Norma Pajak

Norma Penghitungan

Seperti kita ketahui bersama bahwa Direktur Jenderal Pajak melalui KEP-536/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 mengatur tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto, ketentuan ini diperuntukan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan. Hal ini sesuai dengan semangat yang berada di dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) UU PPh dikatakan sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
  2. Wajib yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan neto wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
  3. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pencatatan dan yang tidak memberitahukan kepada DJP sehingga dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

KEP-536/PJ/2000 tersebut terus menjadi pedoman bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan tidak menimbulkan pertanyaan sampai akhirnya terbit Peraturan Pemerintah nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Tentang hal ini pernah ditulis dalam tulisan yang berjudul “Sekilas Tentang Norma Penghitungan“.

Dan pada bulan April 2015 tepatnya tanggal 10 April 2015 Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan peraturan nomor PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitugan Penghasilan Neto. Maka dengan keluarnya peraturan ini KEP-536/PJ/2000 yang sudah 15 tahun digunakan sebagai acuan menjadi tidak berlaku mulai tahun pajak 2016.

Tentang apa konten dari PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto (selanjutnya disingkat menjadi NPPN) akan coba penulis tuangkan dengan judul “ Perubahan Norma Penghitungan Penghasilan Neto”, semoga tulisan ini memberikan informasi yang bermanfaat.

Dasar Pertimbangan

  • Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto dibuat dan disempurnakan secara terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
  • bahwa Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 233/PJ/2012 tentang Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-321/PJ/2012 telah berlaku sejak tanggal 31 Oktober 2012;

Kriteria Wajib Pajak Pengguna Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Dalam pasal 1 ayat (2) dan (3) dinyatakan sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan pembukuan.
  2. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan dan menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final, menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Berdasarkan pasal tersebut di atas bagi Orang Pribadi (OP) yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (tahun) kurang dari Rp. 4,8M dan menyelenggarakan pencatatan serta tidak dikenai PPh bersifat final wajib menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan neto.

Contoh OP Melakukan Kegiatan Usaha

  • WP OP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
  • WP OP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

Contoh OP Melakukan Pekerjaan Bebas

Wajib Pajak Orang Pribadi yang menerima penghasilan dari pekerjaan bebas yang meliputi:

  1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. f. agen iklan;
  7. g. pengawas atau pengelola proyek;
  8. h. perantara;
  9. i. petugas penjaja barang dagangan;
  10. J. agen asuransi; dan
  11. k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Kewajiban Pengguna NPPN

Dalam pasal 2 ayat (1), (2) dan (3) dijelaskan sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang menggunakan NPPN wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal Tahun Pajak yang bersangkutan.
  2. Pemberitahuan penggunaan NPPN yang disampaikan dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan NPPN.
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

NPPN Bagi WP Pengguna Pembukuan Namun Tidak Taat Azas

Dalam pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) dijelaskan sebagai berikut :

  1. Dalam hal terhadap Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan NPPN.
  2. Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak tidak dilakukan atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
  3. Wajib Pajak sebagaimana poin 1  dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Daftar Persentase NPPN

Sebagaimana ketentuan sebelumnya (KEP-536/PJ/2000) tentang daftar persentase NPPN yang dikelompokkan menurut wilayah tidak mengalami perubahan dalam PER-17/PJ/2015, walau sebenarnya penulis berharap ada rumusan terbaru tentang pengelompokkan wilayah ini namun apapun itu kita terima saja dulu (bukankah begitu?). Bahasan yang terdapat dalam pasal 4 ayat (1), (2), (3) dan (4) sebagai berikut :

  1. Daftar Persentase NPPN dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut:
    1. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
    2. ibukota propinsi lainnya;
    3. daerah lainnya.
  2. Daftar Persentase NPPN  untuk Wajib Pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
  3. Daftar Persentase NPPN untuk Wajib Pajak orang pribadi yang  Pengguna Pembukuan Namun Tidak Taat Azas dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
  4. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak badan
    Pengguna Pembukuan Namun Tidak Taat Azas  tercantum dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Bila Wajib Pajak Memiliki Beberapa Jenis Usaha

 Dalam pasal 5 dan pasal 6 dijelaskan sebagai berikut :

  1. Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas dengan memperhatikan pengelompokan wilayahnya.
  2. Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung sebagaimana poin 1.
  3. Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase NPPN dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) tahun pajak
  4. Dalam menghitung besarnya PPh yang terutang oleh WP OP, sebelum dilakukan penerapan tarif umum PPh, terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan neto.

Contoh Penggunaan NPPN (Lampiran IV)

Selain menjalankan usaha kantor akuntan publik di Jakarta, Nona Aurelia memiliki usaha persewaan ruang kantor di kota yang sama. Sepanjang tahun 2016, Nona Aurelia memiliki peredaran usaha dari jasa kantor akuntan publik sebesar Rp1 miliar. Sedangkan dari usaha persewaan ruang kantor memperoleh sebesar Rp3 miliar.

Nona Aurelia telah menyampaikan pemberitahuan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak 3 bulan sejak awal Tahun Pajak 2016.

Karena penghasilan yang diperoleh Nona Aurelia pada tahun 2016 dari usaha jasa kantor akuntan publik dan usaha persewaan ruang kantor tidak melebihi Rp4,8 miliar, maka Nona Aurelia boleh menghitung penghasilan neto atas penghasilan yang diperoleh dari jasa kantor akuntan publik dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Sedangkan atas penghasilan yang diperoleh Nona Aurelia dari usaha persewaan ruang kantor dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan PP No. 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP No. 5 Tahun 2002 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.

Penghitungan Pajak Penghasilan Nona Aurelia yang terutang pada Tahun Pajak 2016 adalah sebagai berikut:

Persentase penghasilan neto jasa kantor akuntan publik di kota Jakarta adalah sesuai dengan norma KLU 69200 untuk 10 ibukota provinsi yaitu sebesar 50%.

Penghasilan Neto                             50% x Rp1.000.000.000,- = Rp500.000.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak                                                           Rp 24.300.000,-
Penghasilan Kena Pajak                                                                      Rp475.700.000,-

Pajak Penghasilan terutang:
5% x Rp 50.000.000,-    = Rp 2.500.000
15% x Rp200.000.000,- = Rp30.000.000
25% x Rp225.700.000    = Rp56.425.000
Jumlah                               = Rp88.925.000,-

 

loading…

Dasar Hukum Dapat di Download :

  1. KEP-536/PJ/2000 dan Lampirannya
  2. PER-17/PJ/2015 dan
    1. Lampiran I
    2. Lampiran II
    3. Lampiran III
    4. Lampiran IV

 

Artikel Terkait Menarik Lainnya :