Sebuah notifikasi di aplikasi media sosial whatsapp dari alumni Jurangmangu 96’ers menarik perhatian penulis, adalah adanya lampiran Undang-Undang Republik Indonesia nomor 9 Tahun 2017 tertanggal 23 Agustus 2017 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan menjadi Undang-Undang.

Mengapa menarik, karena hal ini menghapus keraguan atas komitmen Indonesia terhadap peningkatan transparansi sektor keuangan untuk kepentingan perpajakan dengan mengutip kata-kata James Otis “Taxation without representation is tyranny” maka UU ini pun membuatnya menjadi berwibawa sebagai landasan untuk mengurangi ruang gerak bagi Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran atau penggeseran pajak.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang substansi dari UU ini ada baiknya penulis membaca beberapa tulisan sebelumnya yaitu :

Dasar Pertimbangan

Dalam melaksanakan pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempunyai tujuan untuk menyejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia secara merata dan berkeadilan, dibutuhkan pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara terutama yang berasal dari pajak, sehingga untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak tersebut diperlukan pemberian akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan;

Saat ini masih terdapat keterbatasan akses bagi otoritas perpajakan Indonesia untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan yang diatur dalam undang-undang di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang dapat mengakibatkan kendala bagi otoritas perpajakan dalam penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak;

Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) dan harus segera membentuk peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebelum tanggal 30 Juni 2017;

Umum

Sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dibutuhkan pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara terutama yang berasal dari pajak, yang pemungutannya diatur dengan undang-undang sebagai perwujudan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Upaya pemungutan pajak untuk kepentingan pembangunan nasional masih mengalami kendala baik yang berasal dari faktor internal maupun dari faktor eksternal, Dalam mengatasi kendala dari faktor internal, saat ini Pemerintah telah dan sedang melakukan reformasi perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak dengan tujuan antara lain untuk memperbaiki organisasi, proses kerja, pengelolaan data dan informasi dari perbankan, serta sumber daya manusia. Sedangkan dari faktor eksternal, selain terjadinya pelemahan ekonomi dan perdagangan global, juga masih banyak ditemukannya Wajib Pajak yang melakukan penghindaran pajak ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme serta aturan yang mengharuskan pertukaran informasi antar negara dan yurisdiksi, semakin mempersulit upaya pengumpulan pajak di Indonesia yang berdasarkan pada sistem self-assesment.

Sementara itu, pengawasan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara self-assessment tersebut merupakan hal yang esensial untuk meningkatkan penerimaan pajak. Pengawasan tersebut dapat dilaksanakan dengan optimal sepanjang telah tersedianya akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dalam pembentukan basis data perpajakan yang lebih kuat dan akurat.

Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku saat ini telah membatasi akses otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan, baik dari sisi prosedur maupun persyaratan. Kondisi keterbatasan akses tersebut dimanfaatkan Wajib Pajak untuk tidak patuh melaporkan penghasilan dan harta sesungguhnya. Hal ini dapat menghambat terwujudnya keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak dan penguatan basis data perpajakan, serta Indonesia berpotensi menjadi negara tujuan penempatan dana ilegal.

Di samping itu, Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan dengan banyak negara/yurisdiksi, yang di dalamnya juga mengatur mengenai pertukaran informasi termasuk pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) sesuai dengan standar internasional yang disepakati. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh Indonesia untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis adalah membentuk aturan domestik yang mengatur mengenai kewenangan otoritas perpajakan untuk mengakses informasi keuangan, kewajiban bagi lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain untuk melaporkan informasi keuangan secara otomatis kepada otoritas perpajakan, melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan untuk kepentingan pelaporan dimaksud, serta adanya penerapan sanksi bagi ketidakpatuhan atas kewajiban-kewajiban tersebut.

Warna Dalam Pengesahan Perppu Menjadi UU

Beberapa hal-hal menarik terkait pengesahan Perppu 1 Tahun 2017 menjadi UU yang penulis kutip dari media masa terkait pandangan partai, tokoh dan praktisi diantaranya :

  • Pemerintah seharusnya menuangkan aturan (terkait kewenangan DJP dalam mengakses informasi keuangan) dalam revisi UU KUP bukan dengan pembuatan Perppu nomor 1 Tahun 2017.
  • Adanya kekhawatiran penyalahgunaan informasi keuangan oleh aparat Ditjen Pajak, besaran threshold saldo keuangan yang diperiksa, serta pembukaan informasi keuangan domestik di luar kepentingan AEoL.
  • Pemerintah agar menjamin nasabah tetap nyaman menaruh uangnya pada Lembaga Jasa Keuangan.
  • Pemerintah tetap menjaga komitmen sejak awal bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2017 dibuat dalam rangka pertukaran AEoI yang subjeknya adalah warga negara Indonesia (WNI) yang ada di luar negeri, bukan sebaliknya.
  • Meminta agar pemerintah terus melakukan sosialisasi secara menyeluruh agar tidak ada keresahan di kalangan nasabah sektor jasa keuangan bahwa data informasi yang dibuka dipakai semata-mata untuk kepentingan perpajakan.
  • Mendorong pemerintah membuat aturan internal semacam Standar Operasional (SOP) agar nasabah atau masyarakat tidak dirugikan oleh perilaku oknum di internal Ditjen Pajak.
  • Masih adanya simpang siur terkait pemberlakuan UU ini apakah hanya bagi nasabah dalam negeri, hal ini dijawab dalam pasal 1 Perppu nomor 1 Tahun 2017 yaitu kalimat ” dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (dalam negeri) dan pelaksanaan perjanjian internasional (luar negeri) di bidang perpajakan.”
  • Pemerintah mesti segera menindaklanjuti persoalan confidentiality and data safeguard mengingat tanpa adanya jaminan kemanan dan kerahasiaan data, ia khawatir akan ada penyalahgunaan data oleh aparatur DJP.

loading…

Download Terkait Aturan :