Pak TongBAB V :
MANDAT BUDAYA

Dosa merupakan satu fakta dan merupakan suatu kekuatan yang terus-menerus tak pernah berhenti. Sebab itu apabila kebenaran yang dikenal oleh kaum Injili adalah begitu penting, begitu dalam dan begitu tepat, Anda akan tahu bahwa tanggung jawab kita adalah begitu besar. Tatkala kaum modernis berkompromi pada yang disebut ilmiah atau pengetahuan baru abad ke-19, sebenarnya mereka telah menjual hak kesulungan diri mereka sendiri secara tidak sadar, karena mereka sudah tidak berdaya untuk berdiri tegak, untuk mengarahkan dan memimpin kebudayaan kepada kebenaran.

Di dalam teologi Reformed, kita melihat dengan jelas bahwa tugas gereja Tuhan bukan hanya pada satu aspek saja. Apakah tugas itu? Yaitu memberitakan Injil ke seluruh permukaan bumi. Hari ini, banyak gereja yang mengetahui akan tugas ini, tapi mereka lari kian kemari sampai orang-orang yang ada di sekitar mereka pun tidak mampu mereka menangkan. Banyak gereja mengetahui kewajiban ini, namun sibuk kian ke mari sampai orang yang berada di sekitarnya tidak berkesempatan diinjilinya.

Gereja bahkan tidak melaksanakan amanat agung yang pertama. Bila gereja dapat sungguh-sungguh melaksanakan amanat agung yang pertama ini, apakah berarti gereja telah menunaikan tugas yang harus dilaksanakannya di bumi ini? Inilah yang disebut dengan The Gospel Mandate. Banyak gereja-gereja Injili mnengetahui harus melaksanakan tugas ini, namun gereja-gereja modernis tidak mengetahui dengan jelas akan apa yang disebut Injil.

Teologi Reformed dengan jelas menemukan bahwa amanat yang Alkitab berikan kepada kita bukan hanya mandat Injil saja. Selain memberikan mandat Injil, Allah juga memberikan mandat budaya.

Apa yang dimaksud dengan mandat budaya? Yaitu di dalam kebudayaan, kita harus memakai Firman Allah untuk mempengaruhi dunia ini. Orang Kristen tidak sepantasnya hanya duduk di bangku gereja, mengobrol sambil menantikan masuk sorga. Kita boleh memiliki gedung gereja yang ber-AC, memiliki musik yang harmonis, memiliki paduan suara yang terbaik namun kita juga perlu memperhatikan akan sumbangsih kita terhadap dunia ini. Hari ini banyak orang yang memahami mandat budaya dan sumbangsih terhadap dunia hanya dengan cara memberikan sedikit sumbangan uang untuk menyantuni orang miskin. Kekristenan yang demikian belum menunaikan rencana yang sempurna yang telah Allah tetapkan bagi kita. Apakah mandat budaya itu? Yaitu Kristus menjadi yang utama di dalam segala hal.

Untuk apakah mandat budaya? Yaitu untuk memancarkan terang wahyu khusus yang Tuhan wahyukan kepada seisi dunia. Karena terang alami itu kurang cukup, maka perlu diterangi oelh terang supra-natural.

Ada orang bertanya: “Siapakah terang yang supra-natural itu?” Kristus. Tugas kita adalah membawa Kristus dan semangat Kristus itu kepada setiap lapisan budaya. Sebab itu sebagai orang Kristen, engkau yang berada di dunia bisnis harus mewakili terang Kristus; engkau yang sebagai dosen sedang mewakili terang Kristus di dunia pendidikan; sebagai dokter Kristen, engkau sedang mewakili terang Kristus di dunia kedokteran; sebagai seorang pekerja sosial, engkau harus mengembangkan semangat kebenaran Kristus di dalam masyarakat. Kita tidak dapat hanya saling menerangi di dalam gereja saja. Adakah kita juga menjadi terang di dalam masyarakat? Jika kita adalah tokoh penting dari kalangan ekonomi, bisnis, pendidikan, juga yang berpotensi dalam dunia politik, hukum, perbankan, bila kita membawakan semangat Kristus ke dalam masyarakat, pengaruhnya tentu akan sangat besar. Mandat budaya merupakan hal yang sangat penting di dalam teologi Reformed.

Sekarang marilah kita membicarakan tentang mandat buidaya dan keberhasilan yang dicapai oleh kebudayaan. Proses sejarah memper-lihatkan bahwa manusia telah membuahkan keberhasilan kebudayaan. Tetapi apakah keberhasilan kebudayaan sudah selaras dengan mandat budaya? Kita menemukan kesenjangan yang sangat besar di antara kedua hal ini. Lalu mengapa kesenjangan ini bisa terjadi? Kesenjangan ini adalah suatu fakta bahwa kita mempunyai konsep mandat budaya, sebab itu kita berjuang, kita bekerja keras, berharap dapat mencapai mandat budaya itu dengan kerajinan yang kita miliki, kemudian kita mulai mendapatkan sedikit keberhasilan. Keberhasilan ini disebabkan oleh desakan yang bersifat budaya. Jadi, dari manakah sifat budaya ini? Kebudayaan itu sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan ini. Kita selalu beranggapan bahwa semuanya ini memang demikian adanya. Kadang-kadang saya berpikir dan berpikir sampai tidak dapat berpikir lagi mengenai hal ini.

Semula pada waktu Allah menciptakan anjing, waktu itu tidak ada mobil. Tetapi sekarang setiap anjing yang dilahirkan menyaksikan banyak mobil, padahal nenek moyang mereka belum pernah tahu apa itu mobil. Anjing zaman sekarang mengira bahwa dunia memanglah demikian. Sebenarnya dunia bukanlah demikian, tetapi dianggap demikian. Ini yang disebut take it for granted.” Bila kita membalikkan sejarah sampai pada satu masa, kita akan menemukan bahwa semua yang kita nikmati hari ini, yang kita anggap biasa, sebenarnya merupakan hasil jerih payah banyak orang.

Coba pikirkan 200 tahun yang lampau. Raja sekali pun akan merasa sakit punggungnya kalau dia harus duduk terus-menerus selama dua jam, karena kursi yang didudukinya terbuat dari kayu, bukan kursi elastis yang terbuat dari spon seperti yang terdapat pada hari ini. Dari kursi kayu sampai kursi elastis telah melewati perjuangan, pemerasan otak sampai tidak dapat tidur, berkeringat sampai basah kuyup baru menemukannya. Semua keberhasilan kebudayaan ini adalah fakta yang kita nikmati dan kita gunakan pada hari ini.

Proses dari menemukan satu benda sampai menikmati keberhasilan itu adalah perjuangan dan bekerja keras. Manusia berjuang dan bekerja keras baru mendapatkan hasil. Yang benar-benar ditunjukkan manusia di dalam pencapaian hasil ini adalah menggunakan kemungkinan yang ada di dalam alam. Yang sungguh-sungguh manusia capai adalah kekuatan untuk menaklukkan alam.

Tujuan kebudayaan adalah menaklukkan alam. Tujuan agama adalah mengungguli alam. Tatkala kebudayaan ingin menaklukkan alam, ada perjuangan, ada pengorbanan. Adakah kau merasa puas atas keberhasilan yang telah engkau capai? Di sinilah kita menemui fenomena kontradiksi, di satu pihak kita memang merasa puas, tetapi di pihak lain kita juga merasa kurang begitu puas. Tatkala orang lain menilai kita kurang sukses, kita akan merasa jengkel. Tetapi tatkala engkau berkata kepada dirimu sendiri bahwa engkau sudah cukup sukses dan tidak perlu bekerja keras lagi, engkau juga merasa takut. Pengalaman hidup ini mengajarkan kepada kita, “Inilah yang memuaskan, itu yang tidak memuaskan.” Semua itu adalah kontradiksi yang timbul dari rhetoric kebudayaan.

Jika seorang ibu mengatakan kepadamu bahwa anaknya nakal sekali, janganlah engkau membenarkannya, karena dengan menjawab demikian akan menghasilkan rintangan budaya dalam hubungan itu. Sebaliknya, Saudara menjawab bahwa anaknya memang nakal, tetapi pintar sekali, maka orang itu akan puas. Di manakah letak permasalahannya? Di tengah proses perjuangan, kesuksesan yang dicapai tetap mengandung permasalahan. Kita menemukan bahwa ketidak-seimbangan yang sesungguhnya itu memang ada. Ketidak-seimbangan itu adalah antara hal yang kita harapkan dan realita yang kita capai, yang adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Apa yang terdapat dalam idemu, di dalam angan-anganmu, apa yang berada di dalam rasio dan yang terdapat di dalam realita, di dalam keberhasilan kita yang sungguh dan yang kita temukan dan yang diberikan kepada kita saat ini terdapat ruang yang sangat besar.

Tatkala kita melihat perbedaan yang terdapat pada fakta dan ide yang terdapat di dalam diri kita, sungguh kita merasa tidak puas. Namun tatkala kita menengok akan masa dahulu ketika hal tersebut belum ada sampai keberhasilan yang sekarang kita capai, baru kita akan merasa puas. Maka fenomena paradoks ini mengungkapkan beberapa hal yang sangat penting: Adakah yang kita capai itu telah mendapat hal yang seharusnya dicapai? Apabila telah mencapainya, mengapa kita masih merasa kurang puas? Apabila belum mencapainya, mengapa kita tidak mampu mencapainya? Semua ini semakin dipikir semakin membingungkan. “Aku sudah cukup bekerja keras, namun sudahkah aku mencapai apa yang seharusnya aku capai?” Saya katakan sekali lagi, jika telah mencapai hal yang harus dicapainya, mengapa manusia masih merasa tidak puas?

Jika kau tanyakan pada Beethoven, apakah arti kesuksesan? Dia kan menjawab, “Apakah saya yang seumur hidup hanya menulis beberapa lagu sudah harus meninggalkan dunia ini dapat disebut sukses?” Kalau kita tanyakan kepada Bach, komponis yang amat preoduktif, adakah dia sukses? Dia akan menjawab, “Bila Anda dapat bekerja keras seperti aku, pasti Anda juga akan memperoleh sukses yang besar.” Kalau kita tanyakan kepada Thomas Alfa Edison, apa itu sukses? Dia akan menjawab, “Satu persen genius ditambah sembilan puluh sembilan persen perjuangan.”

Dibalik keadaan ketidak-puasan secara psikologis ini, atau dibalik pertanyaan, “mengapa kita tidak dapat mencapai apa yang seharusnya kita capai”, ada satu masalah yang lebih besar: apa yang seharusnya kita capai? Siapakah yang meletakkan konsep tentang yang seharusnya kita capai itu di dalam diri kita? Mengapa saya harus mencapai kesuksesan itu? Orang yang sukses justru tidak merasa sukses; orang yang merasa dirinya sukses justru kelihatannya tidak terlalu sukses; orang yang dianggap sukses justru merasa dirinya masih jauh dari kesuksesan. Namun orang yang merasa dirinya sukses sungguh masih jauh dari kesuksesan. Orang yang berani menuliskan rahasia kesuksesan adalah orang yang terlalu berani. Engkau akan menemukan bahwa yang menulis buku demikian itu ternyata tidak terlalu berpengaruh di dalam sejarah. Boleh dikatakan bahwa dia sedikit sukses karena banyak menjual buku semacam itu. Orang yang sungguh-sungguh agung tidak mungkin memandang kesuksesan dengan standar yang begitu dangkal dan begitu rendah.

Di sini saya temukan bahwa tidak ada seorang pun yang sanggup menyelesaikan problema tentang kesenjangan antara mandat budaya dan keberhasilan kebudayaan. Apa itu harus? Apa itu belum? Semakin engkau mempunyai tujuan yang harus dicapai, hidupmu semakin susah. Semakin engkau memberikan respon yang sensitif terhadap sesuatu yang harus engkau capai, semakin engkau merasa kesepian.

Di dalam serjarah terdapat seorang yang bernama Rossini, yang sanggup mengarang satu opera. Bahkan sampai musiknya, hanya dalam kurun waktu dua minggu. Kecepatannya menulis opera memanng sungguh mengejutkan. Sebagaimana G.F. Handel mampu menuliskan Messiah dalam waktu 23 hari, demikian juga orang ini. Di dunia seni terdapat saeorang yang bernama Peter Paul Rubens. Pada tahun 1977 saya menyaksikan 800 lembar masterpiece-nya di kampung halamannya. Museum di seluruh dunia meminjamnya untuk pameran besar-besaran.

Tiga hari yang lalu saya bertanya kepada seorang pelukis. “Berapa waktu yang Anda perlukan untuk membuat kopi dari lukisan Peter Paul Rubens?” Jawabnya, “Dua bulan”. Bila setiap lukisan yang dikerjakan dengan tidak perlu berpikir hanya mengcopy saja memerlukan waktu dua bulan, setahun hanya dapat menyelesaikan 6 lukisan, 10 tahun baru 60 lukisan. Bisakah anda melukis sampai 50 tahun? Kalaupun mampu, hanya berhasil melukis 300 lukisan. Sedangkan Peter Paul Rubens, dia sendirilah yang memikirkan, merencanakan dan melukiskannya. Dia sendiri yang mempunyai daya cipta danm daya uintuk mengekspresikannya. Seluruh struktur, ide dan topik berasal dari inovasi yang ada dalam dirinya. Bagaimanakah semua itu terjadi? Namun kecekatannya yangmenakjubkan ini menunjukkan kepada kita bahwa keberhasilan seseorang di dalam kebudayaan mempunyai taraf kesensitifan yang luar biasa, didesak oleh rasa tanggung jawab yang luar biasa, amat sensitif terhadap waktu, yang sulit ditandingi oleh siapa pun. Mengenai tekanan dan hambatan yang pernah dialami oleh orang-orang tersebut memang tidak pernah kita ketahui.

Kebanyakan orang hanya dapat merasa iri terhadap mereka. “Mengapa engkau selalu berhasil kalau engkau melukis atau engkau menulis? Mengapa engkau dapat berkarya dengan begitu cepat?” Semua itu membuat orang lain merasa iri setengah mati. Tapi saya beritahukan kepada anda, kalau Anda yang disuruh menjadi dia, mungkin dua bulan saja sudah almarhum. Sebab itu, selama hidup saya sangat menghargai talenta-talenta yang ada. Bila saya bertemu dengan seorang yang bertalenta, dengan apa yang ada pada saya, saya akan bersyukur kepada Tuhan, akan memproteksinya, membimbing, mempromosikan dan membuatnya populer.

Di dalam Kerajaan Allah, baik mandat pemberitaan Injil maupun mandat budaya dapat menggenapkan kehendak Allah yang indah. Karena saya tahu menjadi seorang genius itu sangat menderita, kita perlu memahami hal ini.

Mengapa pergumulan antara rasio dan keberhasilan, antara mandat budaya dan keberhasilan kebudayaan tidak dapat mencapai keselarasan? Alkitab mengatakan, karena kejatuhan (fall) telah ada di dunia. Orang Kristen harus melihat dengan jelas akan adanya sejarah kejatuhan yang nyata dan pengaruh kejatuhan di dalam sejarah di antara mandat budaya dan keberhasilan kebudayaan. Bila tidak, maka sikap kita terhadap mandat budaya adalah terlampau optimis yang semu atau optimis yang naif. Bila kita tidak memahami iluminasi Alkitab tentang fakta ini dengan jelas, maka krisis yang utama adalah memberikan kemuliaan yang tidak semestinya kepada keberhasilan kebudayaan. Baik terlampau optimis terhadap mandat budaya, atau terlalu meninggalkan keberhasilan kebudayaan, akan mendatangklan krisis yang sangat besar, yaitu meninggikan posisi manusia sampai pada posisi Allah dan merebut kemuliaan Allah. Kebudayaan sendiri adalah kemuliaan manusia yang tertinggi. Keberhasilan kebudayaan adalah kemuliaan seluruh umat manusia. Kebudayaan memungkinbkan timbulnya tokoh lokal, yang berpengaruh secara historikal pada suatu zaman.

Sumbangsih dan keberhasilan kebudayaan seharusnya dimiliki oleh seluruh umat manusia. Ketika keberhasilan kebudayaan ini telah dibukukan menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah di laboratorium atau keberhasilan seni yang tidak dapat dibuktikan secara laboratoris baik keberhasilan ilmiah maupun keberhasilan seni tidak cukup layak dimonopoli oleh satu bangsa atau sekelompok orang yang berada di daerah tertentu.

Bila anda pergi ke Paris, anda bisa menyaksikan lukisan Monet, keberhasilan Renoir dan juga banyak lagi masterpiece yang agung. Bila anda ke Italia, anda bisa menikmati dan merenungkan keberhasilan Da Vinci, juga bisa mewarisi semangat Michelangelo. Bila anda ke Amerika, anda bisa teringat akan rumus yang diajukan oleh Einstein, anda juga bisa membawa pulang teori E=MC² untuk mengadakan riset di negara anda, karena keberhasilan kebudayaan adalah milik kita bersama, bukan milik pribadi.

Sekarang kita sudah melihat akan fakta yang mendasar yaitu kejatuhan berada di antara mandat budaya dan keberhasilan kebudayaan. Kembali kita merenungkan mengapa di antara rasio, ideologi dan realita, keberhasilan, yang ada di dunia ini terdapat kesenjangan yangs angat besar? Kita semua memiliki konsep Summum Bonum (the highest good). Konfusius juga mengharapkan manusia bisa mencapai taraf kebajikan yang tertinggi dan tertulus. Manusia seharusnya mencapai the highest good. Konsep Summum Bonum ini adalah keberhasilan yang tertinggi, yang ingin dicapai oleh kebudayaan. Namun, apakah Summum Bonum itu sudah tiba? Atau pernah tiba? Apakah dapat sungguh-sungguh terwujud? Yang kita lihat adalah pertanyaan yang tidak mempunyai jawaban, karena pada puncak yang paling tinggi dari setiap kebudayaan, dan pada kedalaman dari keberhasilan yang paling puncak sekalipun, selalu tersimpan satu krisis. Juga terdapat kemungkinan menghancurkan diri sendiri. Sebab itu semua ini merupakan satu tanda tanya. Namun di luar kerja keras dan pengharapan manusia untuk mencapai Summum Bonum, ada satu sumber lain yang pernah berkunjung, yaitu Summum Bonum yang riil, yang nyata. Bukan hasil dari pergumulan, perjuangan, tetapi kedatangan dari Summum Bonum itu sendiri. Summum Bonum itu sendiri mengunjungi dunia, itulah yang disebut Kalam menjadi manusia. Kalam Allah datang dalam bentuk jasmani untuk menyatakan Summum Bonum itu senbdiri.

Sekarang saya ingin mengajak anda sekalian untuk merenungkan filsafat dua orang filsuf Jerman tentang konsep ini. Yang pertama adalah Immanuel Kant. Menurut Kant, sebelum Summum Bonum itu datang, Kita perlu tetap bekerja keras. Manusia harus menuntut dengan sekuat tenaga untuk mencapai puncak dari kebajikan yang tertinggi. Namun sebelum kita mencapai kebajikan yang tertinggi, janganlah lupa bahwa dalam sejarah terdapat seorang Nazaret yang pernah menyatakan Summum Bonum itu di tengah-tengah kita. Inilah lukisan yang jelas yang diperlihatkan Kant kepada kita. Dari mandat budaya sampai proses pergumulan keberhasilan kebudayan, kita tidak boleh kendor. Kita perlu menuntut dengan serius. Namun ada seorang yang pernah menyatakan hal itu. Pernyataan diri dari Terang, diri Kebenaran dan diri-Nya sendiri di dalam sejarah itu seharusnya menarik perhatian dari kebudayaan setiap zaman. Menjadi perhentian, renungan dan pertimbangan di tengah-tengah pergumulan, penderitaan dan perasaan hampa dalam hari nurani.

Filsuf Jerman yang lain, yang bernama Goethe pernah mengatakan, “Meskipun peradaban dunia terus maju, namun tidak mampu melampaui jalan dan hidup yang Yesus Kristus pancarkan di dalam empat Injil.” Sebab itu, setelah kita membahas begitu banyak hal, saya akan tanyakan sampai di manakah posisi manusia sekarang? Jika kita meletakkan suatu alat yang sangat canggih di dalam mobil BMW, maka begitu Anda menekan tombol, anda akan tahu sekarang Anda sudah berjalan berapa kilometer dan masih ada berapa kilometer yang harus Anda tempuh. Dengan menekan tombol lagi, Anda akan tahu dengan kecepatan sekarang ini kira-kira berapa saat lagi yang Anda perlukan untuk sampai di tempat tujuan. Dengan menekan tombol lagi, Anda akan tahu satu liter bahan bakar dapat dipakai untuk berapa kilometer?

Saya pernah naik mobil seperti itu. Saya tekan tombol ini dan tombol itu, sungguh menarik, karena dapat memberitahukan saya di mana saya berada, bila saya dapat tiba di sana, jarak yang sudah dan yang belum ditempuh, sehingga saya dapat naik mobil itu dengan perasaan tenang, karena pada waktu saya akan pergi berkhotbah, saya tahu kapan saya tiba di sana. Emosi saya stabil tetapi saya selalu mengendarai mobil dengan kurang sabar. Sekarang di dalam diri saya ada komputer. Saya memakai cara ini untuk mengendarai mobil, saya memperkirakan 17 menit kemudian saya bisa sampai di mana, saya punya perhitungan dalam diri saya sendiri. Karena Jakarta terlalu besar, dan rumah saya ke tempat kebaktian saya adalah 30 kilometer. Kadang-kadang saya dapat menempuh jarak itu dalam waktu 18 menit saja, kadang-kadang jarak yang hanya 2 kilometer saja perlu lebih dari 1 jam. Ketika keadaan jalan macet, Jakarta menjadi tempat parkir yang terbesar di dunia. Kita yang terjebak di sana tidak dapat berbuat apa-apa, betapa pun canggih mobil yang anda miliki, namun situasi dan kondisi memaksa kita menjadi kura-kura. Anda tidak dapat mendaya-gunakan kecanggihan mobil Anda untuk memperkirakan kapan anda dapat tiba, masih berapa jauh jarak yang harus anda tempuh, apakah bahan bakar cukup?

Sekarang pertanyaan yang akan saya ajukan adalah, setelah manusia melewati sekian ribu tahun, mulai dari zaman Mesopotamia sampai tahun 1992 sekarang, seberapa jauh kita sudah melangkah? Pertanyaan selanjutnya adalah what next? Yang saya maksud bukan pribadi, tetapi seluruh umat manusia, kita masih akan ke mana? Dari mana kita datang? Sejak kecil kita semua pernah bertanya kepada diri sendiri, dari manakah saya berasal? Mengapa saya bisa di sini? Jika dulu ayah saya tidak menikah, tentu sekarang saya tidak ada di sini. Mengapa saya dilahirkan? Saya tidak minta dilahirkan dan dia juga tidak minta persetujuan saya untuk melahirkan saya. Tapi bila saat itu dia bertanya kepada saya, toh saya belum berada. Karena itu persetujuan saya tidak ada bagian di dalam keputusannya, ketidak-setujuan saya juga tidak bisa mengubah dia. Baik saya setuju maupun tidak, ya beginilah keadaannya.

Dari manakah datangnya manusia? Mengapa sekarang manusia sampai di tempat ini? Dan masih akan pergi ke mana? Berapa di antara kalian yang menyaksikan pameran barang antik dari dinasti Tang? Saya sudah menyaksikan 3 kali, waktu saya ke Singapura saya masih ingin menyaksikan sekali lagi. Pameran tersebut membawa kita mundur kira-kira 1400-1500 tahun, trade back to the historical journey. Saat itu manusia masih seperti itu, tapi sekarang sudah maju seperti ini. Masih akan ke manakah manusia?

Saya mengharapkan di antara kita ada orang-orang yang menjadi universal soul, universal person, universal man; bukan hanya mengetahui masalah-masalah besar dalam dunia, tapi engkau juga tahu apa yang sedang dilakukan oleh seluruh sejarah, dan fungsi orang Kristen sebagai nabi untuk melihat dunia ini akan menuju ke mana. Orang Kristren seharusnya mempunyai jabatan sebagai nabi, imam dan raja. Yesus sendiri adalah Raja di atas raja, Imam di atas Imam, Nabi di atas nabi. Sebagai orang Kristen yang mempunyai jabatan sebagai nabi, kita harus menunjukkan arah jalan yang ada di depan kepada seluruh umat manusia. Namun hari ini, sebagai orang Kristen, kita tidak tahu sama sekali akan peristiwa yang bakal terjadi. Kita hanya tahu kalau hari ini masih mempunyai uang atau tidak, kita segera dapat mengetahui jumlah uang yang ada di account kita di bank. Segera tahu apakah harga saham itu naik atau turun. Tatkala orang Kristen sedang tidur, siapakah yang memberitahukan apa yang akan terjadi di depan kita?

Alvin Toffler, Naisbitt, Megatrends, Gelombang Ke-tiga, 2000 and beyond, pemikiran-pemikiran yang penting ini telah menunjukkan manusia akan ke mana. Buku-buku yang terlaris ini semuanya ditulis oleh orang-orang non-Kristen. Di manakah fungsimu sebagai nabi? Di manakah mandat budayamu? Mungkin Saudara menjawab, “Saya sudah tahu akan hari depannya hari depan.” tapi yang Anda tahu hanya satu kalimat, “Percaya Yesus, maka Anda akan masuk sorga; kalau tidak percaya Yesus pasti masuk neraka.” Itu adalah satu-satunya statement dari fungsimu sebagai nabi.

Ke manakah dunia ini akan pergi? Apakah yang harus dilakukan oleh Kekristenan? Ke manakah manusia akan pergi? Ke manakah kebudayaan akan mengarah? Orang Kristen harus memberikan kontribusi. Kita mempunyai konsep Summum Bonum, pemikiran yang mutlak, penuntutan yang sempurna. Namun setelah mengalami pergumulan, kita menyadari belum mencapai kesuksesan itu. Lambat laun kita marasa puas dengan kesuksesan relatif. Kita menemukan bahwa di dalam diri kita masih terdapat banyak kekurangan. Apakah jawaban Alkitab kepada kita?

Tadi sudah saya katakan, bahwa kebudayaan adalah kemuliaan bagi seluruh umat manusia. Dapat mencapai keberhasilan kebudayaan adalah suatu hal yang sangat membanggakan. Tetapi apakah yang dikatakan Alkitab? Semua manusia telah kehilangan kemuliaan Allah. Manusia hanya dapat memiliki kemuliaan, kehormatan, karena Allah meletakkan sifat budaya dan agama di dalam diri manusia. Kekurangan kemuiliaan dan di dalam kebudayaan terdapat banyak hal yang tidak dapat memuaskan kita disebabkan karena dosa.

Dosa bukan dibangun atas tradisi atau makna yang agak sempit. Misalnya: Hari ini kau berdosa karena kau kurang berdoa; hari ini kau melakukan banyak dosa, karena kau tidak ikut kebaktian. Semua kekurangan ini tentunya salah, tetapi saya bertanya kepada Anda, apakah orang yang tidak bermabuk-mabukan dan tidak merokok itu adalah orang kudus? Dosa manakah yang lebih besar: menipu orang atau bermabuk-mabukan dan merokok? Saya bukan membela orang-orang yang bermabuk-mabukan dan merokok, tetapi saya kira banyak pandangan tradisi telah mempersempit definisi dosa pada perbuatan dosa yang terlihat dan bukan pada motivasi yang salah. Pada saat Alkitab menyinggung tentang dosa, adalah ditinjau dari prinsip total: hilangnya kemuliaan Allah.

Bila kita menyelesaikan masalah dosa dengan tuntas, kita akan menemukan bahwa alam adalah ciptaan Tuihan, alam diciptakan untuk mewahyukan kuasa Allah yang kekal dan sifat keilahian-Nya. Sedangkan manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah, maka manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat memberikan respon terhadap wahyu umum Allah. Ketika manusia berespon terhadap wahyu Allah dan membuahkan kesuksesan di dalam kebudayaan itu karena Allah menjadikan kemuliaan dan kehormatan sebagai mahkota dan meletakkannya pada diri manusia, sehingga membawa keberhasilan dalam kebudayaan dan kemuliaan bagi seluruh umat manusia. Namun tujuan yang terakhir dari kemuliaan ini adalah mengembalikan kemuliaan kepada Allah, Pencipta alam semesta.

Pergumulan manusia membuahkan keberhasilan kebudayaan, namun sebagai akibatnya, manusia melupakan Pencipta alam dengan sengaja. Tujuan wahyu umum adalah agar manusia memuliakan Allah, diselewengkan dalam kebudayaan yang telah didistorsi oleh dosa. Marilah kita sebagai pengemban mandat budaya boleh berjuang seumur hidup kita untuk mengembalikan kemuliaan bagi Allah yang layak memilikinya.

Amin.

SUMBER :
Nama buku : Dosa dan Kebudayaan
Sub Judul : Bab V Mandat Budaya
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Institut Reformed STEMI, 1997
Halaman : 33 – 50