal saya.”  Karena tidak masuk akal saya, maka itu bukan kebenaran. Orang seperti ini telah berbuat kesalahan dengan memutlakkan rasio yang pada hakekatnya tidak mutlak. Memperluas batasan rasio menjadi tidak terbatas akan menjerumuskan diri sendiri.

Jika seseorang menjadi seorang rasionil, maka kita harus menggunakan rasio kita sebaik mungkin. Jika kita memperdewakan rasio, maka kita mengetahui bagaimanapun kita mempergunakan rasio kita tetap ada batasnya. Di dalam kedua hal yang penting ini kita mencari jalan yang benar, dan di sana kita menemukannya, yaitu penaklukan rasio kepada kebenaran.

Jika memang rasio terbatas, apakah masih ada kebenaran di luar batas tersebut? Jika memang ada, bagimana rasio dapat bertanggung jawab untuk kebenaran yang berada di luar batas tersebut? Di sini diperlukan penaklukan rasio kepada Kebenaran. Kebenaran lebih besar daripada “yang mengerti kebenaran” dan “yang mengerti kebenaran” mengalami perubahan karena kebenaran mengisi, memenuhi dan mencerahkannya.

Barangsiapa mengerti kebenaran hidupnya pasti berubah, dari gelap menjadi terang, dari berpandangan sempit menjadi luas, dari terikat menjadi bebas. Sesuai dengan perkataan Yesus Kristus, “Jika engkau mengenal kebenaran, maka kebenaran itu akan memerdekakanmu.” (Yohanes 8:32). Ayat ini merupakan penghiburan yang agung bagi manusia yang berasio untuk menikmati hidup yang seindah mungkin. Orang yang kaya dengan uang belum tentu bebas, tetapi orang yang kaya kebenaran pasti bebas.

Kebenaran mungkin tidak akan menjadikan Saudara kaya, tetapi kebenaran pasti akan menjadikan Saudara bebas. Kaya akan kebenaran menyebabkan hati manusia tidak diikat oleh konsep=konsep yang salah. Inilah kebenaran yang sejati. Seorang yang di luar penjara mungkin terikat oleh berbagai macam konsep yang salah, tetapi seseorang yang dipenjarakan oleh karena kebenaran, pikirannya yang bebas tersebut tetap tidak dapat dipenjarakan. Kalimat ini merupakan kalimat agung dari Tuhan Yesus,tetapi juga pernah dikemukakan oleh seorang filsuf Stoikisme, yaitu Seneca. Ia mengatakan: “Kebenaran membebaskan, tetapi tidak memperkaya.”  Kebenaran akan memperkaya kekebasan kita sampai kita menjadi orang yang sungguh-sungguh merdeka. Celaka sekali orang yang rasionya diikat oleh konsep-konsep yang salah. Hanya kebenaran yang dapat melepaskan mereka, yang dapat mematahkan belenggu-belenggu yang mengikat pikiran yang dicpta oleh Tuhan.

Khotbah yang baik adalah khotbah yang membebaskan orang dari belenggu konsep yang salah. Gereja yang baik adalah gereja yang membawa manusia kepada Kebenaran dan melepaskannya dari pikiran-pikiran yang salah. Di situ iman seseorang menikmati suasana surgawi sekalipun ia masih berada di dunia. Kebenaran tidak bersifat menipu. Kebenaran tidak membunuh dan mematahklan rasio. Dengan kebenaran yang mencerahkan rasio, maka akan timbul respon yang wajar, yaitu seseorang yang sudah mengerti kebenaran akan menaklukkan rasionya ke bawah kebenaran. Itulah iman.

Relasi Iman, Rasio dan Kebenaran

Jadi, iman adalah pengembalian rasio kepada Kebenaran. Iman bukan sekedar mau percaya tanpa mengetahui apa yang ia percaya. Iman bukan sekedar pengertian di dalam otak tanpa kelanjutan apa pun. Tetapi iman harus sampai pada menerima, mengakui apa yang ia mengerti. Banyak anak-anak sekolah yang pelajaran agamanya mencapai nilai sembilan bahkan sepuluh, tetapi pada hakekatnya mereka hanya mengetahui dan belum percaya sungguh-sungguh kepada Tuhan. Iman bukan persetujuan rasionil, iman juga bukan sekedar ucapan mulut saja. Iman adalah penaklukkan rasio ke bawah kebenaran.

Iman membawa rasio kembali kepada kebenaran. Oleh karena itu, orang yang beriman rasionya tidak menjadi negatif dan terikat. Orang yang beriman rasionya akan kembali kepada Kebenaran yang mencipta rasio itu. Dengan definisi ini, kita harus belajar sungguh-sungguh, kemudian berdiri dan memberikan jawaban kepada setiap orang yang mempertanyakan tentang iman kita (1 Petrus 3:15). Seorang Kristen yang bertanggung jawab adalah dia yang setiap saat berdiri memberi jawaban dengan tegas, karena rasionya sudah tunduk kepada kebenaran dan mengerti kebenaran yang lebih besar daripada rasio itu sendiri. Kebenaran lebih besar dan lebih agung daripada rasionya, maka rasio yang sudah tunduk itu, kini berfungsi dengan baik.

Saya tidak berasumsi bahwa semua orang akan dapat berdiri dan memberikan semua jawaban tantangan terhadap iman Kristen, tetapi di antara orang Kristen harus ada orang yang berdiri untuk menjawab tantangan-tantangan semacam itu.

Di atas telah diungkapkan bahwa banyak filsuf-filsuf yang pernah sekolah teologi yang akhirnya sangat menentang Tuhan. Mengapa? Karena Kekristenan tidak memiliki orang-orang yang siap memberikan jawaban kepada pemikir-pemikir yang tajam seperti mereka. Pemikir-pemikir yang tajam mengalami banyak kesulitan berkenaan dengan iman, dan dengan rasio mereka berusaha mencari jawaban. Tetapi sayang, Kekristenan belum bersedia dan belum siap memberikan jawaban. Hal ini membawa kita kepada pertanyaan, sebenarnya berapa besar Kekristenan itu?

Pada hakekatnya, Kekristenan jauh lebih besar daripada apa yang Saudara ketahui. Ada orang Kristen yang imannya sedemikian kecil dan pengetahuannya sedemikian sempit, sehingga ia hanya mengetahui sedikit sekali dan hanya bagian tertentu saja. Lalu ia menganggap jika orang lain mengetahui yang tidak sama dengan yang dia ketahui, orang lain itu dianggap bukan Kristen. Padahal Kekristenan pasti lebih besar daripada semua konsep kita yang telah kita mengerti. Bahkan sampai disorga pun kita akan memuji Tuhan, karena Kristus jauh lebih besar daripada apa yang kita ketahui. Iman yang sudah kembali kepada kebenaran itu akan menikmati semakin hari semakin dalam, tidak henti-hentinya sampai ia kembali ke sorga.

Iman adalah pengembalian, yaitu sebagai pengarah, tetapi iman sekaligus juga sebagai penerobosan yang bersifat dinamis. Iman adalah penaklukan rasio kepada kebenaran, pengembalian rasio yang dicipta kepada Kebenaran yang mencipta. Berarti iman adalah penerobosan dari yang terbatas menuju kepada yang tidak terbatas. Di situlah seseorang menikmati hal-hal di luar rasio.

Dua butir telur ayam yang hampir menetas, sudah menyadari keberadaannya yang begitu sempit di dalam telurnya. Kedua ayam di dalamnya berusaha untuk memecahkan batasan dari kulit telurnya. Kulit telur itu bagaikan belenggu, pembatas, pengikat bagi si ayam. Ayam pertama, dengan tanpa pengalaman mematukkan mulutnya yang keras ke kulit telur itu, maka kulit itu pecah. Ia terkejut, dibalik pembatas itu ternyata ada langit yang sangat luas. Ada cahaya matahari yang kuat masuk dari lubang yang dibuatnya. Ini di luar pengalamannya. Selama ini si ayam merasa damai dan aman di dalam kulit telur itu, tetapi sekarang ada pengalaman lain setelah kulit telur itu pecah. Maka mula-mula reaksinya adalah menolak pengalaman baru itu. Ini adalah daya dasar yang melawan sesuatu yang mengubah kebiasaan kita. Tetapi lama-lama ia mulai terbiasa dengan cahaya itu, ia mulai mengintip keluar, ia mulai melihat banyak pemandangan yang menakjubkan. Ia mulai kagum dan menyenangi hal itu. Ini namanya penerobosan, masuk kepada pengalaman yang lebih luas. Lalu ia memecahkan kulit itu lebih besar dan mulai mengeluarkan kepalanya. Di situ ia mulai sadar bahwa langit tidak setinggi kepalanya, bumi tidak sebesar kanan kirinya dan tanah tidak sesempit kulit yang ada di bawah telapak kakinya. Ia kagum melihat langit yang luas, pohon-pohon besar, dan melihat seluruh alam. Setelah itu ia mulai takut, berusaha masuk kembali ke dalam telur, tetapi telurnya sudah pecah. Maka, ia memperpendek kepalanya. Lalu ia mulai berbicara kepada ayam yang lain yang masih di dalam telur.

“Hei ayam B, apakah engkau masih di dalam telur?”

“Apa yang kau tanyakan? Bukankah semua ayam di dalam telur?”

“Tidak. Saya tidak.”

“Ah, kamu sudah gila.”

“Saya beritahu bahwa saya tidak mungkin kembali ke tempatku, tetapi engkau pasti akan mengalami apa yang saya alami. Tahukah kamu ada langit?”

“Ya, langit itu ada di atas kepalaku.”

“Bukan, itu bukan langit, itu langit-langit telur. Apakah engkau melihatnya?”

Ayam B tidak mungkin melihatnya. Sebelum ada penerobosan, tidak mungkin seseorang dapat melihat suatu pengalaman di dalam kebenaran yang luas. Ia masih berada didalam kegelapan.

Iman adalah penglihatan terhadap segala sesuatu yang belum dilihat. Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani 11:1). Jika seseorang memiliki dasar yang kuat di dalam apa yang ia harapkan, dan mempunyai bukti yang kuat atas apa yang tidak kita lihat, ia sungguh-sungguh orang beriman. Tetapi semua harus sungguh-sungguh memiliki kredibilitas yang cukup. Jika tidak itu tetap merupakan takhyul. Dalam aspek ini, kita perlu membedakan antara iman Kristen yang benar dengan iman Kristen yang tidak benar.

Ada suatu cerita tentang dua orang wanita di Malaysia. Yang seorang tidak menikah dan yang seorang dibuang oleh suaminya. Karena hidup mereka begitu sedih, mereka menjadikan agama sebagai pelarian mereka. Mereka datang ke gereja, menangis-nangis di sana, lalu katanya mendapat Roh Kudus. Setelah itu mereka dapat berbicara seperti Yesus. Mereka datang pada seorang anak perempuan yang terkena kanker. Dan dua perempuan ini berkata, “Saya Yesus, saya akan menyembuhkan engkau secara perlahan-lahan.” Bagaimana tanggapan majelis gereja? Betulkah itu dari Roh Kudus? Mereka tidak pernah mau memikirkan hal-hal seperti ini. Mereka menerima saja.

Saat itu saya ada di sana. Ketika mereka bertanya, saya mengajak mereka untuk menguji masalah ini dengan menaklukkan rasio di bawah kebenaran Tuhan. Beberapa pertanyaan perlu diajukan: (1) Pernahkah di dalam Alkitab  seseorang yang menyembuhkan orang mengatakan,“Aku Yesus”? Jawabnya: Tidak ada!  (2) Pernahkah Roh Kudus memenuhi seseorang lalu orang itu berkata, “Saya Yesus”? Jawabnya: Tidak pernah!  (3) Pernahkah Tuhan Yesus menyembuhkan orang dengan mengatakan, “Saya sembuhkan engkau secara perlahan-lahan”? Jawabnya: Tidak pernah!

Kita harus memaka irasio. Rasio itu perlu ditaklukkan kepada firman, jika tidak maka Kekristenan Saudara akan berbahaya sekali. Saya katakan kepada mereka, bahwa itu bukan Roh Kudus, itu pasti roh yang jahat. Mereka tidak mau menerima dan menganggap saya menghujat Roh Kudus. Kalau seorang wanita yang ditinggalkan pergi suaminya, pada tengah malam mendengar orang mengetuk pintu dan mengatakan, “Aku suamimu.”  Lalu tanpa menguji langsung membukakan, ia adalah perempuan yang bodoh. Tuhan mengetahui bahwa mungkin sekali orang Kristen di dalam kepolosannya juga dapat berbuat hal-hal yang bodoh, sehingga dapat ditipu oleh setan. Itu sebabnya Alkitab mengajarkan bahwa “Jangan percaya segala roh. Kita harus menguji setiap roh.” (1 Yohanes 4:1-3). Roh yang asli, Roh Kudus memperbolehkan, bahkan memerintahkan manusia untuk jangan menerima sembarang roh, tetapi harus mengujinya dengan ketat. Kalau ada rfoh yang mengatakan, “Jangan diuji, percaya saja.” Pasti itu berbeda dengan Roh yang mewahyukan Alkitab.

Keluarga anak perempuan yang mengidap kanker itu tetap ragu-ragu. Saya menghargai keraguan mereka. Keraguan adalah hak setiap orang. Jika keraguan itu sungguh untuk mencari kebenaran dan ingin mengetahui kebenaran, silahkan lakukan. Kita perlu berani menghargai setiap orang yang mencari kebenaran dengan jujur.  Ayah anak itu belum Kristen, tetapi ia memikirkan dan mulai percaya kebenaran apa yang saya katakan. Ibunya yang terlalu sayang kepada anaknya, menerima apa saja yang dapat menyenangkan telinganya. Saya tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah melakukan mujizat kesembuhan, tetapi manifestasi Roh Kudus yang demikian adalah salah.

Kemudian saya berkata, “Demi mengoreksi iman ibu yang salah, dan demi kebenaran firman Tuhan, mungkin sekali Tuhan justru akan memperkenankan anak ibu meninggal.” Ia sangat terkejut. Kemudian saya berbicara dengan anak itu dan mempersiapkan dia untuk menghadapi kematian. Enam bulan kemudian, saya bertemu lagi dengan ibu ini. Anaknya telah meninggal, tetapi ibu itu sudah sadar apa yang salah dan apa yang benar. Bahkan suaminya telah ke gereja, karena ia melihat ajaran Kristen yang benar.

Ajaran seperti ini berbeda dari banyak aliran yang sedang beredar di Indonesia. Banyak orang yang lebih setuju kalau anak itu disembuhkan. Mereka menganggap dengan demikian baru dapat menyatakan kuasa Allah.  Banyak orang merasa harus menjadi kaya, baru dapat menyatakan kemuliaan Allah. Teologi seperti ini adalah teologi yang melawan teologi Alkitab yang menegaskan bahwa kalau perlu kita harus memikul salib, menderita untuk mengikut Tuhan. Kadang-kadang Tuhan membiarkan orang Kristen mengalami kesulitan, penderitaan dan kematian, bahkan mati syahid karena ingin menyatakan kesetiaan mereka kepada kebenaran Tuhan. Pada saat seperti itu Tuhan tidak menolong melepaskan mereka. Terkadang Tuhan membiarkan kita mati dalam keadaan yang begitu sulit, kejam, dan tidak menyenangkan. Terkadang Tuhan memperbolehkan anak-anak-Nya mati dimakan oleh singa-singa buas, mati kecelakaan atau kadang-kadang terbunuh. Tuhan menginginkan kita memiliki iman yang sejati, bukan iman yang egois, yang hanya mau menikmati kesenangan dan keuntungan sendiri. Iman adalah penaklukan diri ke dalam kebenaran. Iman yang sejati adalah iman yang terus dipertahankan sampai mati, sekalipun harus mengalami berbagai kesulitan karena kebenaran.

Kebenaran adalah diri Allah, Kebenaran bersumber dari Allah, sehingga Kebenaran lebih besar daripada hidup. Jadi Kebenaran lebih besar daripada rasio yang ada didalam hidup. Kebenaran itu kekal adanya.

Rasio adalah ciptaan Tuhan. Karena manusia dicipta menurut peta dan teladan Tuhan, rasio harus kembali kepada Kebenaran Allah, untuk menaklukkan yang dicipta kepada Yang mencipta. Arah dan ketaatan ini, yaitu mengaku menaklukkan rasio ke bawah Kebenaran ini, disebut iman. Iman berarti menaklukkan rasio kepada yang lebih besar daripada rasio.

Amin.

 

Sumber:
 
Nama buku        :  Iman, Rasio dan Kebenaran
Sub Judul          : Rasio dan Iman
Penulis              : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit            : Momentum, 2011
Halaman            : 23 – 35
 
https://www.facebook.com/notes/sola-scriptura/rasio-dan-iman-artikel-pdt-dr-stephen-tong/780512911997164