Bab 1 :
MANUSIA DAN HATI NURANI (2)
“Roh Manusia adalah pelita Tuhan, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya.” (Amsal 20:27)

II. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK TERTINGGI

Kini kita masuk ke dalam butir yang penting, yang ingin dibicarakan di sini, yaitu hati nurani. Ketika Tuhan menciptakan manusia, Ia membubuhkan sesuatu yang lebih dari semua binatang. Secara ruang, mungkin manusia lebih kecil dibandingkan dengan binatang-binatang yang besar. Tetapi kita dapat berpikir secara vertikal, yaitu dapat berpikir tentang Allah. Manusia memiliki relasi vertikal yang tidak dapat dipersamakan dengan binatang. Binatang hanya hidup mengandalkan dunia jasmaniah, dunia bawah saja. Manusia tidak demikian. Manusia dapat menengadah, dapat memuji, berharap, bersyukur, dan beriman kepada Tuhan. Semua ini merupakan aspek rasio. Sifat hukum yang didasarkan pada kemungkinan bahwa kita mirip dengan Allah.

Jadi, binatang mirip manusia di dalam hubungan sifat materi dan sifat alamiahnya. Manusia mirip Allah di dalam sifat rohani dan relasi spiritualnya. Di sini binatang mirip manusia, misalnya jika ada obat yang baru, dicoba dulu pada binatang. Ini memang dimungkinkan. Tetapi celakanya, orang-orang biologi bukan cuma melihat miripnya, tetapi kemudian menganggap ada relasi sumbernya. Maka mereka mulai memikirkan teori evolusi. Karena mirip, mereka menganggap binatang sebagai kakek atau nenek moyang mereka. Bukan saja demikian, ada yang kemudian melihat bahwa mereka bukan hanya mirip, tetapi dianggap sebagai dewa mereka. Di sini kita melihat bagaimana kita melihat nilai hidup kita, eksistensi kita dan memperbandingkannya dengan semua makhluk hidup atau binatang lainnya. Pikiran ini sangat mempengaruhi kebudayaan dan kebangsaan, filsafat, kedokteran, mentalitas, dan cara hidup kita di dunia ini.

Ada agama yang membuat binatang justru menjadi ilah mereka. Ketika Yehovah di seru-seru dan Musa sebagai hamba-Nya tidak turun-turun dari gunung, maka orang Israel mulai mau mencari Allah yang lain. Allah Yehovah itu tidak mereka lihat, dan sekarang Musa dipanggil ke atas gunung, lalu hilang juga. Maka kemudian mereka membuat ilah yang dapat dipegang terus dan mereka turut menanam saham di dalamnya. Maka mereka membuat suatu lembu dari emas. Menurut pikiran mereka, jikalau sudah mendapatkan lembu emas, inilah ilah yang dapat mereka lihat. Maka mereka mulai menyembah lembu itu. Bukankah ini gila? Bukankah manusia dapat berbuat kesalahan yang begitu besar? Manusia menghadap kepada binatang lalu menyembah binatang itu bagaikan berhadapan dengan Allah. Di lain pihak, ada manusia yang merusak dan menganiaya binatang sewenang-wenang, inipun tidak boleh dilakukan manusia. Allah memang menciptakan binatang untuk manusia. Kita boleh memakannya, tetapi kita tidak berhak mnenyiksa binatang, itu tidak benar. Manusia mempersamakan binatang dengan manusia, juga tidak benar. Memperdewakan binatang juga tidak benar.

Maka kita perlu mengerti perbedaan manusia dengan binatang. Perbedaan ini harus dapat dimengerti melalui teologi. Setelah kita mengerti dan menemukan sesungguhnya pengertian ini, barulah kita merngerti bagaimana seharusnya kita menguasai binatang, memperlakukan diri lebih dari binatang, dan pada akhirnya bersembah sujud kepada Tuhan. Alkitab mengajarkan diperbolehkannya mempergunakan binatang sebagai korban untuk dipersembahkan kepada Allah.

Ketika Oknum Allah yang Kedua berinkarnasi ke dalam dunia, Ia memisalkan diri sebagai Domba untuk menggantikan binatang-binatang lainnya yang sebenarnya tidak mungkin mampu untuk membereskan dosa manusia.

III. PERBEDAAN HAKIKI MANUSIA DAN BINATANG

a). Konsep Barat : Rasio

2300 tahun yang lalu, orang Barat mulai memikirkan batasan, faktor pembeda dan perbedaan kualitatif antara manusia dengan berbagai binatang. Di antara mereka, seorang yang bernama Aristoteles, menemukan bahwa manusia dan binatang sangat berbeda, karena manusia mempunyai daya pikir yang tidak mungkin terdapat pada binatang. Maka perbedaan binatang dan manuysia adalah rasio. Karena manusia memiliki rasio, maka manusia dapat berspekulasi, dapat berimajinasi, dapat melakukan deduksi atau induksi, dapat berhitung secara matematik, dapat memiliki kemampuan prediksi, silogisme dan berlogika untuk menemukan dalil-dalil dan prinsip-prinsip.

Oleh karena itu, jika kita menemukan buku-buku filsafat Barat kuno, judulnya tidak lepas dari dua tema besar, yaitu Prinsip (On Principles of) dan Alam (On Nature). Mereka tidak mau dipuaskan oleh hal-hal fenomena atau gejala-gejala saja, tetapi merekja berusaha untuk mengetahui sifat esensi dasar atau prinsipnya. Maka esensi dasar ini akhirnya dipersamakan dengan alam (nature). Dari penelitian alam, mereka akhirnya melihat sesuatu yang terus-menerus tidak berubah, sehingga pada akhirnya mereka mengatakan bahwa hal itu “memang demikian”. Dan pengertian ”memenag demikian” itu dipersamakan dengan hal yang alamiah. Ini yang disebut sebagai esensi dasar. Hal-hal ini tidak dapat diubah lagi. Apa yang menyebabkan singa itu sebagai singa atau manusia itu sebagai manusia. Dan hal ini tidak mungkin dapat diubah, karena ditanam langsung oleh Tuhan sebagai Pencipta sehingga kita dicipta memang demikian. Menurut Aristoteles, sifat pembeda ini bagi manusia adalah rasio. Manusia adalah makhluk rasional.

Seorang pujangga Cina yang karena bertentangan dengan rezim komunis, lari ke Amerika Serikat. Ia memiliki pikiran yang tajam sekali. Ketika mengikuti Institut Reformed di Washington DC yang saya dirikan, ia mengajukan pertanyaan yang sulit: “Menurut evolusi, monyet yang paling pandai dengan manusia yang paling bodoh bedanya sedikit sekali, mungkin lebih pandai monyet. Mungkinkah dalam hal ini kita masih memegang teori kreasi dan menolak teori evolusi?” Semua orang terkejut dan semua mata mengarah ke saya. Saya tenang-tenang saja. Saya menjawab: “Pertanyaan tersebut sangat baik. Memang benar, antara manusia yang bodoh, idiot dengan manusia yang sangat pandai berbeda sangat jauh. Monyet yang pandai kelihatan seperti IQ-nya lebih tinggi dari manusia yang idiot. Tetapi jangan lupa, orang yang paling bodoh, kalau melahirkan anak, munghkin anaknya pandai, tetapi monyet yang bagaimana pun pandai kalau melahirkan anak, anak-cucunya tidak akan pernah lulus SD.” Dia tertawa besar dan dia bertanya mengapa saya dapat menjawab demikian cepat. Saya katakan bahwa di dalam Alkitab terdapat banyak jawaban prinsip-prinmsip yang tidak dapat tergoncangkan. Ia sangat menyetujuinya.

Bagaimana pun manusia tetap adalah manusia, Mungkin ia mengalami kerusakan atau cacat, tetapi anak-anaknya tetap adalah anak manusia, yang memiliki sifat dasar manusia. Prinsip manusia sebagai makhluk rasional ini sangat mempengaruhi kebudayaan Barat, sehingga sampai saat ini filsafat Barat sangat memperkembangkan pikiran yang mengutamakan rasio. Semua “logi-logi” menjadi hal yang penting setelah zaman Aristoteles. Pengembangan biologi, fisiologi, psikologi, dan logi-logi lainnya yang paling pesat terjadi di Barat.

Di Timur, logi-logi ini tidak terlalu diperkembangkan. Maka, kalau marah jangan dilawan, karena ia akan mengatakan, “Pokoknya…” Orang Timur makin tua makin “pokoknya”. Ini merupakan otoritarianisme. Tidak ada dan tidak perlu logika-logikaan. Maka tidak heran, hal ini terus-menerus menurun. Kalau obat-obatan Barat hasil penelitian, maka obat-obatan Timur hasil tradisi keturunan. “Pokoknya, kalau tidak pakai obat ini, kakekmu sudah mati lebih cepat. Sekarang engkau tinggal pakai, tidak perlu diselidiki lagi.” Maka akhirnya kita merasa di Timur ada kekurangan sesuatu. Itu alasan, mengapa orang yang ingin belajar tidak dikirim ke Nepal, tetapi dikirim ke Perancis, Jerman, Amerika Serikat. Hal ini karena negara-negara Barat mengembangkan rasio, sehingga logika dan perkembangan logi-logi menjadi titik pusat dari seluruh kegiatan kebudayaan mereka.

b). Konsep Timur : Hati Nurani

Tetapi heran sekali, pada saat yang kira-kira bersamaan, di Timur ada seorang Cina kuno yang bernama Mencius. Mencius hidup dua generasi di bawah Konfusius. Cucu Konfusius pernah menjadi guru dari Mencius, Ia bukan menemukan rasio, tetapi hati nurani (conscience). Menurut Mencius, yang membedakan manusia dengan binatang adalah hati nurani. Maka di dalam bukunya, Mencius menekankan kata “ren” yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau Indonesia. Kata ini kalau mau dipaksakan, diartikan sebagai “manusia”, tetapi manusia dengan sifat kemanusiaan yang memiliki kelemah-lembutan, cinta kasih, pengertian, memiliki sifat simpati kepada orang lain dan perlakuan yang sopan. Gabungan semua pengertian inilah yang dimaksud dengan kata “ren”. Jadi, kalau mau menjadi manusia, seseorang harus bersifat demikian. Kalau tidak mencapai sifat demikian, ia belum menjadi manusia. Maka Mencius menekankan bahwa empat perasaan, yaitu: dapat merasa terharu dan berbelas kasihan, malu ketika berbuat salah, membedakan yang baik dan jahat, dan merasa tertarik pada hal-hal yang sangat indah, hanya dimiliki oleh manusia, yang membedakannya dari semua binatang.

Seseorang baru dianggap manusia jika ia memenuhi satu standar, yang menentukan bagaimana manusia seharusnya. Standar itu bagaikan kunci pas, sehingga sopan-santun, kelemah-lembutan, cinta kasih, pengertian saling menghormati dll, semua harus berada di situ. Hal ini terus-menerus dibicarakan di dalam filsafat Tiongkok, tetapi tidak pernah mendapatkan jawaban yang tuntas, kecuali kembali kepada Alkitab.

Menurut Mencius, hati nurani memiliki beberapa perasaan dan fungsi yang unik, antara lain: dapat terharu, dapat membedakan baik dan jahat, dapat menyesal, dapat membedakan benar dan salah, malu karena salah. Semua sifat ini tidak ada pada binatang. Tetapi perasaan apakah ini? Ini adalah perasaaan dari hati yang sedalam-dalamnya.

Terkadang seseorang membaca buku, lalu menangis karena terharu, padahal cerita yang ditulis di buku itu tidak pernah ada, hanya merupakan imajinasai pengarang saja. Tetapi ketika membaca, hati kita tersentuh, lalu timbul perasaan simpati, merasa kasihan dan ikut menangis. Perasaan-perasaan itu secara keseluruhan merupakan perasaan hati nurani. Dari sini kita melihat bahwa sama seperti seluruh kebudayaan Barat dipengaruhi oleh penemuan rasio oleh Aristoteles, maka kebudayaan di Timur dipengaruhi oleh penemuan hati nurani oleh Mencius. Hal ini merupakan perbedaan besar antara Timur dan Barat.

Tetapi Barat hanya menemukan sesuatu yang ada pada manusia dan Timur juga hanya menemukan sesuatu yang ada pada manusia. Bukan Aristoteles yang membuat rasio, atau Mencious yang mebuat hati nurani. Semua itu sudah ada di dalam diri manusia. Mereka hanya menemukan saja. Bahkan bukan hanya dua itu saja. Masih ada banyak sifat lain yang belum mereka temukan, seperti sifat kekekalan, sifat kesadaran perasaan tanggung jawab kepada Allah dan harus beriman. Hal-hal seperti ini belum ditemukan baik oleh Aristoteles maupun Mencius. Maka dibandingkan dengan Alkitab, pikiran Aristoteles maupun Mencius masih terlalu dangkal. Yang betul-betul lengkap dan sempurna adalah Kitab Suci, wahyu Allah di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Maka perasaan malu kalau berbuat jahat, merasa perlu untuk berbuat baik dan menjauhi yang salah, merasa terharu dan dapat menolong orang lain, merasa perlu untuk menolong kalau ada orang dalam kebutuhan atau kesusahan, memperbaharui seluruh kebudayaan Timur.

Orang di Timur selalu merasa sungkan atau segan. Sungkan karena sekampung, sungkan karena masih famili jauh. Perasaan ini dari mana? Orang Barat tidak terlalu banyak sungkan dengan orang lain. Yang dipentingkan adalah rasio dan pemikiran, tidak terlalu peduli yang lain. Orang Timur lebih banyak terkait dengan perasaan hati.

Kadang-kadang suara hati nurani sangat mempengaruhi tindakan kita di kemudian hari. Kalau hati kita bicara sesuatu, hal itu dapat mempengaruhi cara hidup di waktu-waktu berikutnya. Terkadang, hati kita mengatakan, “Jangan berbuat begitu, di seluruh keluargamu tidak ada yang berbuat seperti itu; engkau kan orang Kristen, tidak boleh berbuat begitu.” Lalu kita jawab, “Ya sudah, saya tidak melakukannya.” Pernahkah Saudara berbicara pada diri Saudara sendiri, seperti di atas? Hal ini seringkali kita alami, karena di dalam diri manusia ada satu perasaan self-existensial-relativity (relativitas eksistensi diri), yang belum pernah diketahui oleh Aristoteles maupun Mencius.

Ketika kita sedang berdialog dengan diri kita, tiba-tiba kita merasakan ada suara lain yang memperkuat salah satu argumentasi dialog tersebut. Suara ini dapat berasal dari Roh yang baik, atau roh yang jahat. Maka orang Kristen perlu mampu membedakan, mana suara yang netral, maka suara yang dibantu oleh Roh Kudus, dan yang mana suara dari Setan.

IV. MENGENALI HATI NURANI

Dari hal ini, terlihat betapa penting dan seriusnya hati nurani. Itu sebabnya pribadi manusia memiliki perasaan tanggung jawab yang sangat berat. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari teguran hati nurani, yang terkadang tidak dapat dipadamkan oleh kebiasaan kita berbuat dosa.

Namun, sebagaimana pentingnya hati nurani tetap tidak pernah mutlak, karena ia tetap sebuah ciptaan. Hati nurani bukan pribadi. Bukan berarti saya adalah satu pribadi dan hati nurani saya adalah pribadi yang lain. Tetapi ini merupakan dua aspek dari satu eksistensi yang bersifat relatif di dalam satu pribadi. Maka di sini terdapat satu pribadi dengan dua fungsi.

Ketika seseorang atau satu makhluk diberi kebebasan, maka ada wakil suara Tuhan yang menjadi co-knower (yang bersama-sama mengetahui) dengan pelaku dosa di dalam kebebasan tersebut. Hati nurani merupakan wakil suara Tuhan yang menyelidiki, bersaksi dan berbicara, memberi perintah dan peringatan serta menghakimi orang yang berbuat dosa.

Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa kita akan berdiri di hadapan Tuhan. Dan Tuhan akan menghakimi kita atas semua perbuatan yang telah kita lakukan (band. 2 Korintus 5:10). Dan perbuatan itu dinilai berdasarkan satu fungsi, yang mirip seperti fungsi Taurat, memberitahu hal yang baik dan jahat, yaitu hati nurani.

V. KETIDAK-NETRALAN HATI NURANI

Dalam hal seperti ini, jangan beranggapan bahwa hati nurani kita berada di posisi netral. Tidak! Kira-kira 1500 tahun yang lalu, ada seorang teolog Kristen yang bernama Agustinus, yang menemukan bahwa suara hati nurani manusia sudah tidak mungkin bersifat netral lagi. Kebebasan dan fungsi hati nurani pada saat pertama dicipta oleh Tuhan masih memiliki sifat netralnya. Sebenarnya di dalam pemberian kebebasan dan fungsi ini, Tuhan menetapkan suatu waktu yang nantinya akan memantapkan dan menyempurnakan fungsinya. Selama waktu itu, Tuhan mengatakan : “Jangan makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat itu, (karena waktunya belum tiba) dan pada hari engkau memakannya engkau akan mati.” Berarti fungsi hati nurani yang diciptakan dan fungsi rohani orang itu menjadi rusak dan tidak berfungsi lagi.

Ada orang yang beranggapan bahwa Tuhan tidak mau manusia mengetahui baik dan jahat, melarang manusia memakan buah yang membedakan baik dan jahat. Bagi saya, bukan Alah tidak mau manusia mengetahui baik dan jahat, karena jika demikian tidak mungkin di dalam seluruh Kitab Suci Allah memberitahukan apa itu baik dan apa itu jahat. Tafsiran bahwa Allah tidak mau kita mengetahui seperti yang Allah ketahui, sehingga Allah tidak memperbolehkan manusia mengetahui baik dan jahat, merupakan interpretasi terhadap motivasi Allah yang sudah dipengaruhi oleh suara Setan. Mengapa demikian? Karena setan berkata kepada Hawa untuk memetik dan memakan buah yang kelihatan begitu indah dan kalau Hawa makan, matanya akan menjadi celik. Hawa menjawab bahwa ia tidak boleh makan. Suara hati nurani yang dipengharuhi oleh suara Roh Kudus itu dibelokkan oleh suara Setan. Setan mengatakan, mungkin salah dengar. Setan senantiasa berusaha untuk membelokkan hati nurani yang sedang dipengaruhi oleh suara Roh Kudus. Ia selalu meragukan dan berusaha menyelewengkan hati nurani yang dipengaruhi oleh Roh Kudus.

Penafsiran Alkitab sangat penting, karena sejak hari pertama kegagalan manusia disebabkan karena penafsiran yang bengkok. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa jika seseorang berdoa harus bergemetar baru dipenuhi Roh Kudus, tetapi sekarang ada ajaran-ajaran yang mengatakan bahwa kalau seseorang berdoa tidak gemetar, tidak memiliki Roh Kudus. Alkitab tidak mengajarkan bahwa orang yang dipenuhi Roh Kudus akan jatuh terlentang, tetapi sekarang kalau orang tidak jatuh katanya tidak memiliki Roh Kudus. Alkitab tidak mengajarkan bahwa kita harus penuh dengan cinta kasih sehingga dosa dapat dikompromikan, tetapi sekarang kalau kita berani marah kepada orang berdosa dianggap tidak memiliki Roh Kudus. Semua ini merupakan penafsiran Alkitab yang semaunya sendiri.

Pada saat seperti itu Setan berkata kepada Hawa, “Mungkin Allah salah berbicara, sehingga engkau tidak boleh makan buah itu. Mungkin engkau kurang jelas mendengarnya. Allah pasti tidak begitu jahat, dan pasti Ia memperbolehkan engkau makan. Mana mungkin Allah tahu baik dan jahat, lalu engkau tidak boleh tahu? Mungkin kalau engkau tahu seperti Ia tahu, engkau nanti sama hebatnya seperti Dia, jadi Ia iri hati.” Sekarang tafsiran kebenaran itu dibengkokkan sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya Hawa berpikir, ”Allah itu jahat. Ia sendiri tahu baik dan jahat, tetapi saya tidak boleh tahu. Kalau begitu, Dia iri kepada saya. Maka saya justru harus memakan buah itu.” Setelah salah interpretasi, menjadikan orang mulai tidak taat kepada firman.

Sekarang ini juga terdapat dua macam gereja. Ada gereja yang berusaha untuk memberikan interpretasi Alkitab yang secocok mungkin agar iman jemaat dijaga sebaik mungkin. Tetapi ada gereja lain yang demi ingin memperkembangkan keuntungan diri sendiri menggunakan tafsiran yang semau sendiri, tetapi kita tidak mengetahuinya, karena kita sendiri jarang mempelajari Alkitab secara teliti. Akibatnya, waktu ditipu kita tidak menyadarinya,. Mungkin Saudara heran dan bertanya, “Apakah betul pendeta saya menipu saya?” Saya katakan, mungkin pendeta Saudara tidak sengaja menipu Saudara, tetapi ia sudah tertipu oleh pendeta lain. Mengapa demikian? Karena ia belajar di dalam arus tertentu yang sejak awalnya tidak mempelajari Alkitab baik-baik.

Akibatnya, orang beranggapan kalau dapat membuat orang jatuh itu barulah saya memiliki kuasa Roh Kudus, kalau tidak demikian, saya tidak memiliki kuasa Roh Kudus. Mereka begitu yakin kepada prinsip yang salah, sehingga sekalipun salah mereka terus menjalankan prinsip tersebut. Lalu Saudara ikut terpengaruh oleh pikiran seperti itu. Saya minta Saudara kembali kepada Alkitab.

Tuhan berkata: “Janganlah makan, ketika engkau makan, engkau mati.” Penafsiran yang salah mengatakan: “Ah, tidak mati, ketika engkau makan, engkau tidak mati, tetapi matamu akan celik, menjadi besar.” Ketika Hawa sudah mendengar teori-teori yang terdengar sedap di telinga, ia tidak lagi menguji apakah itu sesuai dengan firman Tuhan atau tidak. Maka ia mulai mengikuti apa yang dikatakan Setan.

Ada seorang anak yang berusia 15 tahun yang merasa iri karena ayah ibunya sudah boleh mengetahui hubungan seks, tetapi ia belum boleh. Maka seorang temannya mulai membujuk dia. Temannya mengatakan kepadanya untuk tidak menunggu, sekarang juga boleh, lalu ia mengajaknya menonton blue-film (film porno). Tetapi anak itu menjawab, bahwa ia tidak diperbolehkan oleh ibunya untuk melihat film seperti itu. Lalu temannya mengatakan, ”Bukankah ibumu sendiri melakukan hal seperti itu, ia cuma tidak mau kamu seperti dia, mengetahui hal yang nikmat.” Maka anak ini mulai merasa dipermainkan oleh ibunya, dan menyetujui apa yang temannya katakan. Di sinilah kejatuhan seseorang, yaitu tidak mengetahui dua hal: (1) standar Allah, dan (2) waktu Allah. Bukan berarti Hawa tidak boleh mengetahui hal baik dan jahat, tetapi ada waktunya dan ada standarnya.

Demikian juga ayah dan ibu bukannya tidak mau anaknya mengenal seks, tetapi harus menunggu supaya betul-betul dewasa tubuh dan jiwanya, lalu masuk ke dalam pengertian yang sejati tentang seks. Maka setelah menikah hal itu dapat dinikmati dengan baik. Anak itu mengomel dan mengatakan, “Mengapa ibu melarang saya untuk pacaran?” Ibunya bertanya, “Usiamu baru berapa?” Ia menjawab, ”Sudah 15 tahun.” Waktunya belum tiba, standarnya juga belum beres, maka tidak boleh mengetahui dulu.

Demikian pula dengan Adam ketika mendengar suara Setan, hati nurani yang netral diusahakan untuk menjadi tidak netral. Allah ingin agar di dalam kenetralan, hati nurani tetap memiliki kepercayaan kepada Allah dan perlu Roh Kudus. Tetapi Allah tidak mau memaksa, sehingga orang tersebut langsung menjadi orang yang tidak mungkin jatuh lagi. Allah tidak pernah memaksa, Allah memberikan kebebasan kepada Adam (tidak berarti sekarang ini manusia memiliki kebebasan seperti yang dialami oleh Adam sebelum jatuh ke dalam dosa). Adam permulaannya tidak dipaksa. Allah memberikan firman di taman Eden. Setan juga memberikan perkataan yang bengkok di taman Eden. Maka manusia diciptakan di tengah antara suara Allah dan suara Setan. Di sini kedudukan manusia berada di dalam keadaan yang sangat krusial (genting), karena jikalau salah melangkah, manusia itu akan jatuh.

Mengapa majelis berzinah, mengapa pendeta melakukan skandal, mengapa banyak orang yang sudah lama begitu cinta Tuhan, pada akhirnya berantakan tidak keruan? Hal ini disebabkan sampai pada tahap tertentu keadaan krusial ini telah membawanya kepada satu kelonggaran yang tidak mau lagi dicampuri oleh Tuhan. Saya tidak netral seperti yang Allah kehendaki, tetapi saya mau netral seperti yang saya kehendaki. ”Netral seperti yang saya kehendaki” itu berarti sudah tidak netral. Netral seperti yang Tuhan kehendaki, itulah netral yang sejati, karena Dia yang menciptakan kita dan menciptakan sifat netral tersebut.

Setelah seorang dibiaskan oleh suara Setan, maka ia mulai membenci ayah dan ibunya, Allah, perintah, firman, dan merasakan bahwa anjuran teman untuk berdosa lebih nikmat, maka ia menurutinya. Demikian juga Hawa. Ia mulai makan buah itu. Dan setelah makan, ia mulai sadar, matanya menjadi celik, dan sepertinya tidak mati. Bukankah kalau begitu firman itu tidak terlalu benar, terkadang kurang baik? Jadi untuk apa ikut dengan firman atau seminar yang penting? Bukankah mereka yang tidak pernah ikut dengan firman dapat lebih bebas berjudi, bebas bertindak apa saja, tidak ada yang menegur, dapat menjadi lebih cepat kaya? Betapa bodohnya mengikuti firman Tuhan. Maka sekarang suara Setan sudah menang. Yang Tuhan katakan telah engkau lawan.

Tetapi Tuhan memiliki penafsiran yang berbeda, yang dikatakan “hari engkau memakannya, engkau mati” adalah kematian rohani, bukan kematian tubuh, karena manusia dicipta dengan sifat kerohanian. Setan selalu dengan sengaja mengabaikan sifat kerohanian ini, dan hanya mementingkan kepentingan jasmani. Kalau jasmaninya untung besar, rohaninya rugi, tetap dianggap untung. Kalau rohani untung, jasmani rugi, dianggap rugi. Tidak demikian!

Kekayaan orang kaya setelah mati hanya dapat bertahan satu generasi saja, setelah itu tidak ada lagi sisanya. Ada orang yang tidak kaya, tetapi meninggalkan karya yang dapat menjadi berkat beratus generasi. Aesop atau Beethoven adalah orang-orang yang sudah lama meninggal, tetapi karya mereka terus dicetak dan dibaca dan dimainkan orang. Karya-karya Beethoven masih terus dipagelarkan setelah 150 tahun lebih kematiannya. Aesop telah membuat orang selama 2000 tahun terus-menerus memperbanyak karyanya dan membuat masyarakat membacanya. Siapakah yang lebih kaya? Banyak orang berpikiran bahwa kaya itu dihitung dari berapa banyak uangnya di bank. Tidak! Kekayaan adalah sesuatu yang melimpah di dalam hidup kita, sehingga ketika kita meninggal pun kekayaan itu masih terus mengalir menjadi berkat bagi banyak orang. Itulah kaya sejati. Karena manusia tidak memiliki penglihatan yang jauh dan tidak memiliki pemandangan spiritual, maka kita telah ditipu oleh Setan. Kita mati-matian mengejar kekayaan, mati-matian berusaha mau cepat kaya, sampai pada akhirnya ketika jiwa kita terhilang pun kita tidak sadar, moral kita berantakan pun tidak kita sadari, nama kita, reputasi dan kesetiaan kita rusak, juga tidak kita sadari. Hak kita untuk mencari Tuhan telah kita buang habis-habisan. Kita telah menjadi binatang ekonomi. Buas, hanya mau mencari sesuatu untuk diri, tidak peduli bagimana menjadi berkat untuk masyarakat. Celaka luar biasa!

Amin.

 …
SUMBER :
Nama Buku : Roh Kudus, Suara Hati Nurani, dan Setan
Sub Judul : Bab 1 : Manusia dan Hati Nurani (2)
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2011
Halaman : 15 – 30