Jasa Luar NegeriSebagai seorang penelaah keberatan, baru-baru ini penulis menangani  sengketa pajak terkait koreksi Biaya Royalti (adanya pembayaran royalti kepada WP di  Luar Negeri). Adapun koreksinya cukup menarik karena Biaya Royalti yang sudah dikeluarkan dianggap sebagai pembayaran yang merupakan pemberian dividen terselubung. Dengan penggantian pos biaya ini tentu saja disamping adanya objek yang berbeda juga mempengaruhi laba perusahaan yang memberikan Royalti (Wajib Pajak dalam negeri).

Seperti apa simpulan penyelesaian sengketa tersebut adalah yang coba penulis uraikan dalam tulisan di awal bulan Maret 2016 ini dengan judul kali ini “Bila Biaya Royalti Tidak Diakui?,”. Royalti yang dibahas dalam tulisan kali ini adalah terkait pembayaran atas balas jasa yang dikeluarkan perusahaan dalam negeri (Indonesia) kepada negara lain pemilik hak cipta (Luar Negeri). Semoga tulisan ini memberi informasi yang bermanfaat khususnya kepada pembaca setia nusahati.com  😛

Pengertian Biaya Royalty

Biaya royalti adalah segala bentuk pembayaran yang dikeluarkan sebagai balas jasa atas penggunaan, atau hak menggunakan setiap hak cipta kesusasteraan, kesenian atau karya ilmiah termasuk film-sinematografi dan film atau pita-pita untuk siaran radio atau televisi, paten, merek dagang, pola atau model, rencana, rumus rahasia atau pengolahan, atau penggunaan atau hak menggunakan perlengkapan-perlengkapan industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan, atau untuk keterangan mengenai pengalaman dibidang industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan.

Dalam pasal 6 ayat 1 huruf a poin 3 disebutkan sebagai berikut “Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain bunga, sewa, dan royalti”.

Dengan pengertian tersebut di atas dapat dipastikan bahwa biaya royalti yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan  dapat menjadi pengurang penghasilan perusahaan tersebut.

Objek Pajak Penghasilan

Dalam pasal 26 ayat 1 huruf c UU PPh dikatakan sebagai berikut : “Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha  tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta”.

Apabila berbicara tentang Pajak Penghasilan khususnya Pasal 26 maka tidak bisa tidak kita memperhatikan P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda) atau sering disebut Tax Treaty yaitu perjanjian bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak perpajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk salah satu negara atau kedua negara (Both Contracting States).

Biaya Royalti Tidak Diakui

Sering terjadi koreksi dilakukan karena unsur kecurigaan, demikian pula atas biaya royalti dalam kasus ini. Bermula dari pemberian royalti kepada pemilik hak cipta dan teknologi yang berada di Luar negeri  yang sekaligus pemegang saham rentan terjadi untuk penyalahgunaan demi mengecilkan laba perusahaan yang berada di dalam negeri.

Adapun alasan-alasan kenapa biaya royalti dikoreksi  adalah dengan fakta-fakta dan kondisi sebagai berikut :

  • Biaya royalti diberikan kepada kepada pemilik hak (Luar Negeri) yang juga pemilik saham perusahaan di dalam negeri.
  • Perusahaan Dalam negeri selalu membukukan laba setiap tahunnya namun dalam tahun-tahun tersebut belum pernah memberikan dividen.
  • Perusahaan dalam negeri tidak dapat membuktikan bahwa biaya royalty tersebut memberikan manfaat kepada perusahaan.
  • Perusahaan dalam negeri tidak dapat meyakinkan dalam hal pembuktian kewajaran pembayaran royalty seperti memberikan laporan perjanjian penggunaan hak cipta. Dan perjanjian yang sama kepada perusahaan lain yang tidak memiliki hubungan istimewa.

Dalam kasus ini Biaya Royalti tersebut dikoreksi menjadi Biaya Dividen. Tentu hal ini akan berefek bagi laba perusahaan karena sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf a dikatakan “Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi” sehingga biaya ini tidak boleh dibiayakan.

Dasar hukum Perpajakan Yang Sering menjadi Acuan

  1. Pasal 18 ayat 3 UU PPh dikatakan “Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa …”.
  2. Pasal 18 ayat 4 UU PPh dikatakan “Hubungan istimewa dianggap ada apabila :
    • Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
    • Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
    • terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
  3. Dalam OECD guidelines dapat diketahui bahwa apakah pembayaran tersebut memang layak dilakukan dan disebutkan pula apabila penerima royalty adalah pemegang saham dari pemberi royalty ada kemungkinan dividen tidak pernah dibayar tetapi dalam bentuk royalty serta di dalam OECD chapter 6 point 14 juga diatur mengenai ketentuan pembayaran royalty dalam hal perusahaan mendapat keuntungan ataupun mengalami kerugian.

Bila Biaya Royalti Diakui

Apabila  Biaya Royalti  berkaitan dengan terminologi harta tidak berwujud atau  Intangible Property (IP) maka untuk mengetahui  kelaziman dan kewajaran pembayaran, perusahaan harus melakukan pengujian sebagai berikut :

  1. Keberadaan atau eksistensi dari Harta Tidak Berwujud (Intangible Property), perusahaan harus dapat membuktikan eksistensi dari IP yang mencakup jenis-jenis atau tipe, kepemilikan, penilaian IP, keberadaan atau eksistensi penyerahan hak penggunaan IP.
    • Tipe, perusahaan harus dapat menentukan tipe dari masing-masing IP yang dimanfaatkan karena perbedaan jenis IP mengakibatkan perbedaan perlakuan pengujian atas keberadaan/eksistensinya. IP terdiri dari comercial intangibels seperti paten, know-how, desain, dan model yang digunakan untuk memproduksi suatu barang atau memberikan suatu jasa, dan marketing intangibles seperti trade mark, brand atau trade-names yang membantu dalam mengeksploitasi suatu produk atau jasa, daftar pelanggan, saluran distribusi, simbol, gambar, dan lainnya yang memiliki nilai promosi yang penting terhadap produk terkait.
    • Kepemilikan IP, berdasarkan OECD TP Guidelines paragraf 6.3 disebutkan bahwa kepemilikan IP menentukan siapa yang berhak atas pembayaran royalti. Kepemilikan umumnya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu kepemilikan legal dan ekonomi.
    • Penilaian IP, dalam OECD TP Guidelines paragraf 6.3, 6.14 dan 6.22 diatur bahwa IP harus mempunyai nilai (value). Pada paragraf 6.3 dinyatakan bahwa “… from the perspective of the transferee, a comparable enterprise may pra may not be prepared to pay such a price, depending on the value and…”, jadi nilai suatu IP adalah hal yang penting untuk diketahui, dan penentuan besaran royalty yang akan dibebankan selalu berdasarkan dari nilai IP tersebut.
    • Keberadaan atau eksistensi penyerahan hak penggunaan IP, Perusahaan harus dapat membuktikan keberadaan peristiwa pengalihan hak untuk menggunakan IP yang ditunjukkan dengan adanya manfaat ekonomis bagi pihak yang menerima hak menggunakan IP.
  2. Kewajaran Nilai dari transaksi Pembayaran IP, dalam tahapan kedua ini pada saat menentukan kewajaran nilai dari IP harus terlebih dahulu dilakukan analisis kesebandingan. Berdasarkan hasil analisis kesebandingan dicari transaksi pembanding yang sebanding dengan transaksi afiliasi perusahaan, baru kemudian ditentukan metode transfer pricing yang digunakan.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas maka perusahaan harus mempersiapkan dokumen-dokumen pendukung yang dan langkah-langkah meyakinkan apabila biaya royaltinya tidak mau dianggap sebagai pemberian dividen terselubung.