keluarga-bahagiaPRAKATA

Setelah revolusi seks di Amerika dan dimulainya percobaan hidup bersama sebelum pernikahan di Inggris, manusia seolah-olah menikmati kebebasan seks yang berlebihan. Maka, angin ini segera bertiup dari Barat ke Timur menjadi satu arus romantis yang melanda seluruh dunia. Tetapi benarkah dengan semuanya itu manusia lebih dipuaskan di dalam hidup berkeluarga?

Fakta keretakan keluarga yang mengakibatkan perceraian terus-menerus bertambah, sementara kebahagiaan tidak kunjung datang. Bahkan banyak keluarga sudah menjadi seperti neraka. Dengan adanya tekanan masyarakat, agama, dan norma budaya, banyak orang berusaha mempertahankan gejala keharmonisan secara lahiriah. Bukankah ini sekadar penipuan diri?

Bahaya terbesar yang dihadapi manusia bukanlah bom atom, senjata nuklir, atau sejenisnya, melainkan kebencian di tengah-tengah orang-orang yang seharusnya saling mengasihi. Siapakah yang dapat menolong kita dari dilema yang sangat menakutkan ini? Jalan satu-satunya tidak lain dan tidak bukan hanyalah kembali kepada prinsip Alkitab. Alangkah bodohnya jika kita menginginkan hidup di dalam kasih, tetapi terputus dari Sumber Kasih – yaitu Allah – yang bukan saja memberikan kasih kepada kita, tetapi juga petunjuk bagaimana hidup di dalam kasih menurut Alkitab. Kiranya buku ini boleh membawa kembali kebahagiaan sejati bagi mereka yang sudah berkeluarga maupun yang akan berkeluarga, sehingga kemuliaan kembali kepada Allah.

Jakarta, April 1991

Pdt. DR. Stephen Tong

—————————–

BAB I :
PRINSIP KELUARGA KRISTEN

“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:27-28)

“Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kejadian 2:20-24)

—————————————————–

Pada waktu seorang psikolog ditanya, “Apakah krisis yang terbesar pada abad ke dua puluh ini?” Ia menjawab, “Krisis terbesar yang dihadapi manusia bukanlah bom atom. Bukanlah bom hidrogen, bukanlah perang nuklir; krisis terbesar yang dihadapi oleh manusia sekarang ialah: Cinta yang sejati telah meninggalkan keluarga. Kalimat ini sepertinya tidak terlalu penting, tetapi jika kita pikirkan lagi, peledakan bom hanya meledakkan dan membinasakan sebagian manusia; tetapi kurangnya cinta sejati di dalam keluarga, yang adalah sistem pembentukan masyarakat yang paling utama ini, mengakibatkan rusaknya seluruh bangsa di dunia. Kalimat itu sangat penting. Dan jika kita meninjaunya kembali, kalimat itu adalah fakta yang begitru riil dan mengerikan, yang begitu mengancam dan menghantui kita. Beberapa orang sudah membentuk keluarga, tetapi keluarga mereka tidak mirip dengan keluarga yang sejati; bukan menjadi tempat pengasuhan di mana mereka mendapat pembimbingan, penghiburan, dan mendapatkan kenikmatan sorgawi.

Apakah artinya membentuk keluarga? Dan mengapakah dunia ini perlu sistem keluarga? Bukankah pada abad ke dua puluh sudah menjadi kebiasaan orang untuk merasakan tidak perlu membentuk keluarga, cukup ‘kumpul kebo’ (hidup serumah tanpa pernikahan yang sah) saja? Tetap apakah itu bentuk relasi yang ditetapkan oleh Tuhan menurut kehendak-Nya dalam membina hidup manusia?

KEHENDAK ALLAH YANG KEKAL

1. Allah Menjadi Dasar Kedudukan Keluarga

Alkitab dengan jelas sejak dari permulaan dan dari pasal yang pertama, sudah menetapkan perintah dan kehendak Allah untuk hidup manusia dan masyarakat. Waktu Allah menciptakan alam semesta ini, Ia mengakhiri karya penciptaan-Nya dengan menciptakan pribadi yang mempunyai peta dan teladan Allah itu sendiri. Manusia diciptakan sesuai dengan kehendak Allah, dan menjadi reflektor Allah. Itulah sebabnya manusia diciptakan sebagai peta dan teladan Allah. Berarti manusia seharusnya menjadi seperti Allah, secara pribadi. Hanya manusia satu-satunya makhluk yang berpribadi, seperti Allah juga mempunyai Pribadi. Maka pribadi kita harus belajar dari Pribadi Allah yang turun ke dalam dunia menjadi contoh dan teladan hidup seseorang. Sebagai pembentukan unit yang lebih dari satu pribadi, maka unit yang paling dasar disebut unit keluarga melalui pernikahan yang sah. Ini menjadi unit pembentukan masyarakat yang paling dasar. Sebagai unit yang sedemikian, kita sebagai keluarga harus belajar bagaimana “Keluarga Allah”, yaitu Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus bersatu dan berkasih-kasihan satu dengan yang lain. Istilah “Keluarga Allah” ini jangan disalah-tafsirkan dengan menganggap bahwa “Keluarga Allah” tepat sama seperti bentuk keluarga manusia yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Jangan dianggap bahwa terdapat kualitas yang sama juga dalam relasi antara Pribadi Allah dengan relasi antar-pribadi anggota keluarga manusia.

Tanpa kembali kepada Allah, tidak mungkin ada pribadi yang beres, keluarga yang beres, pengertian masyarakat, pembentukan organisasi, dan sebagainya yang beres, karena Tuhan adalah Sumber dari segala sesuatu. Di dalam kehendak Allah yang kekal, Dia mau membentuk keluarga, di mana kemunitas yang kecil ini merefleksikan dan menjadi wakil dari komunitas yang ada di dalam Pribadi Allah Tritunggal itu sendiri, sehingga keluarga mencerminkan bagaimana kita harus berkasih-kasihan sebagaimana Allah berkasih-kasihan antara Pribadi yang satu dan yang lain. Di dalam Allah Tritunggal kita melihat contoh dan teladan bagaimana berkomunitas, berkomunikasi, dan saling memperhatikan satu dengan yang lain. Di situlah kita baru melihat rahasia kebahagiaan di dalam mendirikan keluarga.

Dalam rencana kekal-Nya, Allah menjadikan manusia di dalam peta dan teladan-Nya, sehingga bisa menjadi seperti Dia, dan boleh meneladani Dia. Berdasarkan rencana kekal Allah, manusia, pria dan wanita, diciptakan menurut peta dan teladan Dia. Tidak ada agama, kebudayaan, dan sistem pemikiran atau filsafat manusia yang bisa melebihi keagungan yang sudah ditentukan oleh Allah bagi kedudukan manusia.

2.  Allah Menjadi Tujuan Keluarga

Identitas manusia ditetapkan sedemikian tinggi, anggun, terhormat, dan mulia, karena manusia diciptakan mirip Allah. Bukankah hal yang paling penting bagi manusia adalah dapat hidup lebih tinggi, lebih maju, dan maju terus; apakah sasaran terakhir kita? What is the final goal of your struggle, of our improvement? Agama-agama dan pikiran manusia tidak memberikan jawaban, tetapi wahyu Allah, Kitab Suci sendiri, memberikan jawaban yang terakhir, dan memberikan titik yang paling final dan paling komplit, yaitu kembali menjadi seperti Allah. Di sini kita melihat bahwa Allah bukan saja menjadi titik awal, tetapi juga menjadi titik akhir perjuangan kita, sehingga seluruh proses jalan kita bukan berjalan di dalam kesesatan, kesimpang-siuran, tetapi ada Tuhan Allah yang menjadi “titik final” kita, tujuan terakhir dari perjuangan kita dan perubahan yang kita alami, yaitu menjadi seperti Dia.

3.  Allah Menjadi Dasar Kesetaraan Pria-Wanita

Kita melihat pria dan wanita sebagai dua pribadi yang setara. Bukan hanya tujuan yang tertinggi, atau penjelasan identitas manusia yang paling terhormat, tetapi kesetaraan antara pria sebagai manusia dan wanita sebagai manusia, sudah ditunjukkan oleh Kitab Suci sejak halaman pertama. Manusia, pria dan wanita, diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Jadi, bukan hanya pria yang seperti Allah, tetapi wanita pun diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Di sini sekali lagi kita melihat tidak ada agama, kebudayaan, filsafat, dan pikiran manusia yang melampaui Alkitab dalam memberikan kedudukan tertinggi bagi wanita.

Sampai sekarang, di dalam begitu banyak negara, masyarakat, dan wadah kebudayaan, kita tetap bisa melihat tidak adanya tempat yang sedemikian terhormat, seperti yang dinyatakan oleh Alkitab, untuk kaum wanita. Kaum wanita sering dijadikan mesin untuk melahirkan anak dan mesin bekerja. Di Papua, hanya dengan beberapa ekor babi bisa mengganti seorang wanita. Dan kepala suku bisa memiliki sampai 150 istri, karena semakin banyak istri, semakin banyak tenaga kerja, sehingga semakin banyak tanah yang bisa digarap, dan semakin banyak penghasilan. Mereka memperbudak wanita dan menghina kedudukan wanita.

Di dunia Barat, Stoisisme merupakan filsafat yang pertama mengajarkan bahwa pria dan wanita setara. Sebenarnya kebudayaan Romawi dan Yunani kuno sudah menjalankannya dalam hidup sehari-hari. Tetapi beribu-ribu tahun sebelumnya, dalam halaman pertama Kitab Suci, Allah sudah menegaskan bahwa Dia menciptakan manusia menurut peta dan teladan-Nya, baik pria maupun wanita. Oleh karena itu, pria harus menghormati wanita, dan wanita harus menghormati pria. Kita harus mempunyai prinsip ini sebelum kita membentuk keluarga, atau jika kita sudah berkeluarga, marilah kita mengoreksi kehidupan kita lagi melalui terang firmanTuhan, sehingga tidak ada manipulasi dan penghambaan satu dengan yang lain.

4.  Allah Menjadi Pola Ordo Pria-Wanita

Sekalipun pria dan wanita setara, tidak berarti kedua-duanya menjadi kepala. Kepala keluarga tetap satu. Untuk hal ini kita harus kembali meneladani Tuhan Allah. Allah Bapa mengirim Allah Anak ke dalam dunia, dan Allah Bapa beserta Allah Anak mengutus Allah Roh Kudus ke dalam gereja-Nya. Di sini Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus, setara di dalam kemuliaan, kekuasaan, kekekalan, dan unsur asasi-Nya. Tetapi dalam hal ordo adalah berbeda. Allah Bapa mengutus Allah Anak, tidak pernah sebaliknya. Setara dalam kedudukan, berbeda dalam ordo, keduanya haruslah dimengerti oleh orang Kristen.

Keluarga Kristen berbeda dengan keluarga non-Kristen. Di dalam keluarga non-Kristen, ketika orang merebut persamaan hak pria dan wanita, kebanyakan timbul kekacauan yang tidak bisa dikendalikan. Pada waktu timbulnya gerakan Women’s Liberation Right (Gerakan Kebebasan Wanita), di mana kekuasaan wanita diperjuangkan, akhirnya menjadi sedemikian radikal, tidak kembali ke Alkitab dan timbul ekses-ekses yang luar biasa gawatnya, sehingga timbullah keluarga-keluarga yang berantakan, homoseksualitas, dan lain-lain. Terjadinya perebutan kekuasaan secara radikal selalu dilakukan oleh wanita-wanita yang tidak mau tunduk kepada suaminya dan selalu dipimpin oleh wanita yang mengenal kesetaraan, tetapi tidak mengenal ordo yang berbeda.

Karena mereka tidak mau kembali kepada Alkitab, sekalipun mereka mau menyama-ratakan pria dan wanita, mereka menggawatkan, merusakkan, mengacaukan, dan mengacaukan sistem keluarga. Itu bukan cara Kristen! Orang Kristen harus mempunyai pendirian. Harus punya prinsip-prinsip sendiri karena kita diberi Firman Allah yang lebih tinggi daripada sistem pikiran dan filsafat apa pun.

Di sini kita kembali lagi kepada ordo yang berbeda. Alkitab mengatakan “pria adalah kepala wanita”. Namun bukan berarti pria boleh sembarangan mempermainkan wanita. Itu akan dijelaskan lebih lanjut pada bab lain. Pria dan wanita sebagai peta dan teladan Allah mempunyai kesamaan identitas sebagai pelaksana kehendak Allah di dunia. Tetapi di sini, untuk membentuk keluarga, tetap ada ordo, siapa yang harus menjadi kepala keluarga. Dan Allah menetapkan pria sebagai kepala keluarga.

SUMBER :
Nama buku : Keluarga Bahagia
Sub Judul : Prakata – Bab I : Prinsip Keluarga Kristen
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2014
Halaman : 1 – 15