Adnan Pandu Praja

Adnan Pandu Praja (Pimpinan KPK)

Potensi Masalah Umum Direktorat Jenderal Pajak

I. Pendataan

1. Belum Akuratnya Data NPWP

Sebagai contoh pada sektor pertambangan, pada tahun 2014 terdapat 724 (23.61%) Izin Usaha Pertambangan (IUP) Batubara yang dimiliki oleh 3.066 perusahaan tidak tercatat pada data NPWP Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudaj berstatus Clean and Clear (CNC) masih ditemukan yang tidak tercatat pada data NPWP.

Dari sektor kelautan, berdasarkan hasil penelusuran database NPWP pada DJP daftar status perusahaan yang mengoperasikan kapal ikan eks asing sejumlah 53 perusahaan/pemilik kapal (28%) tidak memiliki/tidak teridentifikasi NPWPnya dari 187 perusahaan/pemilik kapal eks asing yang di telusuri (sumber Ditjen Pajak Kemenkeu dari datat KKP.2014).

Daftar status perusahaan yang mengoperasikan Kapal Ikan > 30 Gt berdasarkan hasil penelusuran database NPWP perusahaan pada Ditjen Pajak, Kemenkeu 1444 perusahaan/pemilik kalap (70.9%) yang tidak memiliki/tidak teridentifikasi NPWPnya dari 2036 perusahaan/pemilik kapal yang ditelusuri (sumber Ditjen Pajak Kemenkeu dari datat KKP.2014).

2. Kurangnya Data Pendukung (Khususnya Data Produksi) Dalam Perhitungan Potensi Pajak

Sebagi contoh pada sektor pertambangan. Pada tahun 2012 terdapat perbedaan data produksi batubara Indonesia yang bersumber dari Ditjen Menerba, Badan Pusat Statistik (BPS), World Coal Association (WCA) dan US Energy Information Administration (EIA).

Apabila perbedaan tersebut dihitung sebagain penerimaan pajakyang hilang maka besarnya potensi hilangnya pajak pada tahun 2012 dapat mencapai +/- 20 Triliun Rupiah.

3. SIstem Informasi Yang Belum Terintegrasi

Sistem informasi perpajakan belum terintegrasi dengan data eksternal, fitur ketersediaan data belum memadai untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan terkait pengawasan kepatuhan Wajib Pajak.

DJP memiliki berbagai aplikasi untuk pengelolaan dan pemanfaatan data eksternal (Misal : Portal, Approweb, Agregat) tetapi belum terintegrasi.

II. Pengawasan

 Minimnya Pengawasan Kepada Wajib Pajak

Proporsi pegawai DJP saat ini sebesar +/- 60% adalah non pengawasan dan hanya +/- 40% untuk pengawasan (Account Representative dan Pemeriksa). Kondisi berbanding terbalik dengan proporsi pegawai pajak pada negara OECD, yaitu 60% untuk pengawaqsan dan 40% untuk non pengawasan (administrasi).

Berdasarkan data tahun 2012, rata-rata seorang Account Representative harus mengawasi 4.000  Wajib Pajak sehingga pengawasan tidak dapat dilakukan secara intensif untuk masing-masing Wajib Pajak.

Sedangkan untuk pemeriksaan, waktu pemeriksaan pajak dihabiskan untuk melakukan pemeriksaan rutin (lebih bayar), bukan pada pemeriksaan kurang bayar atau pemeriksaan berdasarkan analisis resiko.

III. Regulasi

Keterbatasan Peraturan Terkait Perolehan Data Eksternal

Kewenangan DJP untuk meminta data eksternal dari Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak lain (ILAP) menghadapi beberapa kendala seperti kerahasiaan data (misal : Perbankan) dan ketidakselarasan dalam melakukan pengawasan dan menghitung potensi pajak.

Penanganan Keberatan dan Banding

Latar Belakang :

  1. Rendahnya realisasi penerimaan pajak dan tax ratio (12.4%)
  2. Besarnya potensi dana yang bisa direpatriasi (pengembalian dana) di Luar Negeri (+/- Rp. 3.000 Trilyun di Singapura)
  3. Menjelang pemberlakuan pertukaran data keuangan secara otomatis (2018)

Pertanyaan Introspeksi :

  1. Apakah DJP melakukan analisis dan evaluasi berkala atas alasan-alasan keberatan Wajib Pajak?
  2. Apakah permohonan Keberatan dan/atau Banding Wajib Pajak yang diterima dijadikan dasar DJP untuk :
    1. Merevisi peraturan perundang-undnagan
    2. Merevisi SOP atau pedoman pelaksanaan teknis perpajakan
    3. Memperbaiki manajemen SDM (karir, reward/punishment, kompetensi, dll)
  3. Apakah DJP memiliki mitigasi risiko pada titik rawan fraud (kecurangan)?
  4. Peraturan perundang-undangan tentang pemidanaan kebijakan pejabat negara.

Penyebab Keberatan Wajib Pajak

  1.  Perbedaan persepsi peraturan perundang-undangan, solusi diantaranya adalah :
    1. Ciptakan tools yang memudahkan Wajib Pajak (SPT, formulir permohonan layanan, tabel tarif pajak, otomasi sistem perpajakan, dll).
    2. Perbaiki kualitasi konsultasi dan penyuluhan oleh DJP (KPI?)
    3. Perbaiki kualitas peraturan bidang perpajakan (KPI?).
  2. Kesalahan fiskus (pemeriksa pajak), solusi diantaranya adalah :
    1. Review model kompetensi pemeriksa pajak
    2. Review model pengangkatan pemeriksa pajak
    3. Diklat rutin dan berkesinambungan
  3. Strategi Organisasi (target penerimaan), solusi diantaranya adalah :
    1. DJP harus clear antara pendekatan strategi “pelayanan” ataukah “penegakan hukum” dalam mencapai target penerimaan.
    2. Pejabat hingga pelaksana terbawah di DJP juga harus jelas menjalankan tugas pelayanan atau penegakan hukum.

Titik Rawan Terjadinya Fraud dalam Alur Keberatan & Banding

  1. Saat pemeriksaan pajak;
  2. Saat penyelesaian proses keberatan;
  3. Saat penyelesaian proses Banding di Pengadilan Pajak;

Apa mitigasi DJP mengurangi kemungkinan fraud? misalnya :

  1. Mengurangi interaksi tatap muka fiskus – Wajib Pajak;
  2. Laporan/Berita acara/catatan setiap terjadinya interaksi;
  3. Melibatkan pihak ke-3 (atasan/pengawas/cctv);
  4. Larangan dan sanksi berat berinteraksi tanpa adanya sistem pengawasan;
  5. Pengamatan perilaku dan gaya hidup fiskus oleh atasan secara berjenjang;
  6. Ketaatan pelaporan LHKPN (waktu pelaporan maupun isi).

Frekuensi dan Potensi Suap DJP

Survey persepsi korupsi tahun 2015 (TI Indonesia bekerjasama dengan Danida) merilis bahwa 496 interaksi di Kantor Vertikal DJP (Kantor Wilayah) terjadi 83 kejadian suap atau probabilitas 17%.

Pemidanaan Kebijakan Pejabat Negara

 1. Pasal 50 KUHP :

“Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.”

2. Pasal 51 KUHP :

“(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”

“(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan  pekerjaannya.”

3. Pasal 36 UU KUP :

“Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Kesimpulan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memidanakan kebijakan, Komisi Pemberantasan Korupsi memidanakan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sesuai Undang-Undang (UU).

Tulisan di atas berjudul : Penyelesaian Sengketa Perpajakan Ditinjau Dari Aspek Penegakan Hukum, Disampaikan oleh : Adnan Pandu Praja dalam acara Rakortas Keberatan dan Banding 2015 yang dilaksanakan tanggal 20 s.d 23 Oktober 2015 di Padma Resort Legian- Bali yang dihadiri pegawai Keberatan dan Banding seluruh Indonesia termasuk admin nusahati.com.