Jesus BornAku mengajar kelas 2 (dua) di London, Ontario, Canada dan diminta untuk memproduksi sebuah pertunjukan drama Natal. Beberapa orang berpikir apa yang terjadi dalam drama ini bisa menjadi rusak, ketika orang-orang melihat cerita Natal yang mereka pernah lihat. Maka Andalah hakimnya.

Setelah banyak berpikir dan mempertimbangkan, aku mendapatkan variasi-variasi untuk cerita Natal itu. Sebuah masalah adalah Ralph. Dia adalah seorang anak laki-laki berbadan besar untuk anak usia 9 (sembilan) tahun dan seharusnya sudah di kelas 4 (empat). Disamping besar, dia canggung, lamban bergerak dan lamban berpikir. Dia disenangi oleh semua anak, terutama mereka yang lebih muda karena dia bertingkah selalu seperti pelindung.

Dalam drama ini Ralph ingin menjadi gembala dengan sebuah seruling. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku mempunyai peran yang lebih penting baginya. Yaitu sebagai pengurus rumah penginapan, (dalam hati) aku beralasan, dia tidak perlu menghafal terlalu banyak. Ukurannya yang besar akan membuat adegan penolakannya terhadap Yusuf menjadi lebih impresif.

Kami berlatih dan berlatih, setiap anak merasakan pentingnya keberhasilan malam nanti. Akhirnya tibalah saat pertunjukkan, Auditorium dipenuhi dengan keluarga dan teman-teman untuk menyaksikan pertunjukan tahunan yang tetap selalu luar biasa.

Namun tak seorangpun baik penonton maupun pemain yang lebih menarik perhatian malam itu daripada Ralph.

Pertunjukan berlangsung tanpa kesalahan berarti sampai saat Yusuf muncul, berjalan perlahan, dengan lembut menolong Maria menuju sebuah penginapan. Dia mengetuk dengan keras pintu kayu penginapan.

Ralph sudah siap dan sedang menunggu.
“Apa yang kau inginkan?” dia bertanya, mendorong pintu hingga terbuka.
“Kami mencari sebuah kamar yang dapat disewa.”
“Carilah ditempat lain,” Ralph menatap lurus ke depan, dan dia berkata-kata dengan keyakinan. “Penginapan penuh.”
“Tuan yang baik, kami sudah menanyakan ke mana-mana tetapi sia-sia. Kami sudah menempuh perjalanan yang jauh dan kami sangat kelelahan.”
“Tidak ada kamar untukmu.”
“Tolonglah, ini istriku Maria. Dia sedang mengandung dan harus menemukan tempat untuk beristirahat malam ini. Tentu kau mempunyai beberapa tempat yang kecil untuknya. Dia begitu lelah.”
Ralph memandang Maria. Ada jeda yang panjang. Penonton menjadi tegang.

“Tidak, pergilah!” aku memberitahukan.
Ralph hanya berdiri di sana.
Tiga kali aku memberitahukan dari balik panggung, setiap kali lebih keras dari sebelumnya.

Para pemeran Malaikat-malaikat yang dibelakang panggung bersamaku juga mulai resah. Akhirnya, Ralph secara otomatis mengulang perkataan yang sudah dipelajarinya selama berminggu-minggu latihan :
“Tidak, pergilah!”

Yusuf dengan sedih menggandeng Maria dan siap untuk pergi.

Pemilik penginapan tidak segera masuk ke penginapannya seperti yang telah diarahkan. Dia berdiri disana memandangi pasangan yang sedih itu, memandang dengan bingung, dengan mulut yang terbuka, dahinya mengkerut karena prihatin, matanya dipenuhi oleh air mata.

Tiba-tiba, sandiwara natal berubah total.

“Jangan pergi Yusuf. Tolong jangan pergi.” Ralph memanggil.
“Bawa Maria kesini.”
Wajahnya cerah kembali karena sebuah senyuman yang lebar. Dia membuka lebar tangannya.

“Kau boleh memiliki kamarku.”
Dan akupun menangis. Kemuliaan Allah menyinari mereka, dan dalam waktu singkat, paduan suara malaikat menyanyikan lagu-lagu Natal.

Beberapa orang di kota itu berpikir bahwa drama Natal jadi rusak. Namun yang lain, banyak orang berpikir bahwa itu adalah drama yang sesungguhnya (benar) dari semua drama Natal yang pernah mereka lihat.

Dina Donohue

Edisi : Menjelang Natal

Sumber : https://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000002378790/982998299829wonderful-stories982998299829/113