Sebagian kita pernah mendengar istilah audit investigatif atau sering dikenal sebagai fraud audit atau audit atas kecurangan. Sifat perbuatan fraud adalah tersembunyi,  fraud menggunakan tipuan untuk menyembunyikan  apa yang sesungguhnya terjadi.

Ilustrasi Terkait Fraud

Beberapa tindakan Wajib Pajak yang sering terjadi ditinjau dari situasinya antara lain :

Pertama, tidak membayar pajak dengan cara terbuka. Wajib Pajak nyata-nyata menerbitkan Faktur Pajak dan memungut Pajak Pertambahan Nilai namun tidak menyetorkannya ke Kas Negara dengan melaporkan SPT Masa PPN-nya dengan status Nihil. Mereka melakukannya dengan tidak perduli bahwa semua transaksi tersebut terpantau oleh sistem yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Kedua, melalui teknik sedikit rumit yang disebut fraud. Wajib Pajak melakukan pembelian fiktif sebagian dengan mendapatkan Faktur Pajak Pembelian yang kemudian dikreditkan. Pembelian dilakukan kepada rekanan yang menjadi komplotan di mana seakan-akan suatu transaksi yang normal dan biasa. Transaksi fiktif ini di dukung dengan segala macam berkas dan dokumen-dokumen.

Tindakan pertama sangat kasar dan kasat mata, sementara tindakan kedua terlihat rapi dan bersih. Jumlah  pajak yang dicuri cara pertama umumnya ratusan Juta atau puluhan milyar tergantung dari proyek yang mereka terima. Tindakan cara kedua, nilai jarahan bisa mencapai ratusan miliar.

Pengungkapan dan bukti dalam hal transaksi fiktif dalam cara kedua lebih sulit karena segala sesuatunya “tersembunyi”. Dalam cara pertama, identitas lengkap sepanjang dia tidak pindah-pindah, tinggal melakukan penetapan pajak yang harus dibayar.

Modus untuk menyembunyikan fraud begitu banyak; pelaku fraud sangat kreatif mencari celah-celah untuk menyembunyikan fraud-nya, sehingga petugas pajak yang berpengalamanpun sering terkecoh.

Tindakan Fiskus Atas Fraud

Resiko bagi petugas pajak apabila salah menetapkan pajak, menyebabkan adanya upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak oleh karena itu perlu pertimbangan dan pengalaman yang mumpuni sebelum eksekusi melalui penetapan.

Hampir 5 (lima) tahun menjadi Penelaah Keberatan dan pernah mengikuti sidang banding mengubah cara pandang penulis dalam menyikapi manipulasi laporan keuangan untuk perpajakan yang disajikan oleh Wajib Pajak .

Saat petugas pajak  berupaya membuktikan  terjadinya manipulasi laporan keuangan maka perlu mengumpulkan bukti dan dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Karena jika mengandalkan pasal 26A ayat (4) UU KUP sangatlah lemah jika sudah memasuki sidang banding.

Pasal 26 ayat 4 UU KUP “Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

Maka langkah pertama adalah, dalam  pemeriksaan yang berperan mengumpulkan bukti, dokumen dan data adalah petugas pajak itu sendiri bukan menunggu Wajib Pajak memberikannya yang kemudian ditutup dengan pernyataan oleh Wajib Pajak bahwa bukti, dokumen dan data yang digunakan tidak ada lagi. Tujuannya adalah agar dapat diterima sebagai alat bukti yang dipakai untuk membuat putusan tentang telah terjadi fraud dalam laporan keuangan.

Langkah kedua, setiap Wajib Pajak yang akan mengajukan banding pastinya harus melewati tahapan keberatan terlebih dahulu kecuali Wajib Pajak langsung mengajukan gugatan. Maka peranan Penelaah Keberatan adalah mengumpulkan bukti, dokumen dan data sesuai dengan ketentuan perundang-undangan untuk membuktikan tidak terjadinya fraud dalam laporan keuangan. Dalam perspektif ini, Penelaah Keberatan (yang juga adalah petugas pajak) berusaha melihat dari sudut pandang Wajib Pajak untuk antisipasi dalam proses sidang di Pengadilan Pajak nanti.

Pada akhirnya yang berhak menetapkan bahwa ada manipulasi dalam laporan keuangan yang disajikan oleh Wajib Pajak terjadi atau tidak adalah Pengadilan Pajak .

Pemahaman Fiskus Atas Pelaku Fraud

Seorang petugas pajak dapat dikatakan berpengalaman apabila merasakan dan memahami tahapan situasi Wajib Pajak mulai dalam proses sampai dengan putusan atas ada/tidak-nya fraud yang akan dilakukan penelitian/pengungkapan, tahapan tersebut meliputi :

  • Tahap penolakan,  tahapan penolakan timbul dalam berbagai bentuk seperti orang itu terdiam, tidak bisa bicara, tidak percaya, atau kaget untuk sementara. Atau, menolak menerima berita atau informasi. Umumnya menegaskan bahwa ini pasti ada kesalahan. Atau, ia bersikap (atau mengatakan) tidak memahami apa yang dikatakan. Petugas pajak perlu berhati-hati dalam tahap ini. Tahap penolakan memberi kesempatan kepada pelaku fraud atau saksi untuk mengubah, menghancurkan, atau menyembunyikan dokumen, catatan, data dan informasi yang berharga. Tahapan penolakan memberikan kesempatan kepadanya untuk mengulur-ngulur waktu, melarikan diri, dan menghilangkan data dan dokumen bukti.
  • Tahap kemarahan, ini merupakan tahapan yang sulit ditangani karena bisa menyebar ke segala penjuru. Dalam tahapan kemarahan, pihak yang merasa dirugikan mungkin mengambil keputusan yang terlalu cepat misalkan Saat fiskus menuduh Wajib Pajak melakukan manipulasi dalam laporan keuangan, dan Wajib Pajak membawanya ke pengadilan dengan alasan pencemaran nama baik. Meskipun ternyata  Wajib Pajak memang melakukan fraud kemudian dinyatakan bersalah, fiskus juga dapat dinyatakan bersalah karena menuduh terlalu cepat tanpa bukti yang cukup. (Walau seharusnya persoalan ini tidak dapat dibawa di luar pengadilan pajak namun sering terjadi).
  • Tahap bargaining (rationalization), dalam tahapan ini Wajib Pajak mencoba membenarkan perbuatannya yang tidak jujur dan/atau mencoba mengurangi (mengecilkan) kejahatan yang dibuatnya. Tahapan ini paling sering terjadi misalkan, bahwa pajak yang dibayarkan Wajib Pajak sering disalahgunakan oleh penyelenggara pemerintah dengan mencontohkan pembangunan-pembangunan dengan kualitas buruk bahkan petugas pajak yang hidup mewah yang tentunya tidak sesuai dengan kemampuannya dan berakhir pada kalimat  khilaf oleh Wajib Pajak dan minta diberi kesempatan untuk memperbaiki kerkhilafannya. Rationalization adalah upaya terakhir si tersangka untuk kembali kesituasi psikologis semula.
  • Tahap depresi, saat semua upaya untuk mengatasi dan memecahkan masalah mengalami kegagalan, harapan memudar. Beban emosi yang timbul ketika berhadapan dengan kebenaran mendorong Wajib Pajak memasuki tahapan depresi.
  • Tahap acceptance, pada akhirnya Wajib Pajak mencapai titik di mana tidak mengalami depresi. Ia mempunyai pengetahuan atau pemahaman yang realistis mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Tahapan ini menerima kenyataan, bukanlah merupakan saat berbahagia bagi orang itu. Ini adalah tahap pengakuan mengenai apa yang terjadi dan hasrat untuk menyelesaikannya, dan melangkah ke depan untuk melanjutkan kegiatan usahanya. Tahapan ini adalah tahapan yang paling bermanfaat untuk interogasi karena terperiksa pada titik yang paling kooperatif.

ditulis berdasarkan keadaan ketika tindakan  P3 atas data kongkrit yang dilakukan oleh Account Representative