WrittenKebijakan Amnesti Pajak telah berlalu, konon katanya beberapa pendukung non DJP telah menerima apresiasi berupa insentif atas jerih payah yang telah dilakukan dalam rangka turut mensukseskan program spektakuler sepanjang sejarah perpajakan yaitu amnesti pajak.

Bagi Wajib Pajak yang telah mengikuti atau tidak mengikuti program tersebut perlu kiranya memahami arah kebijakan Direktorat Jenderal Pajak untuk menghindari adanya kejutan pajak di masa yang akan datang.

Penegasan Terkait  Amnesti Pajak

Bagi Wajib Pajak yang sudah mengikuti Amnesti Pajak tentu masih ada yang belum paham selanjutnya bagaimana? Apa yang harus dilakukan dalam SPT Tahunan 2016 dan seterusnya terkait harta tambahan yang sudah diungkap, ditebus dan dirasakan leganya tersebut. Maka dikeluarkanlah beberapa penegasan melalui Surat Direktur Peraturan Perpajakan II (S-150/PJ.03/2017, S-261/PJ.03/2017) yang coba penulis tuangkan beberapa diantaranya sebagai berikut :

  • Tambahan harta dan utang yang membentuk nilai harta bersih dan telah diterbitkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak  (SKPP) diperlakukan sebagai perolehan harta baru dan perolehan utang baru Wajib Pajak sesuai tanggal SKPP, ketentuan ini berlaku bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan maupun pencatatan.
  • Harta tambahan berupa mata uang asing sesuai dengan nilai yang tercantum dalam SKPP. Dalam SPT Tahunan sesuai dengan keadaan pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. Kenaikan dan penurunan nilai mata uang asing dapat menimbulkan keuntungan dan kerugian selisih kurs dengan memperhatikan bahwa keuntungan selisih kurs bagi Wajib Pajak yang melakukan pencatatan (cash basis) diakui pada saat realisasi kas atau setara kas ke dalam bentuk rupiah. Sedangkan untuk WP yang menyelenggarakan pembukuan, keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan SAK yang berlaku di Indonesia.
  • Perolehan dan penilaian harta tambahan  selain kas dan setara kas (form B1, C1, D1) yang telah diterbitkan SKPP pada SPT Tahunan sesuai nilai harta yang dilaporkan dalam SKPP tersebut. Bila terjadi pengalihan atau penarikan atas harta tambahan tersebut pada tahun pajak diterbitkan SKPP, pelaporan mengikuti ketentuan umum pelaporan harta pada SPT Tahunan.
  • Perubahan kepemilikan  dari nominee kepada Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak terhadap hak atas tanah dan/atau bangunan. Proses perubahan kepemilikan bergantung kesepakatan nominee dan Wajib Pajak. Berdasarkan kesepakatan tersebut, PPAT membuat akta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang menjadi dasar BPN untuk memproses pendaftaran pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  • Perubahan kepemilikan dari nominee kepada Wajib Pajak yang mengikuti pengampunan pajak atas saham. Proses perubahan kepemilikan bergantung kepada kesepakatan nominee dan WP tersebut. Dalam hal saham dimaksud diperdagangkan dibursa efek, proses perubahan dilakukan melalui perdagangan efek.
  • Bagi WP Pengembang yang mengikuti pengampunan pajak. Kewajiban perpajakan sampai dengan akhir tahun pajak terakhir (2015) diberikan pengampunan pajak. Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan kepada pembeli :
    • PPh atas penghasilan yang telah diterima sampai akhir tahun pajak terakhir dianggap telah dilunasi;
    • Penghasilan yang diterima setelah akhir tahun pajak terakhir Wajib dilunasi sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  • Nilai wajar tanah dan/atau bangunan dalam SPH yang berbeda dengan NJOP. Permohonan SKB atas penghasilan hak atas tanah dan/atau bangunan dari nominee kepada WP dapat diproses meskipun nilai wajar tanah dan/atau bangunan yang disampaikan oleh WP berbeda dengan NJOP sepanjang objek yang dialihkan tercantum dalam SKPP dan memenuhi syarat yang diatur dalam PMK 118/2016 dan PER 07/2016.
  • Penetapan pajak dalam rangka impor oleh DJBC, penetapan PPh 22, PPN dan/atau PPnBM oleh DJBC untuk tahun 2015 dan sebelumnya yang belum ditindaklanjuti oleh DJP dengan menerbitkan SKP termasuk dalam pajak yang diampuni jika WP mengikuti Pengampunan Pajak.
  • PPh atas penghapusan sanksi administrasi perpajakan (WP ikut Amnesti Pajak) bukan merupakan objek pajak penghasilan.
  • Pengkreditan PM pada masa yang tidak sama (Oktober, Nopember, dan/atau Desember 2015) yang belum dikreditkan dalam SPT Masa PPN Desember 2015  perlakuannya :
    • WP tidak berhak  mengkompensasikan kelebihan pembayaran pajak pada akhir tahun pajak terakhir ke masa pajak berikutnya;
    • Tidak termasuk dalam pengertian mengkompensasikan kelebihan pembayaran pajak, faktur pajak untuk masa pajak pada akhir tahun pajak terakhir dan sebelumnya yang dikreditkan sebagai PM untuk masa pajak setelah masa pada akhir tahun pajak terakhir. Sepanjang pengkreditan atas faktur pajak untuk masa pajak tidak sama tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan UU PPN.

Arah Kebijakan DJP

Wajib Pajak yang sudah menerima Surat Keterangan Pengampunan Pajak maka sesuai pasal 3 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak atas kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) berhak atas pengampunan pajak untuk tahun 2015 dan sebelumnya (s.d. tahun 1985) atas kewajiban perpajakan yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan. Hal ini memastikan bahwa atas kewajiban pajak 2015 sudah selesai dan tidak akan dipermasalahkan lagi, dalam hal ini hak negara dan kewajiban Wajib Pajak sudah dinihilkan.

Namun beberapa kebijakan Direktorat Jenderal Pajak terkait pengawasan yang dilakukan kepada Wajib Pajak baik yang ikut maupun tidak ikut Amnesti Pajak yang perlu diketahui dan antisipasi oelh yang berkepentingan adalah :

a. Bagi WP Yang Ikut Amnesti Pajak

  • Pengawasan atas harta gagal repatriasi, hal ini kaitannya dengan pasal 13 ayat (4) huruf a UU Pengampunan Pajak yang menyatakan “terhadap harta bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan diperlakukan sebagai penghasilan pada tahun 2016 dan atas penghasilan dimaksud dikenaik sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.”
  • Pengawasan atas penyusutan dan amortisasi sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat 2 dan 3 UU tentang pengampunan pajak yang menyatakan “Harta tambahan yang diungkap dalam Surat Pernyataan tidak dapat diamortisasi/disusutkan untuk tujuan perpajakan.”
  • Pengawasan atas kompensasi kerugian tahun 2015 dan sebelumnya sesuai pasal 16 ayat 1 huruf a UU Pengampunan Pajak yang menyatakan “Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan, tidak berhak mengkompensasi kerugian fiskal dalam SPT untuk bagian taun atau tahun pajak sampai dengan akhir tahun pajak ke bagian tahun pajak ayau tahun pajak berikutnya.”
  • Pengawasan atas kompensasi kelebihan PPN (masa Desember 2015 ke Januari 2016) sesuai pasal 16 ayat 1 huruf b UU tentang Pengampunan Pajak yang menyatakan “ Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan, tidak berhak mengkompenasi kelebihan pembayaran pajak… .”
  • Pengawasan atas kebenaran harta yang diungkap, hal ini kaitannya dengan pasal 18 ayat (1) UU Pengampunan pajak yang menyatakan “dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas harta dimaksdu dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.”
  • Pengawasan atas harta yang belum atau kurang diungkap sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 1 UU Pengampunan Pajak yang menyatakan “dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas harta dimaksud dianggap sebagai harta tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.”

b. Bagi yang Tidak Ikut Amnesti Pajak

Setelah berlalunya masa pengampunan pajak, maka atas beberapa data Wajib Pajak yang sudah ada (data perpajakan 2015 dan sebelumnya) dimintakan untuk dilakukan pensortiran apakah Wajib Pajak yang bersangkutan sudah mengikuti Amnesti Pajak atau tidak. Kemudian akan diterbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yaitu surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagai langkah awal untuk dilakukan tindakan pemeriksaan dan penyidikan. SP2DK dimaksud meliputi :

  • Wajib Pajak dengan status Aktif,  baik terdapat data maupun tidak dan tidak pernah menyampaikan kewajiban perpajakan berupa :
    • SPT Masa PPh Pasal 21/26
    • SPT Masa PPN bagi yang sudah dikukuhkan sebagai PKP
    • SPT Tahunan
  • Wajib Pajak yang tidak pernah menyetorkan pajak baik PPh Pasal 25 ataupun untuk usaha dengan omset tertentu (PP 46 Tahun 2013).
  • Wajib Pajak yang sudah menerbitkan faktur pajak namun belum melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sementara lawan transaksi sudah melakukan pengkreditan.
  • Wajib Pajak yang tidak melaporkan peredaran usahanya dengan sebenarnya yang diketahui dari data pemungutan/pemotongan pihak ketiga.
  • Wajib Pajak yang berdasarkan analisis resiko diketahui tidak melakukan pembukuan atau pencatatan dengan benar.
  • Wajib Pajak yang memiliki transaksi sudah di atas batasan pengusaha kecil namun belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

 

… loading