Dr. Stephen TongBAB II : MANUSIA DAN AGAMA

A. AGAMA : ESENSI HIDUP MANUSIA

Apakah manusia harus beragama? Jikalau manusia harus beragama, apakah sebabnya? Jikalau tidak, apa akibatnya? Bagaimana kalau manusia tidak beragama? Apakah agama dapat lebih menyempurnakan manusia? Kalau tidak mempunyai agama, apakah manusia akan kehilangan suatu aspek kehidupan yang penting?

Orang-orang Komunis berusaha untuk menghilangkan aspek agama dari masyarakat di mana mereka memerintah. Sebagai akibatnya mereka yang meninggalkan Tuhan itu makin kacau, makin kosong dan hatinya makin mengalami kesulitan. Mereka berusaha memberikan suatu kesan kepada dunia luar bahwa tanpa agama dan tanpa Allah masyarakat mereka tetap maju dan kuat. Tetapi itu adalah suatu hal yang tidak mungkin.

Banyak orang di Rusia yang sebelumnya belum pernah ke gereja, tetapi pada waktu menikah ingin sekali agar pernikahan mereka itu bisa diberkati oleh pendeta, supaya pernikahan itu menjadi bahagia. Mungkin saja mereka telah menjatuhkan agama ke dalam kategori takhyul, namun ini tetap membuktikan suatu kekosongan yang tidak mungkin diisi di dalam pemerintahan yang tidak mempedulikan agama.

Demikian juga halnya di RRC. Ada seorang yang datang dari RRC dan sedang belajar di Amerika, bertemu dengan saya dan berkata: “Selama beberapa puluh tahun kami belum pernah diajarkan mengenai Kekristenan dan belum pernah mengetahui apakah agama itu sebenarnya. Yang diajarkan kepada kami adalah bahwa agama adalah racun, agama adalah opium yang menipu rakyat. Tetapi fakta menunjukkan kami yang tidak beragama selalu merasakan kekosongan yang sangat besar.” Pada waktu saya menanyakan: “Apakah sekarang Anda sudah jadi Kristen?” Dia menjawab: “Belum.” Kemudian saya menanyakan juga: “Maukah Anda menjadi seorang Kristen?” “Saya sedang memikirkan hal ini, sebab kami sadar komunisme tidak bisa menjawab semua persoalan. Komunisme tidak bisa mengisi kekosongan kami.”

Juga suatu kali setelah saya selesai berkhotbah di Madison, waktu saya masuk ke tempat parkir yang agak gelap, seorang profesor datang kepada saya, dia takut dilihat dan diketahui kawan-kawannya. Profesor yang pernah dipengaruhi oleh pemerintah komunis itu berkata kepada saya: “Yang Anda katakan tadi selama tiga jam khotbah dan tanya jawab, sangat berkesan bagi saya. Ini yang saya nanti-nantikan selama 40 tahun dan saya belum pernah memperolehnya di negara saya yang antipati terhadap agama. Saya datang kepada Anda di sini karena saya takut dilihat oleh kawan-kawan saya. Dan saya berkata, meskipun saya belum mengambil keputusan menerima Yesus, doakanlah saya. Saya mau mencari kebenaran yang lebih jelas lagi.”

“Negara dan bangsa yang tidak beragama tidak mungkin menjadi kuat.” Kalimat Plato yang diucapkan 2400 tahun yang lalu ini memang benar, meskipun motivasi atau pikiran Plato tidak bisa kita terima, karena dia mau memakai agama sebagai suatu alat supaya rakyat bisa lebih mudah diperintah. Namun demikian, sesungguhnya manusia mencari Allah bagaikan burung yang kecil mencari makanan, begitu alamiah. Hal ini juga dikemukakan oleh Plato. Maka, manusia harus beragama. Bagaimana kalau kita melihat negara-negara atau masyarakat yang beragama, bahkan yang beragama Kristen, juga banyak yang tidak beres? Apakah ini berarti agama, termasuk Kristen, tidak bisa menyelesaikan persoalan manusia? Menjawab pertanyaan seperti ini saya berkata: “Bagaimana keadaan mereka kalau tidak ada agama? Ada agama saja mereka mempunyai kelemahan sedemikian banyak; bukankah keberadaannya akan lebih rusak tanpa agama?

Seneca pernah berkata: “Pergilah ke seluruh ujung bumi, engkau tidak akan menemukan suatu negara, bangsa atau suku bangsa apa pun yang tidak mempunyai agama.” Meskipun dia sendiri belum pernah mengelilingi bumi, namun ia mengetahui semua bangsa yang pernah dikunjungi dan yang dikenalnya mempunyai agama. Di Kalimantan, di suatu desa kecil yang pernah saya kunjungi, saya melihat rumah jangkung. Di setiap rumah itu saya melihat ada sebuah tangga yang ujung akhirnya entah ke mana. Saya tanyakan kepada mereka: “Tangga ini menuju ke mana?” Sebelumnya saya tidak pernah tahu ada tangga model ini, kecuali di dalam Perjanjian Lama dalam mimpi Yakub, ada tangga yang menuju ke sorga. Mereka menjelaskan bahwa di kampung-kampung di daerah itu mereka percaya bahwa tangga-tangga seperti itu menuju kepada Satu Oknum yang tinggi di sorga. Hal-hal semacam ini dapat kita temui juga di tempat-temnpat lainnya, walaupun dalam bentuk ekspresi yang berbeda. Dari sini kita bisa mengetahui bagaimana agama sudah merupakan suatu esensi yang demikian dalam dan aspek yang sangat penting dalam dasar hidup manusia.

Dalam abad ke-20 timbul pertanyaan, bolehkah orang modern tidak beragama? Berkenaan dengan ini ada dua pemikir di dalam teologi Kroisten yaitu Paul Tillich dan Dietrich Bonhoeffer. Bonhoeffer adalah seorang teolog yang melihat perlunya mendobrak politik yang melawan Allah dan dia menganggap politik politik yang melawan Allah berasal dari setan, sehingga perlu dilawan. Dia berusaha dengan sekuat-tenaga mendobrak secara radikal dan mengadakan revolusi yang menggulingkan Hitler. Tetapi dia tidak bisa melihat Hitler jatuh, karena dua minggu sebelum Hitler jatuh, dia sendiri di gantung di penjara. Pemikiran Bonhoeffer berlainan dengan Paul Tillich yang mendapat 21 gerlar Doktor tetapi imannya banyak yang tidak beres ditinjau dari sudut konservatiosme. Paul Tillich masih mempunyai pra-anggapan bahwa manusia adalah makhluk agama.

Tetapi Bonhoeffer berusaha meniadakan sifat agama dari Kekirstenan. Maka Bomnhorffer menciptakan suatu istilah: Religionless Christianity (Kekristenan tanpa agama). Saya tidak setuju dengan pandangannya ini. Saya percaya bahwa Kekristenan mempunyai unsur dan nilai yang lebih tinggi dari agama-agama lain. Namun demikian, saya tidak percaya kita harus menjadikan Kekristrenan tanpa agama. Paul Tiullich mengatakan bahwa manusia tetap mempunyai sifat agama. Dari pra-anggapan ini dia menghadapi manusia dengan menggabungkan pikiran filsafat dan pikiran teologi menurut metodenya. Ini semua memerlukan penjelasan yang lebih mendalam.

B. AGAMA DAN SISTEM KEPERCAYAAN

Sebelum ada agama-agama yang agung sudah ada hal yang bersifat agama, tetapi kurang memenuhi syarat sebagai agama. Seringkali hal-hal demikian ini disebut agama. Ini sebenarnya penggunaan istilah yang salah. Iman adalah kekuatan dasar yang begitu penting sehingga manusia bisa hidup dengan sesama manusia, dengan alam dan dengan Allah. Tetapi iman yang merupakan unsur dasar yang begitu penting dalam diri manusia ini sudah salah arah, sehingga manusia “turun” menjadi makhluk beragama dan salah menggunakan agama, yang pada akhirnya merusakkan manusia itu sendiri. Kepercayaan-kepercayaan dan sistem-sistem agama yang rendah dan rusak misalnya:

1. Animisme

Animisme berarti percaya bahwa segala sesuatu yang kelihatan mungkin mempunyai dewa-dewa di dalamnya, misalnya percaya kepada pohon, batu, gunung, sungai, laut, dan yang lainnya. Mungkin juga ada orang yang kelihatannya Kristen tetapi masih berjiwa animis; tinggal di dalam tingkatan animisme, meskipun mereka mengaku diri orang Kristen.

2. Naturalisme

Naturalisme menganggap seluruh alam seperti Allah, atau sebagian dari alam diperdewa. Mereka percaya gunung sebagai tempat suci untuk beribadah. Di sini kepercayaan manusia sudah dikaitkan dan diarahkan kepada alam.

3. Totemisme

Totemisme ditemukan di pedalaman Amerika Utara dan Australia. Mereka menganggap bahwa suku mereka adalah keturunan dari sejenis binatang. Mereka menganggap suatu binatang sebagai nenek moyang mereka. Maka binatang tersebut mereka perilah. Kita melihat bagaimana manusia mungkin menjadi demikian rusak dan demikian bodoh, yakni kalau pikiran manusia, yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah itu tidak mendapatkan iluminasi dari wahyu Allah yang sejati. Manusia mungkin jatuh melarat dan menjadi bodoh seperti binatang jikalau tidak kembali kepada iman yang sungguh.

4. Ancestorisme

Ancestorisme adalah mempercayai dan memperdewa benek moyang. Banyak orang Tionghoa percaya dan memberikan sembah sujud kepada nenek moyang mereka, menganggap nenek moyang sebagai obyek ibadah mereka. Demikian juga orang Batak suka mengidolakan dan berziarah ke makam Sisingamangaraja. Sebenarnya orang-orang yang agung dari nenek moyang kita tetap manusia biasa, sekalipun memang mereka mempunyai jasa dan sumbangsih yang sangat besar kepada kita. Mereka hanyalah orang-orang yang dipakai Allah untuk melahirkan keturunannya. Keturunannya tidak boleh menjadikan mereka sebagai Allah atau obyek penyembahan.

5. Fetishisme

Fetishisme adalah kepercayaan yang menyembah benda-benda yang dianggap keramat atau yang dikeramatkan. Istilah ini berasal dari bahasa Portugis, feitico, yang berarti jimat atau jampi atau ilmu sihir. Misalnya, ada orang yang menyimpan suatu batu kecil terbungkus kain merah sampai berpuluh-puluh tahun dan dianggap keramat. Sehingga ia percaya bahwa tanpa benda ini dia tidak bisa hidup. Ini berarti sudah memakai salah satu unsur manusia yang begitu penting, yaitu sifat agama untuk arah dan obyek ibadah yang sama sekali salah. Di Indonesia masih ada orang “Kristen”, bahkan pimpinan gereja sekalipun, yang masih percaya hal demikian, namun memakai nama Yesus untuk berdiri melayani di atas mimbar. Ini perlu didobrak, karena mereka menamakan diri “pengikut-pengikut Kristus”. Kalau kita percaya kepada Yesus Kristus, Tuhan Yang Maha ada dan Mahakuasa, mengapa masih memerlukan opo-opo (di Manado), mengapa masih percaya pada dewa atau ilah di dalam benda-benda? Semua itu sebenarnya adalah penyalah-gunaan sifat agama yang tidak berkenan di mata Tuhan.

6. Heroisme

Heroisme adalah kepercayaan yang menjunjung tinggi orang-orang yang dianggap sebagai pahlawan dan memperilahnya. Sebenarnya tidak ada orang yang terlalu agung sehingga dia boleh dijadikan allah. Seagung apa pun manusia tetap hanya ciptaan Allah; di dalam aspek tertentu mereka seperti Allah, tetapi bukan Allah. Barangsiapa tidak dapat membedakan antara yang diserupai dan yang menyerupai berarti belum mengerti perbedaan kualitas antara Pencipta dan ciptaan. Allah yang diserupai oleh manusia dan manusia yang menyerupai Dia. Manusia hanya seperti Allah tetapi bukan Allah, karena manusia mempunyai peta dan teladan Allah. Oleh sebab itu sekalipun manusia menggunakan segala potensi yang besar yang ada padanya, lalu mendobrak dan mengadakan revolusi, sehingga menjadi pahlawan bagi bangsanya, mereka tetaplah manusia, bukan Allah, Heroisme mungkin menjadi semacam agama bagi orang-orang modern juga.

Pada waktu Perang Dunia II selesai, Chiang Kai Shek mempunyai hati besar dan berkata: “Ampuni orang Jepang; jangan menuntut lagi dari mereka.” Orang Jepang, khususnya generasi yang lebih tua sangat mengingat budi atau jasa Chiang Kai Shek. Setelah Chiang Kai Shek meninggal, ada orang yang menambah satu tempat abunya di Jepang dan ditempatkan di salah satu kuil, kemudian orang-orang di sana menyembah dia. Ini contoh heroisme yang salah menggunakan sifat agama.

7. Ideologisme

Ideologisme adalah suatu isme yang menjadikan ideologi sebagai suatu obyek kepercayaan yang mutlak. Jkalau kita mendewakan suatu filsafat, sistem pikiran, atau ideologi, sehingga dimutlakkan, maka berarti kita telah merebut kledudukan dan kemuliaan Allah melalui proses kemutlakan itu. Sebenarnya hanya Allah yang mutlak. Saya memberikan sebutan bagi Allah The Absolute One, “satu-satunya mutlak yang mutlak”. Yang lain adalah mutlak yang tidak mutlak atau kemutlakan yang dipermutlak. Tetapi Allah adalah mutlak yang mutlak yang tidak perlu dimutlakkan lagi. Ada orang yangmenganggap bahwa Komunisme adalah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan semua kesulitan di dalam semua negara di dunia ini. Mereka telah memperilahkan Komunisme. Ini contoh ideologisme. Kalau ideologisme sudah menjadi Allah berarti sudah memakai sifat agama untuk kepentingan lain.

C. TEORI TIMBULNYA AGAMA

Dari mana dan mengapa timbul agama? Sebelum abad ke-16 pertanyaan ini belum termasuk di dalam mata pelajaran akademis. Tetapi sesudah itu, khususnya di dalam abad ke-18 dan 19, pokok ini menjadi mata pelajaran yang begitu hangat diperbincangkan di dalam dunia akademis. Mengapa manusia bisa beragama? Mengapa bangsa-bangsa beragama? Mengapa suku-suku bangsa di mana saja mempunyai cara-cara beribadah, meskipun berlainan coraknya? Dari mana timbulnya semua itu?

Gotthold Ephraim Lessing (1729-1781), seorang teolog dan ahli sejarah bangsa Jerman mempunyai pikiran yang menimbulkan mata pelajaran baru, yakni Perbandingan Agama. Perbandingan Agama menjadi suatu pelajaran penting sesudah zaman Lessing. Filsafat dan pikiran Lessing tentang agama sedikit sekali. Tetapi sesudah itu banyak orang mempelajari, menyelidiki, serta meraba-raba tentang apakah yang menjadi kemungkinan terjadinya agama.

Mengapa agama timbul di dalam kebudayaan manusia beribu-ribu tahun yang lampau? Mengapa agama yang besar, yang agung begitu sedikit, tetapi pengaruhnya demikian besar? Banyak orang jenius di bidang musik, arsitektur, kedokteran, sastra, filsafat, fisika dan lain-lainnya, tetapi orang jenius dalam bidang agama demikian sedikit. Berapa banyak orang jenius dalam agama? Yesus, Muhammad, Konfusius, Budha, demikian sedikit. Dari zaman dului sampai sekarang orang jenius dalam bidang agama demikian sedikit, tetapi mengapa pengaruh mereka demikian besar dan demikian luas? Banyak politikus berusaha memperalat agama, bahkan menganiaya dan berusaha membasmi agama, tetapi akhirnya gagal dan agama itu tetap ada. Komunisme berusaha untuk mengikis agama dari akarnya,. Tetapi mengapa gagal dan agama itu tetap ada? Bukankah Mao Ze-dong sudah mati sedangkan agama tetap berkembang terus? Mengapa orang-orang jenius agama begitu sedikit, tetapi pengaruhnya demikian besar, demikian luas, lama dan mendalam di dalam kehidupan umat manusia? Apakah agama itu sebenarnya? Mengapa timbul agama?

Pertanyaan kedua, mengapa agama timbul hanya dalam dunia manusia? Sifat-sifat agama yang muncul di dalam diri manusia tidak pernah nampak di dalam hidup binatang. Kita perlu memikirkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dengan Konsep Kosmos (world view) yang sesuai dengan Alkitab. Agama berasal dari luar ataukah dari dalam diri manusia? Kalau dari dalam, siapa yang telah menaruhnya di dalam manusia? Kalau dari luar, mengapa hanya manusia yang bereaksi terhadap agama sedangkan binatang-binatang tidak, sekalipun mempunyai lingkungan yang sama? Mengapa reaksi manusia begitu peka dan spontan terhadap hal-hal agama? Waktu kita masuk ke suatu lingkungan di dalam diri kita bisa timbul perasaan agama, tetapi binatang tidak; mengapa demikian? Perbedaan antara manusia dan binatang demikian banyak dan persamaannya terlalu sedikit. Oleh sebab itu, orang yang hanya mau mempelajari persamaan dan tidak mau mempelajari perbedaannya bukanlah orang yang bijaksana. Manusia diberi oleh Tuhan sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain, sehingga di dalam manusia terdapat reaksi terhadap lingkungan luar yang menggugah perasaan agama di dalam dirinya. Perasaan agama itu telah ditaruh Allah di dalam manusia sejak ia diciptakan. Manusia diciptakan sebagai makhluk beragama. Seseorang mungkin saja tidak puas terhadap gereja dan Kekristenan, tetapi ia tidak bisa lepas dari Ketuhanan. Sebagai orang Kristen, kita perlu mengerti hal ini, kemudian biarlah kita mengisi kekosongan yang dirasakan oleh orang-orang yang tidak puas itu.

Kita akan memikirkan orang-orang yang melawan agama atau orang-orang yang menganggap dirinya lebih pintar dari mereka yang beragama. Mereka berusaha melepaskan diri seolah-olah mereka bukan manusia, lalu mereka menyelidiki manusia yang lain sebagai obyek penyelidikan. Mereka melepaskan diri dari orang lain, lalu semua orang lain dianalisa. Bukankah banyak psikiater berusaha mengerti manusia seolah-olah mereka lebih tinggi dari manusia? Para psikiater hendaknya hati-hati dalam hal ini. Di Amerika, statistik menunjukkan bahwa yang paling banyak bunuih diri adalah mereka yang berprofesi sebagai dokter, dan di antaranya yang paling banyak justru adalah doklter jiwa atau psikiater. Saya harap di Indonesia tidak terjadi demikian. Apa sebabnya sampai terjadi demikian? Karena mereka berusaha menempatkan diri seolah-olah diri mereka bukan manusia dan menganalisa manusia, padahal mereka sendiri adalah manusia.

Semua kesulitan yang terjadi pada orang lain, mungkin saja terjadi pada diri mereka sendiri. Maka dalam hal ini kita tidak bisa melepaskan diri, seolah-olah kita tidak sama dengan orang lain. Kita semua sama. Orang lain diciptakan menurut peta dan teladan Allah, kita pun demikian. Hampir semua psikiater dan bidang psikolog sudah dipengaruhi Sigmund Freud pada permulaan abad ke-20, sehingga mereka menganggap semua agama adalah pembiusan. Dari pra-anggapan itu, mereka menganggap bahwa merekalah yang paling tahu segalanya, sementara yang lain masih anak-anak. Sebenarnya pra-anggapan ini adalah semacam agama yang dipercayai mereka, sehingga dari kepercayaan yang salah terhadap agama itu mereka menguraikan agama yang lain. Bukankah ini lucu sekali? Mari kini kita lihat pandangan beberapa orang mengenai agama:

1. Aguste Comte (1798-1857)

Pada usia 14 tahun Comte mengumumkan: “Saya melepaskan diri dari agama Katolik dan menjadi seorang pemuda bebas.” Biasanya hanya orang tua atau dari kelompok orang yang mendirikan negara, yang berani bertindak demikian. Tetapi jika seorang remaja dengan tegas memproklamasikan suatu kebebasan diri lepas dari agama, menunjukkan suatu keberanian luas biasa. Comte berkeinginan mengerti seluruh umat manusia, segenap pikiran mereka dan menganalisa semua manusia. Sampai akhirnya, ia menganggap sudah mendapatkan jawaban dan mengerti seluruh kebenaran, karena ia menganggap jawaban itu kebenaran, yang bisa melepaskan umat manusia dari ikatan agama yang salah.

Dari kasus ini mari kita mengintrospeksi diri, apakah kita telah mengisi kebutuhan generasi muda yang pandai, yang berpotensi dalam gereja? Apakah kita sudah merasa puas hanya kerena gereja kita penuh dengan pengunjung setiap Minggu? Sudahkah kita mengerjakan pembinaan bagi mereka? Jika kita tidak waspada dan mengisi kebutuhan mereka, bayangkan kerugian dan bahaya yang mengancam gereja di masa yang akan datang. Pelayanan melalui kampus-kampus sebenarnya sedang mengerjakan hal penting, yang mungkin belum dikerjakan oleh gereja.

Aguste Comte membagi manusia dan sejarah umat manusia dalam tiga tahap: (1) Tahap Teologi; (2) Tahap Metafisika; (3) Tahap Positif. Menurutnya, karena belum berpendidikan dan belum mempunyai pengetahuan yang banyak, orang dulu tidak bisa menjelaskan dari mana segala misteri atau rahasia alam yang terjadi, misalnya mengapa gunung meletus, melandanya banjir atau terjadinya gempa bumi. Maka, mereka melarikan diri dari fakta alam dan membuat jawaban: “Karena Allah murka maka semua itu terjadi.” Semua disodorkan kepada Allah, maka timbullah agama. Itulah yang disebut tahap teologi. Jadi, menurut konsep Comte, Teologi adalah pelajaran orang-orang bodoh yaitu mereka yang melarikan diri dari fakta dan lari ke dalam kurungan Teologi. Yang masuk ke dalam Sekolah Teologi adalah orang-orang kuno yang bodoh, yang tidak mengerti apa-apa, yang lari ke bawah naungan teologi dan menganggap diri sudah mendapatkan jawaban. Benarkah pandangan Comte ini? Saya mengatakan: “Sesungguhnya, ada jawaban di dalam Alkitab. Alkitab selalu menunjukkan kebenaran, bisa menjawab segala tantangan yang bagaimana pun sulitnya dari orang-orang yang menganggap diri kaum intelek.”

Sesudah itu, menurut Comte, manusia menjadi lebih pandai dan menganggap tidak perlu mengaitkan segala sesuatu dengan Allah. Yang penting adalah menyelidiki sebab semuanya itu terjadi.

Maka terjadilah tahap kedua di dalam proses sejarah, yang disebut tahap metafisika. Tahap metafisika ini merupakan suatu periode di mana manusia mau mencari kebenaran di luar dunia yang kelihatan. Istilah “metafisika” di dalam bahasa Yunani Ta meta ta physika, yang dalam bahasa Inggrisnya the thing after the physics atau the world beyond the physical world. Artinya, “segala sesuatu (dunia) di luar dunia yang kelihatan.” Apakah yang ada di balik segala yang kita lihat?

Sewaktu kecil saya membayangkan kalau kita naik kapal terbang, terus terbang ke Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus sampai ke Pluto. Lalu terbang lebih jauh lagi sampai ke ujung alam semesta, ke mana akhirnya? Menabrak tembokkah? Kalau ya, lalu tembok itu pecah, ada apa dibalik tembok itu? Kalau tidak ada tembok, berarti saya akan terbang terus tanpa henti. Kalau ada tepi, ada apa di luar tepi itu? Sampai sekarang saya tidak mengerti dan tidak mendapat jawaban. Comte memperkenalkan metafisika, mengenai hal-hal di luar dunia ini. Maka timbullah suatu periode yang mengarah untuk mengerti sebab-musabab yang mengakibatkan segala sesuatu terjadi di dunia yang kelihatan ini. Namun demikian, tidak ada jawaban yang pasti dan jawaban-jawaban yang ada simpang-siur.

Kemudian Comte melangkah ke tahap ke-tiga yang disebut tahap positif. Menurut dia, manusia menjadi dewasa kalau sudah menuju dan mencapai tahap ini. Di dalam tahap inilah manusia menjadi pandai, yakni dalam tahap ilmiah (scientific). Jadi, menurut Comte, manusia yang pandai adalah manusia yang berilmu, sedangkan manusia beragama adalah manusia yang masih bodoh. Manusia yang masih memikirkan tentang Allah adalah manusia dengan tingkat kecerdasan (IQ) terendah. Manusia harus sungguh-sungguh melepaskan diri dari agama untuk menjadi bebas. Ajaran Comte ini mempengaruhi orang Perancis, Jerman, dan dunia Barat sampai sekarang. Banyak pemuda-pemudi berpendapat: ”Kalau saya mempunyai pengetahuan cukup tinggi, maka saya tidak perlu Allah lagi; kalau saya tidak mempunyai pengetahuan, barulah saya lari kepada Allah.” Allah dianggapnya Allah bagi orang-orang bodoh, sehingga banyak orang pandai keluar dari gereja. Saya tidak rela melihat hal ini terjadi. Tugas kita adalah membawa kembali manusia, yang diciptakan Allah, supaya manusia melihat kemuliaan Allah dalam aspek jawaban intrelektual. Tugas ini sangat berat, namun kita percaya pasti ada jawaban.

Di dalam pemikirannya mengenai “Mengapa timbul agama?”, Comte seolah-olah tidak mendapatkan cukup jawaban karena memang manusia tidak mungkin mengerti. Terlalu banyak rahasia di dalam alam. Maka menurut Comte, manusia menganggap mereka mendapatkan suatu jawaban dengan menyatakan “Allah menciptakan segala sesuatu.” Oleh sebab itulah timbul agama. Dan teori ini diperdewa atau dipercaya seperti sifat agama oleh seluruh penganut Materialisme dan Komunisme sampai sekarang. Orang-orang Komunis tetap menganggap bahwa agama diperlukan kalau orang sudah tidak mengerti ilmu pengetahuan. Kalau seandainya demikian, pertanyaan saya adalah: “Apakah semua ilmuwan yang beribadah kepada Tuhan hanya berpura-pura saja?”

Di Taipei saya pernah berkhotbah di suatu universitas dan sengaja berkata: “Comte sangat bodoh.” Kalimat ini menimbulkan kemarahan seorang intelektual, yang mendewakan Comte. Ia langsung bertanya: “Apa sebabnya Anda mengatakan Comte bodoh?” Saya menjawab: “Jelas Comte seorang bodoh. Kalau pada zaman kuno karena tidak ada jawaban sehingga manusia harus membayangkan ada “allah”; atau menciptakan ”allah”, mengapa hal ini tidak terjadi pada binatang-binatang atau makhluk lain? Orang materialis menganggap manusia adalah makhluk intelektual dan binatang makhluk bodoh. Bukankah ini berarti yang pandai menjadi bodoh dan yang bodoh menjadi lebih pandai? Tidak logis bukan? Kalau karena tidak mengerti misteri-misteri dalam alam baru manusia menemukan Allah, mengapa ada di antara orang-orang yang mempunyai otak luar biasa dalam zaman modern sekalipun tetap percaya kepada Allah? Sejak Revolusi Industri sampai sekarang sedikit ada 300 ilmuwan yang terkemuka dan 262 di antaranya adalah orang Kristen. Apakah Anda mengira kepercayaan terhadap Yesus Kristus adalah kepercayaan orang-orang bodoh? Apakah percaya kepada Alkitab sudah ketinggalan zaman? Sesungguhnya Comte tidak dapat menjawab pertanyaan itu.” Bagaimana kita menjawab tantangan generasi hari ini? Tugas kita memang berat, tetapi kita harus menjawabnya.

2. John Lubbock (1834-1913)

Lubbock menganggap agama sebagai semacam proses mendewakan alam. Kesimpulan ini diambil manusia melalui melihat alam dan kemudian mempersonifikasikannya, yakni menganggap semua yang ada di alam semesta, bintang-bintang, planet, bumi dan segala isinya, ada oknumnya. Pikiran manusia memproses semuanya itu sehingga menganggap semuanya ini memiliki dewanya. Misalnya, manusia melihat gunung Agung demikian agungnya, lalu berpikir, siapa oknum di balik gunung Agung ini? Kemudian oknum gunung Agung dijadikan dewa, yakni diperoknumkan dan diperilah. Hal serupa ini bagaikan seorang anak kecil yang menggambarkan bulan dan matahari yang dibubuhi mata, hidung, mulut, bahkan janggut. Demikianlah proses timbulnya agama menurut Lubbock.

3. Edward Taylor (1832-1917)

Edward Taylor mengatakan bahwa manusia menciptakan agama melalui renungan mereka terhadap alam semesta. Dari alam semesta mereka berimajinasi, lalu menggabungkannya itu dengan pikiran manusia dan kemudian menggabungkan pikiran manusia itu dengan konsep mereka tentang Allah. Jadi di sini yang disebut allah adalah ciptaan, bukan pencipta. Maksudnya, waktu manusia melihat bahwa dirinya bisa tidur dan bangun, bisa bertumbuh dan menjadi tua, lalu gejala-gejala hidup ini diterapkan ke dalam alam, misalnya pohon melewati proses: ada permulaannya, lalu bertumbuh, berkembang, menjadi tua dan layu. Taylor berpendapat bahwa manusia melalui alam yang dibayangkan sebagai atau seperti manusia telah menciptakan allah. Seluruh alam semesta ini bisa mempunyai permulaan, menjadi besar, bertumbuh menjadi dewasa, lalu tua dan menjadi layu. Dengan demikian seluruh alam semesta ini pasti memiliki satu Spirit Kosmos (roh alam semesta) seperti manusia juga. Kalau manusia mempunyai hidup dan roh alam semesta, juga mempunyai hidup, maka dia disebut allah. Dengan demikian melalui penggabungan gejala-gejala alam yang dibayangkan atau dibandingkan dengan hidup manusia, manusia membayangkan Allah. Menureut Edward Taylor itulah sebabnya timbul agama.

4. Max Müller (1823-1900)

Teori yang lain mengenai timbulnya agama dikemukakan oleh Max Müller. Max Müller membagi agama menjadi tiga macam:

  1. Psychological religion (agama psikologis);
  2. physical religion (agama fisik);
  3. anthropological religion (agama anthropologis).

Apakah maksud Müller dengan pembagian agama ke dalam tiga kategori ini? Mengenai agama psikologis, Müller mengatakan bahwa di dalam perasaan manusia terdapat suatu konsep ketidak-terbatasan. Konsep ketidak-terbatasan ini dipikirkan menjadi satu Allah yang tidak terbatas. Jadi, dari konsep menjadi suatu bayangan ketidak-terbatasan di dalam realita atau realita itu hasil dari konsep mengenai ketidak-terbatasan. Dari sini manusia menyembah ketidak-terbatasan sebagai suatu cetusan atau proyeksi dari konsep ketidak-terbatasan yang terdapat di dalam hati mereka.

Mengenai agama fisik, Müller mengatakan bahwa mulanya manusia memikirkan matahari dan planet-planetnya. Manusia mengetahui matahari menguasai siang dan bulan menguasai malam. Disamping itu manusia juga mengetahui bahwa matahari merupakan sumber bagi segala makhluk untuk bisa hidup dan berkembang. Jadi, baik secara langsung maupun tidak, bumi ini bersangkut-paut dengan matahari. Kemudian matahari disembah sebagai dewa oleh manusia. Materi dijadikan dewa. Dengan demikian benda-benda digabungkan dengan konsep adanya dewa. Agama yang bersangkut-paut dengan dunia fisik atau material inilah yang disebut sebagai agama psikologis.

Seperti telah kita ketahui, orang Mesir kuno bersembah sujud kepada Dewa Matahari yang mereka namakan Ra. Sampai sekarang pun masih banyak orang yang mempunyai kepercayaan semacam demikian, yakni percaya kepada sesuatu yang dianggap berkuasa, yang bersangkut-paut dengan hidup mereka dan dijadikan Allah atau dewa mereka.

Mengenai agama anthropologis di dalam teori ini digambarkan seperti seseorang yang berbakti atau begitu hormat terhadap orang tuanya, sehingga lambat-laun di dalam diri orang itu timbul suatu pikiran mengenai penghormatan dari bawah ke atas dan dengan menggunakan suatu sifat berbakti dia mengira di atas sana pun pasti ada allah. Dari “ancertor worshipo” (penyembahan terhadap leluhur) menjadi semacam agama; ini yang disebut agama anthropologis. Itulah sebabnya timbul agama menurut Max Müller.

Semua interpretasi mengenai timbulnya agama diberikan oleh orang-orang yang sebenarnya tidak hidup pada permulaan timbulnya agama itu sendiri. Semua jawaban mereka adalah semacam pikiran imajinatif manusia yang dipergunakan untuk mempermainkan atau menindas agama. Mereka berusaha mengenal agama dari luar agama, seakan-akan mereka sama sekali tidak perlu agama. Mereka seolah-olah mau mengerti seluruh umat manusia dan berbuat atau berpikir seolah-olah mereka bukan manusia biasa melainkan manusia “super”. Mungkinkah mereka meletakkan umat manusia di atas meja untuk menjadi obyek penyelidikan mereka? Mutlak tidak mungkin! Karena setiap manusia mempunyai sifat agama. Kalau setiap orang mempunyai sifat agama, bagaimanakah mereka dapat percaya bahwa teori agama mereka ini benar? Kecuali kita kembali kepada Allah dengan sifat agama yang sejati, tidak mungkin kita mengerti asal-usul agama. Mari kita kembali kepada Allah agar kita tidak menganggap bahwa Tuhan adalah hasil pemikiran manusia. Kita kembali percaya manusia diciptakan Allah sebagai makhluk beragama. Di sinilah titik tolak perbedaannya. Apakah Allah yang menciptakan manusia atau manusia yang menciptakan Allah? Anthroposentris ataukah teosentris? Teologi hanya dua macam: teologi teosentris dan teologi anthroposentris. Kepercayaan hanya dua macam: kepercayaan teosentris atau kepercayaan anthroposentris. Gereja hanya dua macam: gereja teosentris atau gereja anthroposentris.

Amin.

SUMBER :
Nama buku : Iman dan Agama
Sub Judul : Bab II : Manusia dan Agama
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2011
Halaman : 9 – 27