Menjadi narasumber dalam acara sosialisasi perpajakan di Kampus Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon (21 April 2016)Menjelang akhir periode II Amnesti Pajak yang berakhir tanggal 31 Desember 2016, masih saja banyak Wajib Pajak mempertanyakan patokan nilai wajar atas harta tambahan yang diungkapkan sebagai dasar penghitungan uang tebusan. Dan faktanya tidak sedikit yang ragu dengan informasi yang diperoleh bahwa nilai wajar atas harta tambahan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada Wajib Pajak. Keraguan tersebut terlebih karena di dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) terdapat kalimat harga perolehan atas harta tambahan yang kurang diungkapkan.

Maka dengan dasar tersebut penulis yang sudah beberapa kali menjadi narasumber terkait Amnesti Pajak mencoba menginformasikan kembali tentang nilai wajar atas harta tambahan serta konsekuensi dari nilai wajar apabila nilai wajar tersebut rendah. Kiranya memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca setia nusahati, selamat menikmati.

Pengertian Nilai Wajar Dalam Amnesti Pajak

Pertama kali disebutkan dalam Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak yang berbunyi demikian “ Nilai harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir (Tahun 2015) ditentukan dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai nominal untuk harta berupa kas atau nilai wajar untuk harta selain kas pada akhir tahun pajak terakhir (misal : 31 Desember 2016 apabila menggunakan tahun pajak atau  jika tahun buku yang berakhir bulan Juli 2016).

Sementara dalam penjelasannya disebutkan bahwa dasar penentuan nilai harta tambahan pada akhir tahun buku yang diungkapkan dalam Surat Pernyatan. Yang dimaksud dengan nilai wajar adalah nilai yang menggambarkan kondisi dan keadaan dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan penilaian Wajib Pajak.

Pengertian dan kepastian Nilai Wajar ditegaskan kembali dalam BAB III Pasal 4 ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-11/PJ/2016 yang menyatakan “Nilai wajar yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pernyataan Harta tidak dilakukan pengujian atau koreksi oleh Direktur Jenderal Pajak.”

Berdasarkan hal tersebut di atas, sangat jelas bahwa Nilai Wajar atas harta tambahan yang akan diungkap sepenuhnya berdasarkan penilaian Wajib Pajak. Sehingga Nilai Wajar dalam Undang Undang Pengampunan Pajak ini merupakan suatu anugerah tersendiri.

Contoh Nilai Wajar :

Sdr. Ichwan mengungkapkan harta tambahan berupa 1 Unit rumah yang diberikan orang tua pada tahun 1987 yang tidak pernah dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan), jika dijual sekarang ini harta tersebut seharga Rp. 1,4 Miliar. Sdr. Ichwan menilai rumah tersebut dengan nilai wajar sebesar Rp. 200 juta rupiah. Maka nilai Rp. 200 juta tersebut dikalikan persentase tarif yang sudah ditentukan sebagai dasar uang tebusan. Direktorat Jenderal Pajak tidak berhak menilai kembali Nilai Wajar yang sudah ditentukan oleh Sdr. Ichwan.

Pengaruh Nilai Wajar Bagi Perpajakan

Karena penentuan Nilai Wajar atas Harta Tambahan diserahkan kepada Wajib Pajak, maka Wajib Pajak perlu mempertimbangkan konsekuensi atas penentuan Nilai Wajar tersebut bukan hanya saat melakukan pembayaran uang tebusan namun saat apabila harta tambahan tersebut nantinya akan dijual.

Seperti kita ketahui dalam penjelasan UU PPh Pasal 4 ayat (1) bahwa yang menjadi Objek Pajak Penghasilan adalah termasuk keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta. Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan.

Data Harta Wajib Wajib Pajak

Memperhatikan penentuan Nilai Wajar yang diserahkan kepada Wajib Pajak dalam amnesti pajak memperjelas bahwa yang menjadi motivasinya adalah keberadaan dan kepastian objek harta yang sebenarnya. Sehingga kedepan nanti Direktorat Jenderal Pajak akan semakin mudah mengawasi harta tersebut apabila dijual atau dialihkan karena ada potensi objek pajak disana.

Baru-baru ini ada seorang alumni peserta Brevet Perpajakan bertanya, bahwa atas harta yang sudah disampaikan dalam SPT Tahunan tahun-tahun sebelumnya dipertanyakan oleh Petugas Pajak karena nilainya dianggap Tidak Wajar sehingga disarankan untuk mengikuti Amnesti Pajak. Karena yang selama ini ditekankan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah harta tambahan adalah jenis harta yang baru (bukan nilai harta yang berbeda) pertanyaan ini menjadi sangat menarik.

Namun, walaupun Wajib Pajak bisa saja mengikuti Amnesti Pajak sesuai dengan permintaan petugas pajak dengan cara mengungkapkan harta tambahan berupa uang tunai (bersumber dari selisih nilai harta yang sebenarnya dengan yang dilaporkan), ini memberi pesan bahwa Wajib Pajak bisa saja salah dalam melakukan kewajiban penyampaian SPT Tahunan sehingga diharapkan mengikuti program Amnesti Pajak jika tidak ingin bermasalah dalam hal perpajakan setidaknya untuk tahun 2015 dan sebelumnya.

Kesimpulan

Yang menjadi jaminan bagi Wajib Pajak yang telah melunasi uang tebusan adalah bahwa Nilai Wajar atas harta tambahan yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan tidak diperkenankan dinilai kembali oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Karena sepenuhnya berapa nilai wajar atas harta tambahan  diserahkan kepada Wajib Pajak, maka beberapa teori nilai wajar yang berikan oleh petugas pajak adalah suatu bentuk pilihan, nilai wajar tersebut bisa saja berupa:

  1. Nilai wajar berdasarkan pengertian Standar Akuntansi Keuangan;
  2. Nilai wajar berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
  3. Nilai Wajar berdasarkan Akte Jual Beli (AJB) ataupun PPJB
  4. Nilai Wajar berdasarkan Kantor Jasa Penilai Publik
  5. Dan lain-lain

Opini Amnesti Pajak Lainnya :