Nusa Tax ConsultingSetelah keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Mei 2017 lalu (baca : Keterbukaan Akses Informasi Keuangan Untuk Perpajakan) beberapa mantan murid saya yang sekarang sudah menjadi pengusaha dan konsultan pajak menginformasikan kepada saya tentang kekhawatirannya terkait keluarnya Perppu Nomor 1 tahun 2017 ini. Patut di duga bahwa kekhawatiran mereka adalah representasi dari semua Wajib Pajak pemilik rekening pada lembaga keuangan.

Kondisi dejavu saat dahulu penulis melakukan pemblokiran rekening bank atas tunggakan Wajib Pajak, tindakan pemblokiran rekening ini merupakan kali pertama dalam sejarah Direktorat Jenderal Pajak, sangat membuat Wajib Pajak pemilik tunggakan pajak khawatir namun pada akhirnya pun tidak masalah. Bahkan sekarang ini tanpa perlu tahu nomor rekening penunggak pajak pun (hanya berbekal nama Wajib Pajak) perbankan wajib melakukan pemblokiran rekening bila diminta oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Juru Sita Pajak Negara (JSPN). Jadi haruskah Wajib Pajak khawatir dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini?

Kebijakan Sebelum Perppu 1 Tahun 2017

Sebelum Perppu nomor 1 tahun 2017 ini berlaku, data rekening bank merupakan kerahasiaan bank dan hanya boleh dibuka oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan aparat penegak hukum termasuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang didahului dengan permintaan izin dari Bank Indonesia.

Permintaan izin dari Bank Indonesia tidaklah mudah secara prosedural dan memerlukan waktu yang tidak sedikit, hal ini menyebabkan kesulitan tersendiri bagi Direktorat Jenderal Pajak seperti waktu pemeriksaan menjadi lebih panjang.

Kebijakan Setelah Perppu 1 Tahun 2017

Setelah adanya Perppu nomor 1 Tahun 2017 ini, maka Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, DJP tidak perlu lagi susah payah karena bisa langsung meminta data kepada bank. Bahkan terkait kerahasiaan sudah tidak ada border (borderless) artinya bank manapun bisa mengakses dan masyarakat manapun nantinya boleh, baik orang Indonesia yang punya rekening di luar seperti Malaysia, Australia, demikian sebaliknya,

Perlukah Khawatir Terkait Perppu Nomor 1 Tahun 2017?

Bagi Wajib Pajak yang kewajiban perpajakannya tidak beres seperti melakukan transaksi yang tidak sebagaimana mestinya, bagi yang mencoba melakukan rekayasa keuangan demi penghindaran pajak dan terutama bagi mereka yang tidak mengikuti program amnesti pajak memang mesti harus khawatir bahkan tanpa Perppu nomor 1 tahun 2017 ini pun harus khawatir.

Bagi Wajib Pajak yang beres yang sudah mengikuti program Amnesti Pajak dengan benar,  Menteri Keuangan telah menghardik semua pihak, agar Perppu tidak disalahgunakan oleh Pajak, agar dilaksanakan secara hati-hati sesuai prinsip tata kelola yang baik. Tata kelola DJP dalam mendapatkan informasi perpajakan akan melalui prosedur, protokol dan penggunaan informasi akan diatur dalam PMK yang menjadi turunan Perppu (mari sama-sama kita nantikan). Bahkan beliau mengultimatum bahwa Kementerian Keuangan akan memperkuat whistleblowing system jika ada masyarakat yang mengadukan aparat Pajak yang ingin menyalahgunakan kewenangan melalui wise.kemenkeu.go.id.

Data Perbankan dan Denda Amnesti Pajak

Sekedar mengingatkan :

Pasal 43 ayat (1) PMK Nomor 118 tentang pelaksanaan UU Pengampunan Pajak menyatakan :

Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.”

ayat (4) : “Dalam hal terdapat tambahan penghasilan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar, atas Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen).

Pasal 44 ayat (1 & 2) PMK Nomor 118 tentang pelaksanaan UU Pengampunan Pajak menyatakan :

Terhadap Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir, dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud. Data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak  ditemukan paling lama dalam jangka 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang Pengampunan Pajak mulai berlaku. Atas tambahan penghasilan dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar.

Pada faktanya sangatlah banyak pemilik rekening keuangan yang lalai dalam perpajakan termasuk tidak mengikuti program Amnesti Pajak, karena selama ini kurang perhatian terhadap aturan perpajakan.

Pesan penulis terhadap mereka adalah perlu memperhatikan mekanisme pemeriksaan pajak demi terhindar dari tindakan dari oknum perpajakan yang berusaha mengintai, mengintimidasi dan memeras untuk memperkaya diri dan saudara-saudaranya karena penerima suap dan pemberi suap sama kejahatannya dimata hukum.

Perppu Nomor 1 Tahun 2017 di Mata Senator

Menurut pasal 22 ayat (1) UU NKRI Tahun 1945 dikatakan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Sementara dasar pertimbangan keluarnya kebijakan ini adalah keikut sertaan Indonesia dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information), apakah hal ini bisa dikatakan kondisi genting yang memaksa?

Dengan Perppu ini, Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan informasi keuangan dari perbankan, pasar modal, perasuransian, dan lembaga jasa keuangan lainnya, kewenangan ini melabrak banyak hal, meliputi :

  • Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 35A UU KUP
  • Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
  • Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
  • Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi
  • Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Menurut Senator Komisi XI DPR RI Heri Gunawan Prinsip kehati-hatian itu, agar kita bisa terhindar dari kepentingan yang justru merugikan kepentingan nasional kita (https://www.tribunnews.com/nasional/2017/05/21).

 

Artikel Terkait :