Beberapa pertanyaan dasar yang sering muncul saat berbicara tentang pajak internasional akan coba penulis tuangkan kembali, adapun jawaban dari pertanyaan ini adalah berdasarkan interprestasi penulis semata yang terancam keliru. Tulisan seputar pajak internasional  ini sekaligus untuk menambah  dan melengkapi soal dalam Tax Quiz yang terdapat dalam blog nusahati . Semoga memberi informasi yang bermanfaat.

Apa saja ruang lingkup Pajak Internasional?

Beberapa buku Pajak Internasional menyebutkan bahwa ruang lingkup pajak internasional ditinjau dari Subjek dan Objek  dikategorikan menjadi 2 (dua) perspektif yaitu :

  1. Taxing Inbound Income, pemajakan atas Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) memperoleh penghasilan yang bersumber dari luar negeri.
  2. Taxing Outbound Income. Pemajakan atas SPLN (SPLN) yang memperoleh penghasilan dari dalam negeri.

Apakah negara sumber (Source Country) memiliki hak yang lebih tinggi untuk memajaki suatu penghasilan?

Tidak, dalam model tax treaty yang dikembangkan oleh OECD yang memiliki hak pemajakan adalah negara domisili (residence country) karena hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan kepada satu negara yaitu kepada negara di mana subjek pajak tersebut terdafatar sebagai subjek pajak dalam negeri yaitu “shall be taxable only in…”. Maka, isu pajak berganda atas suatu penghasilan yang diatur melalui penggunaan terminologi ini seharusnya tidak akan terjadi karena hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara domisili dan negara sumber dilarang untuk mengenakan pajak.

Dalam bentuk apa sajakah Pajak Berganda dapat terjadi?

Terdapat terminologi yang menyatakan hak pemajakan atas suatu penghasilan dibagi antara negara domisli dan negara sumber yaitu “may be taxed in…”. Dalam terminologi ini negara sumber juga dapat mengenakan pajak. Jadi, disamping negara domisili berhak untuk mengenakan pajak, negara sumber juga dapat mengenakan pajak. Negara domisili adalah negara asal orang atau badan yang melakukan usaha di negara lain sedangkan negara sumber adalah tempat timbulnya suatu jenis penghasilan. Apabila penghasilan tersebut dikenai pajak di negara sumber dan negara domisili, pengenaan pajak berganda akan terjadi, jadi prinsip domisili dan sumber atas suatu penghasilan yang melibatkan dua atau lebih negara dapat menimbulkan pajak berganda internasional baik yuridis maupun ekonomis.

Bagaimana cara mengatasi pajak berganda?

Karena masing-masing negara mengenakan pajak maka timbulah isu pemajakan berganda, untuk menghindari adanya pemajakan berganda maka negara domisili diwajibkan untuk memberikan keringanan pajak berganda melalui mekanisme tax credit method atau income exemption method (tergantung kepada ketentuan domestik negara domisili). 

Apa justifikasi Indonesia berhak memajaki SPDN dan SPLN?

Pasal 2  UU PPh dijelaskan bahwa Subjek Pajak dibedakan menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Status Wajib Pajak Dalam Negeri disamakan dengan istilah penduduk/residen yang dipakai negara lain dengan indikator tempat tinggal (domisili), keberadaan (presensi), niat untuk tinggal di Indonesia. Sementara Subjek Pajak Luar Negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Maka berdasarkan pasal ini Indonesia berhak memajaki negara domisili (Residence Country) dan negara sumber (Source Country).

Mengapa terdapat perbedaan cara pemajakan pada SPDN dan SPLN?

Seperti dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) UU PPh terkait perbedaan pemajakan SPDN dan SPLN semata-mata adalah alasan keadilan dimana untuk SPLN menggunakan tax treaty sebagai dasar pemajakan yang sudah disepakati dalam rangka penghindaran pajak berganda.

Bagaimana cara menentukan “niat” sebagai dasar penentuan SPDN?

Penentuan “niat” bersifat subjektif kualitatif sehingga tidak ada pengukuran yang pasti untuk kategori tersebut. Namun petunjuk dari “niat” bisa saja dilihat dari pernikahan dengan WNI, status kekayaan, pembukaan rekening bank, membeli rumah/menyewa dan lain-lain, atau dengan melihat dokumen visa bekerja (Kitas/Kitab). (referensi PER 43/PJ/2011 tanggal 28 Desember 2011).

Apa saja kriteria untuk menentukan BUT di Indonesia dari SPLN?

Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan tempat usaha yang bersifat permanen yang dipergunakan oleh SPLN baik Orang Pribadi atau Badan untuk menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaa dan lain-lain sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (5) UU PPh). Sementara SPLN adalah yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Bagaimana cara mengalokasikan penghasilan kepada Badan Usaha tetap tersebut?

Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui BUT maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui BUT dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa BUT merupakan Subjek Pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan namun atas laba bersih setelah pajak dikenakan tambahan pajak yang disebut sebagai branch profit tax dengan tarif sebesar 20% dari laba bersih setelah pajak.

Apakah peraturan perpajakan Indonesia mengatur tentang kedudukan manajemen pada saat penentuan Subjek Pajak Badan Luar Negeri?

Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen (Pasal 2 ayat 5 huruf a), tempat kedudukan manajemen sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (3) PER-43/PJ/2011 adalah melakukan pengendalian atas seluruh perusahaan atau tempat membuat keputusan yang bersifat strategis.

Sebutkan beberapa pasal yang mengatur Anti-Avoidance? Serta apa yang dimaksud Thin Capitalization?

Pasal 18 ayat (1) UU PPh, Pasal 9 (tentang associated enterprise), Pasal 26 ( tentang exchange of information) dalam tax treaty sebagaimana diimplementasikan dalam PER-24/PJ2010 tentang perubahan PER nomor 61/PJ/2009 tentang tata cara penerpan persetujuan penghindaran pajak berganda. Thin capitalization adalah struktur permodalan suatu perusahaan dengan proporsi utang jauh lebih besaer dari modal, hal ini timbul akibat aturan perpajakan yang memperbolehkan biaya bunga sebagai unsur pengurang dalam menghitung penghasilan kena pajak (kebalikan dari dividen).

Bagaimana UU PPh mendefinisikan kontrol SPDN pada perusahaan asing?

Dengan “time test” untuk memastikan status dan pemajakannya, Untuk SPDN dijelaskan dalam pasal 2 ayat (3) UU PPh menyatakan orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Dan sebaliknya untuk SPLN dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UU PPh.

Apa yang dimaksud beneficial owner menurut undang-undang domestik?

Pasal 26 ayat (1a) mendefinisikan sebagai berikut : Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).

Dalam hal apa transfer pricing digunakan dalam menghindar pajak?

Dalam hal untuk memperkecil pajak dengan cara menggeser harga atau laba perusahaan dalam satu grup, hal ini umumnya dilakukan karena :

  • Salah satu pihak afiliasi memiliki fasilitas perpajakan baik tarif pajak lebih rendah maupun fasilitas perpajakan PPh Lainnya;
  • Transaksi afiliasi tersebut berupa transaksi yang dikenakan PPh bersifat final; dan/atau
  • Salah satu pihak afiliasi memiliki kompensasi kerugian

Bagaimana menerapkan Anti-Conduit Rules menurut UU PPh?

Dalam pasal 18 ayat 3b dijelaskan “Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.” Dalam memori penjelasan dikatakan “Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company).”

Bagaimana pasal 26 UU PPh mengatur tentang sumber penghasilan?

Melalui pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar WPLN lainnya. Jenis-jenis Penghasilan yang wajib pemotongan digolongkan dalam :

  1. penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  2. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
  3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  4. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  5. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  6. keuntungan karena pembebasan utang.

Apakah Pasal 24 UU PPh hanya membolehkan KPLN yang berasal dari negara mitra P3B?

Tidak, Pasal 24 ayat (1) UU PPh menyebutkan “Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.” Demikian pula pada Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri yang menyatakan “WPDN terutang pajak atas PKP yang berasal dari seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri”.

Mengapa teks P3B tidak sama antar P3B yang ada?

Karena P3B hanya mengatur prinsip-prinsip pemajakan yang hanya dapat diterapkan di kedua negara maka pelaksanaan prinsip-prinsip pemajakan tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan pajak  masing-masing negara.

Apa peran DJP dan BKF dalam negosiasi P3B?

Sesuai perannya, Direktorat jenderal Pajak bersama Badan Kebijakan Fiskal sebagai pembuat kebijakan perpajakan dan dalam hal ini sebagai perunding Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty dengan negara lain.

Apakah P3B dapat menimbulkan hak pemajakan baru?

Tidak, karena tujuannya adalah guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. P3B hanya mengatur pembagian hak pemajakan sehingga nantinya atas beberapa jenis penghasilan, hak pemajakan suatu negara akan dilimitasi oleh P3B.

Bagaimana apabila WPLN tidak dapat menyediakan Form-DGT/SKD?

Karena form DGT/SKD diterbitkan untuk menerangkan bahwa yang bersangkutan adalah Subjek Pajak yang memperoleh manfaat P3B yaitu tarif yang sesuai dengan P3B. Sehingga apabila tidak dapat menyediakan maka akan dikenakan sesuai dengan tarif negara bersangkutan. Dasar hukum Pasal 5 ayat (1) dan (2) PER-24/PJ/2010 tentang Perubahan PER-61/PJ/2009.

Kriteria apakah yang digunakan dalam menguji terjadinya penyalahgunaan P3B/treaty abuse?

Kriteria untuk menguji  sesuai dengan Pasal 3 PER-62/PJ/2009 yaitu :

  • Apakah transaksi mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
  • Apakaht ransaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
  • Apakah penerima penghasilan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).

Apakah perbedaan istilah “shall be taxable only in…. & May be taxed in …”?

Perbedaan terletak dalam hal hak pemajakan, “Shall be taxable only in…) menyatakan bahwa hak pemajakan hanya kepada  negara di mana subjek pajak tersebut terdaftar (Residence Country). Sementara “May be taxed in...” menyatakan bahwa hak pemajakan dibagi antara negara domisili dan negara sumber.

Apa yang dimaksud dengan Commentary, Reservation, Observation, dan Position pada OECD Model?

Commentary, Reservation, Observation dan position pada OECD Model adalah  istilah dalam menyatakan pendapat atau tanggapan terkait rumusan Perjanjian Penghindaran Paja Berganda (P3B).

Loading…

 

Artikel Terkait :