Pak TongBab 2 :

FUNGSI DAN TUGAS HATI NURANI (1)

Bagi orang suci, semuanya suci, tetapi bagi orang najis dan bagi orang tidak beriman, satu pun tidak ada yang suci, karena baik akal maupun suara hati mereka najis.” (Titus 1:15)

Manusia tidak dicipta sebagai robot, ia juga tidak dicipta seperti binatang yang tidak memiliki kebebasan moral. Oleh karena itu, kebebasan yang diberikan kepada manusia menjadi fondasi yang paling penting untuk mendasari kemungkinan kita bermoralitas. Seluruh tindak-tanduk yang diberikan oleh manusia, dikerjakan berdasarkan pertimbangan yang ada di dalam hatinya, sehingga ketika ia memutuskan untuk melakukannya, ia harus bertanggung jawab di hadapan Tuhan Allah. Disinilah manusia mendapatkan kebahagiaan yang diberikan oleh Tuhan Allah. Tetapi di dalam kebahagiaan ini terkandung kebahayaan. Semua tindak-tanduk yang kita ambil berdasarkan kebebasan yang kita miliki, harus diperhadapkan di hadapan Tuhan untuk diadili pada waktu penghakiman yang terakhir.

Hidup sebagai manusia adalah hidup yang tidak boleh dipermainkan. Hidup sebagai manusia adalah hidup di tengah-tengah Allah dan Setan. Hidup sebagai manusia adalah hidup di tengah-tengah sorga dan neraka. Hidup sebagai manusia adalah hidup di tengah baik dan jahat. Ditengah hidup sedemikian, kita harus mengambil keputusan, di mana setiap keputusan itu akan diperhitungkan oleh Tuhan sebagai suatu tanggung jawab yang tidak dapat kita hindari. Itu alasan, kita hidup sebagai manusia di dalam dunia ini sangat serius.

Masnusia yang dipengaruhi oleh rasionalisme merasa bahwa rasio adalah segala-galanya bagi manusia. Ketika mereka berusaha dengan kekuatan sendiri, akhirnya mereka menghadapi jalan buntu. Mereka baru tahu bahwa rasio bukan jawaban terakhir. Rasio sendiri menemukan kesulitan-kesulitan di dalam menginterpretasi segala fakta alam. Ajaran ini kemudian digugurkan oleh Post-Modernisme.

Pendulum sejarah terus bergerak. Di zaman Post-Modern, manusia tidak lagi percaya rasio sebagai syarat mutlak untuk menemukan kebenaran seperti dulu. Tetapi kemudian mereka bergerak ke arah kecenderungan yang lain, yaitu New Age Movement, yang beranggapan penyelidikan ke dunia rohani sangat penting. Maka manusia sekarang berbeda dari yang dulu. Kalau dulu begitu percaya kepada apa yang yang keluar dari rasio, maka sekarang manusia sama sekali tidak rasional. Tidak heran jika gereja-gereja yang tidak berkhotbah dengan benar dapat menarik berpuluh orang, asal jiwa mereka merasa nikmat. Maka suasana emosionil dan perasaan kenikmatan yang tanpa arah yang jelas kemudian ditutupi dengan nama yang indah, yaitu pekerjaan Roh Kudus. Benarkah demikian?

Amsal 20:27 mengatakan, “Roh manusia adalah pelita Allah untuk menyelidiki seluruh lubuk hati manusia.” Di dalam bagian ini tidak disebutkan istilah hati nurani, karena di dalam bahasa Ibrani, yang dipakai Tuhan untuk menulis Perjanjian Lama, belum pernah muncul satu kalipun istilah hati nurani. Namun demikian, itu tidak berarti tidak ada istilah lain yang menggantikannya atau kata lain yang artinya identik dengan pengertian hati nurani dalam Perjanjian Baru.

Di dalam Perjanjian Lama kita dapat melihat bukti-bukti ini dari sejak Adam jatuh ke dalam dosa. Kita juga melihat Daud memotong punca jubah Saul, dan setelah jauh, Daud memberitahu Saul bahwa kalau mau, ia dapat membunuh dia, maka Saul baru sadar bahwa Daud terlalu baik kepadanya dan dia terlalu jahat kepada Daud. Ia sedih dan merasa berdosa. Inilah fungsi hati nurani. Dengan demikian, terlihat bahwa Perjanjian Lama penuh dengan catatan-catatan tentang fungsi hati nurani, sekalipun istilah tersebut tidak ada di dalam bahasa Ibrani.

Di dalam Perjanjian Lama, istilah tersebut memang tidak ada, tetapi di dalam Perjanjian Baru, yang memakai bahasa Yunani, istilah ini muncul lebih dari dua puluh kali. Di dalam surat Korintus saja, muncul berulang kali. Tuhan memang tidak langsung mengeluarkan istilah ini sejak Perjanjian Lama, karena pewahyuan ini memang bersifat progresif ( berkembang maju dan makin lama makin jelas), sehingga baru menonjol dan menuntut perhatian khusus di Perjanjian Baru.

Konsep pewahyuan progresif sangat penting di dalam Alkitab. Dengan pewahyuan seperti ini, maka sesuatu hal diungkapkan secara bertahap, makin lama makin jelas dan makin spesifik, sehingga manusia dapat mengerti secara tepat. Misalnya, konsep “anak domba” yang ada di Perjanjian Lama sebagai korban penebusan baru menjadi jelas setelah Yohanes Pembaptis menunjuk Yesus sebagai Anak Domba Alah. Berarti, orang di dalam Perjanjian Lama tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya disebut “domba Allah”. Mereka selalu berpikir bahwa itu adalah binatang domba sungguh-sungguh. Tetapi ketika Yohanes Pembaptis menunjuk Yesus sebagai Domba Allah, di situ terjadi suatu penerobosan. Itu berarti wahyu Tuhan mulai membawa manusia mengerti kepada yang konkrit, tidak lagi melihat bayang-bayangnya, melainkan langsung melihat Oknum yang sudah hadir, yaitu Yesus Kristus sendiri. Yesus itulah Domba Allah yang tidak bercacat. Istilah “tidak bercacat” berarti suci mutlak, tanpa berkelemahan, diibaratkan dengan domba yang berusia 1 tahun, yang tidak berpenyakit dan tidak bercacat, baru dapat dipersembahkan di atas mezbah.

Ketika kita melihat Lima Kitab Musa (Pentateukh), maka kita akan melihat bahwa seorang yang memberikan persembahan kepada Tuhan Allah dituntut harus memilih dari domba-domba itu, yang berusia 1 tahun, tidak berpenyakit dan tidak bercacat, baik dari lahir maupun sesudah lahir. Domba yang ”sempurna” inilah yang boleh dipersembahkan. Semua ini hanya merupakan lambang bagi Kristus, yang ketika dipaku di kayu salib, Ia sebagai Domba yang tidak bercacat cela.

Bukan saja demikian, domba yang dipersembahkan harus berumur 1 tahun, bukan 3 tahun. Karena usia itu merupakan masa dari seluruh hidup domba yang paling sehat dan paling kuat, mirip seperti orang pada usia 30-an tahun. Pada usia itu orang tersebut sudah menyesuaikan diri dengan segala lingkungan di dalam fisik dan mentalnya, sehingga tubuhnya sudah mencapai puncaknya. Sama seperti domba berusia 1 tahun, Yesus kerika berusia 33 tahun merupakan puncak kondisi-Nya dan tidak bercacat cela. Maka kita melihat, konsep ini pada permulaannya tidak terlalu menonjol dan tidak terlalu jelas. Sekalipun sejak kejatuhan Adam ke dalam dosa, konsep ini sudah terlihat secara samar, yaitu Allah menyediakan kulit binatang untuk menutupi tubuh Adam yang malu sebagai akibat dosa. Dosa mengakibatkan ada binatang yang harus mati untuk diambil kulitnya sebagai baju bagi Adam. Di sini Allah telah mempersiapkan konsep pengganti. Dari sana, konsep pengganti ini semakin lama semakin jelas. Binatangnya harus apa, kondisinya bagaimana, dan seterusnya. Dan pada akhirnya terbuka siapakah yang merupakan “konkrit” dari lambang tersebut. Hal itu memuncak ketika Yohanes Pembaptis menunjuk Domba ini kepada Yesus Krisstus.

Doktrin manusia pun juga demikian. Manusia memiliki hati. Hati itu apa? Apakah hati itu pikiran? Apakah pikiran itu perasaan? Sepertinya pikiran bukan perasaan dan perasaan bukan pikiran. Terkadang orang yang emosinya kuat, rasionya lemah; atau yang rasionya kuat, emosinya lemah. Jika di dalam hati ada sesuatu, apakah itu berarti perasaan atau pikiran? Pada awalnya penjelasan tentang hal ini sepertinya tidak terlalu jelas.

Maka ketilka kita memakai istilah-istilah, untuk melambangkan sesuatu (misalnya: orang itu hatinya baik), selalu kita merasakan bahwa istilah itu kurang cukup untuk mengutarakan apa yang ingin dilambangkan oleh istilah tersebut. [Tentang hal ini, filsafat abad XX, khususnya dari linguistic analysis dan logical poristivism , banyak sekali berkecimpung untuk membahas permasalahan ini]. Tetapi istilah di dalam bahasa Ibrani yang dipakai Tuhan untuk mewahyukan Kitab Suci Perjanjian Lama tidak memiliki istilah ini, tetapi pengertian hati nurani dan istilah-istilah yang mirip dengan pengertian hati nurani muncul, seperti hati, pikiran dan roh. Istilah-istilah ini merupakan istilah-istilah pengganti bagi pengertian hati nurani.

I. FUNGSI HATI NURANI

Fungsi hati nurani jelas dicatat di dalam Kitab Suci sejak pertama kali manusia berbuat dosa.

Sesudah Adam dan Hawa memetik dan makan buah yang dilarang, mereka menjadi orang yang kehilangan keseimbangan dan keharmonisan eksistensi relatif dirinya sendiri. Bukan saja demikian, mereka juga langsung memiliki kesadaran bahwa relasinya dengan Tuhan Allah sudah terancam dan sudah rusak. Maka gejala yang pertama-tama timbul setelah itu adalah: (1) perasaan takut, dan (2) menyadari dinginnya lingkungan di mana dia berada. Kedua hal ini melukiskan fungsi hati nurani yang tidak pernah muncul dan tidak pernah tercatat dalam Alkitab sebagai reaksi dari binatang. Tidak ada manusia yang tidak memiliki perasaan takut kepada Tuhan atau takut akan hukuman Allah karena perbuatan yang telah dilakukannya, yang sudah tidak mungkin dimundurkan kembali lagi waktu yang sudah lewat. Maka ketika Allah memanggil Adam, Adam ketakutan. Di sini jelas sekali dicatat fungsi dari hati nurani.

Dari hal di atas, kita dapat melihat bahwa hati nurani memiliki 2 (dua) aspek, yaitu :

  1. Aspek yang bersangkut-paut dengan apa yang telah dilakukan oleh orang yang memiliki hati nurani tersebut;
  2. Langsung mendatangkan akibat atau efek yang bersangkut-paut dengan Tuhan Allah, Pencipta dirinya.

Apa yang telah saya lakukan harus saya pertanggungjawabkan. Ini hal pertama. Kepada siapa saya harus bertanggung jawab, merupakan hal yang kedua. Allah adalah Pencipta dan sekaligus menjadi Hakim yang akan menghakimi kita. Maka terlihat jelas kedua aspek itu.

Pertama, seseorang berbuat sesuatu yang melawan hati nuraninya sendiri, maka ia akan segera menjadi musuh dari dirinya sendiri. Kedua, ketika seseorang sudah melakukan hal yang salah, hati nurani kita sudah tidak lagi harmonis dengan diri kita, maka secara daya dasar (secara insting) kita tahu bahwa kita harus berhadapan dengan dengan Tuhan Allah. Itu sebab, ia berusaha melarikan diri dan menyembunyikan diri. Ia berusaha menolak dan merasa takut ketika mendengar suara Tuhan. Ia mendengar dengan satu respon: ketakutan. Catatan ini merupakan catatan pertama tentang bekerjanya fungsi hati nurani di dalam diri Adam yang dicipta menurut peta dan teladan Allah.

Untuk mengerti fungsi hati nurani seperti itu, seseorang tidak perlu lulus sarjana, atau S2 atau S3. Seorang yang berpendidikan SLTA atau bahkan SD akan mengerti apa yang dibahas di atas. Fungsi hati nurani adalah teguran dan pengoreksian yang membuat kita tidak dapat lari atau menghindarinya. Kita harus menghadapi apa yang sudah kita lakukan dan kita harus menghadap Pencipta kita atas apa yang sudah kita lakukan.

a. Teguran Hati Nurani dan Kebudayaan

Teguran hati nurani telah menyebabkan terjadinya suatu pelarian di dalam kebudayaan. Bagaikan burung onta yang ketika dikejar, akan menggali tanah lalu membenamkan kepalanya di sana. Ia mengira pada saat itu dia sudah aman dan tidak terlihat lagi oleh pengejarnya. Padahal ketika matanya yang kecil dibenamkan di dalam tanah, pantatnya yang seratus kali lebih besar masih terlihat jelas. Manusia yang telah berbuat dosa, lalu berusaha untuk menghindarkan diri dari tuntutan Tuhan Allah, sama tingkahnya seperti burung onta yang menipu diri sendiri. Itu sebab muncul Ateisme. Ateisme muncul sebagai usaha untuk melarikan diri dari teguran hati nurani. “Jikalau tidak ada Allah, maka saya lebih bebas. Jikalau tidak ada Allah, saya tidak perlu bertanggung jawab; dan jikalau tidak ada Allah, saya dapat berbuat jahat, tidak perlu memperhitungkan resiko harus berhadapan dengan takhta yang maha adil yang akan menghakimi saya.”

Dari sudut teologi Kristen, Ateisme bukanlah suatu motivasi yang jujur. Orang Ateis adalah orang yang berusaha melarikan diri dari perbuatan dosa yang sudah menjadi fakta yang membawa pelakunya berhadapan dengan pengadilan Tuhan Allah.

Tetapi keadaan ini tidak mungkin, karena Allah mencipta manusia untuk menjadi wakil Allah bagi dunia alam. Di dalam dunia alam yang bersifat fisik ini Tuhan telah menciptakan manusia dengan sifat supra-alamiah di dalam dirinya, untuk mampu menjadi wakil Allah menghadapi alam ini. Dengan demikian, manusia berada di tengah-tengah antara Allah dan alam. Di atas kita ada Allah dan di bawah kita ada alam. Ketika kita dicipta sebagai “Allah” terhadap alam, maka terhadap alam kita menjadi “Allah yang kelihatan”, terhadap diri sendiri kita menjadi juru kunci yang harus berespon kepada Tuhan.

Ketika manusia dicipta sebagai wakil Allah untuk menguasai alam, manusia ditempatkan di tengah-tengah dunia :

  1. Dunia materi. Kita berada di tengah dunia materi, sehingga kita memiliki hubungan dengan dunia yang kelihatan ini;
  2. Dunia rohani. Kita memiliki hubungan dengan Allah, malaikat dan setan.
  3. Dunia manusia. Dengan ini kita memiliki hubungan antar manusia.

Maka kita menghadap Allah, kita juga menghadap diri, menghadap Setan dan menghadap Roh Kudus. Inilah kerumitan dan kekomplexan eksistensi kehidupan manusia.

Kita bertanya: “Siapakah saya? Di manakah saya?” Jawabannya adalah kita dicipta di antara Allah dan alam, di antara suara Allah dan suara Setan, di antara dunia materi dan dunia rohani. Kita diciptakan di antara manusia dengan manusia, bahkan di antara diri dengan diri. Keseluruhannya terkumpul di dalam satu oknum yang bernama: manusia.

Dengan pengertian di atas, maka jelaslah sebagai manusia kita mempunyai tugas, relasi dan tanggung jawab yang berat. Ketika kita mewakili Tuhan terhadap dunia alam ini, jika kita bertindak salah, maka akan beresiko berat. Oleh karena itu, Tuhan Allah meletakkan wakil suara-Nya yang diletakkan di dalam diri manusia. Suara itu disebut sebagai “Roh manusia adalah pelita Allah yang menyelidiki seluruh lubuk hati manusia.”

Jika manusia hidup hanya mencari uang dan kekayaan, tanpa mempedulikan perbuatannya, tingkah laku dan moralitasnya, maka manusia itu akan lebih jahat dari binatang. Tetapi apabila manusia di dalam segala aktivitas hidupnya, memiliki keseimbangan kepada Allah dan mempunyai penolakan terhadap Setan, sehingga ada keharmonisan dengan sesama dan memiliki kekuatan penguasaan terhadap materi, dia akan berdiri tegak di tengah alam semesta sebagai wakil Allah yang benar. Tetapi bagaimanakah kita mampu menjadi wakil Allah yang benar? Jawabannya ialah apabila suara hati nurani, yaitu suara yang mewakili Tuhan untuk menyelidiki Alkitab, masih bersih dan kita masih mau taat dan bersandar kepada Allah yang tidak kekurangan apa-apa dan mutlak. Itu sebabnya, manusia sangat memerlukan Roh Kudus.

Bagaimana jika doktrin Roh Kudus sudah dirusakkan atau diganti dengan ajaran yang tidak beres, seperti yang sudah terjadi di banyak gereja saat ini? Lebih lagi, banyak orang Kristen yang tidak sadar, karena yang belajar tidak mengerti kesalahannya, dan yang mengajar kurang belajar dengan baik, sehingga seluruh Kekristenan menjadi lumpuh, karena mereka menganti Roh Kudus dengan roh-roh yang bukan dari Allah. Hal seperti ini membahayakan seluruh gereja Tuhan.

b. Fungsi Hati Nurani yang Sejati

Hati nurani bukan merupakan produk latihan atau produk lingkungan. Hati nurani juga bukan hasil dari a posteriori atau timbul setelah manusia berelasi dengan orang lain, seperti ajaran Sigmund Freud. Hati nurani adalah daya dasar yang sudah Tuhan tanamkan di dalam diri manusia yang langsung berasal dari Tuhan Allah sendiri.

Mengapa Tuhan memberi hati nurani kepada manusia? Mengapa manusia dicipta sebagai makhluk yang berhati nurani? Ini disebabkan karena kita adalah makhluk yang memiliki peta dan teladan Allah. Salah satu aspek dari peta dan teladan Allah adalah mampu bermoral. Jika sifat moral boleh dijadikan fokus dan pusat dari tingkah laku kita, maka semua perbuatan dan tingkah laku kita tidak akan kita lakukan dengan sembarangan. Oleh sebab itu, wakil dari suara Tuhan di dalam diri kita memiliki peranan yang sangat penting.

Istilah hati nurani dalam bahasa Arab disebut: nur, yang artinya cahaya atau pencerahan. Hati nurani berarti hati yang bercahaya. Ketika hati kita bercahaya, kita dapat melihat. Jika kita masuk ke dalam gudang yang gelap untuk mencari sesuatu, paling s edikit harus membawa lampu senter, sehingga adanya terang lampu itu membuat kita dapat melihat dengan jelas. Inilah nur. Pengertian ini sangat indah. Di dalam bahasa Indonesia, istilah hati nurani mempunyai daya ekspresi, yaitu: (1) hati nurani, yang dipengaruhi oleh bahasa Arab, dan (2) hati kecil, yang mengungkapkan bahwa di dalam hati kita ada suara yang kecil. Suara kecil ini terus membisikkan sesuatu kepada pikiran kita.

Di dalam bahasa Tionghoa, hati nurani mempunyai pengertian hati yang baik, atau liong sim (the good heart). Pada hahehatnya ini adalah sifat yang baik. Ketika kita mau berbuat jahat, ia tidak setuju; dan ketika kita tetap berbuat jahat, ia akan sedih. Di dalam hati kita terdapat suatu perasaan yang halus sekali. Perasan itu selalu melawan kejahatan yang mau kita perbuat. Dan ia selalu memberikan pujian dan semangat ketika kita berbuat baik. Setelah kita berbuat baik, kita akan tidur lebih nyenyak. Kalau kita berbuat jahat, kita menjadi ketakutan dan sulit tidur.

Seseorang yang bernama Fan Wen Chen Khung di zaman Tiongkok kuno, menulis di dalam karya sastranya, “Setiap malam sebelum tidur, aku tutup mata dan mulai membuka mata hatiku. Aku mulai menilai dan melihat apa yang aku perbuat sepanjang siang tadi. Jikalau aku melihat dan menelusuri semua yang aku perbuat baik adanya, maka hatiku akan menyetujui dan malam itu aku dapat tidur nyenyak luar biasa. Tetapi bagaimana, jika aku menilai apa yang aku perbuat sepanjang hari ini dan kedapatan sesuatu teguran adanya hal-hal yang tidak benar? Maka akibatnya aku tidak mempunyai sejahtera dan malam itu aku sukar tidur.”

Jika seseorang setelah membunuh orang masih dapat tidur nyenyak, maka ia sungguh-sungguh seorang jenius, jenius di dalam berbuat jahat. Berarti hati nuraninya sudah tidak normal, sebagaimana seharusnya, seperti ketika Tuhan ciptakan. Saya rasa, dalam hal seperti ini kita sedikit banyak sudah menyadarinya, tetapi mungkin belum mensistematikkan. Kita mungkin belum mengerti asal-usul dan akibat-akibatnya. Akibatnya kita hidup pusing dan bingung bagaimana hidup di dalam dunia lalu kita mengikuti orang lain.

Hati nurani, sebelum dan sesudah mengalami distorsi dosa mengalami perbedaan yang sangat besar. Kita perlu mengetahui keadaan hati nurani yang seharusnya, yang masih murni, ketika diciptakan oleh Tuhan.

Hati nurani di dalam semua kebudayaan-kebudayaan besar yang mempunyai pengertian kesadaran yang sangat berbeda. Dalam bahasa Arab, hati itu disebut nur (cahaya), dan di Tiongkok dikenal sebagai baik. Tetapi masalahnya, bagaimana kalau hati itu sudah tidak bercahaya dan tidak baik lagi karena standarnya sudah cemar dan kotor? Maka kita akan jatuh ke dalam kelakuan-kelakuan yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat memberikan pertanggung-jawaban di hadapan Allah.

c. Etimologi Hati Nurani

Itu sebab, kiita harus kembali kepada istilah bahasa Yunani yang dipakai di dalam Alkitab. Istilah yang dipakai adalah ‘suneidesis’. Istilah ini muncul berulang kali di dalam Perjanjian Baru, khususnya di surat Korintus dan surat Ibrani. Arti ini sama dengan istilah bahasa Latin: conscientia. Istilah ini terdiri dari gabungan dua kata: sun + desis atau con + scientia. Istilah ini kemudian di dalam bahasa Inggris menjadi conscience, yaitu con + science. Ketika di dalam Perjanjian Baru, Paulus memakai istilah suneidesis untuk melukiskan hati nurani, maka Bapa-Bapa Gereja langsung menerjemahkan ke dalam bahasa Latin tepat dengan gabungan kata yang sama artinya, yaitu conscientia. Istilah Inggris science berarti pengetahuan. Istilah ini menjadi istilah yang tidak asing, bahkan menjadi istilah penting bagi ilmuwan abad XX. Istilah ini sebenarnya dimengerti terlalu sederhana. Istilah science sebenarnya berasal dari kata Latin scio. Kata scio, cogito dan credo merupakan kata-kata yang penting, dan dianggap sebagai tiga tahapan utama dalam suatu kebudayaan.

Scio adalah apa yang kita tahu, kemudian cogito adalah apa yang kita pikirkan, dan credo adalah apa yang kita percaya. Jika kita membaca credo penting dalam Kekristenan, seperti Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Athanasius, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel atau Pengakuan Iman Calcedon, seluruhnya dimulai dengan kata yang sama, yaitu : credo (Aku percaya….). Credo adalah wilayah yang paling tinggi dan paling dalam. Apa yang mungkin kita mengerti secara pikiran, merupakan posisi tengah saja. Apa yang mungkin kita mengerti secara penyelidikan, merupakan aspek di bidang sains. Maka sains memiliki posisi paling rendah, karena ketika menyelidiki materi, manusia mengetahui (scio). Sains terjadi setelah orang menyelidiki dan akhirnya mengetahui sesuatu.

Maka ilmuwan janganlah sombong. Ilmuwan hanyalah manusia yang mengetahui sesuatu yang ditemukan di hadapan Tuhan Allah tentang apa yang Dia ciptakan. Jadi seorang ilmuwan tidak kurang dan tidak lebih hanya dapat mengetahui. Ia tidak pernah membuat kebenaran. Ilmuwan tidak pernah menciptakan alam semesta. Dia hanya menggali dan mempelajari, sehingga mengetahui sesuatu melalui penemuannya itu. Yang ditemukan tidak lain adalah hidden truth (Kebenaran yang tersembunyi) dari Tuhan Allah yang diletakkan di dalam ciptaan. Maka, jika penemu-penemu, ketika menemukan sesuatu menjadi sedemikian sombong, ia sudah tidak beres pikirannya. Sama seperti ketika teman kita lapar, lalu mengatakan, bahwa kita menemukan makanan di meja makan. Lalu mengatakan bahwa teman itu harus berterima kasih kepada kita karena sudah menemukan makanan itu. Maka ibu kita akan mengatakan bahwa makanan itu dia yang beli dan dia yang masak, kita hanya menemukannya di atas meja makan, sehingga kita tidak boleh sombong.

Demikian juga ketika Allah menciptakan alam semesta ini. Allah telah menyimpan rahasia ciptaan itu di dalam alam semesta, maka manusia menggalinya, mencari dan menemukannya. Ketika menemukan itu,maka manusia mengatakan scio (aku tahu). Kalau setelah menemukan seseorang kemudian menganggap diri seperti Allah, itu menunjukkan dia sudah gila. Di dalam pikiran Post-Modernisme ada hal yang harus kita setujui, yaitu ia berani melawan Modernisme karena Modernisme mengakibatkan manusia yang berkecimpung di dalam ilmu pengetahuan terapan (applied science) memainkan peran seperti Allah, padahal ia adalah Allah yang palsu. Orang-orang ini memainkan peran seperti seperti Allah dan mempermainkan orang-orang yang lainnya.

Setelah menyelidiki, maka kita mulai dapat mengerti berbagai hal (cogito). Ketika kita mulai memikirkan sesuatu yang lebih dalam dari sekedar penemuan alam, maka kita memasuki filsafat yang lebih tinggi lagi di dalam bidang ilmu. Di sini kita memasuki wilayah cogito.

Yang tidak mungkin kita pikirkan seluruhnya, masuk ke dalam bidang yang ketiga, yang lebih tinggi, yaitu credo.

Kembali dalam permasalahan kita, maka kata scio merupakan akar dari apa yang dimengerti sebagai ilmu pengetahuan di dunia Barat. Di dalam filsafat seperti itu, kata ini hanya dibatasi dalam pengertian: saya tahu.

Tetapi hati nurani memakai istilah ini ditambah dengan istilah lain, yaitu con = bersama-sama. Maka conscientia bukanlah hati yang bersinar, atau hati yang baik, tetapi berarti: bersama-sama mengetahui (co-knower). Hati nurani, yang dalam bahasa Yunani adalah suneidesis, berarti: yang mengetahui bersama dengan saya. Itu sebabnya, jika ada orang berani berkata: “Saya sudah berbuat dosa, tetapi puji Tuhan tidak ada yang tahu,” maka dia sudah setengah gila. Orang yang mau berbuat salah, pasti matanya akan berkeliling melihat ke sana sini. Orang yang mau menyontek, pasti akan melihat gurunya, untuk memastikan apakah guru itu sedang melihat dia atau tidak. Saya sudah 41 tahun menjadi guru, maka saya mengetahui hal seperti itu. Ketika seseorang terus melihat guru, sebenarnya ia bukan ingin memelihara relasi dengan guru, tetapi sedang berusaha mencari peluang untuk melepaskan diri dari pengawasan guru. Kalau guru lengah, ia menyontek dan mengatakan bahwa tidak ada yang mengetahui. Kalimat “tidak ada yang tahu” sebenarnya adalah kalimat penipuan diri. Pada saat berbuat sesuatu, paling sedikit ada 4 pihak yang mengetahuinya, yaitu:

  1. Diri sendiri mengetahui. Bukankah diri sendiri juga orang?
  2. Setan, yang menyuruh kita untuk berbuat dosa, pasti juga mengetahuinya, Maka tidak mungkin tidak ada yang mengetahui di luar kita;
  3. Allah, di dalam persemayaman hadirat-Nya, juga mengetahui apa yang sedang kita kerjakan;
  4. Allah mengutus satu kuasa di dalam hati Saudara, yang menjadi wakil Allah, yaitu ”dia” yang juga mengetahui bersama-sama dengan kita, itulah hati nurani.

Maka tidak benar kalau seseorang mengatakan “tidak ada yang tahu”. Ada seorang guru, yang ketika memberikan ujian, muridnya begitu berani menyontek karena mereka tidak terlalu menghiraukan dia. Biasanya setelah memberikan soal, ia langsung membuka surat kabar besar-besar dan membaca. Tetapi heran sekali, setelah akhir tahun. Ia memberikan hukuman kepada semua yang menyontek. Murid-muridnya heran sekali, mengapa ia mengetahuinya. Ternyata surat kabar itu ada lobangnya. Ia bukan membaca surat kabar, tetapi melihat siapa yang menyontek. Murid-muridnya terkejut. Mereka pikir gurunya bodoh, ternyata mereka lebih bodoh. Dari sebuah lubang kecil, guru itu dapat melihat tiga puluh kepala di kelasnya. Maka, ketika seorang menganggap diri sedemikian pandai, bahkan begitu pandai untuk dapat mengelabuhi Tuhan Allah, maka Tuhan Allah mengatakan bahwa orang itu sedang menabung deposito dosa. Ketika itu, ada “satu” yang akan memberikan kesaksian untuk membenarkan hal itu. Dia adalah hati nurani.

d. Hati Nurani dan Sifat Eksistensi Relatif

Karena hati nurani co-knower, maka timbul kesan bahwa hati nurani itu bagaikan oknum lain yang indekos di dalam diri kita. Kita sendiri adalah satu oknum, lalu di dalam diri ada oknum lain. Apakah benar demikian?

Alkitab tidak pernah mengungkapkan bahwa hati nurani itu beroknum. “Mewakili Tuhan” tidak harus beroknum. Alkitab juga mewakili Tuhan, tetapi Alkitab tidak beroknum. Hukum Taurat juga mewakili Tuhan, tetapi Hukum Taurat juga tidak beroknum. Yang beroknum, dia beroknum; yang tidak beroknum, jangan dijadikan oknum. Hati nurani adalah bagian dari oknum manusia. Manusia tidak memiliki dua oknum.

Saudara adalah oknum, satu pribadi, yang didalamnya memiliki suatu eksistensi relatif. Eksistensi yang bersifat relatif ini menyebabkan Saudara sendiri dapat menghadap kepada diri sendiri sebagai subyek dan obyek sekaligus. Satu-satu makhluk yang dapat menghadap diri, menilai diri, dan menghakimi diri adalah manusia. Itu sebabnya, di dalam diri dapat berdialog dengan diri sendiri. Inilah sifat eksistensi relatif yang tidak ada pada makhluk lain, yang menyebabkan manusia menjadi satu-satunya makhluk yang mungkin mengadakan dialog dengan diri sendiri. Dengan demikian, diri sendiri dapat mendorong diri sendiri, membakar semangat sendiri, dan dapat membunuh diri sendiri. Orang membunuh diri karena salah self-dialog ini. Demikian juga orang seperti Hitler yang sedemikian berambisi juga akibat salah self-dialog.

Di dalam eksistensi relatif ini, Setan selalu berusaha memberikan racun, sehingga mengakibatkan dua hal: (a) penilaian diri terlalu rendah, sehingga memngakibatkan sifat minder (rendah diri) akibat dari sifat inferiority complex; Dan (b) menilai diri terlalu tinggi sehingga mengakibatkan superiority complex. Orang yang menilai diri terlalu tinggi akan menjadikan dirinya orang yang terlalu berambisi, sehingga perlahan-lahan akan membunuh diri. Tetapi barangsiapa menilai diri terlalu rendah, akan mengubur semua bakat yang Tuhan berikan kepadanya, lalu menjadikannya sebagai seorang yang tidak berguna.

Keyakinan (confidence) sangat dibutuhkan manusia. Tetapi keyakinan ini harus didasarkan pada peng-evaluasi-an diri yang wajar (band.Roma 12:3), yaitu sesuai dengan iman yang diberikan kepada kita. Kita harus melihat diri kita di posisi yang tepat, tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlalu rendah. Sifat eksistensi relatif ini merupakan suatu hak istimewa, tetapi sekaligus merupakan bahaya atau krisis yang mungkin dipikul di dalam penilaian diri kita sebagai umat manusia.

Amin.

SUMBER :
Nama Buku : Roh Kudus, Suara Hati Nurani, dan Setan
Sub Judul : Bab 2 : Fungsi dan Tugas Hati Nurani (1)
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2011
Halaman : 41 – 59