Pak TongBab 3 :

POLUSI HATI NURANI

Setelah kita melihat fungsi hati nurani yang sedemikian penting dan sedemikian sempurna, maka kita mulai bertanya:

“Bukankah kalau demikian hati nurani saya sudah cukup, kita tidak memerlukan Roh Kudus lagi?”

“Bukankah dengan demikian, setiap orang yang di dalam hatinya sudah ada wakil suara Tuhan, pasti akan sama?”

Jawabannya justru terbalik. Kita sudah memiliki hati nurani dan kita telah diberi suara yang mewakili Tuhan, tetapi mengapa suara hati nuraniku dengan suara hati nuranimu masih berbeda? Mengapa standar yang saya buat dengan yang Anda buat tidak sama? Mengapa semua yang saya lakukan dengan sejahtera, bagi orang lain tidak sejahtera? Apakah yang membedakan semua ini?

Di dalam Bab 4 nanti, kita akan membicarakan keindahan hati nurani orang yang telah ditebus oleh Tuhan Yesus. Namun, sebelum itu, kita harus membicarakan terlebih dahulu apa yang terjadi di dalam kejatuhan dosa. Inilah konsep Teologi Reformed. Mungkin ada orang yang kurang setuju dengan Teologi Reformed, tetapi kita harus mengakui khotbah-khotbah yang penting keluar dari teolog-teolog dan pengkhotbah-pengkhotbah Reformed, yang akan membawa manusia kembali kepada kebenaran firman Tuhan yang sungguh. Teologi Reformed bukan hanya untuk Gereja Reformed saja, tetapi Teologi Reformed telah menjadi pelita dan mercu suar yang membawa Gereja kembali kepada Alkitab.

Saat ini kita harus menegaskan bahwa mereka yang memiliki doktrin dan iman yang benar yang harus mendirikan gereja. Jangan biarkan orang-orang yang tidak belajar Firman dengan baik, yang imannya rusak mendirikan gereja. Itu adalah strategi Setan. Biarlah lebih banyak lagi orang yang berdoktrin benar dan beriman benar mendirikan gereja sebanyak-banyaknya. Kekristenan tidak boleh dijual kepada orang-orang yang tidak mengerti Firman dan yang begitu berani sembarangan berkhotbah, lalu mendirikan gereja. Dengan doktrin yang benar mendirikan gereja, menunjukkan suatu usaha agar Kekristenan dijaga berada di dalam iman yang benar. Itu alasan saya menganjurkan Saudara baik-baik mempelajari Teologi Reformed dan mendirikan gereja.

Setelah hati nurani bekerja, maka Teologi Reformed selalu melihat dari tahapan: (1) keadaan aslinya pada saat diciptakan; (2) keadaan setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa; (3) keadaan setelah Tuhan Yesus melakukan pemulihan terhadap orang yang ditebus-Nya; dan (4) keadaan sempurna di dalam kekekalan kelak. Maka setiap hal harus dilihat dalam empat aspek ini, karena masing-masing keadaan sifatnya sangat berbeda. Manusia asli ketika diciptakan di taman Eden sifatnya bagaimana, lalu setelah jatuh ke dalam dosa menjadi bagaimana, kemudian ketika ditebus oleh Tuhan Yesus menjadi seperti apa dan setelah itu, pada saat kekekalan nanti ia disempurnakan menjadi seperti apa. Ke-empat tahapan ini harus selalu menjadi struktur pikiran orang Kristen. Penelaahan yang ketat ini dipelopori oleh Teologi Reformed.

Maka kini kita melihat keadaan dan fungsi hati nurani yang asli pada saat penciptaan. Tetapi ketika kita jatuh ke dalam dosa, semua fungsi itu terkena noda dan tercemar, sehingga terjadi polusi hati nurani. Semua fungsi ini masih ada, tetapi tidak mungkin semurni aslinya. Bagaikan setiap orang hatinya bekerja, ginjalnya juga bekerja, demikian juga paru-paru, jantung dan lainnya. Tetapi ketika ia terkena penyakit, maka organ itu masih tetap bekerja, hanya tidak sempurna seperti sebelumnya. Demikian juga fungsi hati nurani masih memberikan pencerahan, tetapi pencerahannya sudah tidak secerah seharusnya, ia masih dapat membedakan, tetapi tidak setajam sebelumnya. Ia juga masih memberikan peringatan, tetapi peringatannya lemah. Ketika ia bangun untuk memberikan penghakiman, penghakiman itu kurang berani. Hati nurani itu sudah dinodai dan dipolusikan. Inilah yang di dalam Teologi Reformed disebut sebagai Total Depravity (Kerusakan Total).

Prinsip “Kerusakan Total” ini bukan berarti tidak berfungsi sama sekali dan tidak berguna lagi, tetapi semua penggunaannya sudah terkena polusi. Bagaikan baju putih yang terkena luntur sehingga menjadi coklat muda. Ketika diusahakan dicuci berulangkali, tetapi tidak mungkin putih seperti sedia kala. Maka kalau disebut baju putih, memang baju putih, tetapi ia sudah tidak putih lagi, karena seluruhnya sudah bersemu coklat. Mungkin lebih tepat disebut puklat (putih-coklat). Bagian mana yang terkena warna coklat? Seluruhnya. Tetapi apakah dengan demikian disebut sebagai baju coklat? Tidak, karena memang masih berwarna putih. Baju itu sudah tidak murni putih lagi, karena setiap tempat telah terpolusi.

Hati nurani tidak lagi murni, karena setiap fungsi dari hati nurani yang asli telah dinodai dan terpolusi. Itu sebabnya kita melihat kecelakaan terjadi, sehingga semua pekerjaan hati nurani tidak lagi sungguh-sungguh mencapai apa yang Tuhan inginkan. Yang Tuhan inginkan adalah target, dan tidak mencapai target berarti dosa. Maka hati nurani pun telah menjadi hati nurani yang telah bersifat dosa. Itulah polusi. Kalau polusi sudah terjadi, tidak lagi mungkin terang.

Pada suatu hari, saya dengan dua pendeta mengendarai mobil dari Surabaya ke Jakarta untuk mempersiapkan suatu kongres hamba Tuhan se Indonesia. Ternyata di daerah Jatibarang, jalanannya rusak berat, sehingga butuh waktu 2 jam untuk melewatinya, dan jalanan itu begitu berlumpur sehingga seluruh mobil saya menjadi kotor luar biasa. Lewat dari Jatibarang, saya berusaha untuk mempercepat jalannya mobil saya, tetapi cahaya lampu saya menjadi redup, padahal masih berjarak sekitar 100 km untuk tiba di Jakarta. Saya kuatir aki mobil saya sudah lemah, sehingga takut mobilnya mogok., Tetapi aneh, klaksonnya masih kuat. Saya pernah membaca makalah bahwa memberikan cahata memerlukan daya listrik yang lebih besar ketimbang suara. Wah, saya pikir itu alasan mengapa lampu mobil saya lebih redup ketimbang suara klakson. Sama seperti lebih mudah khotbah bersuara di mimbar daripada bercahaya dengan kesaksian hidup kita. Setelah kami bertiga turun, kami baru tahu bahwa seluruh kaca lampu depan mobil itu tertutup tanah liat. Maka sekarang lampu saya terkena polusi. Lampu irtu masih bercahaya, tetapi sudah tidak dapat sejelas semula.

Bagaimana membereskannya? Tidak lain kita harus membereskan polusi yang mencemari hati nurani itu. Tetapi sebelum membersihkan, kita harus tahu terlebih dahulu polusi apa yang mencemari. Kalau polusi itu dari tanah liat, dapat dibersihkan dengan air, tetapi kalau polusinya dari cat, maka perlu tinner untuk membersihkannya. Baru setelah itu kita tahu siapa yang dapat menyingkirkan polusi hati nurani kita.

Kini kita harus melihat jenis polusi apakah yang telah mencemari hati nurani kita. Paling sedikit empat polusi yang besar di dalam hati nurani kita.

I. Polusi Kebudayaan

Hati nurani dipolusi oleh kebudayaan. Sesuatu yang dianggap baik di daerah Batak, mungkin tidak diterima terlalu baik di Manado, karena adanya perbedaan kebudayaan. Sesuatu yang dilarang di Jawa, mungkin di Toraja dianggap baik sekali. Hal ini terjadi karena perbedaan kebudayaan.

Setiap kebudayaan menghasilkan suatu norma, yang mengakibatkan hati nurani dipengaruhi oleh norma-norma yang ditumpuk oleh kebudayaan itu. Akibatnya, tidak mungkin lagi hati nurani itu bersifat netral.

Di Cina ada tujuh sebab diperbolehkan menceraikan isteri, yang salah satunya adalah karena tidak mempunyai anak. Kalau Saudara menikah dengan seorang isteri, setelah ditunggu tiga sampai lima tahun tidak mendapat anak, maka itu dapat menjadi alasan yang baik untuk menceraikan dia, karena dianggap kecelakaan besar. Konsep ini dipengaruhi oleh perkataan Mencius, yang menemukan hati nurani di dalam filsafatnya, seperti telah kita bahas di dalam bab pertama.

Mencius mengatakan, “Tahukah bahwa tidak hormat terhadap orang tua ada tiga, dan yang terbesar adalah tidak memberikan keturunan untuk menyambung hidup marga.” Karena itu dianggap membunuh seluruh marga dan tidak menghargai usaha nenek moyang untuk memelihara kelestarian marga. Tetapi mengapa, Mencius langsung menuduh bahwa itu disebabkan karena mendapatklan isteri yang mandul, sehingga ia perlu diceraikan. Kebudayaan Tionghoa mengakibatkan satu dampak hingga saat ini, yaitu merasa untung kalau melahirkan anak pria dan merasa rugi kalau melahirkan anak wanita. Karena pria memelihara marga. Akibatnya pria dan wanita dibedakan secara drastis sekali. Saat ini di Cina hanya diperbolehkan punya satu anak, lebih dari itu akan dihukum atau mendapatkan sanksi. Akibatnya, begitu mendapatkan anak wanita, mereka membunuhnya. Sehingga terjadi begitu banyak pembunuhan oleh orang tua sendiri terhadap bayi wanitanya, karena mereka tidak mau satu-satunya anak yang mereka miliki adalah wanita. Kalau semua orang melakukan seperti itu, maka dalam dua generasi tidak ada lagi wanita yang dapat diperisteri. Apakah yang menyebabkan hati nurani seorang begitu senang memiliki anak pria, dan tidak senang memiliki anak wanita? Ini dipengaruhi kebudayaan.

Ketika isteri pertama tidak memberi anak, diceraikan. Kemudian isteri kedua juga demikian, isteri ketiga, keempat. Sampai ketujuh juga demikian, ternyata yang mandul bukan isterinya, tetapi suaminya. Tetapi anehnya masyarakat tidak menerima kalau isteri yang boleh menceraikan suaminya yang mandul dan menikah dengan suami kedua. Mereka hanya menerima kalau isteri yang boleh diceraikan dan suami yang menikah dengan isteri yang lain. Di dalam masyarakat bagaimana pun juga ada pengaruh yang mencemari dan merusak fungsi hati nurani. Maka pengaruh yang mencemari dan mempolusikan fungsi hati nurani pertama-tama datang dari tradisi dan kebudayaan.

Di Tiongkok, masyarakat tidak dapat menerima kalau seorang wanita memiliki dua suami, tetapi kalau suami punya dua isteri, ia masih dapat senyum-senyum memperkenalkan kedua isterinya. Kalau isteri memperkenalkan dua suami, akan dicaci maki oleh seluruh kota. Maka, keadaan, sifat, serta hak wanita habis-habisan dirampas di Tiongkok.

Di India, pernah ada tradisi bahwa kalau suami mati, isterinya juga harus ikut mati dengan suaminya. Itu disebut upacara mengubur diri untuk mendampingi suami yang mati. Akibatnya semua janda disuruh ikut mati dengan suaminya. Itu baru dianggap setia. Tetapi anehnya, tidak demikian bagi pria. Kalau isterinya mati, dia menikah lagi. Ini namanya polusi hati nurani. Hati manusia menjadi rusak karena ada pengaruh polusi kebudayaan. Masih banyak sekali contoh kebudayaan lain yang menjadi polusi terhadap hati nurani, sehingga merusak manusia.

II. Polusi Agama

Ada agama yang memperbolahkean suami punya isteri lebih dari satu, tetapi kalau isteri tidak boleh punya suami lebih dari satu. Sehingga agama juga memberikan polusi bagi hati nurani. Sehingga kalau ada suami yang mempunyai isteri lebih dari satu, ia tidak merasa apa-apa, karena diizinkan oleh agamanya. Tetapi anehnya wanita tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Hati nuraninya tidak mengizinkannya melakukan hal itu, karena tidak mendapatkan dukungan dari agamanya. Di sini agama merupakan faktor yang mempolusikan.

Bagi penganut agama tertentu, hati nuraninya tidak memper-bolehkannya memakan babi, tetapi berbeda dengan agama lain yang justru hati nuraninya tidak memperbolehkannya memakan daging sapi. Oleh sebab itu, bagaimana pun juga agama turut mengambil bagian di dalam mempolusikan hati nurani. Semua agama memberikan peranan untuk mempengaruhi suara hati nurani. Jadi, jika seseorang mengatakan bahwa hati nurani itu masih setia dan masih murni, tepat seperti ketika dicipta oleh Tuhan, saya pasti akan menolaknya. Karena seseorang sudah dipengaruhi oleh agama, dipengaruhi oleh tradisi, sejarah dan kebudayaan, maka hati nurani sudah tidak murni lagi seperti semula.

Bagi agama-agama tertentu, seseorang merasa perlu dan terikat untuk disunat, tetapi bagi agama lain akan merasa aneh mengapa ciptaan Tuhan perlu dibuang sebagian. Bagi sebagian orang, hati nuraninya akan terikat oleh peraturan-peraturan agamanya, sedangkan bagi sebagian orang lain tidak. Maka agama turut berperan untuk mempolusi dan mempengaruhi hati nurani. Tidak seorang pun dapat menghindarinya.

III. Polusi Masyarakat

Pengaruh ke-tiga yang mempolusikan hati nurani adalah pengaruh masyarakat atau opini umum. Ketika masyarakat mayoritas menyetujui suatu pikiran tertentu, maka orang yang minoritas selalu tertekan hati nuraninya.

Kekristenan di sepanjang sejarah selalu menjadi kelompok minoritas. Dan di saat menjadi minoritas, Kekristenan mendapatklan tekanan yang justru mengakibatkan kesehatan bagi iman Kristen itu sendiri. Ketika tidak ada lagi angin keras, pohon itu menjadi lemah. Pohonnya dapat tinggi, tetapi akarnya dangkal, maka makin tumbuh makin tidak kuat, karena terlalu manja. Tetapi pohon-pohon yang tumbuh di daerah yang berangin kencang, makin kencang, akarnya semakin dalam dan semakin kuat. Maka, pohon itu berakar dalam karena teruji oleh angin yang besar. Demikian pula, ketika Kekristenan menjadi mayoritas, Kekristenan selalu menjadi mundur, sangat tertidur dan sangat krisis keadaannya. Justru ketika Kekristenan diinjak, dilawan, didiskriminalisasikan, di situ iman dan kekuatan kita bersandar kepada Tuhan semakin kuat.

Namun demikian, kita terkadang takut dengan suara mayoritas. Kita takut kalau ada suara mayoritas yang mau melawan Kekristenan. Akibatnya, ketika orang menanyakan iman kita, kita malu atau tidak berani mengakuinya, kareena hati nurani kita sudah dipengaruhi oleh suara mayoritas. Itu sebabnya, biarlah kita berhati-hati. Terkadang kita ikut-ikutan orang lain. Kalau semua orang pakai rambut pendek, kita merasa malu kalau kita gondrong. Atau kita terkadang mengikuti mode tertentu, karena mode itu diterima dan menjadi opini umum. Ketika kita ditanya, mengapa rambut kita modelnya seperti itu, atau baju kita seperti itu, maka kita menjawab: “Karena semua orang juga begitu.” Inilah opini umum. Karena semua begitu, maka saya juga harus begitu.

Dulu yang memakai parfum atau anting-anting hanya kaum wanita, maka saya heran sekali kalau ada kaum pria yang memakai parfum atau anting-anting. Tetapi ketika sudah semakin banyak kaum pria yang memakainya, maka hal itu sudah menjadi lumrah dan hati nurani kita sudah dipengaruhi oleh opini masal.

IV. Polusi Kebiasaan

Hati nurani manusia juga dipolusi oleh kebiasaan pribadi di dalam perbuatan dosa. Ketika seseorang berbuat dosa berulang kali, lama kelamaan ia menjadi orang yang biasa berbuat dosa. Akhirnya ia tidak lagi peka terhadap dosa.

Ketika sesuatu hal yang kita ketahui salah, tetapi dilakukan lebih dari lima kali, maka kita mulai membangun benteng untuk membenarkan dosa yang Saudara lakukan. Pada saat itu hati nurani telah dipolusikan oleh kebiasan-kebiasaan yang menumpuk.

Seorang kepala suku di Afrika, ketika mendengar ada orang yang datang memberitakan Injil, yaitu bahwa barangsiapa percaya kepada Yesus dan akan diselamatkan, maka ia pun mau diselamatkan. Ia minta dibaptis. Missionari itu mengatakan tidak dapat, karena ia memiliki isteri sebanyak delapan belas orang. Ia pun bertanya, kalau delapan belas tidak boleh, harus berapa yang boleh? Maka missionari itu mengatakan cuma satu saja. Lalu ia pulang. Beberapa bulan kemudian ia datang lagi dan kembali minta dibaptis. Ia mengatakan bahwa sekarang ia hanya memiliki seorang isteri. Missionari itu heran, tetapi kepala suku itu mengatakan bahwa ia jujur dan hati nuraninya memastikan hal itu. Lalu misionari itu menanyakan di mana tujuh belas isteri lainnya. Ia mengatakan sudah dibunuh olehnya semua. Hati nuraninya sama sekali tidak merasa bersalah, karena ia sudah seringkali membunuh orang sebagai kepala suku. Tetapi hati nuraninya masih peka untuk mengatakan hal yang jujur. Karena ia sudah terbiasa berbuat dosa, maka hati nuraninya sudah tidak lagi menegur dia sebagaimana seharusnya.

Ketika kita berbuat dosa berulangkali, maka perbuatan dosa itu akan menumpuk dan akan mempolusikan hati nurani kita sendiri. Ketika kita mendengar khotbah yang penting pun, kita tidak akan menyadarinya sebagai teguran dari Tuhan, sehingga kita tidak lagi mementingkan firman Tuhan dan hanya mempedulikan penampilan atau hal-hal lain yang sekunder saja. Setelah mendengar khotbah lalu kembali lagi berbuat dosa, hal demikian dikarenakan kita sudah berkecimpung di dalam suatu kebiasaan dosa yang merusak dan menempel di hati nurani kita. Bagaikan tanah liat yang menempel di lampu mobil, sehingga lampu itu tidak dapat bercahaya sekalipun lampu itu menyala. Demikian pula hati nurani tidak dapat bercahaya murni, karena sudah terjadi polusi di dalamnya.

Inilah keadaan kita. Keadaan hidup kita yang sesungguhnya di hadapan Tuhan Allah. Sekarang, siapakah yang dapat menolong dan membereskan kita? Mau tidak mau kita telah berada di bawah ikatan agama, kebudayaan, ras, tradisi, filsafat, lingkungan, opini masyarakat dan kebiasaan pemupukan dosa kita masing-masing. Hati nurani setiap manusia telah dikotori dan dinajiskan.

Puji Tuhan, Alkitab menjanjikan sesuatu yang sangat penting. Alkitab mengatakan, “Betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup.” (Ibrani 9:14). Kuasa penyucian darah Kristus merupakan satu-satunya kuasa yang dapat menyucikan polusi hati nurani kita.

Hati nurani yang bersih, hati nurabi yang suci, yang tidak tercemar, adalah hati nurani yang dipulihkan. Di bab berikut, kita akan melihat bagaimana Tuhan membersihkan hati nurani kita dan melepaskan kita dari ikatan Setan, sehingga kita dapat hidup di hadapan Tuhan dengan hati nurani yang telah dipulihkan oleh Tuhan.

Amin.

SUMBER :
Nama Buku : Roh Kudus, Suara Hati Nurani, dan Setan
Sub Judul : Bab 3 : Polusi Hati Nurani
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2011
Halaman : 71 – 82