Dr. Stephen TongBAB III :

BEBERAPA PANDANGAN MENGENAI AGAMA (1)

“Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” (Pengkhotbah 3:10-11)

—————————————–

Ayat di atas adalah salah satu ayat yang sangat agung di dalam Alkitab. Allah menciptakan segala sesuatu pada waktu yang tepat. Lalu Dia menciptakan manusia dengan memberikan kekekalan di dalam hidupnya. Di sini kita melihat paradoks yang nampaknya bertentangan, padahal tidak, yaitu waktu dan kekekalan. Apakah perbedaan waktu dan kekekalan? Kekekalan diberikan kepada manusia, yang diciptakan di dalam lingkaran waktu; manusia dibatasi di dalam waktu. Tetapi kekekalan bukan waktu dan kekekalan tidak dibatasai oleh waktu. Itulah sebabnya menjadi manusia tidak mudah. Barangsiapa menganggap hidup sebagai manusia adalah suatu hal yang mudah, ia belum mengerti makna akan manusia dan arti hidup. Allah telah menciptakan segala sesuatu pada waktu yang tepat. Itu berarti Allah menciptakan segala sesuatu dan menaruh segala sesuatu di dalam waktu. Limitasi (keterbatasan) waktu telah menjadi suatu lingkaran di mana segala sesuatu telah dibatasi di dalamnya. Tetapi, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan di dalam waktu, namun demikian mempunyai unsur yang melampaui waktu. Unsur yang melampaui waktu itu mengakibatkan kita disebut manusia. Di atas dasar inilah terletak nilai, kehormatan dan kemuliaan eksistensi manusia. Patutlah kita bersyukur kepada Tuhan atas hal ini. Kita perlu merenungkan ayat ini lebih dalam. Kita pun akan memakai ayat ini seterusnya untuk menjelaskan apa sebenarnya sifat agama yang diberikan oleh Tuhan di dalam manusia.

Banyak definisi yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir mengenai agama. Kita hanya akan melihat definisi dan penjabaran mengenai agama dan beberapa tokoh. Agama memang merupakan salah satu tema atau pokok pembahasan yang paling sulit dibicarakan. Begitu banyak orang yang berusaha mnempelajari agama, terjun begitu dalam di dalam bidang agama, padahal sebenarnya mereka belum mengerti apa itu agama. Tetapi, sebaliknya, ada juga orang-orang yang berpengetahuan tentang agama padahal belum beragama. Di Indonesia, jikalau kita menanyakan setiap orang umumnya mereka akan menjawab: “Saya beragama. Kalau tidak, saya tidak bisa menjadi warganegara ini.” Ada yang nilai ujian agamanya baik, tetapi sebenarnya tidak percaya apa yang dituliskannya waktu ujian. Sebenarnya jikalau seseorang tidak mempercayai apa yang dipelajari tentang agama, orang itu belum beragama.

Blaise Pascal (1623-1662), seorang filsuf, ilmuwan, tokoh agama dan teolog yang sangat hidup beribadah di hadapan Tuhan. Jarang ada orang sejenius Pascal. Dia pun seorang ahli matematika yang menemukan kalkulator sebelum berusia tujuh belas tahun. Pascal pernah mengucapkan suatu kalimat: “Tidak ada orang yang dapat mengenal Allah lebih daripada cintanya terhadap Allah.” Biarlah kita yang belajar teologi memperhatikan ucapan Pascal ini! Jikalau seseorang tidak mencintai Allah, sekalipun telah membaca banyak buku tentang teologi, tetap belum berarti dia sudah mengenal Allah. Itulah sebabnya saya tidak mau pembahasan ini hanya menjadi suatu tempat di mana kita menambah pengetahuan agama saja; tempat di mana kita mengisi pengertian-pengertian agama dan iman Kristen, lalu mencela dan mengkritik orang lain.

Sepanjang hidup saya selalu waspada kepada diri saya sendiri, lalu mengingatkan diri sendiri: “Stephen Tong, cintailah Tuhan, lalu belajarlah dari Yang kau cintai.” Kalau kita tidak mencintai Tuhan, lalu belajar banyak hal, semua mungkin akan diperalat untuk melawan Tuhan. Agama mengandung pengetahuan, tetapi pengetahuan tentang agama tidak sama dengan agama itu sendiri. Agama pasti meliputi pengetahuan dan pengetahuan itu dalam sekali dan pengetahuan rasio tidak dapat meliputi seluruh pengetahuan tentang kebenaran di dalam agama.

Banyak orang tanpa disadari mempunyai definisi dan pikiran yang keliru tentang agama dan berkata: “Semua agama sama, semua agama baik.” Kedua konsep tentang sama dan baik itu digabungkan, tanpa mengerti di mana persamaan dan di mana kebaikannya, pokoknya semuanya sama dan baik! Apakah karena semua agama mengajarkan yang baik, maka semua agama itu sama? Kalau seseorang mengatakan semua agama sama, maka hanya ada dua kemungkinan: pertama, dia tidak mengerti agama, atau kedua, dia bohong. Semakin kita mempelajari agama-agama, semakin kita akan mengetahui di mana perbedaannya. Dan semakin kita mengetahui perbedaan agama-agama, semakin kita tidak berani mengatakan: “Semua agama sama.” Memang agama ada persamaannya, tetapi lain. Semua agama ada keagungannya atau nilainya yang tinggi, tetapi kita tidak bisa mengatakan sama.

Sebagaimana agama-agama lain mengatakan agama kita tidak sama dengan agama mereka, demikian juga kita mengatakan agama lain tidak sama dengan agama kita. Namun demikian, sebagai orang-orang beragama, kita harus hidup dengan rukun dan damai dengan orang-orang yang beragama lain. Dan kita harus mengetahui iman kita dengan jelas. Di mana saja orang yang tidak mengerti agama selalu mengutip kata-kata ini: “Semua agama baik dan semua agama sama.” Banyak orang yang menolak penginjilan yang kita beritakan dengan kalimat semacam itu. “Oh, semua agama sama saja. Saya sudah mempunyai agama saya sendiri, sama saja.”

A. PANDANGAN TOKOH-TOKOH KEBUDAYAAN MODERN

1. Immanuel Kant (1724-1804)

Kant adalah orang yang penting sekali. Barangsiapa yang belum mengenal dan mengerti teori Kant, dia belum benar-benar belajar filsafat. Dan barangsiapa yang betul-betul mau mengerti filsafat, dia harus mengerti Kant. Tetapi ketahuilah, filsafat Kant tidak berdasarkan kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan. Apa sebabnya? Karena Kant tidak percaya bahwa manusia memerlukan penyataan Tuhan. Barangsiapa tidak percaya bahwa manusia memerlukan penyataan Tuhan, orang itu pasti tidak dapat mengerti penyataan Tuhan. Kalau manusia percaya ia tidak perlu penyataan, bagaimana dia bisa mengertinya?

Kant mencoba menggolongkan agama ke dalam dunia yang disebut dunia praktika, yakni di dalam dunia fenomena, bukan nomena. Dia membagi dunia di dalam dua kategori: pertama yang tidak bisa dicapai oleh rasio manusia disebut kategori nomena; dan kedua kategori yang bisa dicapai oleh rasio manusia disebuit kategori fenomena, yakni dunia di dalam gejala, yang bisa diraba, yang bisa dimengerti, yang bisa dipahami manusia. Ini disebut dunia fenomena dan di dalam dunia frenomena itu tidak ada unsur yang supra-natural; maka tidak ada unsur wahyu. Baginya wahyu tidak diperlukan sama sekali.

Kant menulis sebuah buku yang berjudul The Religion Within The Limit of Reason Alone.” Judul bukui ini begitu cocok dengan isinya dan melaluinya kita bisa dengan jelas mengetahui titik pusat pemikiran Kant. Kant mempunyai pendirian bahwa agama tidak memerlukan penyataan Tuhan. Agama hanya berada di dalam lingkaran rasio dan pandangannya mengenai rasio yang bergabung dengan agama ini berbeda dengan pandangan pemikir rasionalis yang lain. Orang-orang rasionalis sebelum Kant sangat memutlakkan rasio sehingga seolah-olah memperilah rasio dan konsep mereka tentang rasio sangat sempit. Namun Kant tidaklah demikian. Kant menganggap rasio mempunyai golongan atau kategori tiga lingkaran. Dengan kata lain, dia membagi rasio menjadi tiga lingkaran, dan agama ditempatkan dalam lingkaran kedua yaitu rasio praktika.

Rasip praktika menunjukkan bahwa sekalipun ada hal-hal yang tidak dapat diuji dan dihitung secara matematis, namun kita bisa mengetahui bahwa pengetahuan itu benar. Di dalam rasio murni, pengetahuan kita dapat diketahui dengan tepat, misalnya 2+2=4, ini bisa diuji, bisa diulangi, bisa diajarkan kepada orang lain. Sedangkan di dalam rasio praktika kita bisa mengetahui hal-hal dengan tepat juga, misalnya saya mengetahui bahwa hidup saya berarti. Arti hidup ini tidak bisa diukur berapa bobotnya, tetapi saya tahu bahwa hidup saya berarti dan pengetahuan itu sama nilainya, sama sungguhnya, dipercaya dan boleh dipegang teguhnya seperti saya percaya 2+2=4.

Orang-orang rasionalis sebelum Kant selalu menganggap rasio murnilah yang paling penting dan selain itu tidak ada kebenaran. Kant mengatakan: “Tidak demikian. Saya percaya akan hidup yang berarti. Saya percaya kalau di dalam hidup saya berbuat baik, itu lebih baik daripada tidak berbuat baik; dan kalau saya tidak berbuat baik, saya lebih tidak baik daripada saya berbuat baik. Semua ini saya tahu dan saya tahui bahwa saya harus berbuat baik.” Pengetahuan semacam ini adalam suatu pengetahuan yang tidak bisa dilalaikan dan ditolak. “Saya harus berbuat baik supaya hidup saya bernilai karena saya mempunyai kewajiban moral. Kewajiban moral untuk berbuat baik ini merupakan desakan supaya boleh memuaskan tuntutan hati nurani saya.” Dan Kant juga bertanya: “Dari mana datangnya hal-hal sedemikian?” Maka Kant mengasumsikan desakan moral ini adalah pusat sifat dasar agama dan juga merupakan bukti adanya Allah (moral argument).

Dengan demikian rasio saja tidak cukup, harus ditambah dengan moral dan moral ini pun bagi Kant adalah rasio (rasio praktika). Misalnya jika ada profesor-profesor atau guru-guru besar yang menganggap bahwa dunia hanya memerlukan ilmu; ilmu saja tidak cukup, yang lainnya tidak perlu, maka mereka mungkin mendidik murid-murid atau mahasiswa-mahasiswanya menjadi binatang-binatang yang lebih pintar saja, mungkin juga menjadi setan-setan yang lebih akademis, karena tidak bermoral. Selain hal ini (kewajiban moral dan pengetahuan tentang yang baik), saya juga ingin menanyakan konsep tentang kemutlakan dan ide tentang kesempurnaan, serta hal-hal lainnya yang seperti demikian dari mana asalnya? Kant menjawab: “Itu adalah rasio juga, itu pun pengetahuan; sesuatu yang dapat kita pegang teguh seperti para ahli matematika memegang teguh 2+2=4. Demikian teguh standar yang mereka miliki untuk pengetahuan mereka; seteguh itu pula saya sebagai manusia mempunyai standar pengetahuan mengenai baik dan mengenai tugas moral.”

Cuma dalam wilayah ini memang ada hal-hal; yang berlainan dengan wilayah ilmu pengetahuan. Wilayah ilmu pengetahuan memakai laboratorium dan eksperimen, wilayah agama tidak. Tidak ada laboratorium untuk menguji atau menghitung baik dan jahat. Ini semacam pengetahuan di dalam rasio dan rasio ini adalah sesuatu yang disebut oleh Kant sendiri dengan istilah categorical imperative, yang dimaksud adalah perintah tertinggi dari Allah yang mendesak manusia supaya bermoral. Kant tidak membuktikan Allah melalui penyataan dan Alkitab. Di sini perbedaan antara Kant dengan kebanyakan pendeta dan orang Kristen sekarang yang suka membuktikan segala sesuatu hanya dengan Alkitab. Kant menganggap dia juga bisa menyatakan Allah dengan caranya sendiri, yakni melalui kewajiban moral; setiap orang mempunyai kewajiban moral. Itu saja sudah cukup. Oleh sebab itu jika ditanyakan, “Apakah agama itu?” maka Kant menjawab: “Agama adalah tugas dan perbuatan moral.”

Saya tidak setuju dengan pendapat atau pandangan Kant ini. Kita jangan langsung setuju akan pandangan seseorang yang baru pertama kali kita dengar sekalipun kedengarannya ada benarnya juga. Ini bahaya sekali. Waktu saya pertama membaca tulisan-tulisan Kant, saya kira benar. Waktu kemudian saya pikirkan kembali sambil berdoa dan meneliti atau membandingkan dengan Alkitab, saya mengetahui bahwa Kant salah. Kant adalah seseorang yang berbuat baik, lalu perbuatan baiknya sudah menjadi allahnya. Perbuatan baik memang perlu, tetapi perbuatan baik bukan Allah. Agama harus mengandung perbuatan baik, harus mengajarkan perbuatan baik, tetapi perbuatan baik tidak identik dengan agama.

Kant mempunyai popularitas luar biasa sampai seorang yang bernama Paul Tillich menganggap Kant sebagai seorang filsuf dari semua teolog Protestan. Saya tidak mengakui hal ini. Sebenarnya Kant bukan seorang Kristen yang sejati, bukan seorang Kristen yang telah diperanakkan pula, bukan seorang yang bertobat sungguh-sungguih. Kant tidak percaya kepada mujizat, penyataan Allah, kematian Kristus di atas kayu salib dan signifikansinya, dan sebagainya. Orang semacam ini seharusnya tidak menjadi filsuf dan teolog lainnya. Memang seolah-olah Kant telah melepaskan Kekristenan dari kesulitan yang besar di zamannya. Pada zaman Kant, di Eropa dan khususnya di Jerman, Kekristenan sudah dianiaya, dihakimi dan ditolak oleh orang-orang rasionalis. Kant seolah-olah sudah menolong Kekristenan dari situasi semacam ini. Tetapi Kant tidak membawa dirinya dan penganut-penganut pandangannya kepada iman Kristen yang sejati, karena bagi Kant agama hanyalah perbuatan-perbuatan baik. Agama yang berarti perbuatan baik itu dibatasi di dalam resiko praktika yang tidak memerlukan penyataan Allah. Nyatalah bahwa Kant sangat jauh dari iman Kristen.

2. Thomas Henry Huxley (1825-1895)

Dia adalah seorang agnostik yang berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahui yang terakhir mengenai Allah, kekekalan, kehidupan sesudah mati, dan sebagainya. Bagaimana bisa mengetahui keadaan sesudah mati, padahal kita belum mengalaminya? Bagaimana mengetahui tentang Allah, padahal Allah tidak berbicara langsung kepada kita? Menureut Huxley, pengetahuan tentang Yang Mutlak, Yang Akhir, dan Yang Kekal itu tidak mungkin diketahui. Jikalau Kant membuka jalan ke arah mengetahui hal-hal itu, Huxley melengkapi dengan sistem Skeptisisme atau Agnostisisme di dalam zaman modern ini. Namun jika kita bertanya kepada orang Agnostik, “Apakah Anda melawan Allah?” Mereka akan menjawab, “Tidak! Saya tidak melawan, hanya saya tidak mengetahui mengapa saya bisa melawan yang tidak saya ketahui.” “Lalu mengapa Anda berkata bahwa Allah tidak bisa diketahui kalau Saudara tidak tahu?” “Ya, saya tidak tahu.” “Kalau tidak tahu, mengapa bicara?” “Yang saya bicarakan saya tidak tahu.” Lalu kalau kita tanyakan, “Pastikah bahwa Allah tidak bisa diketahui?” Mereka menjawab, “Saya pasti, saya berani dengan tegas mengatakan: Allah tidak dapat diketahui!” “Jadi Anda percaya dengan pasti bahwa Anda tidak tahu?” “Ya, saya percaya.” “Mengapa?” “Sebab Allah tidak bisa diketahui.” “Mengapa Saudara tahu bahwa Allah tidak bisa diketahui?” “Ya, saya tahu.” “Tahu apa?” “Tahu bahwa Allah tidak diketahui.”

Mereka tahu kalau Allah tidak mungkin diketahui dan mereka menganggap pengetahuan mereka itu mungkin diketahui. Jadi, Agnostisisme merupakan suatu teori yang menjatuhkan diri sendiri. Kalau kita tanyakan, “Kalau Allah tidak mungkin diketahui dan kebenaran tidak mungkin diketahui, apa yang Saudara katakan ini kebenaran atau bukan?” Mereka menjawab, “Ya, itu kebenaran.” Kalau kebenaran tidak bisa diketahui, kalau seseorang berani mengajar dengan teori itu supaya orang lain tidak mengetahui Tuhan, bukankah teori ini sangat lucu? Bukankah teori ini mungkin tipuan dari iblis? Jadi terhadap orang yang berkata, “Agama tidak mungkin diketahui”, kita dapat menantang, “Saudara tahu bahwa hal ini tidak mungkin diketahui, dari mana pengetahuan Saudara bahwa ini tidak mungkin diketahui?” Orang yang berkata bahwa Tuhan dapat diketahui akan menemui kesulitan. Orang yang berkata bahwa Tuhan tidak mungkin diketahui menghadapi lebih banyak kesulitan. Ini memang suatu hal yang sulit luar biasa, tetapi baik seseorang yang percaya bahwa Allah mungkin maupun tidak mungkin diketahui, orang itu telah percaya bahwa dirinya mempunyai keyakinan percaya atau tidak percaya; dan keyakinan itu juga adalah kepercayaan. Sama halnya dengan orang yang mengambil keputusan percaya dan menerima Yesus dan orang yang mengambil keputusan tidak mau percaya dan tidak mau menerima Yesus, keduanya sebenarnya mengambil keputusan.

Demikian juga orang yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa diketahui; waktu ditanyakan kepadanya dari manakah ia tahu bahwa Allah tidak bisa diketahui, dia akan menjawab: “Kami tahu, bahwa Allah tidak bisa diketahui.” Itu adalah “kebenaran” yang tidak percaya akan kemutlakan dan itu sebenarnya bukan kebenaran, karena kebenaran sejajar dengan kemutlakan. Kita perlu mempelajari kebenaran dengan baik-baik, sekalipun sering kita merasa belum perlu. Jika kita menuntut, banyak membaca, mendengar dan berpikir, kita akan mengerti lebih banyak mengenai kebenaran. Banyak buku yang memaparkan hal-hal yang nampaknya seperti kebenaran, padahal kalau dinilai tidak mempunyai dasar yang kuat sebagai kebenaran, termasuk teori-teori Kant.

Apakah definisi agama menurut Huxley? Huxley mengatakan bahwa agama bukan sekedar perbuatan baik, agama adalah semacam penghormatan dan kasih terhadap etika yang berusaha merealisasikan hal itu di dalam hidup sehari-hari. Jadi teori Huxley ini tidak banyak berbeda dari Kant. Pengertian Huxley mengenai agama paling banyak hanya sampai di sana, sebab dia menganggap tidak mungkin mengetahui mengenai agama, tentang Allah, tentang hal-hal rohani, jiwa yang kekal dan kekekalan, dan sebagainya. Huxley mengatakan karena tidak mungkin kita mengetahui tentang hal-hal itu, maka lebih baik kita menggarap apa yang kita ketahui, yakni yang ada di dalam wilayah etika dan moral; dan bagi dia agama bukan sekedar etika dan moral, tetapi semacam penghormatan dan cinta kasih terhadap moral yang diusahakan direalisasikan ke dalam hidup. Saya bisa menghargai kalau orang, baik yang beragama maupun yang tidak, berusaha merealisasikan ide etika dan moralnya. Orang itu cukup dihormati di dunia ini. Tetapi, itu saja belum cukup di hadapan Tuhan. Dan yang paling disayangkan, banyak orang Kristen pun tidak pernah berusaha merealisasikan konsep etika dan moral yang berada di dalam Alkitab yang pernah dipelajarinya.

3. Ludwig Feuerbach (1804-1872)

Ia adalah seorang yang berasal dari Jerman yang menjadi perintis Materialisme; dan dapat dikatakan secara tidak langsung, guru dari Karl Marx. Dia menulis dua buku yang penting: The Essence of Christianity (1841) dan The Essence of Religion (1845), yaklni Esensi (Hakikat) Kekristenan dan Esensi Agama. Banyak orang pada zaman itu menganggap kalau sudah membaca kedua buku itu baru bisa mengerti tentang Kekristenan dan agama, padahal mereka sudah masuk ke dalam perangkap. Sebab, apa yang ditulis oleh Feuerbach tentang agama adalah untuk melawan Kekristenan. Dia menggabungkan semua agama dan Kekristenan di dalam semacam pikiran yang negatif bahwa agama adalah buatan manusia dan agama tidak berarti apa-apa.

Menurut Feuerbach, Allah dicipta oleh manusia menurut peta dan teladan manusia, persis terbalik dari ajaran Alkitab. Pikiran ini luar biasa jenius, tetapi itu adalah keagungan yang tidak berarah dan tidak berdasar. Kalau di dalam Alkitab, tertulis “Allah menciptakan manusia menurut peta dan teladan Allah”, maka Feuerbach menganggap sebaliknya. Dia berkata, “Segala sesuatu yang berada atau yang diucapkan di dalam khotbah atau teori-teori agama Kristen sebenarnya adalah semacam refleksi ide manusia itu sendiri saja.” Saya harus berkata bahwa setiap orang yang membaca atau mendengar hal-hal semacam ini harus memohon kekuatan dari Tuhan supaya tetap berdiri teguh, sebab jika tidak kita akan goncang. Tetapi jika kita mengalahkan semua ini, kita akan meneguhkan banyak orang termasuk mereka yang sudah digoncangkan oleh orang-orang akademis modern demikian.

Untuk menjelaskan teori dari Feuerbach ini, kita ambil contoh: Saya berdiri di sini dan dibelakang saya ada sebuah lampu. Semakin saya dekat dengan lampu di belakang saya, dengan sendirinya bayang-bayang saya di depan semakin besar. Waktu saya melihat bayang-bayang saya bergerak, saya tahu itu bukan saya dan saya bukan bayang-bayang itu. Kalau demikian, yang bergerak itu apa? Lalu saya pikirkan, “Itu Allah.” Menurut Feuerbach, proyeksi dari diri manusia itu dianggap Allah; itulah agama. Jadi manusia berusaha mencetuskan ide tertinggi lalu mengatakan bahwa ini adalah Allah. Mereka menciptakan Allah dengan imajinasi mereka yang digabungkan dengan refleksi mereka terhadap Allah dan menganggap itu adalah Allah. Racun semacam demikian sudah dipelopori dan disuntikkan oleh Feuerbach.

Saya ingin kembali kepada apa yang pernah saya bahas, yaitu mengenai “konsep kosmos” atau “pandang dunia” (world view); bagaimana kita menjelaskan, memberi arti, memberikan interpretasi atau menafsirkan segala sesuatu yang muncul di sekitar kita setiap hari; bagaimana kita memberikan penjelasan apakah arti hidup dan alam semesta ini? Feuerbach mempunyai kaca mata terbalik memandang semua ini. Dia memandang bukan Allah yang menciptakan manusia, tetapi manusia yang menciptakan Allah.

Kelihatannya cukup bisa diterima juga. Kita bisa setuju separuh dengan Feuerbach bahwa manusia menciptakan “allah”. Adakah manusia yang menciptakan “allah”? Ada. Tetapi itu Allah yang palsu. Allah yang palsu memang diciptakan oleh manusia. Manusia tidak bisa menciptakan Allah yang sejati, tetapi manusia bisa menciptakan Allah yang palsu. Kalau ada seseorang berkata, “Saya paling senang dengan pengkhotbah A”, kita jangan langsung dipengaruhi oleh perkataannya. Mungkin yang dimaksudkan orang itu adalah, “Pengkhotbah itu paling cocok dengan keinginan saya. Saya senang khotbah-khotbahnya, karena dia tidak pernah menegur dosa saya. Saya tidak pernah dilukai. Dia selalu merestui saya.” Sebenarnya mungkin sekali di dalam orang itu sudah luka, hanya belum tersentuh. Luka yang parah mungkin masih belum terasa sakit sampai luka itu tersentuh sesuatu. Bukan karena tersentuh lalu menjadi luka, tetapi karena tersentuh baru ketahuan itu luka. Ada orang-orang yang mencari pendeta dan gereja yang cocok dengan dirinya. Kemudian “allah” dimanipulasi dan diperbudak untuk cocok dengan keinginannya. Jangan Saudara berusaha mencari pendeta, gereja, ajaran atau allah yang sesuai dengan dirimu, melainkan berusahalah supaya hidup Saudara cocok dengan Allahmu yang sejati. Terlalu mudah bagi orang-orang yang tidak sungguh-sungguh berbakti kepada Allah menciptakan allah palsu yang sesuai dengan dirinya.

Saya mempelajari pandangan-pandangan yang salah dan berusaha mengerti mereka. Dan saya bisa setuju dengan kalimat ini, “manusia menciptakan allah menurut peta dan teladan manusia”, tetapi itu adalah Allah yang palsu. Bolehkah orang Indoensia menciptakan Allah sesuai konsep orang Indonesia? Bolehkah orang Jawa, Sunda, Tionghoa, Amerika, India, dll. menciptakan Allah sesuai konsep mereka masing-masing? Semua Allah yang diciptakan menurut pikiran manusia itu sebenarnya adalah Allah yang palsu. Tetapi ini tidak bisa membuktikan bahwa Allah yang sejati juga diciptakan oleh manusia. Di sini kita melihat bagaimana orang-orang yang telah melawan Kekristenan mendefinisikan agama. Mereka mengatakan agama hanya proyeksi dan ide manusia sendiri saja; agama hanya proyeksi dari peta dan teladan manusia yang dibesarkan dan kemudian disembah oleh manusia itu sendiri.

4. Charles Kingsley

Kemudian seorang Kristen yang lebih muda bernama Charles Kingsley mengadopsi pandangan Feuerbach itu dan menggabungkan dengan pikirannya sendiri. Di dalam salah satu karyanya, Kingsley menulis satu kalimat seperti demikian: “Hai orang Kristen, jangan membius dirimu dengan kebaktian-kebaktian Minggu dan kembali hidup yang berdosa setiap hari untuk kemudian membius dirimu lagi di hari Minggu.” Setelah kalimat ini dibaca oleh Karl Marx di British Museum, dia mengubah kalimat itu dan menjadikan satu kalimat: “Agama adalah opium yang membius rakyat.” Maksudnya: “Rakyat yang bekerja setengah mati dan tidak mempunyai hiburan patut diberitahu bahwa ada hari depan di sorga. Kalau di dunia ini kita hidup susah payah tidak mengapa, yang penting nanti bisa masuk ke sorga. Supaya para kaum buruh yang bekerja setengah mati itu terhibur, biuslah mereka dengan agama.”

Banyak orang menganggap pikiran itu berasal dari Karl Marx sendiri, padahal dia hanya mengutip saja. Pikiran semacam demikian tersebut demikian luas dan langsung mendapat sambutan luar biasa dan mereka yang menganggap diri berada di dalam kepicikan. Alkitab memang mengatakan tidak ada seorang pun di dalam dunia ini yang tidak menghadapi kepicikan dan kesulitan. Apakah menjadi orang kaya, berkedudukan tinggi dan mempunyai kuasa itu enak? Tidak. Seluruh umat manusia berada di bawah beban masing-masing. Tetapi Komunisme berusaha menghasut dengan menyatakan kepada kaum miskin untuk merebut kuasa melalui pertentangan lapisan masyarakat. Mereka menggugah perasaan kaum buruh bahwa mereka tertindas, sehingga harus memberontak. Saya tidak setuju akan Kapitalisme seratus persen. Saya pun tidak setuju kepada Komunisme. Semua sistem yang ada di dunia ini tidak ada satu pun yang cocok dengan Alkitab. Kita perlu memikirkan dan membahas apakah prinsip-prinsip Alkitab. Kita perlu memikirkan dan membahas apakah prinsip-prinsaip Kristen mengenai hal ini.

Komunis berkata: “Satu-satunya milikmu di dunia ini adalah kekuatan dan tenaga untuk bekerja, padahal itu sudah diperalat oleh kaum kapitalis.” Kita harus mempelajari Kitab Suci dengan teliti dan memperbaiki kesejahteraan kaum buruh. Kita pun perlu mengerti masalah manusia seutuhnya di bawah terang Firman Tuhan, bahwa manusia bukan saja perlu dibebaskan dari ketidak-adilan, terlebih-lebih manusia perlu dibebaskan dari ikatan dosa dan kuasa iblis. Alkitab mengatakan: “Manusia telah ditindas dan diperas oleh dosa.” Di sini perbedaan Kekristenan dan Komuniusme.

Karena pikiran dari Marx ini, “Agama adalah pembius rakyat”, maka dengan cepat, dalam waktu tidak sampai seratus tahun, sepertiga umat manusia telah diperbudak di bawah Komunisme. Saya ingin melontarkan pertanyaan: “Bukankah faktanya kaum buruh di negara komunis bekerja lebih berat dan kurang mempunyai kebebasan dibandingkan kaum buruh di negara kapitalis? Bukankah fakta menunjukkan bahwa kesulitan-kesulitan sosial sudah menjadi semakin besar di negara-negara komunis? Bukankah Komunisme hanya membuktikan diri sebagai suatu cita-cita yang indah tetapi yang belum pernah tercapai? Bukankah pada akhirnya Komuniusme tetap tidak dapat melepaskan manusia dari belenggu-belenggu penindasan dan dosa?”

Itulah sebabnya banyak bangsa yang sebelum tibanya Komunisme di negara mereka, merindukan agar Komunisme cepat datang dan membereskan hidup mereka, tetapi setelah komunisme datang, di sana mereka baru mengetahui bahwa Komunisme bukan juruselamat sesungguhnya. Tidak salah kalau Paul Tillich mengatakan bahwa Komunisme bukan pengganti, melainkan saingan Kapitalisme; dan bagi saya sebenarnya Komunisme ini pun merupakan semacam Kapitalisme, hanya bedanya Kapitalisme tidak pada rakyat melainkan pada pemerintah pusat. Kapitalisme berada di sini, tetapi juga berada di sana, di negara-negara Komunis. Kalau seseorang tidak melihat dengan jelas prinsip-prinsip Alkitab, dia akan cepat percaya kepada teori-teori manusia.

Kalau Feuerbach mempengaruhi Karl Marx, kemudian Karl Marx mempengaruhi Lenin, maka Lenin mengatakan: “Tidak ada kekekalan. Tidak ada dunia yang tidak kelihatan. Kaum beragama dengan agama menciptakan hari depan, yaitu bahwa sesudah mati ke sorga, untuk menipu orang yang berada di bawah kuk penganiayaan terus menerus; itulah pemerasan yang dijalankan oleh manusia.” Akhirnya pandangan ini mempengaruhi Mao Ze-dong, dan tokoh-tokoh politik lainnya di negara-negara komunis lainnya yang begitu banyak di dunia ini.

Setelah saya selesai berkhotbah di Kanada, seorang bertanya kepada saya dalam dialog pribadi, “Perbudakan baik atau tidak?” Saya menjawab, “Tidak baik!” Lalu dia melontarkan pertanyaan lagi, “Mengapa komunisme berusaha menghapuskan ketidak-adilan dan sistem perbudakan di dalam masyarakat, sedangkan Alkitab mengajarkan ‘taatilah tuanmu’, sehingga seolah-olah menyetujui sistem perbudakan? Kalau demikian bukankah Komunisme lebih baik daripada Kekristenan?”

Saya belum pernah berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan atau kesulitan-kesulitan mengenai iman kita. Menghadapi kesulitan ini saya bertanya kembali, “Meskipun di dalam Alkitab masih ada istilah budak dan tuan, tetapi bukankah Alkitab telah menjadi sumber untuk memberikan kasih yang memperbaiki relasi antara tuan dan budak?” Alkitab mengajarkan “cintailah budak-budakmu, anggaplah mereka sebagai saudara-saudaramu di dalam Tuhan.” (Periksalah ayat-ayat mengenai hukum perbudakan di dalam Alkitab: Imamat 19:13; Ulangan 24:14-15; Yeremia 22:13 dst.; Efesus 6:59; Kolose 3:22, 4:1, bandingkan Ayub 31:13-15; Maleakhi 3:5; Yakobus 5:16; Filemon 18-19, 15-16, dll.).

Di dalam sepanjang sejarah telah terbukti bahwa iman Kristen berdasarkan Alkitab-lah yang sudah mengubah dan aklhirnya menghapus sistem perbudakan, sedangkan Komunisme meskipun menentang istilah budak, faktanya menunjukkan bahwa rakyat mereka telah diperas tenaganya dan bekerja lebih berat dari yang seharusnya. Istilah dan fakta belum tentu selalu cocok. Kepala negara Komunis yang tidak berpangkat raja, faktanya memiliki kuasa totalitariat yang jauh melampaui kuasa raja. Sedangkan negara-negara yang masih mempertahankan sistem kerajaan banyak yang telah mempraktekkan falsafah demokrasi. Biarlah orang bijak mengenal esensi dan tidak ditipu oleh fenomenba lahiriah. Akhirnya orang itu pulang dengan rasa puas dan berterima kasih karena pertanyaannya yang selama bertahun-tahun mengganggu imannya sudah terjawab.

Amin.

SUMBER :
Nama buku : Iman dan Agama
Sub Judul : Bab III : Beberapa Pandangan Mengenai Agama (1)
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2011
Halaman : 29 – 45