Tukang ParkirSekedar mengingatkan kembali tentang semangat kemandirian seorang anak diplomat sekitar tahun 2004-an. Jika kita melewati Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, mungkin kita akan sedikit heran melihat sosok seorang tukang parkir di depan Kedutaan Besar Bulgaria di seberang kantor Komisi Pemilihan Umum.

Remaja tampan berkulit putih itu asli bule. Gayanya tak beda dengan tukang parkir Melayu. “Terus, terus!” teriaknya dengan bahasa Indonesia yang fasih seraya meniup peluit ketika memandu sebuah sedan hijau yang hendak parkir. Yang lebih menarik, tukang parkir ini adalah putra kedua Kuasa Usaha Kedutaan Bulgaria di Indonesia.

Joss Rosenov namanya. Usianya baru 13 tahun. Jabatan orangtuanya maupun warna kulitnya tak membuat Joss sungkan melakukan kerja sebagai tukang parkir –satu hal yang patut ditiru anak Indonesia. Sambil menunggu mobil yang keluar-masuk, ia mengelap sejumlah mobil yang diparkir di depan kantor yang sekaligus kediaman kedua orangtuanya sendiri.

Tak ada yang mencolok pada siswa kelas I SMP di Pakistan Embassy School itu. Berkaus lengan pendek dan celana panjang krem, kakinya beralas sandal jepit. Joss mengaku sudah setahun menjadi tukang parkir. Sebelumnya, dia pernah menjadi tukang ojek selama sebulan. Namun, dia kesulitan mendapatkan penumpang. Tak ada yang mengajaknya menjadi tukang parkir. “Saya lihat orang lain dulu,” ujarnya seraya menunjuk tukang parkir di depan kantor Komisi Pemilihan Umum. Joss berterus terang, ia menjadi tukang parkir buat cari duit. Uang saku yang diperolehnya tidak cukup. “Cuma tiga ribu (rupiah), kalau minta lagi tak dikasih,” katanya.

Joss ingat, mobil yang pertama kali diparkirnya setahun yang lalu adalah Kijang. “Saya merasa senang,” kata dia seraya menambahkan, uang parkir yang diterima untuk pertama kalinya sebesar seribu rupiah. Pada awalnya, Joss tidak memberitahukan orangtuanya. Dia baru bilang setelah dua hari menjadi tukang parkir. “Saya bilang sama Ibu dan Bapak, saya mau cari uang jadi tukang parkir,” ujarnya. Orangtuanya tidak melarang.

Joss juga tak menghadapi hambatan dari tukang parkir lain. Pada saat liburan sekolah, kata dia, pekerjaan ini dilakoninya setiap hari dari pagi sampai malam, kecuali Minggu. Namun hari hari sekolah, pekerjaan itu dilakukannya sepulang sekolah.

Selain menjadi tukang parkir, Joss juga jadi joki three in one, setiap pagi dan sore hari. “Paginya saya jadi joki sampai jam 08.00,” katanya. Dia juga tidak malu pada teman-teman sekolahnya. “Saya pernah ngajak teman saya markir,” katanya. Rata-rata penghasilan sebagai joki dan tukang parkir sekitar Rp 60-70 ribu per hari. “Buat jajan, mau beli ikan louhan dan burung,” kata dia. Ketika ditanya cita-citanya, Joss menjawab, “Saya ingin jadi sopir.” Dia juga ingin terus tinggal di Jakarta. “Di sini enak, bisa cari duit sendiri.”

Joss lalu kembali ke kursi di depan pos jaga kedutaan, duduk menanti mobil-mobil yang hendak parkir.

Sumber : https://blubugs.blogspot.co.id/2004/06/bila-anak-diplomat-jadi-tukang-parkir.html